7.Efektifitas Pengendalian Pencemaran Udara Terhadap Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit...

16
Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, Juni 2013, Hal. 79 - 94 Vol. 9, No. 1 ISSN 021-969X Efektifitas Pengendalian Pencemaran Udara Terhadap Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda (The Effective of Air Pollution Control With Respect to Medical Solid Waste Management at Islam Hospital in Samarinda) Agustina Wati Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Jl. Sambaliung Kampus Gunung Kelua, Samarinda, Kalimantan Timur Email: [email protected] ABSTRAKSI Pengelolaan limbah padat medis menjadi faktor penting dalam pengendalian pencemaran udara, karena apabila melanggar baku mutu pada akhirnya akan menyebabkan pencemaran udara. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara saat ini yang menjadi payung hukum agar dapat mengurangi pencemaran udara. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hadir untuk memberikan kepastian hukum. agar usaha dan/atau kegiatan dalam hal ini ialah Rumah Sakit Islam Kota Samarinda dapat melestarikan lingkungan hidup dengan menjaga lingkungan bersih dari pencemaran udara. Efektifitas hukum diperlukan agar tidak terjadi pencemaran udara dan berdampak kepada masyarakat sekitar, pengawasan dari instansi terkait juga sangat penting dalam hal ini ialah Badan Lingkungan Hidup agar dapat meminimalisir pencemaran udara terutama dalam pengelolaan limbah padat medis. Kata Kunci: lingkungan hidup, pencemaran udara dan pengelolaan limbah padat medis. ABSTRACT Solid medical waste management become important factor in order to control air pollution, because if violated the standards will eventually cause air pollution. Government Regulation Number 41 year 1999 about the Air Pollution Control at this moment become legal protection so that could reduce air pollution. Enactment Number 32 Year 2009 about the Environmental Management and Protection is exist to give the certainty of law. The effort and trial, in this case is Islam Hospital in Samarinda, could take care environment from air pollution. The law effectivity is needed so there is no air pollution which give impact to society nearby, supervision from related institution also very important, in this case is Environmental agency, so the air pollution could reduce especially in solid medical waste management. Key Words: environmental, air pollution, solid medical waste management PENDAHULUAN Pengendalian pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia khususnya di Kota Samarinda, pada dasarnya dihadapkan dengan masalah sangat minimnya biaya operasional dalam penanggulangannya dan kurangnya perangkat peraturan perundang- undangan dalam hal ini adalah Peraturan Daerah sebagai landasan Hukum bagi penegakan hukum agar tidak terjadi pencemaran udara yang akhirnya akan menimbulkan pemanasan global. Kendala yang disebabkan oleh kurangnya anggaran ini merupakan hal yang biasa dan sudah menjadi ciri dari suatu negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Mengingat pada umumnya negara yang sedang berkembang lebih memprioritaskan anggaran belanja negaranya untuk program-program yang lebih produktif. Tetapi kita perlu segera menyadari bahwa penanggulangan pencemaran yang tidak

Transcript of 7.Efektifitas Pengendalian Pencemaran Udara Terhadap Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit...

  • Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, Juni 2013, Hal. 79 - 94 Vol. 9, No. 1 ISSN 021-969X

    Efektifitas Pengendalian Pencemaran Udara Terhadap Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda

    (The Effective of Air Pollution Control With Respect to Medical Solid

    Waste Management at Islam Hospital in Samarinda)

    Agustina Wati

    Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Jl. Sambaliung Kampus Gunung Kelua, Samarinda, Kalimantan Timur

    Email: [email protected]

    ABSTRAKSI

    Pengelolaan limbah padat medis menjadi faktor penting dalam pengendalian pencemaran udara, karena apabila melanggar baku mutu pada akhirnya akan menyebabkan pencemaran udara. Peraturan Pemerintah

    Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara saat ini yang menjadi payung hukum agar dapat mengurangi pencemaran udara. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup hadir untuk memberikan kepastian hukum. agar usaha dan/atau kegiatan

    dalam hal ini ialah Rumah Sakit Islam Kota Samarinda dapat melestarikan lingkungan hidup dengan menjaga lingkungan bersih dari pencemaran udara. Efektifitas hukum diperlukan agar tidak terjadi pencemaran udara

    dan berdampak kepada masyarakat sekitar, pengawasan dari instansi terkait juga sangat penting dalam hal ini ialah Badan Lingkungan Hidup agar dapat meminimalisir pencemaran udara terutama dalam pengelolaan

    limbah padat medis.

    Kata Kunci: lingkungan hidup, pencemaran udara dan pengelolaan limbah padat medis.

    ABSTRACT

    Solid medical waste management become important factor in order to control air pollution, because if violated the standards will eventually cause air pollution. Government Regulation Number 41 year 1999

    about the Air Pollution Control at this moment become legal protection so that could reduce air pollution. Enactment Number 32 Year 2009 about the Environmental Management and Protection is exist to give the

    certainty of law. The effort and trial, in this case is Islam Hospital in Samarinda, could take care environment

    from air pollution. The law effectivity is needed so there is no air pollution which give impact to society nearby, supervision from related institution also very important, in this case is Environmental agency, so the

    air pollution could reduce especially in solid medical waste management.

    Key Words: environmental, air pollution, solid medical waste management

    PENDAHULUAN

    Pengendalian pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia khususnya di Kota Samarinda, pada dasarnya dihadapkan dengan masalah sangat minimnya biaya operasional dalam penanggulangannya dan kurangnya perangkat peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah Peraturan Daerah sebagai landasan Hukum bagi penegakan hukum agar tidak terjadi

    pencemaran udara yang akhirnya akan menimbulkan pemanasan global.

    Kendala yang disebabkan oleh kurangnya anggaran ini merupakan hal yang biasa dan sudah menjadi ciri dari suatu negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Mengingat pada umumnya negara yang sedang berkembang lebih memprioritaskan anggaran belanja negaranya untuk program-program yang lebih produktif. Tetapi kita perlu segera menyadari bahwa penanggulangan pencemaran yang tidak

  • 80 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    dikelola dengan baik pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.

    Perkembangan penduduk juga merupakan salah satu wujud perubahan dan sekaligus merupakan suatu masalah yang sangat menonjol khususnya dalam studi kependudukan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang ada di kota besar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya pencemaran udara, karena banyaknya penggunaan kendaraan dan listrik dan lain sebagainya, dan banyaknya industri yang menghasilkan emisi dan mencemarkan udara.

    Rumah Sakit Islam Kota Samarinda sebagai suatu usaha dan/atau kegiatan yang bergerak di bidang pelayanan jasa kesehatan, menggunakan incenerator dalam melakukan pengelolaan limbah padat medis. Rumah Sakit Islam Kota Samarinda bekerja sama dengan PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman untuk memeriksa baku mutu emisi udara untuk incenerator dan dasar hukum yang digunakan yaitu Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Berdasarkan pada hasil pemeriksaan bahwa CO (karbon monoksida) pada tanggal 28 Maret 2007 baku mutu yang ditentukan 100 mg/Nm3 dan hasil pemeriksaan yaitu 289, 4973., kemudian kadar CO (karbon monoksida) pada tanggal 15 November 2007 meningkat 1290,72 dari baku mutu yang ditentukan, kemudian pada tanggal 11 Maret 2008 kadar CO (karbon monoksida) menurun menjadi 131,5897 mg/Nm3 tetapi masih tetap melanggar baku mutu yang ditentukan yaitu 100 mg/Nm3.1

    Rumah Sakit Islam Kota Samarinda mulai membenahi diri. Manajemen Rumah Sakit Islam Kota Samarinda membeli incenerator baru dan lokasinya juga dipindahkan dengan harapan warga di sekitar Rumah Sakit Islam Kota Samarinda tidak akan terganggu. Pada tanggal 15 Maret tahun 2008 incenerator baru datang dan berdasarkan pengamatan peneliti bahwa cerobong inceneratornya tidak tinggi 5 (lima) meter,

    1 Hasil Analisis Kualitas Udara Emisi Rumah Sakit

    Islam Kota Samarinda.

    pada saat incinerator baru digunakan ternyata mendapat respon dari Rumah Sakit Atma Husada Mahakam Samarinda karena letaknya bersebelahan dengan Rumah Sakit Islam Kota Samarinda sehingga emisi yang dihasilkan oleh incinerator mengarah ke Rumah Sakit tersebut. Namun, saat ini cerobong incinerator Rumah Sakit Islam Kota Samarinda cukup tinggi 13 (tiga belas) meter dan tidak ada lagi respon yang kurang baik dari Rumah Sakit Atma Husada Mahakam Samarinda.

    Pada saat incenerator baru mulai dioperasikan kemudian baru terlihat ada perbaikan yaitu kadar CO (karbon monoksida) menjadi sesuai dengan baku mutu yang ditentukan yaitu 64,0785 mg/Nm3 dan seterusnya membaik hingga sekarang. Pemeriksaan tersebut dilakukan 6 (enam) bulan sekali jadi setahun ada dua kali pemeriksaan. Pada Tahun 2010 pemeriksaan terhadap incenerator dilakukan 3 (tiga) bulan sekali berdasarkan arahan yang diberikan oleh BLH (Badan Lingkungan Hidup) di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda sebagai bentuk pengawasan lingkungan hidup.2

    Dalam Konsiderans Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.42/MENLH/1995, menyatakan Setiap warga negara wajib memelihara daya dukung (carrying capacity) untuk pembangunan yang berkelanjutan atau apa yang disebut dengan sustainable development. Untuk mengatasi masalah pencemaran udara maka Pemerintah, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara seperti yang tertuang dalam Pasal 25, menyatakan Setiap orang, atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.

    Lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi bagi yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tersebut menyebabkan persoalan mengenai pencemaran udara di Kota Samarinda tidak kunjung terselesaikan.

    2 Wawancara dengan Hermansyah, Amd.K.L,

    Koordinator, K3, Kesehatan Lingkungan, Rumah Sakit Islam Kota Samarinda, 2010.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 81

    Pasal 56 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan ini, menyatakan Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan pidana.

    Peraturan Pemerintah tersebut tidak cukup untuk mengatasi pencemaran udara yang pada akhirnya akan menimbulkan pemanasan global. Kerjasama dari Pemerintah Daerah juga menjadi landasan bagi penegak hukum lingkungan dengan dibuatnya Peraturan Daerah dalam mengendalikan pencemaran udara setidaknya akan menjadi kebijakan baru daerah yang dapat menjadi langkah awal untuk mencegah pemanasan global, tidak lupa juga peran dari masyarakat untuk membantu pemerintah daerah untuk mencegah pemanasan global.

    Rumah Sakit Islam Kota Samarinda bekerja sama dengan PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman untuk memeriksa baku mutu emisi udara untuk incenerator menggunakan dasar hukum Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Diketahui bahwa aturan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup3. Berdasarkan Uraian di atas, maka penelitian ini akan membahas tentang efektifitas pengendalian pencemaran udara terhadap pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda. Teori Efektifitas Hukum Efektifitas hukum disebut sebagai bekerjanya hukum dalam masyarakat, Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara Hukum (rechtstaat) dan bukanlah suatu negara kekuasaan belaka (machtstaat), sebagai konsekuensi dari

    3 Ibid.

    kedudukan RI sebagai negara hukum maka setiap tindakan negara, pemerintah dan seluruh warga negara haruslah atas dasar hukum apabila terjadi suatu pelanggaran hukum haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dengan menindak dan menghukum pelanggarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum yang dibuat haruslah dilaksanakan karena aturan hukum yang merupakan rangkaian huruf dan kata-kata mati yang tersusun rapi, tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan. Hal ini tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Paul Scholten bahwa hukum tidak pernah dijalankan pada hakekatnya telah menjadi hukum.4 Pelaksanaan hukum sering disebut sebagai penegak hukum yaitu sebagaimana mewujudkan aturan hukum di dalam kehidupan masyarakat, lebih lanjut dikatakan pula bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, dan yang disebut keinginan-keinginan hukum tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Penegakan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah upaya untuk memenuhi tujuan hukum. Tujuan pokok hukum adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan kesembangan karena dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan dilindungi. Menurut Soekanto untuk berlakunya suatu aturan hukum haruslah memenuhi ketiga unsur kelakuan sebagai berikut:5 1. Hukum berlaku secara yuridis, apabila

    penentuan didasarkan pada kaedah-kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (Hans Kelsen), atau bila terbentuknya menurut cara yang telah ditetapkan (W Zevebergen) atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara satu kondisi dan akibatnya (J.H.A.Logemen).

    4 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni

    Bandung, hlm. 69. 5 Soerjono Soekanto dan R Otje Salman, 1987, Disiplin

    Hukum dan Disiplin Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.

  • 82 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah hukum efektif artinya apabila kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warganya (teori kekuasaan) atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).

    3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita hukum yang tertinggi.

    Dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai suatu sarana pengendalian sosial menyatakan bahwa fungsi hukum yang sangat esensial adalah fungsi untuk menjamin stabilitas dengan fungsi hukum yang sangat esensial adalah fungsi untuk menjamin stabilitas dan kepastian sebagai tujuan utama hukum. selain berfungsi sebagai mekanisme pengendalian social (social control) hukum juga saran perubahan masyarakat. Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa hukum dapat berfungsi dengan baik, maka diperlukan keserasian beberapa faktor sebagai berikut:6 1. Faktor hukumnya (undang-undangnya); 2. Faktor penegakan hukum (pembentukan

    hukum maupun penerapan hukum/petugas);

    3. Faktor sarana dan fasilitas (fasilitas pendukung);

    4. Faktor masyarakat (kesadaran dalam mematuhi aturan);

    5. Faktor kebudayaan (kebiasaan yang berada di lingkungan masyarakat).

    Efektifitas pelaksanaan hukum sangatlah penting, oleh karena hukum itu sendiri hanya merupakan rangkaian huruf-huruf dan kata-kata yang tidaklah mungkin melaksanakan atau menegakkan dirinya sendiri, melainkan harus diimplementasikan oleh orang atau penegak hukum di masyarakat. Memperoleh efektifitas hukum adalah menyangkut pengaruh hukum terhadap masyarakat, dimana intinya adalah perilaku warga masyarakat yang sesuai dengan hukum, kalau warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh hukum, maka dapatlah

    6 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang

    Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.

    dikatakan hukum yang bersangkutan telah efektif. Menurut Selo Soemardjan bahwa untuk efektifnya hukum, ada 3 (tiga) faktor yang sangat berpengaruh di dalamnya, yaitu:7 1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam

    masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi, dan metode agar warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui, dan menaati hukum.

    2. Reaksi masyarakat yang didasari pada sistem nilai yang berlaku, artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi karena compliance, identificasion internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya.

    3. Jangka waktu penanaman hukum, yaitu panjang atau pendek jangka waktu di mana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.

    Selain itu, untuk mengefektifitaskan hukum unsur kesadaran hukum sangatlah penting, bahkan kesadaran hukum terkadang mendapatkan penekanan khusus dalam pelaksanaan hukum dari para penegak hukum, karena kesadaran hukum merupakan faktor esensial dari hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Rumah Sakit Islam Kota Samarinda agar dapat mendukung pelestarian lingkungan hidup sehingga akan timbul kesadaran hukum yang akan berakibat pada meningkatnya mutu udara ambien disekitarnya dan akan berimbas baik pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Hal ini tentunya akan melibatkan Badan Lingkungan Hidup sebagai intansi yang mengawasi usaha seperti Rumah Sakit Islam Kota Samarinda yang bergerak di bidang pelayanan jasa kesehatan agar dapat terus melestarikan lingkungan tanpa pencemaran udara. Pencemaran Udara

    Kerusakan dan pencemaran yang terjadi akibat ulah manusia secara pasti telah ditetapkan Allah SWT melalui firman-Nya dalam Alquran Surah Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan

    7 Soerjono Soekanto, 1986, Sosiologi Suatu

    Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 51.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 83

    manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar kembali (ke jalan yang benar). Selain ketentuan dalam Surah Ar-Rum tersebut, dijumpai pula ketentuan dalam Surah Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi: dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.8

    Berpatokan pada kedua firman Allah SWT di atas, maka secara aksioma dapat dikatakan, kerusakan yang terjadi di muka bumi diakibatkan oleh adanya ulah/perbuatan manusia tersebut. Oleh karena firman Allah (pencipta alam semesta) telah menyebutkan demikian, pernyataan tersebut tidak perlu diragukan atau tidak perlu pembuktian lagi.

    Menurut Danusaputra dalam N.H.T Siahaan, Pencemaran adalah suatu keadaan, di mana suatu zat dan/atau energi diintroduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam keadaan termaksud yang mengakibatkan lingkungan itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan (comfort) dan keselamatan hayati.9

    Menurut Soedjono dalam Y. Eko Budi Susilo Pencemaran adalah perubahan kondisi ekosistem atau tata lingkungan yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing sebagai akibat perbuatan manusia. Benda-benda asing itu dapat berupa sisa-sisa industri, dan sebagainya10. Ditambahkan oleh Soegiarto dalam Y. Eko Budi Susilo, Pencemaran adalah keadaan yang terjadi karena masuknya zat-zat ke dalam tanah, udara dan air, sehingga mengganggu susunan tanah, udara dan air, sehingga mengganggu susunan tanah, udara dan air yang

    8 Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan Di Indonesia

    sebuah Pengantar, Cet 1, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm 169.

    9 NHT Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, hlm 129.

    10 Y.Eko Budi Susilo, 2003, Menuju Keselarasan Lingkungan Memahami Sikap Teologis Manusia Terhadap Pencemaran Lingkungan, Averroes Press, Surabaya, hlm 9.

    mengakibatkan kerusakan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan.11

    Menurut kamus lingkungan Pencemaran Lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.12

    Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, menyatakan Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

    Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.13

    Menurut Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo, pencemaran udara adalah satu atau lebih zat fisik, kimia, atau biologi pada atmosfer dalam ukuran jumlah tertentu yang dapat:14 a. mengganggu dan membahayakan

    kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, b. merusak estetika, c. mengganggu kenyamanan, d. merusak gedung, kantor atau perumahan, e. merusak mobil atau peralatan listrik, dan

    lain sebagainya Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah

    Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, bahwa Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam

    11 Ibid. 12 H.A Mustofa, 2005, Kamus Lingkungan, Rineka

    Cipta, Jakarta, hlm 86. 13 Wisnu Arya Wardhana, 2004, Dampak Pencemaran

    Lingkungan (Edisi Revisi), Andi, Yogyakarta, hlm 27. 14 Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo, 2008, Akankah

    Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global, Penebar Plus, Jakarta, hlm 14.

  • 84 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara tidak dapat memenuhi fungsinya. Jadi, terjadinya pencemaran diakibatkan masuknya zat yang diakibatkan oleh kegiatan manusia atau alam yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan sampai ke tingkat tertentu. Sumber Pencemar Udara

    Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Sumber Pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

    Menurut kamus lingkungan, Sumber Pencemaran adalah setiap kegiatan yang membuang atau mengeluarkan zat atau bahan pencemar, yang dapat berbentuk cair, gas atau partikel tersuspensi dalam kadar tertentu ke dalam lingkungan.15

    Sumber pencemar dapat dibedakan menjadi sumber domestik (rumah tangga) yaitu dari perkampungan, kota, pasar, jalan, terminal, rumah sakit, dan sebagainya, serta sumber nondomestik, yaitu dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi, dan sumber-sumber lainnya. Sedangkan bentuk pencemar dapat dibagi menjadi bentuk cair, bentuk padat dan bentuk gas serta kebisingan.16

    Menurut World Energy Council yang dikutip Supranto dalam Chafid Fandeli sumber pencemaran udara adalah berupa senyawa belerang, nitrogen dan carbon.17

    Ditambahkan oleh Surna Tjahja Djajadiningrat, bahwa sumber pencemaran dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami (natural) dan kegiatan antropogenik. Contoh sumber alami adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu, spora tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran udara akibat aktifitas manusia (kegiatan antropogenik), secara kuantitatif

    15 H.A.Mustofa, Op.cit., hlm. 114. 16 A.Tresna Sastrawijaya, 2000, Pencemaran

    Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 105. 17 Chafid Fandeli, 2004, Analisis Mengenai Dampak

    Lingkungan Prinsip Dasar Dalam Pembangunan, Liberty, Yogyakarta, hlm 4.

    sering lebih besar. Untuk kategori ini sumber-sumber pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dari persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran rumah tangga.18

    Ditambahkan oleh Menurut Hari Sutjahjo dan Gatut Susanta, banyak faktor yang dapat menyebabkan pencemaran udara, di antaranya pencemaran yang ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia atau kombinasi keduanya. Sumber pencemaran udara menurut Hari Sutjahjo dan Gatut Susanta terbagi menjadi tiga (3), yaitu:19 a. Kegiatan manusia

    (1). Transportasi. (2). Industri. (3). Pembakaran (perapian, kompor,

    furnace, incinerator dengan berbagai jenis bahan bakar).

    b. Sumber alami (1). Gunung berapi. (2). Rawa-rawa. (3). Kebakaran hutan. (4). Nitrifikasi dan denitrifikasi biologi.

    c. Sumber-sumber lain (1). Transportasi ammonia. (2). kebocoran tangki klor. (3). Timbulan gas metana dari tempat

    pembuangan sampah. (4). uap pelarut organik

    Menurut Wisnu Arya Wardhana, secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam, yaitu:20 a. karena faktor internal (secara alamiah),

    contoh: (1). debu yang beterbangan akibat tiupan

    angin. (2). abu (debu) yang dikeluarkan dari

    letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik.

    (3). proses pembusukan sampah organik. b. karena faktor eksternal (karena ulah

    manusia), contoh: (1). hasil pembakaran bahan bakar fosil. (2). debu/serbuk dari kegiatan industri. (3). pemakaian zat-zat kimia yang

    disemprotkan ke udara.

    18 Moestikahadi Soedomo, 2001, Kumpulan Karya

    Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara, ITB, Bandung, hlm 4.

    19 Gatut Susanta dan Hari Sutjajo, Op.cit., hlm 15. 20 Wisnu Arya Wardhana, Op.cit., hlm 28.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 85

    Berdasarkan uraian di atas bahwa sumber pencemar adalah suatu kegiatan atau aktifitas manusia yang mengeluarkan bahan pencemar dalam bentuk cair, bentuk padat dan bentuk gas ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

    Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan penyebaran ini sudah barang tentu akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi setempat.

    Udara bersih yang kita hirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih sudah sulit diperoleh. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya (rusaknya) daya dukung alam selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup manusia. Komponen Pencemar Udara

    Pasal 9 ayat (2) BAB V Kegiatan Pengendalian Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 339 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur, menyatakan Untuk setiap usaha di Daerah yang membuang limbah gas ke udara wajib memenuhi baku mutu udara emisi wajib memenuhi baku mutu udara emisi dengan pengertian: a. Baku mutu emisi dari limbah gas ke udara

    tidak melampaui baku mutu udara emisi yang telah ditetapkan dan;

    b. tidak mengakibatkan turunnya kualitas udara. Dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah

    Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 339 Tahun 1988 terdapat 19 (sembilan belas) parameter baku mutu emisi sumber tak bergerak, diantaranya: Oksida Nitrogen, Karbon monoksida, Hidrogen Sulfida, dan lain-lain.

    Menurut Wisnu Arya Wardhana Udara di daerah perkotaan yang mempunyai banyak kegiatan industri dan teknologi serta lalu lintas

    padat, udaranya relatif sudah tidak bersih lagi. Udara di daerah industri kotor terkena bermacam-macam pencemar. Dari beberapa macam komponen pencemar udara, maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen-komponen berikut ini:21 a. Karbon Monoksida

    Karbon monoksida atau CO adalah suatu gas yang tak berwarna, tidak berbau dan juga tidak berasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di bawah -192 derajat C. Gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dengan udara, berupa gas buangan. Karbon monoksida dibuat manusia karena pembakaran tidak sempurna bensin dalam mobil, pembakaran diperindustrian, pembangkit listrik, pemanas rumah, pembakaran di pertanian, dan sebagainya.

    b. Nitrogen Oksida Nitrogen oksida sering disebut dengan NOx karena oksida nitrogen mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO2 dan gas NO. Sifat gas NO2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak berwarna dan tidak berbau. Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung.

    c. Belerang Oksida Gas belerang oksida atau sering ditulis dengan Sox terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif. Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk asam sulfat atau HS2O4. asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi (memakan) benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.

    d. Hidro Karbon Hidrokarbon atau sering disingkat dengan HC adalah pencemar udara yang dapat berupa gas, cairan maupun padatan. Dinamakan hidrokarbon karena penyusun utamanya adalah atom karbon dan atom hidrogen yang dapat terikat (tersusun)

    21 Ibid., hlm. 31-57.

  • 86 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    secara ikatan lurus (ikatan rantai) atau terikat secara ikatan cincin (ikatan tertutup).

    e. Partikel dan lain-lain Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat diartikan secara murni atau sempit sebagai bahan pencemar udara yang berbentuk padatan. Namun dalam pengertian yang lebih luas, dalam kaitannya dengan masalah pencemaran lingkungan, pencemar partikel dapat meliputi berbagai macam bentuk, mulai dari bentuk yang sederhana sampai dengan bentuk yang rumit atau kompleks yang kesemuanya merupakan bentuk pencemar udara.

    Dampak Pencemaran Udara

    Wisnu Arya Wardhana, dalam bukunya yang berjudul Dampak Pencemaran Lingkungan mengungkapkan bahwa dampak pencemaran udara saat ini merupakan masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara industri. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran udara ternyata sangat merugikan. Pencemaran tersebut tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, akan tetapi juga dapat merusak lingkungan lainnya, seperti hewan, tanaman, bangunan gedung dan lain sebagainya.22

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1980, kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai angka kurang lebih 51.000 orang. Angka tersebut cukup mengerikan karena bersaing keras dengan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit lainnya, seperti kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung, kanker, AIDS dan lain sebagainya. Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara akan mencapai angka 57.000 orang per tahunnya. Selama 20 tahun angka kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara naik mendekati 14% atau mendekati 0.7% per tahun. Selain itu kerugian materi yang disebabkan oleh pencemaran udara, apabila diukur dengan uang, dapat mencapai sekitar 12-16 juta US dollar per tahun; suatu angka

    22 Ibid., hlm 114.

    yang sangat berarti untuk kesejahteraan manusia.23

    Dampak pencemaran udara yang diakibatkan oleh masing-masing komponen pencemar udara:24 a. Dampak Pencemaran oleh Karbon Monoksida (CO)

    Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa dan juga tidak berwarna. Oleh karena itu lingkungan yang tercemar oleh gas CO tidak dapat dilihat oleh mata. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu -192 derajat. Di udara gas CO terdapat dalam jumlah yang sedikit, hanya sekitar 0,1 ppm. Di daerah perkotaan dengan lalu lintas yang padat konsentrasi gas CO berkisar antara 10-15 ppm. Sudah sejak lama diketahui bahwa CO dalam jumlah banyak (konsentrasi tinggi) dapat menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan juga dapat menimbulkan kematian. Karbon monoksida (CO) apabila terhisap ke dalam paru-paru akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat racun metabolis, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah. Seperti halnya oksigen, gas CO mudah bereaksi dengan darah (hemoglobin). Keracunan gas monoksida (CO) dapat ditandai dari keadaan yang ringan, berupa pusing, sakit kepala dan mual. Keadaan yang lebih berat dapat berupa menurunnya kemampuan gerak tubuh, gangguan pada sistem kardiovaskular, serangan jantung sampai pada kematian.

    b. Dampak Pencemaran Nitrogen Oksida (NOx) Gas nitrogen oksida (NOx) ada dua macam, yaitu gas nitrogen monoksida (NO) dan gas nitrogen dioksida (NO2). Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat yang sangat berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. Gas NO yang mencemari udara secara visual sulit diamati karena gas tersebut tidak berwarna dan tidak berbau. Sedangkan gas NO2 bila mencemari udara mudah diamati dari baunya yang sangat menyengat dan warnanya coklat kemerahan.

    23 Ibid., hlm 114-115. 24 Ibid., hlm 115-122.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 87

    Pencemaran udara oleh gas NOx menyebabkan timbulnya Peroxy Acetil Nitrates yang disingkat PAN. Peroxy Acetil Nitrates ini menyebabkan iritasi pada mata yang menyebabkan mata terasa pedih dan berair. Campuran PAN bersama senyawa kimia lainnya yang ada di udara dapat menyebabkan terjadinya kabut foto kimia atau Photo Chemistry Smog yang sangat mengganggu lingkungan.

    c. Dampak Pencemaran oleh Belerang Oksida (SOx) Udara yang tercemar SOx menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernafasannya. Hal ini karena gas SOx yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, dan saluran nafas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SOx tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena.

    Menurut Juli Soemirat Slamet dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Lingkungan mengungkapkan bahwa di dalam udara tidak bebas, bahan-bahan yang dapat menimbulkan penyakit lebih banyak jumlah/kadarnya maupun jenisnya dibanding dengan yang ada di dalam udara bebas. Jenis pencemar yang ada di dalam udara bebas sama dengan yang ada di dalam udara tidak bebas, oleh karena itu efeknya terhadap kesehatan juga sama. Ada yang menimbulkan fibrosis, granuloma, asphyxia, kanker, mutan, keracunan sistemik, iritasi, dan demam. Efek pencemar terhadap kesehatan, yaitu:25 1). Efek biologis pencemar fibrosis

    Fibrosis adalah pertumbuhan (growth) jaringan ikat dalam suatu organ dalam jumlah yang berlebih. Penyebab fibrosis terutama adalah silica bebas yang baru terbentuk, besi, Cobalt, Barium, Berylium, Bagasse, Asbest, Talcum, dan Carbon.

    2). Granuloma Granuloma adalah fokus-fokus yang terdiri atas jaringan radang. Sebab utama granuloma adalah jamur, bakteri, parasit, dan Berylium. Misalnya, penyakit Tubercolosis akan menimbulkan granuloma

    25 Juli Soemirat Slamet, 2004, Kesehatan Lingkungan,

    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 66-69.

    pada paru-paru; sama juga halnya dengan granuloma akibat Beryllium, jamur, dan lain-lain parasit. Oleh karenanya, suatu granuloma tidak selalu disebabkan suatu infeksi kuman, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat kimiawi.

    3). Iritan Iritan adalah zat yang dapat menimbulkan iritasi jaringan tubuh. Dari banyak zat pencemar yang bersifat iritan, yang terutama ditemukan dalam udara bebas adalah SO2, Ozon, dan oxida nitrogen. Pencemar yang bersifat iritan sering dijumpai di laboratorium ataupun industri yang memakai pelarut organik yang mudah menguap atau menguap karena adanya proses industri seperti panas.

    4). Demam Demam karena logam ini didapat di antara mereka yang menghirup uap logam. Demam sedemikian dapat mencapai 40 derajat Celcius atau lebih, sangat mirip dengan gejala penyakit infeksi. Demam logam atau disebut pula sebagai metal fume fever seringkali disebabkan terutama oleh mangan, Seng, dan Cobalt. Oleh karena uap logam tadi terhirup, maka akan timbul gejala iritasi tenggorokan, rasa logam dalam mulut, dan beberapa jam kemudian merasa sesak napas, batuk, sakit pinggang, dan penglihatan menjadi kabur dan demam tinggi, menggigil seperti pada penyakit malaria.

    5). Kanker Kanker adalah pertumbuhan sel badan yang cepat dan tidak dapat dikendalikan. Hal ini terjadi karena adanya mutasi sel somatik. Beberapa zat pencemar udara yang bersifat karsinogenik antara lain adalah asbestos, benzidin, zat-zat radioaktif, Chromium, dan konstituen jelaga.

    6). Mutan Mutan adalah hasil proses mutasi yang terjadi pada sel genetik, atau sel pembawa sifat-sifat keturunan. Penyebab mutasi yang mungkin didapat dalam udara antara lain adalah sinar-sinar radioaktif, benzene, dan metal merkuri. Zat-zat pencemar penyebab kanker dan mutasi yang banyak didapat di dalam udara bebas tergolong hidrokarbon dan zat-zat radioaktif.

  • 88 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    7). Asphyxia Asphyxia adalah keadaan dimana darah kekurangan oxigen dan tidak mampu melepas karbon dioxida. Sebab utama asphyxia antara lain adalah gas-gas beracun yang berada di dalam atmosfir CO2, H2S, CO, NH3, dan CH4. Asphyxia terjadi apabila konsentrasi gas pencemar tinggi, sehingga bersifat akut.

    8). Keracunan Sistemik Keracunan sistemik adalah kondisi di mana seluruh tubuh menderita keracunan. Zat penyebab keracunan sistemik, antara lain, adalah timah hitam, Cadmium, Fluor, dan insektisida.

    Limbah Padat Medis

    Semakin berkembang pesatnya sistem kegiatan yang memakai teknologi mutakhir dalam proses produksinya/aktifitasnya, begitu juga dengan kegiatan sosial seperti rumah sakit yang hampir seluruh kegiatannya menggunakan teknologi dan bahan yang dapat mencemari lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar. Bahan-bahan yang beresiko mencemari lingkungan tersebut penggunannya pada proses kegiatan di dalam rumah sakit itu sendiri baik secara medis maupun non medis.

    Rumah sakit memakai bahan-bahan berbahaya dalam prosesnya dan bahan tersebut akan menjadi buangan dari kegiatan rumah sakit yang berbahaya bagi lingkungan termasuk manusia. Adapun jenis buangannya yang bersifat limbah padat dan limbah cair juga terdapat buangan yang bersifat gas, yaitu berasal dari pembakaran (incenerator).

    Kusmanto dalam Sigit Hernowo Rumah Sakit adalah salah satu bentuk aktifitas dari manusia yang merupakan sarana pelayanan kesehatan dan fungsi sebagai tempat untuk perawatan penderita, pendidikan, penelitian yang dalam aktifitas sehari-hari selalu atau menimbulkan limbah.26Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

    26 Sigit Hernowo, 2006, Pelatihan Komprehensif

    Manajemen Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Wana Wiyata, Yogyakarta, hlm 3.

    menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat.

    Lampiran I bagian IV mengenai Pengelolaan Limbah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Pengertian 1. Limbah Rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas. 2. Limbah Padat Rumah Sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan nono medis. 3. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungaan logam berat yang tinggi.

    Pendapat Sigit Hernowo limbah adalah suatu barang yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktifitas manusia maupun proses alami dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena penanganannya untuk membersihkan atau membuang memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah rumah sakit adalah sebagai suatu yang berasal dari aktifitas rumah sakit yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan limbah rumah sakit.27

    Kamus Lingkungan Limbah adalah hasil sampingan dari proses produksi yang tidak digunakan yang dapat berbentuk benda padat, cair, gas, debu, suara, getaran, perusakan, dan lain-lain, yang dapat menimbulkan pencemaran bilamana tidak dikelola dengan benar.28

    Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal 1 angka 21 Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,

    27 Ibid., hlm. 3. 28 H.A Mustofa, Op.cit., hlm. 71.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 89

    baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Pasal 1 angka 23 Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan atau penimbunan.

    Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Menurut Sigit Hernowo, Limbah rumah sakit terbagi menjadi empat yaitu:29 a. Limbah Padat Non Medis

    Sumber: Ruang kantor, pekarangan/tanaman, kafetaria/kantin dan semua unit yang ada di rumah sakit sampah non medis. Jenis: Pembungkus (karton, kertas, plastik, kayu), logam, kaca dan sisa bongkahan, bangkai serangga atau binatang serta sisa makanan.

    b. Limbah Padat Medis Sumber: Ruang pemeriksa, ruang bedah, laboratorium unit perawatan, kamar mayat, ruang obat/apoteker, ruang radiodiagnostik dan radioterapi. Jenis: Kapas, masker, handskum, dahan/sputum, kasa bekas, spuitm jaringan tubuh, rambut, ampul bekas, kateter, wadah specimen, sisa campuran pemeriksaan, reagen laboratorium pengawet, plester, sisa ramuan obat, obat kadaluarsa, pembungkus, radioaktif, spuit untuk radioaktif.

    c. Limbah Cair Sumber: Kelompok perawatan/rawat inap, meliputi: Wastafel, kamar mandi, water closed dan alat medis. Kelompok penunjang perawatan meliputi: Ruang persalinan, ruang bedah, ruang otopsi/mandi mayat, laboratorium, dapur, laundry, kantin. Jenis: Golongan ekskresi manusia: air ludah/spuntum, darah, air seni dan tinja. Golongan tindakan pelayanan: cairan sisa kumur, cairan sisa pembersih luka/infeksi,

    29 Sigit Hernowo, Loc.cit.

    cairan sisa pembersih alat medis. Golongan penunjang: cairan sisa sample, laboratorium, klinik, cairan dari kegiatan dapur, cairan dari unit kendaraan/garasi, buangan dari pembersih lantai, alat penunjang, penguras bak mandi, reservoir, WC dan wastafel.

    d. Limbah Gas Sumber: Tempat parkir, pengoperasian genset/mesin, dan tempat pembakaran sampah/alat medik (incenerator). Jenis: Debu, asap, NO2, SO2.

    Jadi limbah padat medis adalah sisa atau buangan barang yang berasal dari aktifitas rumah sakit yang apabila tidak dikelola dengan benar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Efektifitas Pengendalian Pencemaran Udara

    Lingkungan Hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberadaan makhluk ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai subjek lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting atas kelangsungan lingkungan hidup.

    Menurut teori efektifitas hukum, terdapat beberapa faktor yang memepengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum, diantaranya ialah sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut dan berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

    Berdasarkan teori tersebut sanksi dalam peraturan perundang-undangan memegang peranan yang sangat penting karena efektif tidaknya suatu peraturan akan terlihat dari sanksi yang dikenakan. Dalam hal ini, pelanggaran yang dilakukan Rumah Sakit Islam yaitu dilanggarnya kadar maksimum baku mutu emisi untuk incinerator sebanyak tiga kali, dan belum ada sanksi yang dikenakan kepada usaha tersebut.

    Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau

  • 90 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara amben wajib: a. Menaati baku mutu udara ambien, baku

    mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;

    b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;

    c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

    Pasal ini dapat diartikan bahwa Rumah Sakit Islam Kota Samarinda telah melanggar baku mutu emisi. Pelanggaran terhadap baku mutu emisi yang dilakukan ialah hasil pengelolaan limbah padat medis melebihi kadar maksimum baku mutu emisi untuk incinerator, dan berbahaya bagi masyarakat sekitar Rumah Sakit. Pelanggaran ini dapat dikenakan tindak pidana atau ganti rugi sebagai akibat terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat karena merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak, yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Rumah Sakit Islam Kota Samarinda seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi ke udara ambien wajib menaati baku mutu emisi, hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dirasakan oleh warga yang

    berada di sekitar Rumah Sakit Islam Kota Samarinda. Hasil penelitian dengan menggunakan wawancara terhadap warga sekitar Rumah Sakit Islam Kota Samarinda bahwa ditemukan adanya dampak yang dirasakan yaitu batuk-batuk, pusing dan mual. Warga sekitar Rumah Sakit Islam diwakili oleh Ketua RT 06 pernah menghadap Direktur Rumah Sakit Islam Kota Samarinda yang lama, karena warga merasa terganggu atas pengelolaan limbah padat medis. Namun tidak ada tanggapan terhadap hal ini. Saat ini warga sedang menunggu niat baik dari Rumah Sakit Islam Kota Samarinda untuk segera membenahi lingkungan yang tidak sehat ini dengan melakukan upaya yang dapat mencipatakan lingkungan yang baik dan sehat. Apabila Rumah Sakit Islam belum melakukan pembenahan maka dengan adanya hal ini maka warga dapat menempuh jalur hukum dengan menggugat Rumah Sakit Islam Kota Samarinda untuk membayar kerugian atas dampak yang mereka rasakan selama berjalannya suatu usaha dan/atau kegiatan pengelolan limbah padat medis di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda.30 Penerapan sanksi dilakukan sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Penerapan sanksi Perdata yaitu ganti kerugian dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88

    30 Wawancara dengan warga sekitar Rumah Sakit

    Islam Kota Samarinda.

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 91

    Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Pasal 87 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pasal 88 mengatur mengenai Tanggung Jawab Mutlak bahwa Setiap orang yang tindakkannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Pasal 54 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya, ayat (2) kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan ini, pasal tersebut menyatakan bahwa Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Penegakan hukum pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara tidak dapat dikenakan sanksi mengingat Pasal 124 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 125 menyatakan bahwa pada saat Undang-undang ini berlaku, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ditambahkan Pasal 126 dinyatakan bahwa Peraturan Pelaksanaan yang diamanatkan dalam undang-undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini diberlakukan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009, melihat waktu tersebut bahwa Peraturan Pemerintah tersebut telah melebihi satu tahun namun belum terdengar akan adanya perubahan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dengan adanya kekurangan tersebut efektifitas Peraturan Pemerintah tersebut berkurang karena sanksi pidana dalam Peraturan Pemerintah tersebut masih menggunakan dasar hukum dalam Undang-undang Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi yang diancamkan harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan menurut teori efektifitas hukum, namun dalam hal ini tidak terjadi karena di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menjelaskan secara spesifik sanksi bagi pelanggar baku mutu emisi seperti apa, hanya dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

    Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja

  • 92 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

    Tidak adanya sanksi yang spesifik membahas mengenai pelanggaran baku mutu emisi membuat penegakan hukum pidana menjadi terhambat, ditambah lagi dengan adanya asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Sehingga penegakan pidana menjadi langkah terakhir yang dilakukan. Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku emisi, atau baku mutu gangguan dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Ditambahkan dalam ayat 2 (dua), menyatakan bahwa tindak pidana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Penegakan Hukum di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda sama sekali tidak dilakukan meskipun diketahui terjadinya

    pelanggaran kadar maksimum baku mutu emisi berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan setiap enam bulan sekali yang hasilnya diserahkan kepada Badan Lingkungan Hidup, yang dilakukan BLH hanya teguran lisan kepada Rumah Sakit untuk segera menurunkan kadar maksimum baku mutu emisi sehingga masyarakat sekitar tidak akan terganggu kesehatannya akibat pencemaran udara. Memperoleh efektifitas hukum menyangkut pengaruh hukum terhadap masyarakat, di mana intinya adalah perilaku warga masyarakat yang sesuai dengan hukum, kalau warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh hukum, maka dapatlah hukum yang bersangkutan dikatakan telah efektif. Pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit Islam tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dengan tidak menjalankan kewajibannya menaati baku mutu emisi dalam pengelolaan limbah padat medis. Rumah Sakit Islam Kota Samarinda telah melanggar hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat seperti diamanatkan dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rumah Sakit Islam Kota Samarinda telah melanggar Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib menaati baku mutu emisi. Pelanggaran terhadap hal ini dapat dikenakan sanksi pidana dan ganti rugi karena warga sekitar terkena dampak akibat Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda. Dampak yang dirasakan yaitu merasakan pusing dan mual. Menurut Wisnu Arya Wardhana dalam bukunya Dampak Pencemaran Lingkungan bahwa dampak tersebut merupakan keracunan gas monoksida (CO) yang ditandai dari keadaan yang ringan yaitu berupa pusing, sakit kepala dan mual. Keadaan yang lebih berat berupa menurunnya kemampuan gerak tubuh, gangguan pada sistem kardiovaskular, serangan jantung sampai pada kematian. Saat ini warga

  • Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 9, No. 1 93

    menderita gejala ringan dari keracunan karbon monoksida (CO), oleh karena itu Rumah Sakit Islam Kota Samarinda harus menciptakan lingkungan yang baik dan sehat dalam melakukan pengelolaan limbah padat medis.

    PENUTUP

    Setelah melakukan pengamatan,

    analisis dan pembahasan terhadap data yang dihasilkan selama penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, bahwa Pengendalian Pencemaran Udara di Rumah Sakit Islam Kota Samarinda belum efektif karena Rumah Sakit belum menjalankan kewajibannya yaitu belum menaati baku mutu emisi dalam pengelolaan limbah padat medis Rumah Sakit Islam Kota Samarinda dan telah melanggar Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib menaati baku mutu emisi. Peraturan tersebut merujuk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana tidak menjelaskan secara rinci mengenai batasan emisi yang diperbolehkan atau sesuai dengan baku mutu emisi. Rumah Sakit Islam Kota Samarinda selalu melakukan perbaikan menuju arah yang lebih baik. Saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

    1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

    1999 tentang Pengendalian Pencemaran

    Udara tidak efektif sehingga harus segera

    di revisi dan disesuaikan dengan Undang-

    Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

    Hidup.

    2. Penegak Hukum atau instansi terkait harus

    lebih meningkatkan pengawasan terhadap

    pencemaran udara terhadap pengelolaan

    limbah padat medis.

    3. Rumah Sakit Islam Kota Samarinda harus lebih meningkatkan kesadaran akan lingkungan agar pengelolaan limbah padat medis dapat disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan sehingga emisi yang dihasilkan tidak akan mencemari lingkungan sekitar.

    4. Pemerintah Daerah Kota Samarinda diharapkan agar segera merumuskan Peraturan Daerah mengenai Pengendalian Pencemaran Udara untuk meminimalisir pencemaran udara.

    DAFTAR PUSTAKA Literatur A. Tresna Sastrawijaya, 2000, Pencemaran

    Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta. Chafid Fandeli, 2004, Analisis Mengenai

    Dampak Lingkungan Prisip Dasar Dalam Pembangunan, Liberty, Yogyakarta.

    Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo, 2008, Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global, Penebar Plus, Jakarta.

    H.A.Mustofa, 2005, Kamus Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta.

    Juli Soemirat Slamet, 2004, Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Moestikahadi Soedomo, 2001, Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara, ITB, Bandung.

    Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

    Siahaan, N.H.T, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta.

    Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

    _________________, 1986, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta.

    Soerjono Soekanto dan R Otje Salman,

    1987, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

    Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

    Wisnu Arya Wardhana, 2001, Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta.

    Y. Eko Budi Susilo, 2003, Menuju Keselarasan Lingkungan Memahami Sikap Teologis Manusia Terhadap Pencemaran Lingkungan, Averroes Press, Surabaya.

  • 94 Agustina Wati Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

    Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia

    Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

    Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang

    Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

    Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 339 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan.

    Sumber lain Hernowo Sigit, 2006, Pelatihan

    Komprehensif Manajemen Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

    Hasil Analisis Kualitas Udara Emisi Rumah Sakit Islam Kota Samarinda.