6(2)2010

download 6(2)2010

of 142

Transcript of 6(2)2010

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010) ISSN 0854-4425 ISSN 0854-4425

JURNAL JURNAL BIOLOGI BIOLOGI INDONESIA INDONESIAAkreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 6, No. 2, Juni 2010Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto

BOGOR, INDONESIA

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Dr. Anggoro Hadi Prasetyo

Dr. Izu Andry FijridiyantoDewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi

Sekretariat Oscar efendi SSi MSid/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : [email protected] Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

OBITUARI

Pada tanggal 20 Februari 2010, redaksi Jurnal Biologi Indonesia telah kehilangan seorang Editor Pengelola Dr. ANGGORO HADI PRASETYO yang menghadap Ilahi pada usia 39 tahun 6 bulan. Dr. Anggoro H. Prasetyo adalah staf Puslit Biologi LIPI, seorang ahli taksonomi rayap yang diperkirakan merupakan generasi muda satu-satunya yang mempelajari kelompok serangga tersebut. Sebelum meninggalkan kita semua, beliau dengan penuh semangat telah mengkoreksi isi jurnal ini berikut saran-saran yang harus diperbaiki. Dr.Anggoro H.Prasetyo meninggalkan seorang istri Dr. Marlina ARDIYANI, yang bekerja di Puslit Biologi

LIPI dalam bidang taksonomi tumbuhan dari takson Zingiberaceae, serta dua orang anak laki laki (M. Ammar Zaky dan M. Zuhdi Ali) dan dua anak perempuan (Anisa Zahra dan Aisyah Zafrina Aini).

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010) KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia edisi volume 6 nomer 2 tahun 2010 yaitu memuat 11 artikel lengkap dan sebuah artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Departemen Kementerian Kehutanan, Pertanian, Fakultas MIPA IPB, Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas. MIPA Universitas Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara, Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Bogor dan Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi empat topik dalam bidang Botani, dua topik tentang mikrobiologi satu topik mengenaik hasil perombakan bakteri dan bahan organik lainnya dan lima topik dalam bidang zoologi Beragamnya penulis pada edisi ini yang membahas tiga topik utama yaitu Zoologi, Botani dan Mikrobiologi diharapkan semakin banyak keragaman pembaca dan akhir kata yang diharapkan dari editor jurnal ini akan semakin banyak penulis yang berkeinginan membagi hasil karya penelitiannya dengan menulis ke dalam Jurnal Biologi Indonesia. Editor

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 2, Juni 2010: Dr. Niken TM. Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Ir. Majariana Krisanti MSi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Onrizal MSi, Universitas Sumatra Utara Dr.Tike Sartika, Balitnak, Departemen Pertania, Ciawi bogor Dr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPI Drs. Edi Mirmanto MSc, Puslit Biologi-LIPI Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Drs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPI Drh. Anang S. Achmadi MSc, Puslit Biologi-LIPI Sigit Wiantoro SSi ,MSc Puslit Biologi-LIPI Ir. Dwi Agustiyani MSc, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)DAFTAR ISIIsolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik 237 Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey 255 (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik Dwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin 265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah 277 Penduduk dan Industri Eko Harsono dan Sulung Nomosatryo TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito (Coleoptera, 289

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 153-161 (2010)

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat PapuaRini RiffianiBidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Jakarta Bogor km 46, Cibinong, Email: [email protected]

ABSTRACTIsolation of Bacteria Degrading Phenanthrene in Batanta- Salawati Districts Raja Ampat Papua. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) are important environmental contaminants in soil and water. These compounds have a potential risk to human health, as many of them are carsinogenic and toxic to marine organisms such as diatome, gasthrophode, mussel, and fish. Phenanthrene is one of the hazardous hydrocarbon compounds. The purpose of this research was to characterize microbial strains from Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Island and their ability to remove phenanthrene. Two isolates were identified at their physiological characteristics based on salinity tolerance, pH tolerance and the composition of nitrogen base. Molecular identification based on 16S rRNA gene sequences indicated that bacteria had the highest similarity with Rhodobacteraceae bacterium F9 and Roseobacter sp. RW 37. Rhodobacteraceae bacterium F9 could grow optimum on ONR7a media with 5% salinity and at pH of 5-7,5 while Roseobacter sp. RW 37 could grow optimum on ONR7a media with 2% salinity and at pH of 6,2-7,5. Key words: Phenanthrene, physiological characteristic, molecular identification, Raja Ampat

PENDAHULUAN Berbagai kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transportasi melalui media laut, sering menghasilkan kejadian kebocoran tumpahan minyak ke lingkungan. Tumpahan minyak di laut telah berdampak terhadap pencemaran multidimensi bagi makhluk hayati laut itu sendiri, usaha perikanan, usaha pariwisata, sampai kepada tingkat kerusakan laut (Edwards & White 1999). Kecelakaan tanker pengangkut minyak, tumpahan minyak mentah dari kegiatan eksplorasi minyak bumi sering terjadi di perairan Indonesia, yang memerlukan

perhatian dan tindakan bioremediasi yang lebih optimum dengan memanfaatkan teknologi biostimulasi dan bioaugmentasi. Aplikasi teknologi bioremidiasi memerlukan data dasar diversitas jenis dan fungsi fisiologis mikroba laut. Bakteri mampu mendegradasi bahan kimia berbahaya dalam lingkungan menjadi air dan gas yang tidak berbahaya (CO 2) (Vidali 2001). Menurut Yamikov et al. (2004), bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi banyak ditemukan di laut. Beberapa bakteri yang diketahui dapat mendegradasi senyawa PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) dalam minyak bumi antara lain 153

Rini Riffiani

Cycloclasticus, Marinobacter, Pseudomonas, dan Sphingomonas (Kasai et al.2002). Phenanthrene merupakan salah satu dari senyawa PAH yang berpotensi sebagai zat karsinogen dan bersifat racun terhadap biota laut seperti diatom, gastropoda, remis, serta ikan (Ouyang 2006; Sack et al. 1997). Kepulaun Raja Ampat merupakan kawasan tropis dengan produktivitas ekosistem yang tinggi, yang mempunyai peran sentral dalam menjaga ekosistem dunia. Batanta dan Salawati merupakan pula u yang masuk dalam wilayah Kepulaun Raja Ampat. Kepulaun ini terletak antara pulau Halmahera dan Papua. Kawasan ini merupakan pulaupulau yang berbatasan dengan kawasan Wallacea dan dikenal memiliki kekayaan hayati laut sangat tinggi. Ekosistem Raja Ampat telah mengalami perubahan dengan adanya kegiatan penambangan, penyelundupan kayu ilegal melalui kepulauan Raja Ampat oleh sejumlah kapal asing, dan ekploitasi sumber daya perairan. Hampir 99 % mata pencaharian warga kepulauan Raja Ampat di laut, dan umumnya warga setempat memiliki kendaraan laut yang menggunakan bahan bakar minyak yang dapat mencemari perairan laut (Kadarusman 2007). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bakteri yang dapat mendegradasi senyawa phenanthrene di pulau Batanta-Salawati kepulauan Papua Raja Ampat. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh bakteri unggulan yang dapat digunakan sebagai landasan untuk pengembangan teknologi bioremidiasi hidrokarbon di lepas pantai.

BAHAN DAN CARA KERJA Sampling Sampel penelitian diambil dari Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat pada tanggal 21 April-11 Mei 2008. Kordinat geografi astronomi dari lokasi pengambilan sampel adalah S: 00.18.865 E: 130.55.17 dan sampai S: 00.19.189 E: 130.066 (Gambar 1). Sampel yang dikumpulkan berupa air laut. Untuk menghindari terjadinya degradasi jumlah bakteri dan kematian bakteri pada sampel, dilakukan metode pengayaan (enrichment). Media pengayaan yang digunakan adalah medium artificial seawater mineral salt medium (ONR7a) yang mengandung phenanthrene (1000 ppm). Komposisi media ONR7a per liter: 22,79 g NaCl, 3,99 g Na2SO4, 0,72 g KCl, 83 mg NaBr, 31 mg NaHCO3, 27 mg H3BO3, 2.6 g NaF, 0,27 g NH4Cl, 83 mg Na2HPO4 , 1,3 g TAPSO, 11,18 g MgCl2, 1,46 g CaCl2, 24 mg SrCl2, 2 mg FeCl2 (Sheryl et al.1995). Pengayaan dilakukan dengan cara menambahkan 100 L sampel air laut pada tabung (PCR tube) yang telah berisi 2 ml medium enrichment secara aseptik dan dilakukan langsung di lapangan setelah pengambilan sampel. Sampel kemudian disimpan pada suhu ruang 27280C. Isolasi bakteri pendegradasi phenanthrene Bakteri pendegradasi phenanthrene diisolasi pada medium minimum agar ONR7a dengan menggunakan metode sebar (spread). Medium yang telah

154

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel

diinokulasikan kemudian disublimasi dengan cara memanaskan senyawa phenanthrene pada suhu optimum yaitu 100C selama 10 menit. Kondisi demikian menyebabkan senyawa tersebut menguap, lalu tertangkap pada medium yang diberi pendingin berupa batu es (Gambar 2). Pemberian batu es di atas medium yang telah diinokulasi untuk mencegah mencairnya medium agar karena terkena uap panas senyawa phenanthrene. Medium yang telah disublimasi kemudian diinkubasi selama 7 hari pada temperatur 300C. Bakteri yang dapat mendegradasi senyawa phenanthrene ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni. Pemurnian Biakan Potensial Pendegradasi Phenanthrene Isolat yang tumbuh dalam zona bening kemudian diisolasi secara aseptik dan diinokulasikan kembali ke medium ONR7a. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 30 0 C selama 24-72 jam. Kemurnian biakan diuji dengan diinokulasikan kembali pada medium kaya, yaitu marine agar. Media marine agar mengandung 5 gr pepton, 1 gr yeast ex-

tract, 0,1 gr ferric citrate, 19,45 gr sodium chloride, 8,8 gr MgCl, 3,24 gr sodium sulfate, 1,88 gr calcium chloride, 0,55 pottasium chloride, 0,16 gr sodium bicarbonate, 15 gr agar, 34 mg stronsium chloride, 22 mg boric acid, 4 mg sodium sillicate, 2,4 mg sodium flouride, 1,6 gr ammonium nitrat, dan 8 mg disodium phosfate. Pengujian Konfirmasi Pengujian konfirmasi bertujuan untuk memastikan kemampuan biak terseleksi dalam mendegradasi phenanthrene. Isolat terseleksi diinokulasikan kembali pada medium ONR7a, dan disublimasi kembali dengan senyawa phenanthrene. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 300 C selama 24-72 jam. Pembentukan zona bening pada medium ONR7a kemudian diamati. Zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni menandakan bahwa isolat tersebut mampu mendegradasi senyawa phenanthrene. Pengujian Pengaruh Salinitas dan pH Terhadap Isolat Terpilih Pengaruh salinitas dan pH terhadap pertumbuhan isolat SL49 dan B29 dilakukan dengan cara menumbuhkan kedua isolat dalam medium ONR7a 155

Rini Riffiani

Gambar 2. Teknik sublimasi untuk isolasi mikroba pendegradasi PAHs

dengan variasi salinitas (NaCl) 0%, 2%, 5%, dan 10% serta variasi pH 5, 6,2, 7, dan 10. Kultur diinkubasi pada shaker inkubator dengan suhu 30 0 C dan kecepatan 100 rpm selama 4 hari. Pengukuran pertumbuhan mikroba (OD) dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengukuran dilakukan setiap 4 jam dan 16 jam. Penelitian yang dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap, dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode Analysis of Varian (ANOVA) pada taraf nyata 5% dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan program SPSS versi 12. Identifikasi dan Analisis Filogenetik. Identifikasi dilakukan secara molekular dengan 16S rDNA. Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekuensing. Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar 25 L dengan menggunakan Primer 9F (5GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan

1510R (5 GGCTACCTTGTTACGA CTT) . Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary. Analisis Filogenetik menggunakan program multiple aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining. Konstruksi jarak evolusi dalam derajat kepercayaan menggunakan bootstrap value pada program NJ plot. HASIL Penapisan mikroba pendegradasi senyawa penanthrene Hasil isolasi bakteri pendegradasi penanthrene menggunakan metode sublimasi terlihat dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni. Setelah dipurifikasi ditemukan 2 isolat, yaitu SL49 dan B29. Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Isolat Terseleksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum bakteri SL49 terjadi pada medium dengan salinitas (NaCl) 2% (Gambar 3A), sedangkan

156

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

pertumbuhan isolat B29 berada pada kisaran salinitas lebih luas dibandingkan SL49, yaitu pada kisaran salinitas 2-10%, dengan pertumbuhan optimum terjadi pada salinitas (NaCl) 5% dengan setelah diinkubasi selama 28 jam (Gambar 3B). Berdasarkan uji statistik terjadi perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bakteri SL 49 dan B29 dengan perlakuan dengan variasi salinitas pada taraf uji 0,05. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan Isolat Terpilih Hasil pengujian pH terhadap pertumbuhan menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum bakteri SL49 terjadi pada pH normal, yaitu pada kisaran 6,2-7,5 (Gambar 4A). Pada pH asam (pH 5) dan pH basa (pH 10) pertumbuhan bakteri terlihat kurang optimal. Pertumbuhan bakteri B29 memiliki kisaran pH yang lebih luas dibandingkan dengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5. Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29 memiliki toleransi terhadap pH dan salinitas yang lebih luas dibandingkan bakteri SL49 (Gambar 4B). BerdasarkanA) B)

uji statistik terjadi perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bakteri SL49 dan B29 dengan perlakuan dengan variasi pH pada taraf uji 0,05. Identifikasi dan Analisis Filogenetik Isolat Terpilih Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat B29 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Rhodobacteraceae bacterium F9 dengan persentase tingkat kesamaan 100% dan urutan nukleotida yang dapat dideteksi mencapai hingga 1026 bp. Sedangkan bakteri dengan kode isolat SL 49 mempunyai tingkat kesamaan dengan Roseobacter sp. RW 37 dengan tingkat kesamaan 99% dan nukleotida yang dapat dideteksi mencapai 910 bp. PEMBAHASAN Terbentuknya zona bening di sekeliling koloni bakteri menunjukkan bahwa koloni bakteri tersebut dapat menggunakan senyawa phenanthrene

Gambar 3. (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL 49; (B) B 29 dalam medium ONR7 dengan variasi salinitas

157

Rini Riffiani

sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhannya. Oleh karena media ONR7a merupakan media minimum mineral, setelah sumber karbon dari medium digunakan untuk pertumbuhan habis, maka bakteri akan menggunakan senyawa kar bon aromatik yaitu phenanthrene sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri (Sheryl et al. 1995). Menurut Iwabuchi & Harayama. (1997), biodegradasi senyawa PAH diawali dengan masuknya atom oksigen (reaksi oksidasi) ke dalam inti aromatik. Reaksi ini dikatalisis oleh multikomponen dioksigenase. Senyawa PAH yang teroksidasi akan membentuk prekursor intermediet dari siklus asam sitrat. Sebagai produk dari siklus tersebut pada akhirnya akan terbentuk air dan karbon dioksida. Senyawa phenanthrene dapat didegradasi secara sempurna oleh bakteri menjadi air dan karbon dioksida melalui salah satu dari dua jalur yang ada, yakni jalur o-phthalat dan salisilat (Iwabuchi & Harayama 1997). Kedua jalur tersebut melalui senyawa intermediet yang sama, yaitu 1-hydroxy-2-napthoic acid.A) B)

Bakteri Aeromonas dan Nocardioides sp. strain KP7 mendegradasi senyawa phenanthrene melalui jalur o-phthalat, sedangkan bakteri Burkholderia cepacia F297 melalui jalur salisilat (Iwabuchi & Harayama 1997; Mrozik et al.2002). Serangkaian reaksi yang terjadi dalam proses biodegradasi senyawa phenanthrene baik melalui jalur o-phthalat maupun salisilat dapat dilihat pada. Menurut Anthoni (2006), NaCl sangat mempengaruhi salinitas air laut, karena konsentrasinya paling dominan dibandingkan dengan senyawa lainnya. Air laut dengan salinitas 3,5% mengandung sekitar 85,62% NaCl, artinya konsentrasi senyawa NaCl di dalam air laut sebesar 3%. Oleh karena itu, bakteri SL49 dapat tumbuh optimum pada medium dengan salinitas (NaCl) 2%, karena konsentrasi NaCl yang terkandung di dalamnya hampir menyerupai habitat aslinya (air laut) yaitu sebesar 3%. Pertumbuhan isolat B29 berada pada kisaran salinitas lebih luas dibandingkan SL49, yaitu pada kisaran salinitas 2-10%, dengan pertumbuhan

Gambar 4 (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL49; (B) B29 dalam medium ONR7a dengan variasi pH

158

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

optimum terjadi pada salinitas (NaCl) 5% dengan OD 1,396 setelah diinkubasi selama 28 jam (Gambar 3B). Hal ini diduga stabilitas membran, aktivitas enzim, maupun mekanisme transpor aktif bakteri ini tidak terganggu oleh kenaikan konsentrasi Na+. Menurut Kogure et al. (1991), sebagian bakteri laut memiliki ketergantungan terhadap ion Na+ untuk menjaga stabilitas membran, aktivitas enzim, dan mekanisme tranpor aktif. Pertumbuhan bakteri B29 memiliki kisaran pH yang lebih luas dibandingkan dengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5. Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29 memiliki toleransi terhadap pH dan salinitas yang lebih luas dibandingkan bakteri SL49 (Gambar 4A dan 4B). Hal

ini menunjukkan bahwa bakteri SL49 memiliki pH optimum untuk pertumbuhan sesuai dengan pH habitat asli dari bakteri laut, yaitu sekitar 7-8,5 (Peter 2003). Hasil analisis menampilkan pohon filogeni kedua isolat bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Pohon filogeni tersebut menunjukkan bahwa B29 adalah Rhodobacteraceae bacterium F9 dan bakteri SL49 adalah Roseobacter sp. RW 37 memiliki kekerabatan yang dekat. Kedua kelompok tersebut termasuk ke dalam kelompok -Proteobacteria. Mikroba laut dari kelompok Sub klas Proteobacteria merupakan mikroba laut terkultur yang mempunyai peran dalam proses bioremediasi senyawa toksik seperti senyawa PAH (Polycyclic

Gambar 5. Pohon kekerabatan 2 bakteri potensial pendegradasi phenanthrene yaitu B29 (Rhodobacteraceae bacterium F9) dan bakteri SL49 (Roseobacter sp. RW 37) dengan kelompok luar sebagai pembanding Microbacteriaceae bacterium yang dianalisis dengan program BioEdit. Tingkat ketelitian dendogram ditentukan melalui nilai bootstrap dengan pengulangan 1000 kali.

159

Rini Riffiani

Aromatic Hydrocarbon) yang banyak terdapat pada bahan bakar fosil terutama minyak bumi (Kasai et al. 2002) KESIMPULAN Dua bakteri pendegradasi senyawa phenanathrene dari kepulauan Raja Ampat telah diisolasi, masing-masing adalah Roseobacter sp. RW 37 dan Rhodobacteraceae bacterium F9. Keduanya merupakan kelompok Proteobacteria. Pertumbuhan optimum Roseobacter sp. RW 37 berlangsung pada salinitas 2% dan pada kisaran pH 6,2-7,5 sedangkan Rhodobacteraceae bacterium F9 pada salinitas 5% dan pada kisaran pH 5-7,5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Sunarko, Dr. I Made Sudiana, Dra. Nunik Sulistinah, Arif Nurkanto S. Si, yang telah memberikan kontribusi yang besar selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anthoni, FJ. 2006. The Chemical Composition of Seawater. http:/ /www.seafriends.orgnz/oceano/ seawater.htm Edward, R.& I.White. 1999. The Sea Empress Oil Spill.Environmental Impact and Recovery. Proceeding of International Oil Spill Conference. American Petroleum Institute Washington DC.

Iwabuchi, T.& S. Harayama. 1997. Biochemical and Genetic Characterization of 2-Carboxybenzaldehyde Dehydrogenase, an Enzyme Involved in Phenanthrene Degradation by Nocardioides sp. Strain KP7. J. Bacteriology. 179: 6488-6494. Kadarusman, 2007. Studi Awal Pengeboman Ikan di Raja Ampat, Suatu Ancaman Megadiversitas Jantung Segitiga Karang Dunia. Factsheet Apsor: www.apsordkp. com. Akademi Perikanan SorongDKP. Sorong, Papua Barat. Kasai, Y, H. Kishira, & S. Harayama. 2002. Bacteria Belonging to the Genus Cycloclasticus Play a Primary Role in the Degradation of Aromatic Hydrocar bons Released in a Marine Environment. Appl.& Envi. Microbiology. 56255633. Kogure, K, O. Suwan, K. Ohwada, & U. Simidu. 1991. Correlation between Possession of a Respiration-Dependent Na+ Pump and Na+ Requirement for Growth of Marine Bacteria. Appl.& Envi.Microbiology. 57. 18441846. MacLeod, RA. 1965. The Question of the Existence Specific Marine Bacter ia. Bacteriological Review, 29 (1). Mrozik, A., Z. Piotrowska-Seget & S. Labuzek. 2002. Bacterial Degradation and Bioremediation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Polish Journal of Envir. Studies 12: 15-25.

160

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Ouyang, Jun. 2006. Phenanthrene Pathway Map. http://umbbd.msi. umn. edu/pha/phamap. html Peter L., JA.Musick & Jeanette Wyneken. 2003. The Biology of Sea Turtles. II: 420.CRC Press LLC. Sack, U, MH.Thomas, D. Joanna, EC. Carl, M. Rainer, Z. Frantisek & F. Wolfgang 1997. Comparison of Phenanthrene and Pyrene Degradation by Different Wood-Decaying Fungi. Appl.& Envi. Microbiolog. 63: 3919-3925. Yamikov, MM., Laura G., Renata D., Ermanno C., Tatiana N. C., WolfRainer A., Heinrich L., Kenneth N. Timmis & Peter N. Golyshin. 2004. Thalassolituus oleivorans

gen. nov., sp. nov., a Novel Marine Bacterium That Obligately Utilizes Hydrocar-bons. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 141148 Sheryl, E Dykstershouse, JP. Gray, RP. Herwig, Canolara & JT. Staley. 1995. Cycloclasticus pugetii gen. Nov, sp. Nov, on Aromatic Hydr oca rbon-Degra ding Bacterium from Marine Sadiments. International Journal of Systematic Bacteriology. 116123. Vidali, M. 2001. Bioremediation and Overview. Pure and Applied. Chemistry.IUPAC, Vol. 73, 7: 11631172.

Memasukkan: Mei 2009 Diterima: Desember 2009

161

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172 (2010)

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006OnrizalDepartemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara ABSTRACT Land-cover change of mangrove forests at eastern coast of North Sumatra in Period 1977 to 2006. Mangrove is one of the worlds threatened major tropical environments. Nevertheless, activities that contribute to this depletion continue. The main objectives of this research were to analyze the land cover change of mangrove forests in eastern coastal of North Sumatra based on previous inventory in period 1997 to 2006 and to acquire the factors of mangrove disturbance in the areas. In fact, mangrove forest areas in eastern coastal of North Sumatra decreased 59.68% from 103,425 ha in 1977 to 41,700 ha in year 2006. Expansion of aquaculture ponds and extraction of timber and fuel wood were most important factors of mangrove forest degradation in the areas. Therefore, we need to rehabilitate the degraded mangrove forests in the area both massively and systematically, and to prevent the remaining mangrove forests from destruction activities. Keywords: mangroves, land-cover change, North Sumatra

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994), sedangkan di Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha (Ditjen INTAG1993). Dengan demikian, luas hutan mangrove Indonesia hampir 50% dari luas mangrove Asia dan hampir 25% dari luas hutan mangrove dunia. Hutan mangrove sebagai salah satu lahan basah di daerah tropis dengan akses yang mudah serta kegunaan komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi telah menjadikan sumberdaya tersebut sebagai sumberdaya tropis yang

terancam kelestariannya (Valiela et al. 2001; Onrizal 2005) dan menjadi salah satu pusat dari isu lingkungan global. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem tersebut (Dave 2006, Primavera 2005). Dalam kurun waktu 25 tahun, hutan mangrove dunia hilang sebesar 35% (Valiela et al. 2001) dan hutan mangrove Indonesia yang rusak mencapai 57,6% (Ditjen RLPS 2001). Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya, namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus meningkat. Data luas dan perubahan luas hutan mangrove menjadi salah satu topik 163

Onrizal

penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya secara lestari. Namun banyak terdapat kesimpangsiuran data, sehingga seringkali sulit dijadikan dasar dalam perencanaan. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian yang secara khusus menganalisis perubahan penggunaan lahan hutan mangrove, baik dari hutan primer ke hutan sekunder, maupun dari hutan mangrove ke bentuk penggunaan lahan selain hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara berdasarkan hasil inventarisasi mangrove yang telah dilakukan serta faktor penyebabnya. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan utama penelitian ini berupa hasil inventarisasi hutan mangrove di pesisir Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat 4 (empat) hasil inventarisasi mangrove di wilayah kajian dengan metode pendekatan yang sepadan, yakni tahun 1977 (Bakosurtanal 1977 dalam ITTO & Ditjen RLPS 2005), 1988/1989 (ODA & Dirjen Perikanan 1993), 1997 (Ditjen RRL 1997), dan 2006 (BP DAS Asahan Barumun 2006; BP DAS Wampu Sei Ular 2006). Keempat hasil inventarisasi tersebut dipilih karena metode inventarisasi yang digunakan hampir sama, yakni menggunakan data penginderaan jauh sebagai data dasar, sehingga bisa dibandingkan. Hasil inventarisasi dan peta yang dihasilkan dala m kajian tersebut kemudian ditumpangtindihkan untuk mengetahui perubahan tutupan hutan mangrove, khususnya di pesisir timur Sumatera Utara untuk kurun waktu 1977-2006. 164

Spesifikasi metode dan cakupan wilayah kajian yang digunakan untuk tutupan hutan mangrove dalam empat pengukuran berbeda dalam kurun waktu 1977-2006 adalah sebagai berikut: a.1977 oleh Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005) menggunakan Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara b.1993 oleh ODA & Dirjen Perikanan (1993) menggunakan Peta RePProT tahun 1988 dan sejumlah seri peta tanah BPPP tahun 1990 untuk pesisir timur Sumatera Utara c.1977 oleh Ditjen RRL (1997) menggunakan Peta Citra Landsat TM tahun 1997 dan Peta Landsystem. untuk pesisir timur Sumatera Utara d. 2006 oleh dua instansi, yaitu BP DAS Asahan Barumun (2006) untuk pesisir Asahan dan Labuhan Batudan dan BP DAS Wampu Sei Ular (2006) untuk pesisir timur Langkat, Deli Serdang. Kegiatan inventarisasi tahun 2006 ini menggunakan Peta Citra Landsat TM tahun 2005 atau 2006 dan Peta Landsystem. Hasil tumpang tindih peta landsat TM dan Peta Landsystem oleh Dirjen RRL (1997) menunjukkan bahwa hutan mangrove di Sumatera terdapat di 2 (dua) sistem lahan, yakni KJP (kajapah) dan PTG (puting), namun hasil tumpang tindih Peta Landsat TM dan Peta Landsystem oleh BP DAS Asahan Barumun (2006) dan BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan bahwa hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara selain terdapat pada dua sistem lahan tersebut, juga dijumpai pada sistem lahan KHY (kahayan). Namun agar bisa dibanding-

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

kan, perubahan penutupan lahan antara 1997 dan 2006, hanya menggunakan luasan hutan mangrove pada sistem lahan KJP dan PTG. Penggunaan kedua sistem lahan tersebut (KJP dan PTG) tersebut juga sebanding dengan sebaran hutan mangrove hasil inventarisasi tahun 1977 oleh Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005) dan tahun 1988/1989 oleh ODA & Dirjen Perikanan (1993). Selanjutnya pengecekan lapangan terhadap hasil tumpang tindih peta-peta hasil inventarisasi untuk validasi pada setiap perwakilan penutupan lahan. Hasil validasi tersebut juga untuk mengetahui penyebab kerusakan atau perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. HASIL Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Mangrove Hasil interpretasi Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara menunjukkan pada tahun 1977 terdapat sekitar 103,415 ha hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Sebagian besar (89.093 ha atau 86,2%) hutan mangrove tersebut berupa hutan mangrove primer dan sisanya (14.322 ha atau 13,8%) sebagai hutan mangrove sekunder. Berdasarkan administrasi pemerintahan, sebagian besar hutan mangrove tersebut terdapat di Kabupaten Langkat dengan luas sebesar 45.909 ha (44,4%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (21.051 ha atau 20,4%), Kabupaten Asahan (18.785 ha atau 18,2%) dan paling kecil luasannya

pada Kabupaten Labuhan Batu (17.670 ha atau 17,1%) (Tabel 1). Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dalam 4 kali pengukuran berbeda (1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yakni sebesar 14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Sebaliknya penggunaan lahan selain hutan mangrove yang pada tahun 1977 tidak dijumpai, kecuali tambak sebesar (308 ha), pada tiga pengukuran berikutnya terus meningkat, yakni 16.469 ha pada tahun 1988/1998, 50.247 ha pada tahun 1997, dan 61.746 pada tahun 2006 (Gambar 1). Penggunaan lahan hutan mangrove menjadi selain hutan mangrove adalah konversi untuk areal pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989 disajikan pada Tabel 2. Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Mangrove Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas 165

Onrizal

Tabel 1. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove dari tahun 1977 s.d. tahun 2006 di pesisir timur Sumatera UtaraKabupaten Langkat Tipe Penggunaan Lahan HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM 1977a 42.208 3.701 45.909 17.897 3.154 21.051 308 15.563 3.222 18.785 13.425 4.245 17.670 89.093 14.322 103.415 308 Luas (ha) pada Tahun 1988/1989b 1997c 36.175 4.314 40.489 5.450 11.116 7.249 18.365 2.686 7.633 5.070 12.703 6.082 7.274 10.100 17.374 2.251 62.198 26.733 88.931 16.469 10.000 25.300 35.300 10.639 387 11.010 11.397 9.654 3.904 898 4.801 13.984 1.700 1.700 15.970 14.290 38.908 53.198 50.247 2006d, e 2.711 17.916 20.627 25.313 1.125 15.392 16.517 4.534 2.305 2.305 16.480 2.251 2.251 15.419 3.836 37.864 41.700 61.746 % Perubahan Luas* 1988/1989 1997 2006 (14,29) 16,56 (11,81) 11,87 (37,89) 129,84 (12,76) 12,76 (50,95) 57,36 (32,38) 32,38 (45,82) 137,93 (1,68) 12,74 (30,19) 86,66 (14,01) 15,92 (76,31) 583,60 (23,11) 23,17 (97,84) 249,08 (45,86) 45,86 (74,92) (72,14) (74,44) 74,44 (100,00) (59,95) (90,38) 90,38 (83,96) 171,66 (48,56) 48,59 (93,58) 384,08 (55,07) 55,14 (93,71) 388,02 (21,54) 21,54 (100,00) (28,46) (87,73) 87,73 (100,00) (46,98) (87,26) 87,26 (95,69) 164,37 (59,68) 59,71

Deli Serdang (+ Serdang Bedagai) Asahan

Labuhan Batu

Total

Keterangan: HM = hutan mangrove; Tot. HM = total hutan mangrove; Non-HM = penggunaan lahan selain hutan mangrove pada lahan yang sebelumnya berupa hutan mangrove. * = dibandingkan dengan tahun 1977, angka dalam tanda kurung menunjukkan luas tipe lahan tersebut berkurang dibandingkan dengan tahun 1977. Pustaka: a = Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005), b = ODA & Dirjen Perikanan (1993), c = Ditjen RRL (1997) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahan mencakup landsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystem KJP], d = BP DAS Wampu Sei Ular (2006) [Catatan: Kegiatan ini mencakup Kab. Langkat, Kab. Deli Serdang, dan Kab. Serdang Bedagai. Dalam perhitungan, data Kab. Serdang Bedagai digabung dengan data Kab. Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Dalam kajian ini mencakup 3 landsystem, yakni KJP, PTG dan KHY, namun karena penghitungan luas penggunaan lahan mangrove tidak dipisah, maka luasan pada tahun 2006 mencakup ketiga landsystem tersebut], e = BP DAS Asahan Barumun, (2006) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahan mencakup landsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystem KJP. Pada kegiatan inventarisasi ini, hutan mangrove juga dijumpai pada landsystem KHY dengan luasan tutupan mangrove sebesar 19.366,1 ha dari 87.837,1 ha luas total landsystem KHY di Kab. Asahan dan 4.485,4 ha dari 119.909.5 ha luas total landsystem KHY di Kab. Labuhan Batu, namun tidak dimasukkan dalam perhitungan ini, karena luasan pada landsystem KHY tersebut tidak termasuk pada perhitungan luasan mangrove pada inventarisasi mangrove pada tahuntahun sebelumnya].

166

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

120000 HMP 100000 HMS THM NHM

80000 Luas (ha)

60000

40000

20000

0 1977 1988/89 Tahun 1997 2006

Gambar 1. Perubahan tutupan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Luas total hutan mangrove (THM), hutan mangrove primer (HMP) terus menurun dalam kurun waktu 1977/2006. Sebaliknya luas hutan mangrove sekunder (HMS) dan areal non hutan mangrove (NHM) karena konversi hutan mangrove terus bertambah dalam kurun waktu yang sama.

penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 ha (Tabel 2), namun pada tahun 1988/ 1989, areal tambak menyebar dan bertambah pada daerah lain di pesisir timur Sumatera Utara, yakni sebesar 10.333 ha atau bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%), Kabupaten Asahan (1.053 ha atau 10,19%) dan sisanya di Kabupaten Labuhan Batu (hanya 32 ha atau 0,31%).

Hasil inventarisasi BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan areal tambak di Kabupaten Langkat meningkat menjadi 7.397,47 ha, di Kabupaten Deli Serdang menjadi 4.842,95 ha. Areal mangrove di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu pada tahun 2006 juga meningkat dibandingkan tahun 1988/ 1989, yakni secara berturut-turut menjadi 1.106,50 ha dan 2.555,00 ha (BP DAS Asahan Barumun 2006). Dengan demikian, areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 ha dalam kurun waktu 17 tahun. Luas tambak tahun 2006 ini tidak termasuk areal yang tambak yang berada di sistem lahan KHY yang mencapai 9.189,50 ha karena pada inventarisasi tahun-tahun sebelumnya tidak dihitung.

167

Onrizal

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989Dampak terhadap tutupan hutan mangrove/penggunaan lahan antara tahun 1977 dan 1988/1989 Hutan sekunder di lahan bekas hutan primer Hutan sekunder di bekas lahan garapan Hutan gundul di bekas hutan primer Hutan gundul di bekas hutan sekunder Tambak yang sudah ada tahun 1977 Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan primer Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan sekunder Tambak udang yang berlokasi di bekas lahan garapan Luas total perubahan dari hutan primer dan hutan belukar sekunder Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan primer Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan sekunder Areal hutan primer dalam luasan < 50 ha Areal hutan sekunder dalam luasan < 50 ha Langkat 1.127 1.262 72 5 0 2.394 835 1.233 3.229 1.104 1.281 1.261 315 Deli Serdang 1.060 3.097 112 43 308 3.078 696 1.012 3.774 1.184 403 1.329 1.080 Asahan 2.879 1.098 249 0 0 808 108 137 916 3.505 2.444 477 423 Labuhan Batu 4.461 2.363 106 22 0 14 18 0 32 1.218 913 328 16 Total 9.527 7.820 539 70 308 6.294 1.657 2.382 7.951 7.011 5.041 3.395 1.834

PEMBAHASAN Secara umum di pesisir timur Sumatera Utara, pengurangan luasan huta n mangr ove pr imer maupun pengurangan areal hutan mangrove menjadi areal selain hutan mangrove terus terjadi. Hilangnya hutan mangrove di Kabupaten Langkat menyumbang kontribusi terbesar berkurangnya hutan mangrove di Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977 s.d. 2006, yakni sebesar 25.313 ha (41,0%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Asahan sebesar 16.480 ha (26,7%) 25,0% dan Kabupaten Labuhan Batu sebesar 15.419 ha serta yang paling kecil pada Kabupaten Deli Serdang sebesar 4.534 ha (7,3%). Berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove secara umum belum mampu 168

mengurangi laju ker usakan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Pada pesisir Kabupaten Labuhan Batu seluruh hutan mangrove primer tidak dijumpai lagi sejak tahun 1997 dari luas awal tahun 1977 sebesar 13.423 ha. Kondisi hilangnya hutan mangrove primer juga terjadi di Kabupaten Asahan, yakni dari luasan sebesar 15.563 ha pada tahun 1997 dan hilang seluruhnya pada tahun 2006 (Gambar 2) berubah menjadi hutan mangove sekunder atau areal selain mangrove. Dalam skala kecil, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove atau suksesi alami mampu mengurangi areal non hutan mangr ove menjadi hutan mangrove. Dalam periode 1997-2006 di Labuhan Batu pada sistem lahan yang sama terjadi penambahan areal hutan

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

mangrove sebesar 551 ha yang diduga disebabkan oleh kegiatan rehabilitasi maupun suksesi alami. Hutan mangrove di Deli Serdang dalam kurun waktu yang sama juga bertambah sebesar 5.120 ha, namun hal ini kemungkinan besar berasal dari tambahan hutan mangrove dari sistem KHY sebesar 5.693 ha yang tidak diperhitungkan pada inventarisasi tahun 1997. Oleh karena itu, patut diduga luasan hutan mangrove pada landsystem KJP dan PTG jauh berkurang dibandingkan hasil pengukuran tahun 1997, yakni hanya menjadi 5.757,58 ha pada tahun 2006 dari luas sebelumnya sebesar 11.397 ha pada tahun 1997. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkawatirkan,

seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Bahkan di pantai timur Sumatera Utar a, kerusakan mangrove di pulau Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mengakibatkan pulau tersebut sekarang sudah hilang/tenggelam (Onrizal & Kusmana 2008). Kerusakan hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utar a berdampak pada penur unan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (65,7% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 27,5% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap) serta penurunan pendapatan nelayan sebesar 40,5% (Onrizal et al. 2009). Konversi hutan mangrove di pantai

45000 40000 35000 30000 Luas (ha) 25000 20000 15000 10000 5000 0 HMP HMS Langkat NM HMP HMS NM HMP HMS Asahan NM HMP HMS NM Deli Serdang Labuhan Batu 1977 1988/1989 1997 2006

Gambar 2. Perubahan penutupan hutan mangrove pada setiap kabupaten di pesisir timur Sumatera Utara berdasarkan hasil pengukuran pada empat tahun berbeda (1977, 1988/ 1989, 1997, dan 2006). HMP = hutan mengrove primer, MHS = hutan mangrove sekunder, NM = non hutan mangrove

169

Onrizal

Napabalano, Sulawesi Tenggara menyebabkan berkurangnya secara nyata kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) (Amala 2004). Walters et al. (2008) menyatakan bahwa hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai dan sungai secara umum menyediakan habitat bagi berbagai jenis ikan. Hamilton & Snedaker (1984) melaporkan 80% jenis biota laut komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA. Demikian juga halnya dengan 67% jenis hasil tangkapan perikanan komersial di bagian timur Australia. Selanjutnya, hampir 100% udang dan 49% ikan demersal yang ditangkap pada kawasan Selat Malaka bergantung pada kawasan mangrove (Macintosh 1982). Oleh karena itu, kerusakan hutan mangrove di Sumatera Utara secara khusus dan umumnya di seluruh dunia harus segera dihentikan, kemudian diikuti dengan upaya segera untuk merehabilitasi hutan mangrove yang rusak dan dilakukan secara masif dengan pelibatan aktif seluruh para pihak terkait serta mencegah berbagai aktivitas pengrusakan terhadap hutan mangrove yang masih tersisa. Dengan demikian, diharapkan hutan mangrove kembali pulih sehingga mampu mengembalikan berbagai fungsinya, baik fungsi ekologi, maupun fungsi sosial-ekonomi. KESIMPULAN DAN SARAN Hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977, 1988/1989, 1997 dan 2006 kondisinya terus menurun. Hutan 170

mangrove di wilayah tersebut pada tahun 2006 hanya tersisa sebesar 41.700 ha dari luas awal pada tahun 1977 sebesar 103.415 ha atau hilang sebesar 59,68% selama 29 tahun. Penyebab utama perubahan luas dan kerusakan hutan mangrove tersebut adalah penebangan hutan mangrove secara berlebihan dan konversi untuk lahan tambak, perkebunan dan pertanian. Penurunan luas dan kerusakan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utar a telah menyebabkan (a) meningkatnya abrasi pantai sampai hilangnya Pulau Tapak Kuda, (b) menurunnya keanekaragaman dan volume hasil tangkap nelayan pesisir dan (c) pada akhirnya menurunkan pendapatan nelayan secara khusus dan umumnya bagi masyarakat pesisir pantai. Pada sisi lain, upaya rehabilitasi mangrove dalam kurun waktu bersamaan belum mampu mengurangi laju kerusakan hutan mangrove. Oleh karena itu, upaya masif yang terencana dan sistematik serta pelibatan secara aktif seluruh pihak terkait untuk rehablitasi hutan mangrove yang rusak. Pada saat bersamaan penting dilakukan upaya pencegahan berbagai aktivitas yang merusak hutan mangrove yang masih ada. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Pengelolaan Hutan Mangrove II yang berkedudukan di Medan atas bantuan pustaka hasil inventarisasi mangrove di pesisir timur Sumatera Utara tahun 2006 untuk

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

wilayah BP DAS Wampu Sei Ular. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada BP DAS Asahan Barumun atas kerjasamanya dalam inventarisasi hutan mangrove tahun 2006 pada wilayah kerjanya. DAFTAR PUSTAKA Amala, WAL. 2004. Hubungan konversi hutan mangrove dengan kemelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) di pantai Napabalano Sulawesi Tenggara. [Tesis] Program Pascasarjana. UGM Yogyakarta. BP DAS Asahan Bar umun. 2006. Inventarisasi dan identifikasi lahan kritis mangrove di 4 (empat) kabupaten (Asahan, Labuhan Batu, Nias, dan Nias Selatan) Pro-pinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Asahan Barumun. BP DAS Wampu Sei Ular. 2006. Inventarisasi dan identifikasi mangrove SWP DAS Wampu Sei Ular Tahun Anggaran 2006. Medan: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Sei Ular. Dave, R. 2006. Mangrove ecosystem of south, west Madagascar: an ecological, human impact, and subsistence value assessment. Tropical Resources Bulletin 25: 7-13 Ditjen INTAG. 1993. Hasil penafsiran luas areal dari citra landsat MSS liputan tahun 1986-1991.

Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan RI. Ditjen RLPS. 2001. Kriteria dan standar teknis rehabilitasi wilayah pantai. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departe-men Kehutanan RI. Ditjen RRL. 1997. Inventarisasi dan identifikasi hutan bakau (mangrove) yang rusak di Propinsi Simatera Utara. Direktorat Jenderal Rebiosasi dan Rehabilitasi Lahan (Ditjen RRL) Departemen Kehutanan. FAO. 1994. Mangrove forest management guidelines. Rome. FAO Forestry Paper 117. Hamilton, LS. & SC. Snedaker. (Ed.). 1984. Handbook for mangrove area management. Hawaii: IUCN/Unesco/UNEP. ITTO & Dirjen RLPS. 2005. Review of data and information of mangrove forest ecosystem at North Sumatra Province. Jakarta: International Tropical Timber Organization (ITT O) & Directorate General of Land and Forest Rehabilitation Development, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS). Macintosh, DJ. 1982. Fisheries and aquaculture significance of mangrove swamps, with special reference to the Indo-West Pacific region. Dalam: Muir & Roberts (Eds.). Recent Advances in Aquaculture. pp. 485. England: Croom Helm. 171

Onrizal

ODA & Dirjen Perikanan. 1993. The Malacca straits coastal environment and shrimp aquaculture in North Sumatra. Over seas Development Administr ation (ODA) & Direktorat Jenderal Perikanan (Ditjen Perikanan) Departemen Pertanian. Onrizal, & C. Kusmana. 2008. Studi ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara. Biodiversitas 9 (1): 25-29. Onrizal, A. Purwoko, & M. Mansor. 2009. Impact of mangrove forests degradation on fisherman income and fish catch diversity in eastern coastal of North Sumatra, Indonesia. Int ern a ti o nal Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES09) at the Hermes

Palace Hotel Banda Aceh on May 6-8, 2009. Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat di pesisir utara Nias dari tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah 13 (2): 5-7. Primavera, JH. 2005. Mangroves, fishpond, and the quest for sustainability. Science 310 (5745): 57-58. Valiela, I., JL. Bowen, & JK. York. 2001. Mangrove forest: one of the worlds threatened major tropical environments. Bioscience 51(10): 807-815. Walters, BB., P. Ronnback, JM. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H. Primavera, E. Barbier, & F. Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economic and management of mangr ove forests: a review. Aquatic Botany 89: 220236.

Memasukkan: September 2009 Diterima: Januari 2010

172

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 173-183 (2010)

Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNAYulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laboratorium Genetika Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Centre Jl. Raya Bogor Km. 46 Bogor 16911 Email: [email protected] ABSTRACTGenetic Diversity of Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] from Riau Province Based on Random Amplified Polymorphic DNA Fingerprint. Gonystylus bancanus is a commercial timber found only on peat swamp forests, scatteredly distributed in Sumatra and Kalimantan. Their existence is now under severe threat due to habitat conversion. One of the remaining natural populations of ramin was in Riau Province, Sumatra. This study aimed to assess genetic diversity of this species within their natural populations in Riau Province using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). RAPD profiles were obtained by performing PCR amplification using five arbitrary primers. One hundred and eleven putative loci of RAPD were scored and analysed using Popgene and NTSYS software. Eleven of RAPD bands were commonly found in all populations and 16 bands were distinctively found in certain populations. These unique bands may serve as population diagnostic marker for such populations. The average genetic diversity within population (0.1606) was lower than that of among populations (0.1894). Genetic differentiation (Gst) indicated that 95.56% of total genetic diversity in ramin was attributed to the differences among populations. The highest genetic diversity was found in population 3 (He:0.1858) and 3 (I:0.2864), while the lowest genetic variation was observed in population 1 (He: 0.1438) and 2 (I: 0.2201). Total genetic diversity for all population (Ht) was 0.1982 with an average value of genetic diversity within populations (Hs) was 0.1606. The low level of genetic diversity found in ramin with high population differentiation may suggest that these remaining populations was undergoing genetic bottleneck resulted from severe habitat fragmentation. Keywords: genetic diversity, populations, ramin, Gonystylus bancanus, RAPD.

PENDAHULUAN Ramin (Gonystylus bancanus, Thymelaeaceae) merupakan salah satu jenis tumbuhan kayu komersial yang menjadi primadona dalam dunia perdagangan kayu. Negara penghasil kayu ramin yang potensial saat ini hanya

Malaysia dan Indonesia. Kayu ramin diperdagangkan dalam berbagai produk seperti papan interior, komponen perabotan, pigura, lantai, pasak kayu dan mainan anak-anak. Jenis-jenis ramin ini hanya tumbuh di hutan gambut dan tersebar secara mengelompok di Sumatra dan Kalimantan (Jayusman 2007). Salah 173

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

satu populasi alam ramin yang masih tersisa adalah di area hutan konsesi Provinsi Riau, Sumatra. Seperti halnya dengan jenis-jenis kayu komersil lainnya, jenis ini banyak dieksploitasi untuk diambil kayunya sehingga keberadaannya terancam punah. Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa ramin memiliki siklus regenerasi yang sangat sulit dan lambat, baik di habitat alaminya maupun di area percobaan. Kesulitan dalam mengembangkan ramin melalui kultur jaringan juga dialami oleh Laboratorium Kultur Jaringan di Bidang Botani Puslit BiologiLIPI. Ramin dikategorikan sebagai jenis terancam dengan status rawan (VuA1cd IUCN 2008) dan dimasukkan dalam Appendix II CITES (2009). Studi keragaman genetika dilakukan untuk mengetahui variasi genetika pada tingkat individu maupun populasi yang salah satunya untuk tujuan konservasi genetik, populasi maupun jenis. Studi ini telah dilakukan dengan menggunakan berbagai marka baik molekuler (Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), Random Fragment Lenght Polymorphism (RFLP), Simple Sequence Repeats (SSRs) maupun protein (isozyme dan allozyme). Beberapa studi sudah dilakukan untuk memperkirakan keragaman genetika ramin, termasuk mengembangkan marka mikrosatelit untuk melacak asal usul loka si ramin untuk mencegah perdagangan kayu illegal (Smulders et al. 2007) dan pengembangan protokol ekstraksi kayu olahan ramin (Asif & Cannon 2005). Penelitian ini bertujuan 174

untuk mengetahui keragaman genetika antar individu dan populasi ramin di kawasan propinsi Riau dengan menggunakan marka RAPD. RAPD adalah marka molekuler yang telah banyak digunakan untuk identifikasi genotipe (Jimenez et al. 2002; Poerba et al. 2007) dan kultivar (Malik et al. 2006; Shabaan et al. 2006; Jain et al. 2007) serta memperkirakan keragaman genetika jenis-jenis pohon kayu tropis (Siregar et al. 2008; Rath et al. 1998; Poerba et al. 2007). Keuntungan utama dari RAPD adalah menghasilkan polimorfisme yang cukup tinggi, random sampling dalam genom total dan secara teknis cukup cepat dan mudah dilakukan. Kekurangan dari penggunaan marka RAPD yaitu marka ini hanya mengamplifikasi alel dominan dan memiliki tingkat keberulangan yang rendah. Hal ini dapat diatasi antara lain dengan melakukan amplifikasi PCR lebih dari satu kali untuk memastikan konsistensi hasil yang diperoleh. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel ramin yang dianalisis dalam studi ini sejumlah 28 (Tabel 1) yang berasal dari enam populasi alam di propinsi Riau (Gambar 1). Populasi 1, 2 and 3 berada di area konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), populasi 4 dan 6 berada di PT Ara Ara Abadi, dan populasi 5 berada dalam konsesi PT Bina Daya Bintara. Sampel ini dikoleksi dalam bentuk daun yang dikeringkan dalam silica gel.

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Tabel 1. Daftar sampel ramin dari setiap populasi.No. populasi 1 2 3 4 5 6 No sampel 1-4 5-7 8-10, 26 11, 13-19 12, 20, 27-28 21-25 Jumlah sampel 4 3 4 8 4 5 Lokasi Palawan Sungai Kutub Alam Lestari Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi, Palalawan Batas Konservasi, Triomas Serapung Serapung A, Palalawan Batas Blok Palalawan Serapung Tengah Keterangan Pohon induk Anakan Anakan Anakan Anakan Anakan

5

4 1 2

6 3

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel pada enam populasi ramin di propinsi Riau. 1) Palawan, 2) Sungai Kutub Alam Lestari, 3) Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi, Palalawan Batas Konservasi, Triomas Serapung, 4) Serapung A, Palalawan Batas, 5) Blok Palalawan, 6) Serapung Tengah.

Ekstraksi total DNA genom Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti protokol Delaporta et al. (1983). Lima L total DNA dielektroforesis dalam 0.7% gel agarosa dalam larutan penyangga TEA(Tris-EDTA), kemudian diwarnai dengan ethidium bromida, lalu divisualisasi menggunakan lampu ultraviolet kemudian difoto dengan menggunakan gel documentation system untuk memastikan kuantitas dan kualitas DNA.

Analisis RAPD Analisis RAPD yang dilakukan pada studi ini mengikuti protokol William et al. (1990) dengan menggunakan lima primer RAPD (Operon Technology Ltd) yang diseleksi dari 10 primer RAPD dari Operon Kit A, B, C, N, dan U. Reaksi PCR dilakukan dua kali ulangan untuk memastikan konsistensi profil yang dihasilkan. Hasil amplifikasi PCR divisualisasi pada gel agarosa 2.0% dalam larutan penyangga TEA secara 175

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

elektroforesis, lalu diwarnai dengan etidium bromida. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan menggunakan UV transluminator, kemudian difoto dengan menggunakan gel documentation system. Sebagai standar digunakan 100 bp plus DNA marker (Promega) untuk menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Analisis data Skor data Setiap pita RAPD dianggap sebagai satu lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang disekor: ada (1) dan tidak ada (0). Matr iks binari fenotip RAPD ini kemudian disusun untuk digunakan pada beberapa analisis. Keragaman genetika Parameter-parameter yang digunakan untuk mengkarakterisasi pola keragaman genetika dikalkulasi dengan menggunakan program POPGENE ver. 1.31 (Yeh et al. 1997) dibawah asumsi hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Parameter yang digunakan untuk mengukur keragaman genetika dalam populasi adalah 1) Prosentase Lokus Polimorfik (PLP, Nei 1973); 2) Jumlah alel putatif per lokus (na); 3) Jumlah alel efektif per lokus/gene pool (ne,, Hartl & Clark 1989); 4) keragaman genetika yang diharapkan (H/He=expected heterozygosity (Nei 1973) dan keragaman fenotipik berdasarkan Shannons information index (Lewontin 1972). Sedangkan parameter yang digunakan untuk mengukur keragaman genetika antar populasi adalah 1) Neis 176

(1978) unbiased measures of genetic distance; 2) the relative magnitude of differentiation among populations (GST=Dst /Ht, Nei 1987); 3) Gene flow (Nm, Mc Dermott & McDonald 1993). HASIL Profil dan distribusi RAPD di populasi Lima primer RAPD digunakan dalam penelitian ini dan diperoleh 111 fragmen DNA yang dihasilkan, berukuran dari 100 hingga 2800pb (pasang basa), yakni 99.11% diantaranya merupakan pita polimorfik (Tabel 2). Primer OPD-20 menghasilkan pita terbanyak (28) sedangkan primer OPU12 menghasilkan pita tersedikit (17). Ada 11 pita umum yang dijumpai pada seluruh populasi, yang sebagian besar berasal dari primer OPD-20. Sementara itu ada 15 pita unik yang terdapat pada populasi tertentu yang umumnya dijumpai pada populasi 4 (Tabel 2). Keragaman genetika Keragaman genetika tertinggi dijumpai pada populasi 3 dan 4 masingmasing berdasarkan parameter He (0,1858) dan I (0,2864). Keragaman genetika terendah dijumpai pada populasi 1 dan 2 masing-masing berdasarkan parameter He (0,1438) dan I (0,2201) (Tabel 3). Nilai total keragaman genetika pada semua populasi (Ht) adalah 0.1982+ 0,0179 dengan nilai rata-rata keragaman genetika dalam populasi (Hs) adalah 0,1606+ 0,0097. Nilai keragaman genetika antar populasi (Dst) adalah

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Tabel 2. Sebaran pita polimorfik RAPD pada enam populasi ramin di propinsi Riau.Nama primer Urutan DNA primer Jumlah dan ukuran pita terpendekterpanjang 19 (100-1600 pb) OPB-15 OPC-16 GGAGGGTGTT 22 (300-1600 pb) CACACTCCAG 28 (300-1800 pb) OPD-20 OPN-14 OPU-12 ACCCGGTCAC TCGTGCGGGT TCACCAGCCA Jumlah 25 (400-1800 pb) 17 (300-1200 pb) 111 1800 650 11 800 850 1400 1800 1500 2 750 450 3 1 650 4 400 2 350 3 650 700 900 450 750 400 Ukuran pita umum 100 350 Ukuran pita unik pada setiap populasi

1 1300

2 500

3 1500

4 450

5 950

6 1600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 M

Gambar 2. Salah satu profil RAPD yang dihasilkan dari primer OPN-14 menunjukkan pitapita DNA polimorfik. M: DNA marker. Angka 1-28: nomor sampel. Anak panah menunjukkan pita umum ukuran 1800 pb. Tabel 3. Keragaman genetika setiap populasi ramin.Populasi 1 2 3 4 5 6 Jumlah sampel 4 3 4 8 4 5 Jumlah lokus polimorfik 50 44 62 80 55 61 PLP (%) 44.64 39,29 55,36 71,43 49,11 54,46 na 1,4464 1,3929 1,5536 1,7143 1,4911 1,5446 ne 1,2334 1,2525 1,3013 1,2679 1,2541 1,2353 He 0,1438 0,1480 0,1859 0,1769 0,1574 0,1520 I 0,2214 0,2201 0,2838 0,2864 0,2427 0,2415

177

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

0,1894, jauh lebih rendah Ht dan Hs. Differensiasi genetika (Gst) yang ada antar populasi adalah 95.56% dan gene flow (Nm) yang terjadi antar populasi 2,1393 (Tabel 4). Sedangkan nilai Gst untuk individual marka RAPD berkisar antara 0.0045 (OPB15-18)- 0.3097 (OPD20-23). Jarak genetika dan analisis kluster Jarak genetika tertinggi (0.0491) tercatat antara populasi 2 dan 5, sedangkan jarak genetik terendah (0.0181) tercatat antara populasi 1 dan 2 (Tabel 5). Dendrogram UPGMA (Gambar 3) menyajikan gambar an kesamaan genetika keenam populasi berdasarkan matriks jarak genetika Nei (1978) (Tabel 5). Populasi 3 dan 4 serta 1 dan 2 memiliki kesamaan yang terbanyak, sesuai dengan jarak genetik yang cukup kecil (Tabel 5) sehingga membentuk dua kelompok di terminal cabang dendrogram. Berikutnya populasi 6 yang terdekat dengan kedua kelompok ini danTabel 4. Nilai Ht, Hs, Dst, GST dan NmRerata Ht 0,1982+ 0,0179 Hs 0,1606+ 0,0097

populasi 5 terletak di dasar dendrogram. PEMBAHASAN Profil dan distribusi RAPD di populasi Jumlah pita yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA dengan PCR sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan (Tingey et al. 1994). Polimorfisme pita-pita RAPD yang dihasilkan dari penelitian ini sangat tinggi (99,11% polimorfik). Duplikasi reaksi PCR juga menghasilkan keberulangan yang memuaskan sehingga hal ini menunjukkan bahwa primer yang diseleksi menghasilkan profil RAPD yang cukup konsisten. Variasi genetika yang ditemui pada penelitian ini berdasarkan perbedaan pola pita RAPD yang dijumpai pada individu ramin. Secara umum, 111 pita RAPD ini menyebar rata di seluruh individu ramin. Namun ada pita-pita tertentu

Gst 0,9956

Dst 0,1894

Nm 2,1393

Tabel 5. Jarak genetika antar populasi ramin berdasarkan Neis Unbiased Measures.1 **** 0,0181 0,0251 0,0197 0,0407 0,0235 2 **** 0,0225 0,0331 0,0491 0,0359 3 **** 0,0196 0,0294 0,0366 Populasi 4 5 6

1 2 3 4 5 6

**** 0,0253 0,0299

**** 0,0319

****

178

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

0.0360

0.0180

0.0000pop5

Populasi 5pop6

Populasi 6 Populasi 2 Populasi 1 Populasi 4 Populasi 3

pop1

pop2

pop3

pop4 0.1

Gambar 3. Dendrogram pengelompokkan enam populasi ramin berdasarkan jarak genetika Nei (1978).

yang dijumpai di seluruh individu dan pita unik yang hanya dijumpai di populasi tertentu atau bahkan di individu tertentu. Terdapatnya pita-pita tertentu yang hanya dijumpai pada populasi tertentu maka pita-pita unik tersebut berpotensi untuk dijadikan marka untuk identifikasi provenance. Namun demikian, untuk menjadikan RAPD sebagai marka diagnostik tingkat populasi masih perlu ditunjang studi lanjutan, karena jumlah sampel yang terdapat pada populasi 2 khususnya (3 individu) masih sangat minim. Apabila jumlah sampel diperbanyak akan ada kemungkinan ditemukan pita-pita unik lainnya atau sebaliknya pita unik menjadi pita umum. Namun mengingat densitas ramin yang cukup kecil (~1 pohon/hektar) maka jumlah individu sampel yang didapatkan juga cukup kecil.

Keragaman genetika Jumlah individu yang dicuplik untuk sampel bervariasi antara 3 hingga 8 (Tabel 3). Rendahnya jumlah sampel disebabkan oleh rendahnya densitas ramin. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya fragmentasi habitat ramin yang cukup parah sehingga populasi-populasi ramin terpisah menjadi sub-populasi yang hanya berisi beberapa individu dalam jumlah kecil. Menurut hasil crusing PT Diamond Raya Timber, sejak tahun 1999 telah terjadi penurunan potensi pohon sebesar 80% dan saat ini ini densitas ramin di area tersebut adalah 0.7 pohon/ hektar (Jayusman 2007). Penurunan ukuran populasi dapat menyebabkan terisolasinya populasipopulasi menjadi populasi kecil, seringkali hanya terdiri kurang dari 50 individu.

179

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

Rendahnya jumlah individu dalam setiap populasi dapat menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hidup ramin karena dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik dan tingginya diferensiasi antar populasi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat differensiasi genetika yang sangat tinggi (99,56%) diantara populasi ramin. Sementara itu, nilai total keragaman genetika populasi ramin (Ht: 0,1982) termasuk rendah dibanding jenis tumbuhan hutan tropis terancam lainnya, Metasequoia glyptostroboides (H: 0,318, Li et. al. 2005), tetapi lebih tinggi dibanding Dipterocarpus littoralis (H: 0,1958). Rendahnya nilai keragaman genetika dalam populasi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang umumnya terjadi pada jenis-jenis tumbuhan menyerbuk silang. Ramin, seperti halnya jenis-jenis tumbuhan tropis lainnya adalah jenis tumbuhan dominan di hutan rawa gambut, late successional dan menyerbuk silang. Pada jenis-jenis menyerbuk silang seperti ini biasanya nilai keragaman genetika dalam populasi lebih tinggi daripada antar populasi (Loveless & Hamrick 1984; Hamrick & Godt 1989; Pither et al., 2003). Sebaliknya, telah terjadi pada ramin yang diteliti. Rendahnya keragaman genetika ramin kemungkinan disebabkan oleh terjadinya inbreeding antar individu dalam populasi yang jumlahnya sedikit sehingga variasi genetik yang ada juga rendah atau bahkan selfers pada individu. Terjadinya inbreeding dan/atau self fertilisation, memang sulit untuk dibuktikan terutama pada ramin yang memiliki jangka hidup

panjang. Namun hal ini merupakan salah satu penjelasan yang bisa dipaparkan. Ancaman lain bagi kelangsungan hidup ramin adalah rendahnya tingkat regenerasi. Dari informasi yang diperoleh di lapangan, tingkat predasi ramin oleh mamalia kecil (tupai) dan burung (rangkong) cukup tinggi. Masa berbuah ramin rata-rata setiap 3-5 tahun sekali yang seringkali merupakan panen raya. Tingginya predasi mengakibatkan berkurangnya jumlah biji yang dapat berkecambah menjadi semai. Kemampuan semai untuk berkembang juga sangat rendah karena berbagai faktor, antara lain serangan herbivor dan mati kekeringan, sehingga seringkali sulit menjumpai anakan ramin di habitat alaminya. Teknik budidaya ramin juga belum sepenuhnya dikuasai hingga saat ini. Sementara itu ramin merupakan jenis kayu favorit dalam dunia perdagangan kayu yang terus diminati. Seluruh kondisi ini cukup memprihatinkan, dan apabila dibiarkan berlanjut, dikhawatirkan ramin akan segera mengalami kepunahan. Jarak genetika dan analisis kluster Populasi 5 dan 6 tidak mengelompok bersama dengan populasi-populasi lain. Hal ini kemungkinan karena individuindividu ramin yang berada di kedua populasi ini memiliki alel yang paling berbeda yang tercermin dari profil RAPD mereka. Tingginya jarak genetik antara populasi 2 dan 5 yang juga tercermin dari pola pengelompokkan pada dendrogram, kemungkinan disebakan oleh rendahnya jumlah individu yang tercuplik dimana kesemua individu dalam kedua populasi

180

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

ini juga memiliki alel yang sangat berbeda. Kedua populasi ini terletak pada dua hutan konsesi yang berbeda (Gambar 1) dalam jarak yang cukup jauh sehingga kemungkinan terjadinya percampuran materi genetik baik melalui pollen maupun pencaran biji antar kedua populasi ini juga sangat kecil. Sedangkan mengelompoknya populasi 3 dan 4 yang secara geografis jaraknya cukup jauh (Gambar 1)kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, adanya kesamaan profil RAPD yang dihasilkan dari amplifikasi PCR. RAPD menggunakan primer universal yang mengamplifikasi daerah genom DNA secara acak, sehingga pitapita DNA yang dihasilkan juga bersifat acak. Kedua, terdapatnya kemungkinan bahwa beberapa individu pada kedua populasi berasal dari provenance yang sama- apabila terjadi introduksi pada kedua populasi tersebut. Namun hal yang kedua kemungkinan kecil terjadi, karena semua ramin yang berada dalam area konsesi ini merupakan hutan alam. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper atas fasilitas dan ijin pengumpulan material di area konservasi kawasan HTI RAPP. Terima kasih juga kepada Sdri. Agustina dan Herlina yang telah memberi bantuan teknis terhadap penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asif, M.J. & C.H. Cannon. 2005. DNA extraction from processes wood: a

case study for the identification of endangared timber species (Gonystylus bancanus). Plant Mol. Biol. Reporter 23: 185-192. Convention on International trade in endangered species of wild flora and fauna. 2009. Appendices I, II and III. Valid from 22 May 2009. P. 40. Delaporta, SL., J. Wood, & JB. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation. Version II. Plant Mol. Biol. Reporter 4:1921. Hamrick, JL., & MJW. Godt, 1989. Allozyme diversity in plant species. Dalam: Brown, AHD, MJ. Clegg, AL. Kahler, & BS. Weir (eds.). Plant population genetics, breeding and genetic resources. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts. Hartl, DL. & AG. Clark. 1989. Principles of population genetics. 2nd ed. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts. IUCN. 2008. Red List of Endangered Species. International Union for the Conservation of Nature and Natur al Resources, Gland. Switzerland. Available from URL: http://www.iucnredlist.org/ Jayusman. 2007. Degradasi sumberdaya genetik jenis ramin dan upaya penyelamatannya. Apforgen newsletter 4:1-4. Jain, PK, L. Saini, MH. Pathak & VK. Gupta. 2007. Analysis of genetic variation in different ba nana (Musa species) variety using random amplified polymorphic

181

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

DNAs (RAPDs). African J. Biotech. 6 (17): 1987-1989. Jiminez , JF., P. Sanchez-Gomez, J. Guemes, O. Werner & JA. Rossello. 2002. Genetic variability in a narrow endemic snapdragon (Antirrhinum subaeticum, Schrophulariaceae) using RAPD markers. Heredity 89(5): 387-393. Lewontin, R.C. 1972. The apportionment of human diversity. J. Evol. Biol. 6: 381-398. Li, YY., XY. Chen, X. Zhang, TY. Wu, HP. Lu, & YW Chai. 2005. Genetic differences between wild and artificial populations of Metasequoia glyptostroboides Hu et Cheng (Taxodiaceae): Implication for species recovery. Conser. Biol. 19: 224-231. Loveless, MD. & JL. Hamrick. 1984. Ecological determinants of genetic structure in plant populations. Ann. Rev. Ecol.& Syst. 15: 65-95. Malik, SK., R. Chaudhury, OP. Dhariwal & R.K. Kalia. 2006. Collection and characterisation of Citrus indica Tanaka and C. macroptera Montr.: wild endange-red species of north eastern India. Gen. Res. & Crop Evol. 53: 1485-1493. McDermott, JM. & BA. McDonald. 1993. Gene flow in plant pathosystems. Ann.Rev. Phytopathology 31: 353-373. Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics 89: 583-590. Nei, M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided populations. 182

Proceedings of the National Academy Sciences USA 70: 33213323. Pither, R., JS. Shore, & M. Kellman. 2003. Genetic diversity of the tropical tree Terminalia amazonia (Combretaceae) in natur ally fragmented populations. Heredity. 91(3): 307-313. Poerba, YS., A. Wawo, & KS. Yulita. 2007. Keragaman Fenotipe RAPD Santalum album L. di Pulau Timor bagian timur. Berita Biologi 8(6): 537- 546. Shaaban, EA., S. Abd-El-Aal SKH., NS. Zaied & AA. Rizkalla. 2006. Assessment of genetic variability on some orange accessions using RAPD DNA markers. Res. J. Agri.& Biol.Sci 2(6): 564-570. Siregar, IZ., T. Yunanto, & P Pamoengkas. 2008. Implikasi genetik metode pembiakan tanaman Shorea johorensis Foxw. Pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ). Biodiversitas 9(4): 250-254. Smulders, MJM., WPC. Van T Westende, B. Diway, G.D. Esselink, P.J. Van Dr Meer, & J.M. Koopman. 2007. Development of microsattelites markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking wood of this protected species. Molecular Ecology Notes. (Proof. read. version) Tingey, SV., JA. Rafalski, & MK. Hanafey. 1994. Genetic analysis with RAPD markers: In Plant

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Molecular Biology. C. Coruzzi & P. Puidormenech (Eds.) p.491-498. Williams, JG., AR. Kubelik, KJ. Livak, J.A. Rafalsky, & S.V. Tingev. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18(22): 65316535. Yeh, FC., RC. Yang, TBJ. Boyle, ZH., Ye, JX. Mao 1997. POPGENE (version 1.31), the user-friendly shareware for population genetic

analysis. Molecular Biology and Biotechnology centre, University of Alberta, Edmonton. Alberta, Canada. Available free at http:// www.ualberta.ca/~fyeh. Yulita, KS & T. Partomihardjo. 2010. Keragaman genetika populasi pelahlar [Dipterocarpus littoralis (Bl.) Kurz] di P ulau Nusakambangan berdasa-rkan profil Enhanced Random Amplified Polymorphic DNA. Berita Biologi (in press.)

Memasukkan: Juni 2009 Diterima: Desember 2009

183

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 185-194 (2010)

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, IndonesiaAwal Riyanto1, Suprayogo Soemarno2 dan Achmad Farajallah31)

Museum Zoologicum Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI, Gd Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong 16911; Email: [email protected], [email protected] 2) KIRAI Indonesia, Jl. Taman Sari II/58, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta 3) FMIPA Jurusan Biologi IPB, Kampus Darmaga, Bogor. ABSTRACT

The Loss and Recent Condition Habitat of Sulawesian Tortoise (Indotestudo forstenii) at Cape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia. Unsupervised method of remote sensing was applied were evaluated to compute the habitat loss during five years, from 2001 to 2005 using MultispecW32 software. Meanwhile, the fieldwork was done from 22 to 30 June 2007 to determine the recent condition of habitat at Sologi hill, a part area of Cape Santigi. During five years (from 2001 to 2005) the forest (habitat) in Cape Santigi was loss making up 60.04 % (rate = 419.25 ha/year). Sologi hill forest was shown as a remaining habitat in Cape Santigi. Vegetation in Sologi hill forest is relatively still good, but is threatened by human activities. We suggested developing the natural preserve to protect this tortoise, habitat and ecosystem also other wildlife at Sologi hill. Key words: Indotestudo forstenii, habitat, Cape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia.

PENDAHULUAN Fauna Sulawesi adalah paling istimewa di Indonesia, dengan tingkat endemisitas tinggi pada kelompok mamalia darat, amfibia dan reptilia (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Semula di Sulawesi diketahui hanya terdapat tiga jenis kura-kura darat dan air tawar, yaitu Kuya Batok (Cuora amboinensis) dan dua jenis endemik, Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) dan Kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) (de Rooij

1915). Koch et al. (2008) melaporkan temuan sebaran jenis labi-labi (Amyda cartilaginea) sebagai anggota baru bagi kura-kura di Sulawesi. Indotestudo forstenii adalah satusatunya jenis kura-kura darat atau baning yang ditemukan di timur garis Wallacea (Hoogmoed & Crumly 1984) dan terdistribusi dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara (Platt et al. 2001; Riyanto et al. 2008; Ives et al. 2008). Di alam, baning ini hidup dalam hutan perbukitan hingga ketinggian 200 m di atas permukaan laut, tetapi dijumpai juga di 185

Riyanto, Soemarno & Farajallah

perbukitan lembah Palu yang tandus yang dipenuhi Opuntia nigrican (Riyanto et al. 2008; Ives et al. 2008). Semula Baning Sulawesi diduga terdiri atas beberapa cryptic species. Dugaan ini didasarkan pada variasi kehadiran dan ketidak-hadiran keping nuchal. Hasil penelitian Ives et al. (2008) menunjukkan bahwa ada tidaknya keping nuchal ternyata tidak berkorelasi dengan variasi genetik dan disimpulkan sebagai genetik serupa tetapi berbeda morfologi. Perbedaan morfologi tersebut diduga sebagai respon lingkungan yang berbeda. Saat ini Indotestudo forstenii dimasukkan dalam status Endangered oleh IUCN 2009 dan Appendiks II oleh CITES 2009. Dalam peraturan perundangan Republik Indonesia, jenis ini tidak termasuk dalam satwa lindungan, namun pemanenan dari alam diatur melalui mekanisme kuota tangkap yang ditetapkan oleh otoritas managemen atas dasar pertimbangan otoritas ilmiah (Samedi & Iskandar 2000). Meskipun demikian, aktivitas ilegal pemanenan dan perdagangan baning ini masih terjadi (Riyanto et al. 2008). Ancaman bagi kelestarian jenis ini juga datang dari kehilangan habitat sebagaimana yang dinyatakan Whitten et al. (1987). Penelitian mengenai habitat Baning Sulawesi merupakan suatu kesempatan untuk dapat lebih mengetahui dan memahami situasi terkini dari jenis tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat laju kehilangan habitat dan evaluasi kondisi habitat yang tersisa saat ini dengan studi kasus di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

BAHAN DAN CARA KERJA Pemilihan kawasan Semenanjung Santigi sebagai lokasi penelitian didasarkan pada hasil penelitian Platt et al. (2001) yang telah mencatat keberadaan Baning Sulawesi di kawasan tersebut dan informasi dari pemasok dan pemburu kura-kura professional. Kepastian lokasi tersebut sebagai habitat baning dimaksud, juga dibuktikan dengan pencarian secara eksploratif pada hutan bukit Sologi dengan mengerahkan tenaga lima orang untuk mencari Baning dan dibantu seekor anjing pemburu. Pencarian dilakukan dari pukul 9.00-16.00 waktu setempat selama tiga hari (tiga kali ulangan). Penentuan besar perubahan tutupan lahan dalam hal ini hutan yang menjadi habitat Baning Sulawesi di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah dilakukan melalui aplikasi penginderaan jauh (remote sensing) dengan metoda unsupervised. Aplikasi penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam bidang kehutanan. Menurut Lanya & Bruvoll (1994) data landsat sangat efektif dalam identifikasi perubahan pengggunaan lahan hutan ke non hutan. Data landsat (citra satelit) diunduh secara cuma-cuma dari United State Geological Survey (USGS; http://glovis.usgs. gov), citra satelit tersebut dipotret pada tahun 2001 dan 2005. Dalam metode unsupervised ini, citra satelit diklasifikasikan menjadi 7 kelas pada konvergensi 98%. Selanjutnya masing-masing cluster diidentifikasi untuk ditentukan jenis tipe tutupan lahannya. Unit area yang

186

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

digunakan untuk untuk masing-masing cluster adalah hektar. Evaluasi kondisi terkini terhadap habitat yang tersisa yaitu bukit Sologi suatu area hutan yang terletak di tenggara Semenanjung Santigi telah dilakukan dari tanggal 22 hingga 30 Juni 2007. Data vegetasi diperoleh dengan cara menempatkan petak cuplikan secara subyektif, yaitu pada titik ditemukannya Baning Sulawesi. Petak cuplikan dibuat berukuran 20 x100 m (0,2 ha) menyesuaikan kondisi medan, kemudian pada petak tersebut dibuat: i) 20 anak petak berukuran 10 x10 m untuk pancacahan pohon (diameter batang 10 cm), ii) 20 anak petak berukuran 5x5 m untuk pencacahan anak pohon (diameter batang 5-10 cm), dan iii) 20 anak petak berukuran 2x2 m untuk pencacahan tumbuhan bawah (diameter batang 2-4,9 cm). Seluruh pohon di dalam anak petak dicacah, diukur diameter batang setinggi dada dan ditaksir tinggi totalnya. Data setiap jenis pohon dan anak pohon pada setiap anak petak dianalisis untuk mengetahui frekuensi, kerapatan dan luas bidang dasar. Jumlah nilai nisbi ketiga variabel selanjutnya dijumlahkan

untuk mendapatkan indeks nilai penting masing-masing jenis pohon dan anak pohon. Tingkat keragaman jenis ditentukan menggunakan nilai indeks diversitas Shannon Wiener (H) dan kemerataannya dengan indeks kemerataan (E.). HASIL Laju kehilangan habitat Perubahan penutupan lahan dari tahun 2001 hingga 2005 kawasan Semenanjung Santigi diilustrasikan pada Gambar 2 dan hasil perhitungan kuantitatif disajikan pada Gambar 3. Dalam kurun lima tahun dalam area seluas 7959,51 ha pada kawasan Semenanjung Santigi, telah terjadi kehilangan hutan seluas 2096,23 ha (60,04 %) atau dengan laju 419,25 ha tiap tahunnya. Sementara itu, telah terjadi perluasan area perkebunan sebesar 1498,29 ha (260,05%). Struktur vegetasi Bentukan vegetasi pada bukit Salogi tergolong relatif masih alami, pengaruh kegiatan manusia terbatas pada pembalakan kayu dan pemungutan hasil

Gambar 1. Lokasi penelitian Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

187

Riyanto, Soemarno & Farajallah

hutan lain, sedang pembukaan hutan menjadi lahan budidaya pertanian masih terbatas di daerah pantai landai atau pertemuan kaki-kaki bukit di pinggir pantai. Kerapatan pohon pada kawasan ini tercatat 490 individu/ha dengan luas bidang dasar (LBD) sebesar 237.876 cm2/ha dan rataan LBD/individu sebesar 485 cm2. Kerapatan anak pohon tercatat 2.480 individu/ha dengan LBD/ha 47.488 cm2 dan rataan LBD/individu 19,1 cm2 (Tabel 1). Pola sebaran diameter batang dan stratifikasi tajuk lokasi ini diilustrasikan pada Gambar 4. Tampak kelas diameter batang yang terbentuk memperlihatkan pola teratur, membentuk huruf J terbalik, dengan lebar sebaran 10-70 cm. Pola

sebaran stratifikasi tajuk juga memperlihatkan kenampakan yang baik, dijumpai lima stratum tajuk E-A, dengan stratum D (10-19 m) merupakan str atum menerus. Komposisi jenis Komposisi jenis pohon, anak pohon dan tumbuhan bawah di bukit SologiSemenanjng Santigi disajikan pada Tabel 1. Pada kawasan ini, dalam luasan 0,2 ha tercatat sebanyak 28 jenis pohon (18 suku, 21 marga). Pada tingkat anak pohon dalam luasan 0,05 ha tercatat 31 jenis (17 suku, 24 marga), sedangkan pada tingkat tumbuhan bawah dalam luasan 0,008 ha tercatat 45 jenis (22 suku, 38 marga).

Gambar 2. Citra satelit perubahan penutupan lahan dalam lima tahun dari 2001 hingga 2005 di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah setelah diolah dengan metode unsupervised. A. Kondisi tahun 2001. B. Kondisi tahun 2005.

188

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Jenis penyusun utama vegetasi hutan pada habitat Baning Sulawesi dapat diketahui dari Indeks Nilai Penting (INP) lebih dari 10% (Tabel 2) yang disusun oleh delapan jenis utama yaitu Corypha elata, Streblus ilicifolia, Trema sp., Diospyros sp3, Cleistanthus sumatranus, Drypetes minahasae, Grewia acuminata, dan Prunus grisea. Adapun pada tingkat anak pohon disusun oleh sembilan jenis yaitu Streblus ilicifolia, Streblus asper, Cleistanthus sumatranus, Diospyros sp3, Pteros-

permum diversifolium, Croton tiglium, Garuga floribunda, Claoxylon affine, Callicarpa longifolia, dan Goniostoma rupestre. Pada kelompok tumbuhan bawah didominasi oleh empat jenis utama yaitu Cleistanthus sumatranus, Diospyros sp3, Streblus asper dan Streblus ilicifolia. Diversitas dan kemerataan Indeks diversitas (H) dan indeks kemerataan jenis (E) pohon (20 anak

Gambar 3. Perubahan luasan tutupan lahan di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah dalam kurun lima tahun (2001-2005). Tabel 1. Data kuantitatif vegetasi pada habitat Baning Sulawesi di bukit Sologi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

Kerapatan (individu/ha) LBD per individu LBD (cm 2/ ha) Jumlah jenis Jumlah marga Jumlah suku Indeks keragaman (H) Indeks kemerataan (E)Keterangan: LBD=luas bidang dasar

Pohon 490 485,4 237.867,1 28 21 18 1,333 0,878

Tingkat vegetasi Anak pohon Tumbuhan bawah 2.480 19,1 47.487,5 31 45 24 38 17 22 1,341 0,875

189

Riyanto, Soemarno & Farajallah

petak 10x10 m) dan anak pohon (20 anak petak 5x5 m) disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut, tampak bahwa vegetasi tingkat pohon maupun anak pohon relatif sama dalam diversitas maupun kemerataannya. Diversitas kedua tingkat vegetasi tersebut tergolong sedang (H pohon=1,333 dan H anak pohon=1,341), sebab menurut Soerianegara (1996) diversitas dikatakan tinggi bila memiliki nilai indeks ShannonWiener lebih dari 3,5. Namun demikian kemerataan jenis tingkat pohon dan anak pohonnya cukup tinggi dengan nilai mendekati satu (E pohon=0,878 dan E anak pohon=0,875). PEMBAHASAN Laju kehilangan hutan kawasan Semenanjung Santigi termasuk sangat cepat. Dalam luasan 7959,51 ha pada periode 2001 hingga 2005, kawasan tersebut telah kehilangan hutan mencapai 60,04% atau laju kehilangan hutan sebesar 419,25 ha/tahun. Faktor utamaA

penyebab hilangnya hutan pada masa itu diduga akibat adanya program transmigrasi yang mengkonversi hutan dataran rendah menjadi pemukiman dan lahan persawahan (Platt et. al. 2001). Hal ini sebelumnya juga telah disinggung oleh Whitten et. al. (1987) dan Myers (1992) bahwa deforestasi di Sulawesi adalah sebagai hasil dari aktivitas logging, proyek perkebunan, pembalakan dan kebijakan transmigrasi. Hutan bukit Sologi yang terletak di bagian tenggara Semenanjung Santigi dapat dipandang sebagai hutan atau habitat yang tersisa, meskipun selama tiga hari pencarian hanya menemukan satu individu jantan Baning Sulawesi. Temuan ini berbeda dengan hasil wawancara dengan pemburu profesional jenis kura-kura ini yang menyebutkan bahwa dua bulan sebelum penelitian ini dilakukan mereka telah berhasil menperoleh sebanyak 13 individu dengan total jumlah hari pencarian tujuh hari pada lokasi yang sama. Perbedaan temuan ini kemungkinan disebabkan olehB

Gambar 4. Sebaran diameter batang (A) dan tinggi tajuk (B) pohon pada petak cuplikan di hutan bukit Salogi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

190

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Tabel 2. Jenis utama penyusun bentukan vegetasi tingkat pohon, anak pohon dan tumbuhan bawah berdasarkan nilai INP 10% di bukit Sologi-Semenanajung Santigi, Sulawesi Tengah.

Jenis Callicarpa longifolia Claoxylon affine Cleistanthus sumatranus Corypha elata Croton tiglium Diospyros sp3 Drypetes minahasae Garuga floribunda Geniostoma rupestre Grewia acuminata Prunus grisea Pterospermum diversifolium Streblus asper Streblus ilicifolia Trema sp.konsekuensi sifat kelompok herpetofauna termasuk jenis Indotestudo forstenii seperti yang dinyatakan oleh Blomberg & Shine (1996), bahwa satwa kelompok herpetofauna umumnya bersifat kriptik dan bersembunyi sehingga sulit untuk dijumpai. Sementara itu, sebagian besar habitat di Semenanjung Santigi telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan coklat dan tidak pernah lagi ditemukan satupun individu Baning Sulawesi lagi. Hal ini cukup menggambarkan bahwa kelangsungan hidup Baning Sulawesi tergantung pada habitat hutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vegetasi area hutan bukit Sologi masih baik, yang ditunjukkan dari nilai indeks diversitas, indeks kemerataan yang mendekati satu, pola sebaran

Pohon 14,58 40,35 8,62 2,41 7,50 1,89 9,20 28,00

INP 10% Anak Tumbuhan pohon bawah 10,0 13,5 38,7 12,9 18,7 22,0 16,8 10,6 11,5 17,9 12,3 38,0 36,8 17,8 -

diameter batang teratur membentuk huruf J terbalik dan pola sebaran stratifikasi tajuk juga memperlihatkan kenampakan yang baik dijumpai lima stratum tajuk EA, dengan stratum D (10-19 m) merupakan stratum menerus. Secara fisiognomi tegakan membentuk struktur horisontal dan vertikal cukup teratur. Namun demikian, tekanan kegiatan manusia yang dapat merusak kondisi tersebut sudah terasa. Pada beberapa bagian dari hutan bukit Sologi terutama batas pasang surut hingga mendekati punggung bukit sudah mulai mengalami alih fungsi menjadi lahan budidaya, seperti kebun jeruk dan ladang jagung. Lapisan humus yang tebal pada lahan bukaan hutan baru terlihat mampu menopang pertumbuan jagung secara optimal pada 191

Riyanto, Soemarno & Farajallah

kawasan ini dan hal ini makin menggiurkan bagi para penggarap lahan. Selain itu, pembalakan kayu juga mulai merambah kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan ini bila tidak segera ditangani akan menyebabkan r usak bahkan hilangnya habitat bagi Baning Sulawesi dan satwaliar lainnya seperti burung Maleo, rusa timor dan ayam hutan. Dokumentasi beberapa aktivitas yang mengancam kelestarian hutan di bukit Sologi disajikan pada Gambar 5. Langkah penyelamatan hutan bukit Sologi salah satunya dengan menjadikannya sebagai cagar alam. Selain Baning Sulawesi, dengan terjaganya keutuhan bukit Sologi maka satwaliar lainnya juga akan ikut lestari seperti rusa timor, burung maleo dan ayam hutan yang juga ditemukan pada lokasi te