4.Wyati Sadewi Retail Modern Tradisional

13
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43 *) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP USAHA RITEL TRADISIONAL (STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN, TEMBALANG, DAN BANYUMANIK) Wyati Saddewisasi, Teguh Ariefiantoro, Aprih Santoso *) Abstract The purpose of this research is to get an overview of the characteristics, position and potency of traditional retail business and the impact of modern retail to tradisional retail business. The result shows that most traditional retailers are women and in productive ages. The type of business that they are doing is selling goods of daily needs. Mostly they come from low education. The difference between the traditional retailers and modern retailers is 194 meters. Based on the statistic analysist shows that the omzet, turnover of merchandises, gross profits and expenses of traditional retail there are significant defferences between before and after modern retail exists. Keywords : traditional retail, modern retail I. Pendahuluan Dikotomi tentang ritel modern dan tradisional selalu menarik perhatian bagi pembuat kebijakan. Tekanan persaingan terbesar peritel tradisional adalah minimarket (convenience strore). Menurut Rhenald Kasali (2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya para pengembang gedung-gedung pertokoan memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk memajukan ritel-ritel tradisional. Namun demikain seiring dengan perubahan struktur penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin meningkatnya transportasi, alat pembayaran, kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran usaha ritel tradisional memudar (http : // iswekon . wordpress .com ). Menurut Direktur Ritailer Service AC Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko Tradisional @ Mesin Kasir) pada acara konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/3/2009), Industri ritel modern tumbuh lebih pesat dibandingkan ritel tradisional pada tahun 2008. Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan ritel modern. Di lain pihak Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, tanpa aturan yang kaku mengenai zonasi, pasar dan toko tradisional tetap dapat berkembang. Ketua Umum Aprindo Benjamin J Mailool mengatakan, hal itu terbukti di beberapa lokasi di Indonesia dan negara-negara lain. Meski terletak berdekatan, lanjut dia, pasar dan toko tradisional tetap dapat bertumbuh seperti ritel modern yang ada di sekitarnya. Mudahnya mendapat izin pendirian ritel modern baik mal maupun minimarket di Kota Semarang, mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Hal ini terjadi karena kemungkinan akan berdampak sangat luas dan mematikan pedagang kecil, warung di permukiman dan pedagang di pasar tradisional. Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, mempunyai fungsi sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri, transportasi, pendidikan, pariwisata dan pemukiman. Dengan fungsinya tersebut, Kota Semarang mempunyai potensi untuk berkembangnya usaha ritel modern. Demikian pula daerah pinggiran Kota Semarang seperti Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik merupakan daerah yang mulai dilirik para peritel modern seperti Indomart dan Alfamart. Apabila usaha ritel modern dan tradisional dapat tumbuh dan berkembang secara seimbang, maka visi Kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa yang merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat terealisir. Secara keseluruhan visi Kota Semarang mengandung pengertian bahwa dalam jangka waktu lima tahun kedepan, dapat terwujud Kota Semarang yang memiliki sarana prasarana kota berskala metropolitan sehingga dapat melayani seluruh aktivitas masyarakat termasuk daerah hinterland-nya, dengan aktivitas ekonomi utama yang bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa dengan tetap memperhatikan keberadaan potensi ekonomi lokal, dalam bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

description

retail

Transcript of 4.Wyati Sadewi Retail Modern Tradisional

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang

ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP

USAHA RITEL TRADISIONAL

(STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN,

TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)

Wyati Saddewisasi, Teguh Ariefiantoro, Aprih Santoso*)

Abstract

The purpose of this research is to get an overview of the characteristics, position and potency of traditional retail

business and the impact of modern retail to tradisional retail business. The result shows that most traditional

retailers are women and in productive ages. The type of business that they are doing is selling goods of daily

needs. Mostly they come from low education. The difference between the traditional retailers and modern

retailers is 194 meters. Based on the statistic analysist shows that the omzet, turnover of merchandises, gross

profits and expenses of traditional retail there are significant defferences between before and after modern retail

exists.

Keywords : traditional retail, modern retail

I. Pendahuluan

Dikotomi tentang ritel modern dan

tradisional selalu menarik perhatian bagi

pembuat kebijakan. Tekanan persaingan

terbesar peritel tradisional adalah minimarket

(convenience strore). Menurut Rhenald Kasali

(2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha

tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya

para pengembang gedung-gedung pertokoan

memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk

memajukan ritel-ritel tradisional. Namun

demikain seiring dengan perubahan struktur

penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang

memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu

yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin

meningkatnya transportasi, alat pembayaran,

kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran

usaha ritel tradisional memudar (http : //

iswekon . wordpress .com).

Menurut Direktur Ritailer Service AC

Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel

Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko

Tradisional @ Mesin Kasir) pada acara

konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/3/2009),

Industri ritel modern tumbuh lebih pesat

dibandingkan ritel tradisional pada tahun 2008.

Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri

ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan

tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel

tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan

bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih

lambat dibandingkan dengan ritel modern.

Di lain pihak Asosiasi Pengusaha Ritel

Indonesia (Aprindo) mengatakan, tanpa aturan

yang kaku mengenai zonasi, pasar dan toko

tradisional tetap dapat berkembang. Ketua

Umum Aprindo Benjamin J Mailool mengatakan,

hal itu terbukti di beberapa lokasi di Indonesia

dan negara-negara lain. Meski terletak

berdekatan, lanjut dia, pasar dan toko

tradisional tetap dapat bertumbuh seperti ritel

modern yang ada di sekitarnya. Mudahnya

mendapat izin pendirian ritel modern baik mal

maupun minimarket di Kota Semarang,

mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Hal

ini terjadi karena kemungkinan akan berdampak

sangat luas dan mematikan pedagang kecil,

warung di permukiman dan pedagang di pasar

tradisional.

Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi

Jawa Tengah, mempunyai fungsi sebagai pusat

pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri,

transportasi, pendidikan, pariwisata dan

pemukiman. Dengan fungsinya tersebut, Kota

Semarang mempunyai potensi untuk

berkembangnya usaha ritel modern. Demikian

pula daerah pinggiran Kota Semarang seperti

Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan

Banyumanik merupakan daerah yang mulai

dilirik para peritel modern seperti Indomart

dan Alfamart. Apabila usaha ritel modern dan

tradisional dapat tumbuh dan berkembang

secara seimbang, maka visi Kota Semarang

sebagai kota perdagangan dan jasa yang

merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat

guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat

dapat terealisir.

Secara keseluruhan visi Kota Semarang

mengandung pengertian bahwa dalam jangka

waktu lima tahun kedepan, dapat terwujud

Kota Semarang yang memiliki sarana prasarana

kota berskala metropolitan sehingga dapat

melayani seluruh aktivitas masyarakat termasuk

daerah hinterland-nya, dengan aktivitas ekonomi

utama yang bertumpu pada sektor perdagangan

dan jasa dengan tetap memperhatikan

keberadaan potensi ekonomi lokal, dalam

bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa

dijiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan

kesejahteraan seluruh masyarakat.

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

32

Untuk mengetahui apakah keberadaan usaha

ritel modern berdampak pada usaha ritel

tradisional, maka diperlukan studi lebih lanjut.

Untuk itu perlu ada kajian yang lebih mendalam

tentang hal-hal yang terkait dengan faktor-

faktor yang berdampak pada usaha ritel

tradisional.

Selama ini penanganan masalah dikotomi

ritel modern dan ritel tradisional di Kota

Semarang telah ditangani oleh dinas/ instansi

terkait baik di lingkungan pemerintah maupun

non pemerintah. Namun demikian belum

diketahui dengan pasti bagaimana dampak

keberadaan ritel modern yang ada di pinggriran

kota terhadap ritel tradisional.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh gambaran tentang karakteristik,

posisi dan potensi usaha ritel tradisional serta

dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel

tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang

yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen,

Tembalang, dan Banyumanik.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi karakteristik, posisi dan

potensi usaha ritel tradisional.

2. Menganalisis apakah ada perbedaan usaha

ritel tradisional sebelum dan setelah adanya

usaha ritel modern.

3. Apabila ada perbedaan, bagaimana dampak

usaha ritel modern terhadap ritel

tradisional, apakah berdampak positif atau

negatif.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi

hasil sebagai berikut:

1. Memberikan masukan sebagai bahan

pertimbangan untuk mengambil kebijakan

dalam mengatasi masalah usaha ritel

tradisional, sehingga program

pengembangannya yang tepat dapat segera

tersusun .

2. Dengan memahami perbedaan usaha ritel

tradisional sebelum dan sesudah adanya ritel

modern, maka dampak usaha ritel modern

terhadap usaha ritel tradisional dapat

diketahui, sehingga dapat digunakan untuk

memberdayakan pengusaha ritel tradisional

agar: (1) peritel tradisional tetap eksis

ditengah usaha peritel modern, (2) peritel

tradisional dapat bersaing secara sehat

dengan peritel modern, dan (3) peritel

tradisional terlindungi . Dengan demikian

akan tercipta persaingan usaha yang sehat

dan berkelanjutan.

3. Untuk menambah perbendaharaan ilmiah

dan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran

guna menunjang penelitian selanjutnya

terutama yang berhubungan dengan usaha

ritel.

Penelitian ini akan mengkaji perbedaan usaha

ritel tradisional sebelum dan sesudah adanya

ritel modern serta dampak usaha ritel modern

terhadap usaha ritel tradisional. Kajian tersebut

dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan

yang meliputi antara lain data jumlah omset

penjualan, perputaran barang dagangan, jumlah

jam buka, laba bersih, laba kotor, biaya usaha

ritel tradisional sebelum dan sesudah ada usaha

ritel modern.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

terdapat perbedaan jumlah omset penjualan,

perputaran barang dagangan, jumlah jam buka,

laba bersih, laba kotor, biaya usaha ritel

tradisional sebelum dan sesudah ada usaha ritel

modern.

Penelitian ini merupakan survei pada wilayah

pinggiran Kota Semarang yang meliputi

Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan

Banyumanik. Populasi penelitian ini adalah

pengusaha ritel tradisional di wilayah tersebut.

Penentuan sampel dilakukan secara random.

Jumlah sampel untuk masing - masing wilayah

ditetapkan 30 pengusaha ritel tradisional.

Langkah awal dari penelitian ini adalah

melakukan identifikasi posisi usaha ritel

tradisional dari aspek kelembagaan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dengan bantuan kuesioner

dikumpulkan data primer untuk memperoleh

gambaran karakteristik dan potensi usaha serta

data lainnya yang terkait dengan tujuan

penelitian ini. Dengan demikian ada dua jenis

data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

data sekunder dan data primer. Data sekunder

diperoleh dari publikasi-publikasi maupun

literatur dari dinas/ instansi terkait serta

perpustakaan dan website. Sedangkan data

primer diperoleh langsung dari responden

melalui wawancara kepada peritel tradisional

Data yang diperoleh dari lapangan penelitian

dianalisis secara diskriptif kulitatif dan kuantitatif

untuk mengidentifikasi karakteristik, posisi dan

potensi usaha ritel tradisional dan

mendiskripsikan bagaimana pengembangan

potensi usaha peritel tradisional. Selain itu

digunakan analisis uji beda untuk menganalisis

apakah ada perbedaan usaha ritel tradisional

setelah adanya usaha ritel modern. Apabila ada

perbedaan, bagaimana dampak usaha ritel

modern terhadap ritel tradisional, apakah

berdampak positif atau negatif.

Untuk menguji hipotesis digunakan metode

analisis Uji-t berpasangan (paired t-test). Uji-t

berpasangan adalah salah satu metode pengujian

hipotesis dimana data yang digunakan tidak

bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering

ditemui pada kasus yang berpasangan adalah

individu (obyek penelitian) dikenai 2 buah

perlakuan yang berbeda (Marthin, 2009).

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

33

II. Hasil dan Pembahasan

A. Karakteristik, Posisi dan Potensi

Usaha Ritel Tradisional

1. Karakteristik Responden

Penelitian ini menggunakan responden

pengusaha ritel tradisional di wilayah pinggiran

Kota Semarang yang meliputi Kecamatan

Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik.

Jumlah pengusaha yang dijadikan responden

sebanyak 120 orang. Dipilih empat kecamatan

sebagai obyek penelitian karena pada kecamatan

tersebut merupakan wilayah pinggiran kota yang

mulai dilirik peritel modern.

Responden sebanyak 120 orang pengusaha

ritel tradisional terdiri dari 57 orang atau 47,50

% laki-laki dan 63 orang atau 52,50 %

perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha

ritel tradisional merupakan usaha sampingan

yang digunakan untuk membantu menopang

perekonomian keluarga, dimana laki-laki lebih

berperan untuk bekerja pada sektor formal.

Untuk usia responden, baik laki-laki maupun

perempuan semuanya berada dalam usia

produktif. Dalam hal ini usia produktif bisa

dikatakan juga sebagai usia kerja yaitu usia

antara 17 tahun sampai 65 tahun. Berdasarkan

data di lapangan, bila di rata-rata usia responden

adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 17

tahun sampai 65 tahun. Dengan kondisi

tersebut bisa dikatakan bahwa para pengusaha

ini masih memiliki semangat kerja yang tinggi

untuk menjalankan usahanya dan dimungkinkan

juga untuk dilakukan pengembangan terhadap

usaha mereka.

Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh

semua pengusaha ritel masih terfokus pada jenis

usaha kelontong (kebutuhan sehari-hari) hal ini

lebih dikarenakan keinginan untuk memenuhi

kebutuhan pokok konsumen yang tentunya

mempunyai segmen pasar yang lebih luas dan

juga kemudahan dalam penyediaan barang.

Berdasarkan data di lapangan, semua

responden beragama Islam, hal ini lebih

dikarenakan oleh mayoritas penduduk di

masing-masing wilayah obyek penelitian

memeluk agama Islam.

Untuk tempat kelahiran responden ,sebagian

besar responden, 47 orang laki-laki (39,17 %)

maupun 59 orang perempuan (49,16 %) lahir di

Kota Semarang. Sedangkan 14 orang (10 orang

laki-laki atau 8,33 % dan 4 orang perempuan

atau 3,33 %) lahir di luar Kota Semarang. Dapat

dikatakan mayoritas responden merupakan

penduduk asli Semarang, yang tentunya akan

sangat menguntungkan dalam menjalankan

usahanya karena mereka sudah sangat mengenal

karakter lingkungannya. Hal ini juga didukung

data di lapangan yang menunjukkan bahwa

semua responden saat ini berdomisili atau

bertempat tinggal di Semarang. Keadaan ini

tentunya sudah disadari oleh responden bahwa

faktor efisiensi dan efektifitas dalam

menjalankan usaha harus diperhatikan, salah

satunya dengan berdomisili di daerah dimana

usaha dijalankan.

Sebagian besar responden (sebanyak 48

orang atau 40%) yang terdiri dari laki – laki 25

orang atau 20,83 % dan perempuan 23 orang

atau 19,17 % memiliki tingkat pendidikan yang

rendah yaitu SD, serta masih ditambah

responden yang mengisi lainya yaitu 7 orang

atau 5,83 % . Jawaban lainnya muncul karena

beberapa hal, yaitu: responden tidak pernah

sekolah dan responden sudah pernah

mengenyam pendidikan dasar (SD) tetapi tidak

tamat.

Dengan kondisi ini bisa dikatakan bahwa

tingkat pendidikan yang rendah ini akhirnya

memaksa atau menuntut mereka untuk

menciptakan suatu usaha yang sesuai dengan

kemampuan mereka sehingga pilihan terakhir

adalah dengan menjadi pengusaha ritel

tradisional. Juga dipengaruhi oleh pola

pemikiran yang sederhana bahwa pendidikan

tinggi tidak diperlukan tetapi yang terpenting

adalah bagaimana bisa mencari nafkah dan

menambah pemenuhan kebutuhan rumah

tangga. Sedangkan 39 orang atau 32,5 %

reponden lulusan SMA memilih menjadi

pengusaha ritel tradisional karena beberapa

sebab, yaitu: jiwa wirausaha yang tinggi, sulitnya

mencari pekerjaan, serta tuntutan kebutuhan.

Jarak tempat usaha responden dengan ritel

modern bila dirata-rata adalah 194 m, dengan

range jarak tempat usaha antara 5 sampai

dengan 500 m dari ritel modern. Dari data

temuan di lapangan ini dapat dikatakan tidak ada

kejelasan mengenai berapa jarak yang ideal

antara ritel tradisional dengan ritel modern.

Sehingga dengan kondisi ini sangat

dimungkinkan dampak keberadaan dari ritel

modern memiliki pengaruh yang sangat besar

bagi keberadaan ritel tradisional. Walaupun

dalam ijin pendirian sudah disyaratkan mengenai

kajian dampak lingkungan dalam kenyataannya

ritel modern tumbuh dengan pesat dan muncul

pro dan kontra akan keberadaanya.

2. Posisi dan Potensi Usaha Ritel

Tradisional

Menurut pasal 10 Peraturan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-

DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan

dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat

Perbelanjaan dan Toko Modern, pelaku usaha

yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang

pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko

modern, wajib memiliki:

a. Ijin Usaha Pendirian Pasar Tradisional

(IUP2T) untuk Pasar Tradisional;

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

34

b. Ijin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk

Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat

Perdagangan;

c. Ijin Usaha Toko modern (IUTM) untuk

Minimarket, Supermarket, Department Store.

Mengacu pada pasal tersebut, maka

pengusaha ritel tradisional seharusnya juga

memiliki ijin usaha. Hasil penelitian

menunjukkan, pengusaha ritel tradisional yang

memiliki ijin usaha hanya sebanyak 15 orang

(12,5 %), sedangkan yang tidak memiliki ijin

usaha 105 orang (87,5 %). Banyaknya

responden yang tidak memiliki ijin usaha

menunjukkan kurangnya pemahaman tentang

arti penting ijin usaha yang diberikan

pemerintah daerah dan didukung pula oleh pola

pemikiran bahwa ijin pasti akan menimbulkan

biaya sehingga akan mengganggu kelancaran

usaha.

Berdasarkan temuan di lapangan, jenis

dagangan yang dijual oleh pengusaha ritel

tradisional adalah kelontong. Apabila

dikelompokkan berdasarkan jenis pedagang,

maka 7 orang atau 5,83 % merupakan pedagang

grosir sedangkan 106 orang atau 88,33 %

merupakan pedagang eceran. Sisanya 7 orang

atau 5,83 % merupakan pedagang yang melayani

grosir dan eceran.

Sebagian besar (106 atau 88,83%)

merupakan pedagang eceran, hal ini disebabkan

karena konsumen yang dilayani cenderung

konsumen rumah tangga/ individu yang mana

cenderung mencari barang kebutuhan sehari-

hari, disamping itu untuk eceran jumlah modal

usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar.

Berbeda dengan pedagang grosir yang melayani

konsumen pembeli barang untuk dijual kembali,

tentunya modal yang dibutuhkanpun lebih besar.

Terkait dengan luas tempat usaha, dari

penelitian ini didapatkan rata-rata luas tempat

usaha pengusaha ritel tradisional adalah 24 m²

yang secara keseluruhan luasan tempat usaha

berada pada kisaran antara 2 m² sampai 150 m².

Kondisi ini tentunya jauh sekali jika

dibandingkan luas usaha ritel modern. Menurut

Bab V pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-

DAG/PER/12/2008 tentang pedoman penataan

dan pembinaan pasar tradisional, pusat

perbelanjaan dan toko Modern.

Batasan luas lantai penjualan toko modern

dengan modal dalam negeri 100% (seratus

persen) adalah:

a. Minimarket dengan luas lantai penjualan

kurang dari 400 m² (empat ratus meter

persegi);

b. Supermarket dengan luas lantai penjualan

kurang dari 1.200 m² (seribu dua ratus

meter persegi); dan

c. Department Store dengan luas lantai penjualan

kurang dari 2.000 m² (dua ribu meter

persegi).

Dari peraturan mentri di atas, tentunya

dapat dilihat bahwa walaupun luas minimal

minimarket kurang dari 400 m² tetap tidak

sebanding dengan pengusaha ritel tradisional

(rata-rata 24 m²) yang tentunya apabila lokasi

berdekatan (dari hasil penelitian ada yang hanya

berjarak 5 m) akan berpengaruh pada

konsumen, karena dukungan fasilitas dan

produk yang lebih bervariasi.

Tabel 1

Status Tempat Usaha Responden

Jenis Kelamin

Status Tempat Usaha Total

Responden Milik Sendiri Kontrak

Jml % Jml % Jml %

Laki – laki 55 45,83 2 1,67 57 47,5

Perempuan 58 48,33 5 4,17 63 52,5

Jumlah Keseluruhan 113 94,17 7 5,83 120 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Dari Tabel 1 terlihat bahwa, sebagian besar

status tempat usaha adalah milik sendiri (113

orang atau 94,17%). Kondisi ini terjadi karena

sebagian besar responden memanfaatkan

tempat usaha juga sebagai tempat tinggal atau

malah sebaiknya, sehingga bisa dikatakan juga

ruko (rumah toko). Tentunya hal ini banyak

keuntungannya, selain biaya sewa tempat yang

bisa ditiadakan juga bisa dilakukan dua kegiatan

sekaligus yaitu: menjalankan usaha dan

menjalankan aktivitas rumah tangga.

Lama usaha yang telah dijalani oleh

pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun,

dimana kisaran lama usaha antara 1 tahun

sampai 31 tahun. Dari rata-rata lama usaha

dapat dikatakan bahwa pengusaha ritel

tradisional sudah berpengalaman dalam

menjalankan usahanya dan sudah memikirkan

berbagai strategi untuk menjaga kelangsungan

usaha mereka. Tetapi harus pula dicermati

bahwa usaha mereka tidak mungkin berhasil

baik bila tidak ada dukungan dari pihak-pihak

yang terkait (pemerintah) baik dari sisi

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

35

peraturan, maupun fasilitas yang lain

(permodalan).

Bila dibandingkan antara modal awal usaha

dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang

sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang

dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah

Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata

modal adalah Rp 23.200.000,00 (naik sekitar

300%). Hal ini tentunya merupakan hal yang

wajar karena terkait juga dengan kenaikan harga

barang kebutuhan yang terjadi selama 11, 8

tahun (rata-rata lama usaha).

Berkaitan dengan kemitraan atau kerjasama

antara responden dengan pihak lain, sebagian

besar responden (pengusaha ritel tradisional)

tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain (91

0rang atau 75,83%). Alasan yang dikemukakan

sederhana yaitu tidak tahu prosedur yang harus

ditempuh dan usaha yang dijalankan masih

sangat terbatas sehingga tidak diperlukan

kemitraan. Sedangkan 29 orang responden

(24,16%) menjalin kemitraan dengan pihak lain

dengan alasan kemitraan memiliki banyak

manfaat yang positif bagi pengusaha ritel

tradisional. Bentuk kemitraan yang dilakukan

meliputi: pemasaran, pasokan barang maupun

dengan pihak perbankan yang terkait dengan

penambahan modal usaha.

Tabel 2

Asal Barang Dagangan

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Adapun berdasar tabel 2 terlihat bahwa

sebagian besar responden (82 orang atau

68,33%) membeli langsung barang dagangan ke

pasar/tempat grosir karena barang yang dibeli

biasanya tidak banyak dan kecenderungan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari konsumen

dalam partai kecil, selain itu juga dipengaruhi

oleh modal usaha yang terbatas (kecil). Selain

itu ada juga yang hanya mengambil barang dari

pemasok saja (10 orang atau 8,32%), hal ini

dikarenakan untuk melayani konsumen secara

grosir sehingga barang yang dibeli dalam jumlah

besar dan membutuhkan modal yang besar.

Sedangkan 28 orang lainnya (23,34%) melakukan

pembelian secara langsung dan melalui

pemasok. Hal ini disebabkan karena pengusaha

ritel tradisional ingin melayani semua jenis

pembelian baik yang grosir dan eceran dan juga

terkait dengan sifat barang yang slow moving

(perputaran lambat) maupun yang fast moving

(perputaran cepat).

Hasil penelitian mendapatkan bahwa

sebagian besar responden tidak menggunakan

tenaga kerja (94 orang atau 78,33%), dengan

kata lain pengusaha ritel tradisional disini

bertindak sebagai pemilik usaha dan pelaku

usaha (pekerja). Asumsi mereka, gaji untuk

tenaga kerja bisa dialihkan untuk menambah

modal kerja. Seharusnya secara ekonomi apa

yang mereka kerjakan diperhitungkan sehingga

dapat dihitung secara pasti berapa besar

keuntungan yang didapatkan setelah dikurangi

biaya pekerja. Sedangkan 26 orang (21,66%)

menggunakan tenaga kerja karena merasa

usahanya semakin maju dan tidak

memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Tenaga

kerja yang direkrutpun sebagian besar berasal

dari luar lingkungan usaha karena kebanyakan

masyarakat sekitar lebih memilih bekerja di

pabrik atau sektor swasta lain daripada harus

bekerja di toko.

Terkait dengan adanya pembinaan bagi

pengusaha ritel tradisional, sebagian besar

responden menyatakan belum pernah

mendapatkan pembinaan usaha (114 orang atau

95%) Sedangkan 5 orang (5%) mendapatkan

pembinaan baik dari perbankan, swasta,

Perguruan Tinggi (UNNES) maupun dari pihak

keluarga. Dengan keadaan ini dapat dikatakan

bahwa apabila ada pembinaan dari pihak-pihak

tertentu baik negri maupun swasta akan dapat

meningkatkan pengetahuan para pengusaha

tentang bagaimana cara mengelola usaha baik

dari aspek pemasaran, keuangan (permodalan)

maupun dari sisi SDM (karyawan) dan apabila

pengetahuan tersebut diaplikasikan diharapkan

akan meningkatkan keuntungan dari para

pengusaha ritel tradisional.

B. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada

Ritel Modern

1. Omzet Penjualan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat

bahwa terjadi penurunan rata-rata omzet

penjualan dari Rp. 28.672.917,00 menjadi Rp.

21.505.000,00 atau turun rata-rata sebesar Rp.

7.167.917 (25%). Kondisi ini perlu dikaji apakah

ini terjadi murni karena kehadiran ritel modern

sehingga semakin memperketat persaingan

usaha atau lebih disebabkan karena turunnya

daya beli masyarakat.

Jenis Kelamin

Jenis Pedagang Total

Responden Kulakan Pemasok Kulakan & Pemasok

Jml % Jml % Jml % Jml %

Laki – laki 38 31,67 5 4,16 14 11,67 57 47,5

Perempuan 44 36,67 5 4,16 14 11,67 63 52,5

Jumlah Keseluruhan 82 68,33 10 8,32 28 23,34 120 100

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

36

Penurunan omset penjualan karena

kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh

negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap

usaha ritel tradisional. Hal ini menunjukkan

bahwa konsumen lebih suka berbelanja pada

ritel modern dari pada ritel tradisional.

Omset penjualan sebelum dan sesudah

adanya ritel modern dapat dilihat pada Tabel 3.

Terlihat bahwa sebelum adanya ritel modern,

omset penjualan ritel tradisional paling kecil Rp.

500.000,00 per bulan dan sesudah adanya ritel

tradisional paling kecil Rp. 300.000,00 per

bulan. Ini menunjukkan bahwa setelah adanya

ritel modern omset penjualan mengalami

penurunan. Hal ini juga dikuatkan oleh adanya

informasi bahwa usaha ritel tradisional yang

memiliki omset penjualan kecil, jumlahnya

meningkat dari 112 sebelum adanya ritel

modern menjadi 117 sesudah adanya ritel

modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa

yang memiliki omset besar mengalami

penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada

ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel

modern.

2. Jumlah Jam Buka Usaha

Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada

perubahan yang signifikan, hal ini dapat

diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum

maupun sesudah ada ritel modern sebanyak

13,8 jam. Jumlah rata-rata jam buka sebelum

dan sesudah ada ritel modern tetap sama, hal ini

sangat dimungkinkan karena sudah

diperhitungkan berdasarkan pengalaman para

pengusaha ritel tradisional ada jam-jam dimana

ramai pelanggan dan jam dimana sepi pelangaan

sehingga bila dilakukan penambahan jam

bukapun mereka berasumsi tidak akan

menambah keuntungan secara signifikan.

Jumlah jam buka usaha dapat dikelompokkan

menjadi jam buka pendek, sedang dan panjang.

Apabila kita cermati Tabel 4, maka tampak

bahwa jam buka sebelum ada ritel modern

paling pendek 4 jam, namun setah ada ritel

modern paling pendek 7 jam. Hal ini tidak

menggambarkan adanya kenaikan jam buka,

karena jumlah peritel tradisional yang

melakukan jam buka pendek dan sedang

mengalami kenaikan dibanding dengan sebelum

ada ritel modern. Disisi lain, ada penurunan

yang cukup banyak pada usaha ritel tradisional

yang melakukan usaha dengan jam buka panjang.

Dengan demikian, secara rata-rata jam buka

tidak mengalami perubahan. Tabel 4

menunjukkan jumlah jam buka usaha yang

dirinci berdasarkan kriteria pendek,sedang dan

panjang baik sebelum maupun sesudah ada ritel

modern.

Keberadaan ritel modern tidak berdampak

pada jumlah jam buka. Ini menunjukkan bahwa

kebiasaan melakukan usaha bagi peritel

tradisional tidak mengalami perubahan aktivitas.

Tabel 3

Omset Penjualan

Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria

Omset Penjualan

Per Bulan (Rp)

Jumlah

Orang %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 500.000-

100.333.332

300.000-

100.999.999

112 117 93 97

Sedang 100.333.333-

200.166.666

100.200.000-

200.099.999

5 2 4 2

Besar 200.166.667-

300.000.000

200.100.000-

300.000.000

3 1 3 1

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 4

Jumlah Jam Buka Usaha

Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria

Jumah jam Buka Usaha

(jam)

Jumlah

Orang %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6

Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62

Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

37

3. Perputaran Barang Dagangan

Perputaran barang dagangan secara rata-rata

sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi

perubahan. Penelitian ini mengungkapkan

adanya perubahan yang terjadi pada perputaran

barang dagangan, artinya perputaran barang

semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal

ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya

penurunan omset penjualan. Omset yang

jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok

barang dagangan juga sedikit sehingga

perputarannya menjadi semakin cepat.

Tabel 5 menunjukkan perputaran barang

dagangan yang dirinci menurut kriteria lambat,

sedang serta cepat sebelum dan sesudah ada

ritel modern. Tabel 5

Perputaran Barang Dagangan

Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Ritel modern berdampak pada perputaran

barang dagangan, ini ditunjukkan dengan

perputaran yang semakin cepat dibandingkan

sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah

secara mendalam perputaran barang dangangan

yang semakin cepat adalah baik. Namun

demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset

penjualan yang semakin sedikit, maka dampak

ritel modern terhadap perputaran barang

dagangan adalah negatif karena perputaran yang

cepat diakibatkan omset yang sedikit.

4. Biaya Usaha

Rata-rata biaya usaha mengalami perubahan

dari Rp. 14.141.667,00 menjadi Rp.

12.692.083,00 atau turun sebesar 10,25%.

Dengan demikian ada penurunan biaya usaha

setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya

merupakan efek dari sirkulasi barang yang

menurun kemudian turunnya omset sehingga

pengeluaran terutama untuk pembelian barang

semakin menurun.

Biaya usaha sebelum dan sesudah ada ritel

modern dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya usaha

yang menurun merupakan dampak negatif dari

keberadaan ritel modern. Hal ini dapat

dijelaskan dari biaya yang dikeluarkan untuk

membeli barang dagangan yang menurun sebagai

akibat omset penjualan yang menurun pula.

Tabel 6

Biaya Usaha Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria

Biaya Usaha

Per Bulan (Rp)

Jumlah

Orang %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 100.000-96.733.332 50.000-96.699.999 118 118 98 98

Sedang 96.733.333-193.366.666 96.700.000-193.349.999 1 1 1 1

Besar 193.366.667-290.000.000 193.350.000-290.000.000 1 1 1 1

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 7

Laba Bersih Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria

Laba Bersih

Per Bulan (Rp)

Jumlah

Orang %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 200.000-25.333.332 0-4.999.999 119 116 99 97

Sedang 25.133.333-50.066.666 5.000.000-9.999.999 0 3 0 3

Besar 50.066.667-75.000.000 10.000.000-15.000.000 1 1 1 1

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 8

Laba Kotor Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern

Kriteria

Laba Kotor

Per Bulan (Rp)

Jumlah

Orang %

Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh

Kecil 300.000-16.866.666 0-9.999.999 115 113 96 95

Sedang 16.866.667-33.433.332 10.000.000-19.999.999 3 4 2 3

Besar 33.433.333-50.000.000 20.000.000-30.000.000 2 3 2 2

Total 120 120 100 100

Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Kriteria

Perputaran Barang Dagangan

(jam)

Jumlah

Orang %

Sblm Sdh Sblm Sdh Sblm Sdh

Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6

Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62

Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32

Total 120 120 100 100

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang

5. Laba Bersih

Penelitian ini mengungkapkan terjadinya

penurunan rata-rata laba bersih dari Rp.

2.575.833,00 sebelum ada ritel modern menjadi

Rp. 1.683.083,00 setelah ada ritel modern.

Besarnya penurunan tersebut adalah 34,66%.

Perincian menurut kriteria laba bersih kecil,

sedang dan besar dapat dilihat pada Tabel 7.

Penurunan laba bersih ini bukan merupakan

dampak dari adanya ritel modern. Penurunan

laba bersih tersebut diakibatkan karena

pendapatan yang berasal dari omset penjualan

yang menurun diikuti dengan penurunan biaya

yang tidak sebanding dengan penurunan

pendapatan. Penurunan omset penjualan lebih

tinggi dari pada penurunan biaya usaha.

6. Laba Kotor

Laba kotor rata-rata juga mengalami

penurunan dari Rp. 4.999.166,00 sebelum ada

ritel modern menjadi Rp. 3.553.333,00 sesudah

ada ritel modern atau turun Rp. 1.445.833,00

(40,69%). Penurunan tersebut, tentunya lebih

dikarenakan persaingan usaha. Hal ini juga

tampak pada saat sebelum ada ritel modern laba

kotor minimal Rp. 300.000,00 dan sesudah ada

ritel modern laba kotor minimal Rp 0,00.

Sedangkan laba kotor maksimal Rp.

50.000.000,00 sebelum ada ritel modern dan

turun menjadi Rp.30.000.000,00 setelah ada

ritel modern. Tabel 8 menunjukkan laba kotor

sebelum dan sesudah ada ritel modern yang

dirinci menurut kriteria laba kotor kecil, sedang

dan besar.

Penurunan laba usaha merupakan dampak

negatif dari adanya ritel modern. Hal ini sesuai

dengan pendapatan dari omset penjualan yang

menurun.

C. Analisis Statistik dengan Uji Beda

1. Jumlah Omzet Penjualan

Secara deskriptif omset penjualan mengalami

penurunan bila dibandingkan dengan sebelum

ada ritel modrn. Ini mengindikasikan bahwa

konsumen lebih suka berbelanja di peritel

modern. Untuk mengetahui apakah jumlah

omset penjualan usaha retail tradisional

sebelum dan sesudah adanya usaha retail

modern berbeda nyata atau tidak, maka

dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata

berpasangan dan didapat hasilnya seperti

tertera pada Tabel 9.

Tabel 9

Jumlah Omset Penjualan

No Uraian N Rata-rata Jumlah Omset

Penjualan/ bulan (Rp)

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Jumlah Omset Penjualan usaha retail

tradisional sebelum ada usaha ritel modern

120 28.672.917,00

3,943

119

.000 2. Jumlah Omset Penjualan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern

120 21.505.000,00

Tabel 10

Perputaran Barang Dagangan

No Uraian N Rata-rata Perputaran

barang dagangan

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sebelum ada usaha ritel modern

120 18,20

3.285

119

.001 2. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern

120 17,29

Tabel 11

Jumlah Jam Buka

No Uraian N Rata-rata

Jumlah Jam Buka

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Jumlah jam buka usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern

120 13.80

.159

119

0.874 2. Perputaran barang dagangan usaha retail

tradisional sesudah ada usaha ritel modern

120 13.78

Pada tabel 9 tersebut terlihat bahwa nilai

signifikansi jumlah omset penjualan usaha retail

tradisional sebelum ada usaha retail modern

dan sesuhah ada retail modern sebesar .000. Ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara jumlah omset penjualan usaha

retail tradisional sesudah dan sebelum adanya

retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05.

Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan

pengujian t hitung. Dari Tabel 9 diperoleh nilai

t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari

tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan

demikaian dapat disimpulkan terdapat

perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha

retail tradisional sebelum dan sesudah adanya

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

39

usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel

(3,943>1.980)

2. Perputaran Barang Dagangan

Perhitungan uji beda terkait dengan

perputaran barang dagangan didapatkan hasil

seperti pada Tabel 10.

Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai

signifikansi perputaran barang dagangan usaha

retail tradisional sebelum ada usaha retail

modern dan sesuhah ada retail modern sebesar

.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara perputaran

barang dagangan usaha retail tradisional sesudah

dan sebelum adanya retail modern, karena nilai

signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat

dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari

tabel 18 diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285

yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar =

1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan

terdapat perbedaan antara perputaran barang

dagangan usaha retail tradisional sebelum dan

sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-

hitung>t-tabel (3,285>1.980)

3. Jumlah Jam Buka

Untuk mengetahui apakah jumlah jam buka

usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern berbeda nyata atau

tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda

rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya

seperti tertera pada Tabel 11.

Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai

signifikansi jumlah jam buka retail tradisional

sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah

ada retail modern sebesar .874. Ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara jumlah jam buka usaha

retail tradisional sesudah dan sebelum adanya

retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05.

Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan

pengujian t hitung. Dari Tabel 11 diperoleh nilai

t-hitung sebesar .159 yang lebih kecil dari tabel

distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian

dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan

antara jumlah jam buka usaha retail tradisional

sebelum dan sesudah adanya usaha retail

modern, kareta t-hitung<t-tabel (.159<1.980).

5. Laba Bersih

Berdasarkan perhitungan uji beda terkait

dengan laba bersih didapatkan hasil sebagai

berikut:

Tabel 12

Laba Bersih

No Uraian N Rata-rata Laba

Bersih/ bulan (Rp)

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Laba bersih usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern

120 2.575.833,00

1.452

119

.149 2. Laba bersih usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern

120 1.683.083,00

Tabel 13

Laba Kotor

No Uraian N Rata-rata Laba

Kotor/ bulan (Rp)

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Laba kotor usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern

120 4.999.166,00

4.157

119

.000 2. Laba kotor usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern

120 3.553.333,00

Tabel 14

Biaya Usaha

No Uraian N Rata-rata Biaya

Usaha/ bulan (Rp)

t

hitung

df Sig

(2-tailed)

1. Biaya usaha retail tradisional

sebelum ada usaha ritel modern

120 14.141.667,00

4.194

119

.000 2. Biaya usaha retail tradisional

sesudah ada usaha ritel modern

120 12.692.083,00

Untuk mengetahui apakah laba bersih

usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern berbeda nyata atau

tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda

rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya

seperti tertera pada tabel 20. Pada tabel

tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi laba

bersih usaha retail tradisional sebelum ada

usaha retail modern dan sesudah ada retail

modern sebesar .149. Ini menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

laba bersih usaha retail tradisional sesudah dan

sebelum adanya retail modern, karena nilai

signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat

dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari

Tabel 12 diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,452

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

40

yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar =

1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan

tidak terdapat perbedaan antara laba bersih

usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-

tabel (1,452<1.980)

6. Laba Kotor

Untuk mengetahui apakah laba kotor usaha

retail tradisional sebelum dan sesudah adanya

usaha retail modern berbeda nyata atau tidak,

maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-

rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti

tertera pada Tabel 13.

Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai

signifikansi laba kotor usaha retail tradisional

sebelum ada usaha retail modern dan sesudah

ada retail modern sebesar .000. Ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara laba kotor usaha retail

tradisional sesudah dan sebelum adanya retail

modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal

tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian

t hitung. Dari Tabel 13 diperoleh nilai t-hitung

sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel

distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian

dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara

laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan

sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-

hitung > t-tabel (4,157>1.980)

7. Biaya Usaha

Berdasarkan perhitungan uji beda terkait

dengan biaya usaha didapatkan hasil seperti

pada Tabel 14.

Biaya usaha retail tradisional sebelum dan

sesudah adanya usaha retail modern berbeda

nyata atau tidak dapat diketahui dengan

melakukan pengujian dengan uji beda rata-rata

berpasangan dan hasilnya diperoleh seperti

tertera pada Tabel 14. Pada tabel tersebut

terlihat bahwa nilai signifikansi biaya usaha retail

tradisional sebelum ada usaha retail modern

dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara biaya usaha retail tradisional

sesudah dan sebelum adanya retail modern,

karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut

dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.

Dari Tabel 14 diperoleh nilai t-hitung sebesar

4.194 yang lebih besar dari tabel distribusi t

sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat

disimpulkan terdapat perbedaan antara biaya

usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-

tabel (4.194>1.980)

III. Penutup

A. Kesimpulan

1. Karakteristik, Posisi dan Potensi Usaha

Ritel Tradisional

a. Karakteristik Responden

Sebagian besar responden adalah

perempuan. Untuk usia responden, baik laki-laki

maupun perempuan semuanya berada dalam

usia produktif. Jenis usaha yang dijalankan dan

digeluti oleh semua pengusaha ritel masih

terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan

sehari-hari). Semua responden beragama Islam.

Sebagian besar responden, baik laki-laki

maupun perempuan lahir di Kota Semarang.

Tingkat pendidikan peritel tradisional sebagian

besar rendah. Jarak tempat usaha peritel

modern dengan tradisional rata-rata adalah

194m.

b. Posisi dan Potensi Usaha Ritel

Tradisional

Sebagian besar peritel tradisional tidak

memiliki ijin usaha. Jenis dagangan yang dijual

oleh pengusaha ritel tradisional adalah

kelontong dan merupakan pedagang eceran.

Rata-rata luas tempat usaha pengusaha ritel

tradisional adalah 24 m². Sebagian besar status

tempat usaha adalah milik sendiri.

Lama usaha yang telah dijalani oleh

pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun.

Bila dibandingkan antara modal awal usaha

dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang

sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang

dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah

Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata

modal yang dikeluarkan adalah Rp

23.200.000,00.

Sebagian besar responden tidak menjalin

kerjasama dengan pihak lain. Sebagian kecil

melakukan kemitraan yang meliputi: pemasaran,

pasokan barang maupun dengan pihak

perbankan yang terkait dengan penambahan

modal usaha.

Untuk asal barang dagangan sebagian besar

responden membeli langsung barang dagangan

ke pasar/tempat grosir karena barang yang

dibeli biasanya tidak banyak dan kecenderungan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

konsumen dalam partai kecil, selain itu juga

dipengaruhi oleh modal usaha yang terbatas

(kecil). Selain itu ada juga sebagian kecil yang

hanya mengambil barang dari pemasok saja.

Untuk penggunaan tenaga kerja sebagian

besar responden tidak menggunakan tenaga

kerja dan hanya sebagian kecil menggunakan

tenaga kerja karena merasa usahanya semakin

maju dan tidak memungkinkan untuk dikerjakan

sendiri. Tenaga kerja yang direkrutpun sebagian

besar berasal dari luar lingkungan usaha karena

kebanyakan masyarakat sekitar lebih memilih

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

41

bekerja di pabrik atau sektor swasta lain

daripada harus bekerja di toko.

Terkait dengan adanya pembinaan bagi

pengusaha ritel tradisional sebagian besar

responden menyatakan belum pernah

mendapatkan pembinaan usaha sedangkan

sebagian kecil mendapatkan pembinaan baik dari

perbankan, swasta, Perguruan Tinggi (UNNES)

maupun dari pihak keluarga.

2. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada

Ritel Modern

a. Omzet Penjualan

Penurunan omset penjualan karena

kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh

negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap

usaha ritel tradisional. Sebelum adanya ritel

modern, omset penjualan ritel tradisional paling

kecil Rp. 500.000,00 per bulan dan sesudah

adanya ritel tradisional paling kecil Rp.

300.000,00 per bulan. Ini menunjukkan bawha

setelah adanya ritel modern omset penjualan

mengalami penurunan. Hal ini juga dikuatkan

oleh adanya informasi bahwa usaha ritel

tradisional yang memiliki omset penjualan kecil,

jumlahnya meningkat dari 112 sebelum adanya

ritel modern menjadi 117 sesudah adanya ritel

modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa

yang memiliki omset besar mengalami

penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada

ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel

modern.

b. Jumlah Jam Buka Usaha

Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada

perubahan yang signifikan, hal ini dapat

diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum

maupun sesudah ada ritel modern sebanyak

13,8 jam. Keberadaan ritel modern tidak

berdampak pada jumlah jam buka. Ini

menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan usaha

bagi peritel tradisional tidak mengalami

perubahan aktivitas.

c. Perputaran Barang Dagangan

Perputaran barang dagangan secara rata-rata

sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi

perubahan. Penelitian ini mengungkapkan

adanya perubahan yang terjadi pada perputaran

barang dagangan, artinya perputaran barang

semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal

ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya

penurunan omset penjualan. Omset yang

jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok

barang dagangan juga sedikit sehingga

perputarannya menjadi semakin cepat.

Ritel modern berdampak pada perputaran

barang dagangan, ini ditunjukkan dengan

perputaran yang semakin cepat dibandingkan

sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah

secara mendalam perputaran barang dangangan

yang semakin cepat adalah baik. Namun

demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset

penjualan yang semakin sedikit, maka dampak

ritel modern terhadap perputaran barang

dagangan adalah negatif karena perputaran yang

cepat diakibatkan omset yang sedikit.

d. Biaya Usaha

Rata-rata biaya usaha mengalami

perubahan yaitu ada penurunan biaya usaha

setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya

merupakan efek dari sirkulasi barang yang

menurun kemudian turunnya omset sehingga

pengeluaran terutama untuk pembelian barang

semakin menurun. Biaya usaha yang menurun

merupakan dampak negatif dari keberadaan ritel

modern. Hal ini dapat dijelaskan dari biaya yang

dikeluarkan untuk membeli barang dagangan

yang menurun sebagai akibat omset penjualan

yang menurun pula.

e. Laba Bersih

Penelitian ini mengungkapkan terjadinya

penurunan rata-rata laba bersih. Walaupun

terjadi penurunan laba bersih, ini bukan

merupakan dampak dari adanya ritel modern.

Penurunan laba bersih tersebut diakibatkan

karena pendapatan yang berasal dari omset

penjualan yang menurun diikuti dengan

penurunan biaya yang tidak sebanding dengan

penurunan pendapatan. Penurunan omset

penjualan lebih tinggi dari pada penurunan biaya

usaha.

f. Laba Kotor

Laba kotor rata-rata juga mengalami

penurunan sesudah ada ritel modern.

Penurunan tersebut, tentunya lebih dikarenakan

persaingan usaha. Penurunan laba usaha

merupakan dampak negatif dari adanya ritel

modern. Hal ini sesuai dengan pendapatan dari

omset penjualan yang menurun.

3. Analisis Statistik dengan Uji Beda

a. Jumlah Omzet Penjualan

Nilai signifikansi jumlah omset penjualan

usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail

modern dan sesudah ada retail modern sebesar

.000. Ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara jumlah omset

penjualan usaha retail tradisional sesudah dan

sebelum adanya retail modern, karena nilai

signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat

dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Nilai

t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari

tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan

demikaian dapat disimpulkan terdapat

perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha

retail tradisional sebelum dan sesudah adanya

usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel

(3,943>1.980)

Analisis Dampak Usaha Ritel Modern

Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

42

b. Perputaran Barang Dagangan

Nilai signifikansi perputaran barang dagangan

usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail

modern dan sesuhah ada retail modern sebesar

.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara perputaran

barang dagangan usaha retail tradisional sesudah

dan sebelum adanya retail modern, karena nilai

signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat

dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.

Diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 yang lebih

besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980.

Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat

perbedaan antara perputaran barang dagangan

usaha retail tradisional sebelum dan sesudah

adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-

tabel (3,285>1.980)

c. Jumlah Jam Buka

Nilai signifikansi jumlah jam buka retail

tradisional sebelum ada usaha retail modern

dan sesudah ada retail modern sebesar .874. Ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara jumlah jam buka usaha

retail tradisional sesudah dan sebelum adanya

retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05.

Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan

pengujian t hitung. Nilai t-hitung sebesar .159

yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar =

1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan

tidak terdapat perbedaan antara jumlah jam

buka usaha retail tradisional sebelum dan

sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-

hitung<t-tabel (.159<1.980).

d. Laba Bersih

Nilai signifikansi laba bersih usaha retail

tradisional sebelum ada usaha retail modern

dan sesudah ada retail modern sebesar .149. Ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara laba bersih usaha retail

tradisional sesudah dan sebelum adanya retail

modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal

tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian

t hitung. Dari tabel 5.20 diperoleh nilai t-hitung

sebesar 1,452 yang lebih kecil dari tabel

distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian

dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan

antara laba bersih usaha retail tradisional

sebelum dan sesudah adanya usaha retail

modern, kareta t-hitung<t-tabel (1,452<1.980).

e. Laba Kotor

Nilai signifikansi laba kotor usaha retail

tradisional sebelum ada usaha retail modern

dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara laba kotor usaha retail

tradisional sesudah dan sebelum adanya retail

modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal

tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian

t hitung. Dari tabel 5.21 diperoleh nilai t-hitung

sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel

distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian

dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara

laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan

sesudah adanya usaha retail modern, karena t-

hitung > t-tabel (4,157>1.980)

f. Biaya Usaha

Nilai signifikansi biaya usaha retail tradisional

sebelum ada usaha retail modern dan sesudah

ada retail modern sebesar .000. Ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara biaya usaha retail tradisional

sesudah dan sebelum adanya retail modern,

karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut

dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.

Diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.194 yang lebih

besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980.

Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat

perbedaan antara biaya usaha retail tradisional

sebelum dan sesudah adanya usaha retail

modern, kareta t-hitung>t-tabel (4.194>1.980).

Dengan demikian dapat disimpulkan

terdapat empat variabel penelitian yaitu jumlah

omset penjualan, perputaran barang dagangan,

laba kotor usaha, dan biaya usaha yang

mempunyai perbedaan yang nyata antara

sebelum dan sesudah adanya peritel modern.

Keberadaan ritel modern berpengaruh negatif

terhadap jumlah omset penjualan, perputaran

barang dagangan, dan laba kotor usaha.

Sedangkan terhadap biaya usaha pengaruhnya

positif.

B. Rekomendasi

1. Pemerintah

a. Menyusun Perda bagi pendirian ritel modern

yang mencakup antara lain :

pembatasan jumlah ritel modern dalam

satu wilayah (misalnya : dalam satu

kecamatan hanya diperbolehkan 1

sampai dengan 2 ritel modern),

jarak antara ritel modern dan tradisional,

pola kemitraan antara peritel tradisional

dan modern misalnya dalam hal pasokan

barang dagangan.

b. Pengembangan ritel tradisional melalui

pelatihan dan pembinaan manajemen usaha

yang meliputi antara lain :

manajemen keuangan

pemasaran (meliputi marketing mix,

space management/ display barang

dagangan),

manajemen persediaan barang dagangan,

dan manajemen sumberdaya manusia.

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

43

c. Peningkatan sarana prasarana usaha

d. Memfasilitasi kemudahan mendapatkan

kucuran dana untuk menambah modal

usaha.

2. Ritel Tradisional

a. Meningkatkan ketrampilan dibidang

manajemen usaha

b. Meningkatkan omset penjualan melalui

diversifikasi usaha

c. Membuat display barang dagangan yang

menarik serta nyaman bagi konsumen

d. Melakukan kemitraan dengan berbagai pihak

untuk mengembangkan usahanya

3. Ritel Modern

a. Mematuhi ketentuan yang diberlakukan di

lingkungan berdirinya usaha

b. Mengadakan kemitraan dengan usaha ritel

tradisional khususnya dalam hal pasokan

barang dagangan

c. Memperhatikan jarak pendirian usaha titel

modern dengan ritel tradisional, dalam hal

ini jangan terlalu dekat jaraknya dengan ritel

tradisional.

d. Dalam satu lokasi jangan terdapat dua ritel

tradisional yang posisinya berdekatan

4. Akademisi

a. Melakukan kajian lebih lanjut keberadaan

usaha ritel modern bagi pola belanja

masyarakat di Kota Semarang

b. Kajian dari aspek sosial ekonomi untuk

mengetahui pola belanja masyarakat Kota

Semarang.

c. Menganalisis dampak usaha ritel modern

terhadap usaha ritel tradisional dengan alat

analisis selain uji beda

d. Berperan serta dalam usaha pengembangan

ritel tradisional melalui pengabdian kepada

masyarakat berupa pendampingan usaha

maupun pelatihan manajemen usaha dan

peningkatan jiwa kewirausahaan.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

WaliKota Semarang dan Kepala Bappeda Kota

Semarang yang telah memberikan dana kegiatan

penelitian melalui Bidang Penelitian dan

Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun

2010.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perdagangan RI dan PT Indef

Eramadani (INDEF). 2007. “Kajian

Dampak Ekonomi Keberadaan

Hypermarket Ritel/ Pasar, Kerjasama

antara Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perdagangan Dalam

Negeri (Ringkasan Eksekutif)”.

Hutabarat, Marthin Rapael. 2009. Dampak

Kehadiran Pasar Modern Brastagi

Supermarket terhadap Pasar Tradisional

SEI Sikambing di Kota Medan. Skripsi.

Departemen Agribisnis Fakultas

Pertanian Universitas Sumatra Utara

Medan.

Kasali, Rhenald.http://iswekon.wordpress.com

“Minimarket dan Ritel Modern Kian

Menakutkan”. http://www.poskota.co.id.

“Pasar Ritel Modern Bukan Pembunuh Pasar

Tradisional”.

http://www.antaranews.com

Pemerintah Kota Semarang, Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Menengah

Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun

2005-2010.

“Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern

(Supermarket dan Hypermarket)

Terhadap Usaha Ritel Koperasi/

Waserda dan Pasar Tradisional”, Jurnal

Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1

Tahun I, 2006.

Penyempurnaan Perangkat Peraturan, Kebijakan

Pelaksanaan Operasional dan Kajian

Pengembangan Pasar Percontohan.

Laporan Akhir.

“Ritel Marak, Warung Kecil Gulung Tikar”,

http://www.poskota.co.id

“Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari

Toko Tradisional @ Mesin Kasir