4.Wyati Sadewi Retail Modern Tradisional
description
Transcript of 4.Wyati Sadewi Retail Modern Tradisional
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang
ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP
USAHA RITEL TRADISIONAL
(STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN,
TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)
Wyati Saddewisasi, Teguh Ariefiantoro, Aprih Santoso*)
Abstract
The purpose of this research is to get an overview of the characteristics, position and potency of traditional retail
business and the impact of modern retail to tradisional retail business. The result shows that most traditional
retailers are women and in productive ages. The type of business that they are doing is selling goods of daily
needs. Mostly they come from low education. The difference between the traditional retailers and modern
retailers is 194 meters. Based on the statistic analysist shows that the omzet, turnover of merchandises, gross
profits and expenses of traditional retail there are significant defferences between before and after modern retail
exists.
Keywords : traditional retail, modern retail
I. Pendahuluan
Dikotomi tentang ritel modern dan
tradisional selalu menarik perhatian bagi
pembuat kebijakan. Tekanan persaingan
terbesar peritel tradisional adalah minimarket
(convenience strore). Menurut Rhenald Kasali
(2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha
tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya
para pengembang gedung-gedung pertokoan
memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk
memajukan ritel-ritel tradisional. Namun
demikain seiring dengan perubahan struktur
penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang
memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu
yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin
meningkatnya transportasi, alat pembayaran,
kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran
usaha ritel tradisional memudar (http : //
iswekon . wordpress .com).
Menurut Direktur Ritailer Service AC
Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel
Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko
Tradisional @ Mesin Kasir) pada acara
konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/3/2009),
Industri ritel modern tumbuh lebih pesat
dibandingkan ritel tradisional pada tahun 2008.
Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri
ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan
tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel
tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan
bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih
lambat dibandingkan dengan ritel modern.
Di lain pihak Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia (Aprindo) mengatakan, tanpa aturan
yang kaku mengenai zonasi, pasar dan toko
tradisional tetap dapat berkembang. Ketua
Umum Aprindo Benjamin J Mailool mengatakan,
hal itu terbukti di beberapa lokasi di Indonesia
dan negara-negara lain. Meski terletak
berdekatan, lanjut dia, pasar dan toko
tradisional tetap dapat bertumbuh seperti ritel
modern yang ada di sekitarnya. Mudahnya
mendapat izin pendirian ritel modern baik mal
maupun minimarket di Kota Semarang,
mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Hal
ini terjadi karena kemungkinan akan berdampak
sangat luas dan mematikan pedagang kecil,
warung di permukiman dan pedagang di pasar
tradisional.
Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi
Jawa Tengah, mempunyai fungsi sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri,
transportasi, pendidikan, pariwisata dan
pemukiman. Dengan fungsinya tersebut, Kota
Semarang mempunyai potensi untuk
berkembangnya usaha ritel modern. Demikian
pula daerah pinggiran Kota Semarang seperti
Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan
Banyumanik merupakan daerah yang mulai
dilirik para peritel modern seperti Indomart
dan Alfamart. Apabila usaha ritel modern dan
tradisional dapat tumbuh dan berkembang
secara seimbang, maka visi Kota Semarang
sebagai kota perdagangan dan jasa yang
merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat
guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dapat terealisir.
Secara keseluruhan visi Kota Semarang
mengandung pengertian bahwa dalam jangka
waktu lima tahun kedepan, dapat terwujud
Kota Semarang yang memiliki sarana prasarana
kota berskala metropolitan sehingga dapat
melayani seluruh aktivitas masyarakat termasuk
daerah hinterland-nya, dengan aktivitas ekonomi
utama yang bertumpu pada sektor perdagangan
dan jasa dengan tetap memperhatikan
keberadaan potensi ekonomi lokal, dalam
bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa
dijiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan
kesejahteraan seluruh masyarakat.
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)
32
Untuk mengetahui apakah keberadaan usaha
ritel modern berdampak pada usaha ritel
tradisional, maka diperlukan studi lebih lanjut.
Untuk itu perlu ada kajian yang lebih mendalam
tentang hal-hal yang terkait dengan faktor-
faktor yang berdampak pada usaha ritel
tradisional.
Selama ini penanganan masalah dikotomi
ritel modern dan ritel tradisional di Kota
Semarang telah ditangani oleh dinas/ instansi
terkait baik di lingkungan pemerintah maupun
non pemerintah. Namun demikian belum
diketahui dengan pasti bagaimana dampak
keberadaan ritel modern yang ada di pinggriran
kota terhadap ritel tradisional.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang karakteristik,
posisi dan potensi usaha ritel tradisional serta
dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel
tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang
yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen,
Tembalang, dan Banyumanik.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi karakteristik, posisi dan
potensi usaha ritel tradisional.
2. Menganalisis apakah ada perbedaan usaha
ritel tradisional sebelum dan setelah adanya
usaha ritel modern.
3. Apabila ada perbedaan, bagaimana dampak
usaha ritel modern terhadap ritel
tradisional, apakah berdampak positif atau
negatif.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi
hasil sebagai berikut:
1. Memberikan masukan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengambil kebijakan
dalam mengatasi masalah usaha ritel
tradisional, sehingga program
pengembangannya yang tepat dapat segera
tersusun .
2. Dengan memahami perbedaan usaha ritel
tradisional sebelum dan sesudah adanya ritel
modern, maka dampak usaha ritel modern
terhadap usaha ritel tradisional dapat
diketahui, sehingga dapat digunakan untuk
memberdayakan pengusaha ritel tradisional
agar: (1) peritel tradisional tetap eksis
ditengah usaha peritel modern, (2) peritel
tradisional dapat bersaing secara sehat
dengan peritel modern, dan (3) peritel
tradisional terlindungi . Dengan demikian
akan tercipta persaingan usaha yang sehat
dan berkelanjutan.
3. Untuk menambah perbendaharaan ilmiah
dan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran
guna menunjang penelitian selanjutnya
terutama yang berhubungan dengan usaha
ritel.
Penelitian ini akan mengkaji perbedaan usaha
ritel tradisional sebelum dan sesudah adanya
ritel modern serta dampak usaha ritel modern
terhadap usaha ritel tradisional. Kajian tersebut
dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan
yang meliputi antara lain data jumlah omset
penjualan, perputaran barang dagangan, jumlah
jam buka, laba bersih, laba kotor, biaya usaha
ritel tradisional sebelum dan sesudah ada usaha
ritel modern.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
terdapat perbedaan jumlah omset penjualan,
perputaran barang dagangan, jumlah jam buka,
laba bersih, laba kotor, biaya usaha ritel
tradisional sebelum dan sesudah ada usaha ritel
modern.
Penelitian ini merupakan survei pada wilayah
pinggiran Kota Semarang yang meliputi
Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan
Banyumanik. Populasi penelitian ini adalah
pengusaha ritel tradisional di wilayah tersebut.
Penentuan sampel dilakukan secara random.
Jumlah sampel untuk masing - masing wilayah
ditetapkan 30 pengusaha ritel tradisional.
Langkah awal dari penelitian ini adalah
melakukan identifikasi posisi usaha ritel
tradisional dari aspek kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya dengan bantuan kuesioner
dikumpulkan data primer untuk memperoleh
gambaran karakteristik dan potensi usaha serta
data lainnya yang terkait dengan tujuan
penelitian ini. Dengan demikian ada dua jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari publikasi-publikasi maupun
literatur dari dinas/ instansi terkait serta
perpustakaan dan website. Sedangkan data
primer diperoleh langsung dari responden
melalui wawancara kepada peritel tradisional
Data yang diperoleh dari lapangan penelitian
dianalisis secara diskriptif kulitatif dan kuantitatif
untuk mengidentifikasi karakteristik, posisi dan
potensi usaha ritel tradisional dan
mendiskripsikan bagaimana pengembangan
potensi usaha peritel tradisional. Selain itu
digunakan analisis uji beda untuk menganalisis
apakah ada perbedaan usaha ritel tradisional
setelah adanya usaha ritel modern. Apabila ada
perbedaan, bagaimana dampak usaha ritel
modern terhadap ritel tradisional, apakah
berdampak positif atau negatif.
Untuk menguji hipotesis digunakan metode
analisis Uji-t berpasangan (paired t-test). Uji-t
berpasangan adalah salah satu metode pengujian
hipotesis dimana data yang digunakan tidak
bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering
ditemui pada kasus yang berpasangan adalah
individu (obyek penelitian) dikenai 2 buah
perlakuan yang berbeda (Marthin, 2009).
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
33
II. Hasil dan Pembahasan
A. Karakteristik, Posisi dan Potensi
Usaha Ritel Tradisional
1. Karakteristik Responden
Penelitian ini menggunakan responden
pengusaha ritel tradisional di wilayah pinggiran
Kota Semarang yang meliputi Kecamatan
Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik.
Jumlah pengusaha yang dijadikan responden
sebanyak 120 orang. Dipilih empat kecamatan
sebagai obyek penelitian karena pada kecamatan
tersebut merupakan wilayah pinggiran kota yang
mulai dilirik peritel modern.
Responden sebanyak 120 orang pengusaha
ritel tradisional terdiri dari 57 orang atau 47,50
% laki-laki dan 63 orang atau 52,50 %
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha
ritel tradisional merupakan usaha sampingan
yang digunakan untuk membantu menopang
perekonomian keluarga, dimana laki-laki lebih
berperan untuk bekerja pada sektor formal.
Untuk usia responden, baik laki-laki maupun
perempuan semuanya berada dalam usia
produktif. Dalam hal ini usia produktif bisa
dikatakan juga sebagai usia kerja yaitu usia
antara 17 tahun sampai 65 tahun. Berdasarkan
data di lapangan, bila di rata-rata usia responden
adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 17
tahun sampai 65 tahun. Dengan kondisi
tersebut bisa dikatakan bahwa para pengusaha
ini masih memiliki semangat kerja yang tinggi
untuk menjalankan usahanya dan dimungkinkan
juga untuk dilakukan pengembangan terhadap
usaha mereka.
Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh
semua pengusaha ritel masih terfokus pada jenis
usaha kelontong (kebutuhan sehari-hari) hal ini
lebih dikarenakan keinginan untuk memenuhi
kebutuhan pokok konsumen yang tentunya
mempunyai segmen pasar yang lebih luas dan
juga kemudahan dalam penyediaan barang.
Berdasarkan data di lapangan, semua
responden beragama Islam, hal ini lebih
dikarenakan oleh mayoritas penduduk di
masing-masing wilayah obyek penelitian
memeluk agama Islam.
Untuk tempat kelahiran responden ,sebagian
besar responden, 47 orang laki-laki (39,17 %)
maupun 59 orang perempuan (49,16 %) lahir di
Kota Semarang. Sedangkan 14 orang (10 orang
laki-laki atau 8,33 % dan 4 orang perempuan
atau 3,33 %) lahir di luar Kota Semarang. Dapat
dikatakan mayoritas responden merupakan
penduduk asli Semarang, yang tentunya akan
sangat menguntungkan dalam menjalankan
usahanya karena mereka sudah sangat mengenal
karakter lingkungannya. Hal ini juga didukung
data di lapangan yang menunjukkan bahwa
semua responden saat ini berdomisili atau
bertempat tinggal di Semarang. Keadaan ini
tentunya sudah disadari oleh responden bahwa
faktor efisiensi dan efektifitas dalam
menjalankan usaha harus diperhatikan, salah
satunya dengan berdomisili di daerah dimana
usaha dijalankan.
Sebagian besar responden (sebanyak 48
orang atau 40%) yang terdiri dari laki – laki 25
orang atau 20,83 % dan perempuan 23 orang
atau 19,17 % memiliki tingkat pendidikan yang
rendah yaitu SD, serta masih ditambah
responden yang mengisi lainya yaitu 7 orang
atau 5,83 % . Jawaban lainnya muncul karena
beberapa hal, yaitu: responden tidak pernah
sekolah dan responden sudah pernah
mengenyam pendidikan dasar (SD) tetapi tidak
tamat.
Dengan kondisi ini bisa dikatakan bahwa
tingkat pendidikan yang rendah ini akhirnya
memaksa atau menuntut mereka untuk
menciptakan suatu usaha yang sesuai dengan
kemampuan mereka sehingga pilihan terakhir
adalah dengan menjadi pengusaha ritel
tradisional. Juga dipengaruhi oleh pola
pemikiran yang sederhana bahwa pendidikan
tinggi tidak diperlukan tetapi yang terpenting
adalah bagaimana bisa mencari nafkah dan
menambah pemenuhan kebutuhan rumah
tangga. Sedangkan 39 orang atau 32,5 %
reponden lulusan SMA memilih menjadi
pengusaha ritel tradisional karena beberapa
sebab, yaitu: jiwa wirausaha yang tinggi, sulitnya
mencari pekerjaan, serta tuntutan kebutuhan.
Jarak tempat usaha responden dengan ritel
modern bila dirata-rata adalah 194 m, dengan
range jarak tempat usaha antara 5 sampai
dengan 500 m dari ritel modern. Dari data
temuan di lapangan ini dapat dikatakan tidak ada
kejelasan mengenai berapa jarak yang ideal
antara ritel tradisional dengan ritel modern.
Sehingga dengan kondisi ini sangat
dimungkinkan dampak keberadaan dari ritel
modern memiliki pengaruh yang sangat besar
bagi keberadaan ritel tradisional. Walaupun
dalam ijin pendirian sudah disyaratkan mengenai
kajian dampak lingkungan dalam kenyataannya
ritel modern tumbuh dengan pesat dan muncul
pro dan kontra akan keberadaanya.
2. Posisi dan Potensi Usaha Ritel
Tradisional
Menurut pasal 10 Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-
DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern, pelaku usaha
yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang
pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko
modern, wajib memiliki:
a. Ijin Usaha Pendirian Pasar Tradisional
(IUP2T) untuk Pasar Tradisional;
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)
34
b. Ijin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk
Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat
Perdagangan;
c. Ijin Usaha Toko modern (IUTM) untuk
Minimarket, Supermarket, Department Store.
Mengacu pada pasal tersebut, maka
pengusaha ritel tradisional seharusnya juga
memiliki ijin usaha. Hasil penelitian
menunjukkan, pengusaha ritel tradisional yang
memiliki ijin usaha hanya sebanyak 15 orang
(12,5 %), sedangkan yang tidak memiliki ijin
usaha 105 orang (87,5 %). Banyaknya
responden yang tidak memiliki ijin usaha
menunjukkan kurangnya pemahaman tentang
arti penting ijin usaha yang diberikan
pemerintah daerah dan didukung pula oleh pola
pemikiran bahwa ijin pasti akan menimbulkan
biaya sehingga akan mengganggu kelancaran
usaha.
Berdasarkan temuan di lapangan, jenis
dagangan yang dijual oleh pengusaha ritel
tradisional adalah kelontong. Apabila
dikelompokkan berdasarkan jenis pedagang,
maka 7 orang atau 5,83 % merupakan pedagang
grosir sedangkan 106 orang atau 88,33 %
merupakan pedagang eceran. Sisanya 7 orang
atau 5,83 % merupakan pedagang yang melayani
grosir dan eceran.
Sebagian besar (106 atau 88,83%)
merupakan pedagang eceran, hal ini disebabkan
karena konsumen yang dilayani cenderung
konsumen rumah tangga/ individu yang mana
cenderung mencari barang kebutuhan sehari-
hari, disamping itu untuk eceran jumlah modal
usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar.
Berbeda dengan pedagang grosir yang melayani
konsumen pembeli barang untuk dijual kembali,
tentunya modal yang dibutuhkanpun lebih besar.
Terkait dengan luas tempat usaha, dari
penelitian ini didapatkan rata-rata luas tempat
usaha pengusaha ritel tradisional adalah 24 m²
yang secara keseluruhan luasan tempat usaha
berada pada kisaran antara 2 m² sampai 150 m².
Kondisi ini tentunya jauh sekali jika
dibandingkan luas usaha ritel modern. Menurut
Bab V pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-
DAG/PER/12/2008 tentang pedoman penataan
dan pembinaan pasar tradisional, pusat
perbelanjaan dan toko Modern.
Batasan luas lantai penjualan toko modern
dengan modal dalam negeri 100% (seratus
persen) adalah:
a. Minimarket dengan luas lantai penjualan
kurang dari 400 m² (empat ratus meter
persegi);
b. Supermarket dengan luas lantai penjualan
kurang dari 1.200 m² (seribu dua ratus
meter persegi); dan
c. Department Store dengan luas lantai penjualan
kurang dari 2.000 m² (dua ribu meter
persegi).
Dari peraturan mentri di atas, tentunya
dapat dilihat bahwa walaupun luas minimal
minimarket kurang dari 400 m² tetap tidak
sebanding dengan pengusaha ritel tradisional
(rata-rata 24 m²) yang tentunya apabila lokasi
berdekatan (dari hasil penelitian ada yang hanya
berjarak 5 m) akan berpengaruh pada
konsumen, karena dukungan fasilitas dan
produk yang lebih bervariasi.
Tabel 1
Status Tempat Usaha Responden
Jenis Kelamin
Status Tempat Usaha Total
Responden Milik Sendiri Kontrak
Jml % Jml % Jml %
Laki – laki 55 45,83 2 1,67 57 47,5
Perempuan 58 48,33 5 4,17 63 52,5
Jumlah Keseluruhan 113 94,17 7 5,83 120 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Dari Tabel 1 terlihat bahwa, sebagian besar
status tempat usaha adalah milik sendiri (113
orang atau 94,17%). Kondisi ini terjadi karena
sebagian besar responden memanfaatkan
tempat usaha juga sebagai tempat tinggal atau
malah sebaiknya, sehingga bisa dikatakan juga
ruko (rumah toko). Tentunya hal ini banyak
keuntungannya, selain biaya sewa tempat yang
bisa ditiadakan juga bisa dilakukan dua kegiatan
sekaligus yaitu: menjalankan usaha dan
menjalankan aktivitas rumah tangga.
Lama usaha yang telah dijalani oleh
pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun,
dimana kisaran lama usaha antara 1 tahun
sampai 31 tahun. Dari rata-rata lama usaha
dapat dikatakan bahwa pengusaha ritel
tradisional sudah berpengalaman dalam
menjalankan usahanya dan sudah memikirkan
berbagai strategi untuk menjaga kelangsungan
usaha mereka. Tetapi harus pula dicermati
bahwa usaha mereka tidak mungkin berhasil
baik bila tidak ada dukungan dari pihak-pihak
yang terkait (pemerintah) baik dari sisi
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
35
peraturan, maupun fasilitas yang lain
(permodalan).
Bila dibandingkan antara modal awal usaha
dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang
sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang
dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah
Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata
modal adalah Rp 23.200.000,00 (naik sekitar
300%). Hal ini tentunya merupakan hal yang
wajar karena terkait juga dengan kenaikan harga
barang kebutuhan yang terjadi selama 11, 8
tahun (rata-rata lama usaha).
Berkaitan dengan kemitraan atau kerjasama
antara responden dengan pihak lain, sebagian
besar responden (pengusaha ritel tradisional)
tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain (91
0rang atau 75,83%). Alasan yang dikemukakan
sederhana yaitu tidak tahu prosedur yang harus
ditempuh dan usaha yang dijalankan masih
sangat terbatas sehingga tidak diperlukan
kemitraan. Sedangkan 29 orang responden
(24,16%) menjalin kemitraan dengan pihak lain
dengan alasan kemitraan memiliki banyak
manfaat yang positif bagi pengusaha ritel
tradisional. Bentuk kemitraan yang dilakukan
meliputi: pemasaran, pasokan barang maupun
dengan pihak perbankan yang terkait dengan
penambahan modal usaha.
Tabel 2
Asal Barang Dagangan
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Adapun berdasar tabel 2 terlihat bahwa
sebagian besar responden (82 orang atau
68,33%) membeli langsung barang dagangan ke
pasar/tempat grosir karena barang yang dibeli
biasanya tidak banyak dan kecenderungan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari konsumen
dalam partai kecil, selain itu juga dipengaruhi
oleh modal usaha yang terbatas (kecil). Selain
itu ada juga yang hanya mengambil barang dari
pemasok saja (10 orang atau 8,32%), hal ini
dikarenakan untuk melayani konsumen secara
grosir sehingga barang yang dibeli dalam jumlah
besar dan membutuhkan modal yang besar.
Sedangkan 28 orang lainnya (23,34%) melakukan
pembelian secara langsung dan melalui
pemasok. Hal ini disebabkan karena pengusaha
ritel tradisional ingin melayani semua jenis
pembelian baik yang grosir dan eceran dan juga
terkait dengan sifat barang yang slow moving
(perputaran lambat) maupun yang fast moving
(perputaran cepat).
Hasil penelitian mendapatkan bahwa
sebagian besar responden tidak menggunakan
tenaga kerja (94 orang atau 78,33%), dengan
kata lain pengusaha ritel tradisional disini
bertindak sebagai pemilik usaha dan pelaku
usaha (pekerja). Asumsi mereka, gaji untuk
tenaga kerja bisa dialihkan untuk menambah
modal kerja. Seharusnya secara ekonomi apa
yang mereka kerjakan diperhitungkan sehingga
dapat dihitung secara pasti berapa besar
keuntungan yang didapatkan setelah dikurangi
biaya pekerja. Sedangkan 26 orang (21,66%)
menggunakan tenaga kerja karena merasa
usahanya semakin maju dan tidak
memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Tenaga
kerja yang direkrutpun sebagian besar berasal
dari luar lingkungan usaha karena kebanyakan
masyarakat sekitar lebih memilih bekerja di
pabrik atau sektor swasta lain daripada harus
bekerja di toko.
Terkait dengan adanya pembinaan bagi
pengusaha ritel tradisional, sebagian besar
responden menyatakan belum pernah
mendapatkan pembinaan usaha (114 orang atau
95%) Sedangkan 5 orang (5%) mendapatkan
pembinaan baik dari perbankan, swasta,
Perguruan Tinggi (UNNES) maupun dari pihak
keluarga. Dengan keadaan ini dapat dikatakan
bahwa apabila ada pembinaan dari pihak-pihak
tertentu baik negri maupun swasta akan dapat
meningkatkan pengetahuan para pengusaha
tentang bagaimana cara mengelola usaha baik
dari aspek pemasaran, keuangan (permodalan)
maupun dari sisi SDM (karyawan) dan apabila
pengetahuan tersebut diaplikasikan diharapkan
akan meningkatkan keuntungan dari para
pengusaha ritel tradisional.
B. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada
Ritel Modern
1. Omzet Penjualan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
bahwa terjadi penurunan rata-rata omzet
penjualan dari Rp. 28.672.917,00 menjadi Rp.
21.505.000,00 atau turun rata-rata sebesar Rp.
7.167.917 (25%). Kondisi ini perlu dikaji apakah
ini terjadi murni karena kehadiran ritel modern
sehingga semakin memperketat persaingan
usaha atau lebih disebabkan karena turunnya
daya beli masyarakat.
Jenis Kelamin
Jenis Pedagang Total
Responden Kulakan Pemasok Kulakan & Pemasok
Jml % Jml % Jml % Jml %
Laki – laki 38 31,67 5 4,16 14 11,67 57 47,5
Perempuan 44 36,67 5 4,16 14 11,67 63 52,5
Jumlah Keseluruhan 82 68,33 10 8,32 28 23,34 120 100
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)
36
Penurunan omset penjualan karena
kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh
negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap
usaha ritel tradisional. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumen lebih suka berbelanja pada
ritel modern dari pada ritel tradisional.
Omset penjualan sebelum dan sesudah
adanya ritel modern dapat dilihat pada Tabel 3.
Terlihat bahwa sebelum adanya ritel modern,
omset penjualan ritel tradisional paling kecil Rp.
500.000,00 per bulan dan sesudah adanya ritel
tradisional paling kecil Rp. 300.000,00 per
bulan. Ini menunjukkan bahwa setelah adanya
ritel modern omset penjualan mengalami
penurunan. Hal ini juga dikuatkan oleh adanya
informasi bahwa usaha ritel tradisional yang
memiliki omset penjualan kecil, jumlahnya
meningkat dari 112 sebelum adanya ritel
modern menjadi 117 sesudah adanya ritel
modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa
yang memiliki omset besar mengalami
penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada
ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel
modern.
2. Jumlah Jam Buka Usaha
Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada
perubahan yang signifikan, hal ini dapat
diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum
maupun sesudah ada ritel modern sebanyak
13,8 jam. Jumlah rata-rata jam buka sebelum
dan sesudah ada ritel modern tetap sama, hal ini
sangat dimungkinkan karena sudah
diperhitungkan berdasarkan pengalaman para
pengusaha ritel tradisional ada jam-jam dimana
ramai pelanggan dan jam dimana sepi pelangaan
sehingga bila dilakukan penambahan jam
bukapun mereka berasumsi tidak akan
menambah keuntungan secara signifikan.
Jumlah jam buka usaha dapat dikelompokkan
menjadi jam buka pendek, sedang dan panjang.
Apabila kita cermati Tabel 4, maka tampak
bahwa jam buka sebelum ada ritel modern
paling pendek 4 jam, namun setah ada ritel
modern paling pendek 7 jam. Hal ini tidak
menggambarkan adanya kenaikan jam buka,
karena jumlah peritel tradisional yang
melakukan jam buka pendek dan sedang
mengalami kenaikan dibanding dengan sebelum
ada ritel modern. Disisi lain, ada penurunan
yang cukup banyak pada usaha ritel tradisional
yang melakukan usaha dengan jam buka panjang.
Dengan demikian, secara rata-rata jam buka
tidak mengalami perubahan. Tabel 4
menunjukkan jumlah jam buka usaha yang
dirinci berdasarkan kriteria pendek,sedang dan
panjang baik sebelum maupun sesudah ada ritel
modern.
Keberadaan ritel modern tidak berdampak
pada jumlah jam buka. Ini menunjukkan bahwa
kebiasaan melakukan usaha bagi peritel
tradisional tidak mengalami perubahan aktivitas.
Tabel 3
Omset Penjualan
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Kriteria
Omset Penjualan
Per Bulan (Rp)
Jumlah
Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 500.000-
100.333.332
300.000-
100.999.999
112 117 93 97
Sedang 100.333.333-
200.166.666
100.200.000-
200.099.999
5 2 4 2
Besar 200.166.667-
300.000.000
200.100.000-
300.000.000
3 1 3 1
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Tabel 4
Jumlah Jam Buka Usaha
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Kriteria
Jumah jam Buka Usaha
(jam)
Jumlah
Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6
Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62
Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
37
3. Perputaran Barang Dagangan
Perputaran barang dagangan secara rata-rata
sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi
perubahan. Penelitian ini mengungkapkan
adanya perubahan yang terjadi pada perputaran
barang dagangan, artinya perputaran barang
semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal
ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya
penurunan omset penjualan. Omset yang
jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok
barang dagangan juga sedikit sehingga
perputarannya menjadi semakin cepat.
Tabel 5 menunjukkan perputaran barang
dagangan yang dirinci menurut kriteria lambat,
sedang serta cepat sebelum dan sesudah ada
ritel modern. Tabel 5
Perputaran Barang Dagangan
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Ritel modern berdampak pada perputaran
barang dagangan, ini ditunjukkan dengan
perputaran yang semakin cepat dibandingkan
sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah
secara mendalam perputaran barang dangangan
yang semakin cepat adalah baik. Namun
demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset
penjualan yang semakin sedikit, maka dampak
ritel modern terhadap perputaran barang
dagangan adalah negatif karena perputaran yang
cepat diakibatkan omset yang sedikit.
4. Biaya Usaha
Rata-rata biaya usaha mengalami perubahan
dari Rp. 14.141.667,00 menjadi Rp.
12.692.083,00 atau turun sebesar 10,25%.
Dengan demikian ada penurunan biaya usaha
setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya
merupakan efek dari sirkulasi barang yang
menurun kemudian turunnya omset sehingga
pengeluaran terutama untuk pembelian barang
semakin menurun.
Biaya usaha sebelum dan sesudah ada ritel
modern dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya usaha
yang menurun merupakan dampak negatif dari
keberadaan ritel modern. Hal ini dapat
dijelaskan dari biaya yang dikeluarkan untuk
membeli barang dagangan yang menurun sebagai
akibat omset penjualan yang menurun pula.
Tabel 6
Biaya Usaha Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Kriteria
Biaya Usaha
Per Bulan (Rp)
Jumlah
Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 100.000-96.733.332 50.000-96.699.999 118 118 98 98
Sedang 96.733.333-193.366.666 96.700.000-193.349.999 1 1 1 1
Besar 193.366.667-290.000.000 193.350.000-290.000.000 1 1 1 1
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Tabel 7
Laba Bersih Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Kriteria
Laba Bersih
Per Bulan (Rp)
Jumlah
Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 200.000-25.333.332 0-4.999.999 119 116 99 97
Sedang 25.133.333-50.066.666 5.000.000-9.999.999 0 3 0 3
Besar 50.066.667-75.000.000 10.000.000-15.000.000 1 1 1 1
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Tabel 8
Laba Kotor Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Kriteria
Laba Kotor
Per Bulan (Rp)
Jumlah
Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 300.000-16.866.666 0-9.999.999 115 113 96 95
Sedang 16.866.667-33.433.332 10.000.000-19.999.999 3 4 2 3
Besar 33.433.333-50.000.000 20.000.000-30.000.000 2 3 2 2
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
Kriteria
Perputaran Barang Dagangan
(jam)
Jumlah
Orang %
Sblm Sdh Sblm Sdh Sblm Sdh
Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6
Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62
Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32
Total 120 120 100 100
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang
5. Laba Bersih
Penelitian ini mengungkapkan terjadinya
penurunan rata-rata laba bersih dari Rp.
2.575.833,00 sebelum ada ritel modern menjadi
Rp. 1.683.083,00 setelah ada ritel modern.
Besarnya penurunan tersebut adalah 34,66%.
Perincian menurut kriteria laba bersih kecil,
sedang dan besar dapat dilihat pada Tabel 7.
Penurunan laba bersih ini bukan merupakan
dampak dari adanya ritel modern. Penurunan
laba bersih tersebut diakibatkan karena
pendapatan yang berasal dari omset penjualan
yang menurun diikuti dengan penurunan biaya
yang tidak sebanding dengan penurunan
pendapatan. Penurunan omset penjualan lebih
tinggi dari pada penurunan biaya usaha.
6. Laba Kotor
Laba kotor rata-rata juga mengalami
penurunan dari Rp. 4.999.166,00 sebelum ada
ritel modern menjadi Rp. 3.553.333,00 sesudah
ada ritel modern atau turun Rp. 1.445.833,00
(40,69%). Penurunan tersebut, tentunya lebih
dikarenakan persaingan usaha. Hal ini juga
tampak pada saat sebelum ada ritel modern laba
kotor minimal Rp. 300.000,00 dan sesudah ada
ritel modern laba kotor minimal Rp 0,00.
Sedangkan laba kotor maksimal Rp.
50.000.000,00 sebelum ada ritel modern dan
turun menjadi Rp.30.000.000,00 setelah ada
ritel modern. Tabel 8 menunjukkan laba kotor
sebelum dan sesudah ada ritel modern yang
dirinci menurut kriteria laba kotor kecil, sedang
dan besar.
Penurunan laba usaha merupakan dampak
negatif dari adanya ritel modern. Hal ini sesuai
dengan pendapatan dari omset penjualan yang
menurun.
C. Analisis Statistik dengan Uji Beda
1. Jumlah Omzet Penjualan
Secara deskriptif omset penjualan mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan sebelum
ada ritel modrn. Ini mengindikasikan bahwa
konsumen lebih suka berbelanja di peritel
modern. Untuk mengetahui apakah jumlah
omset penjualan usaha retail tradisional
sebelum dan sesudah adanya usaha retail
modern berbeda nyata atau tidak, maka
dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata
berpasangan dan didapat hasilnya seperti
tertera pada Tabel 9.
Tabel 9
Jumlah Omset Penjualan
No Uraian N Rata-rata Jumlah Omset
Penjualan/ bulan (Rp)
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Jumlah Omset Penjualan usaha retail
tradisional sebelum ada usaha ritel modern
120 28.672.917,00
3,943
119
.000 2. Jumlah Omset Penjualan usaha retail
tradisional sesudah ada usaha ritel modern
120 21.505.000,00
Tabel 10
Perputaran Barang Dagangan
No Uraian N Rata-rata Perputaran
barang dagangan
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Perputaran barang dagangan usaha retail
tradisional sebelum ada usaha ritel modern
120 18,20
3.285
119
.001 2. Perputaran barang dagangan usaha retail
tradisional sesudah ada usaha ritel modern
120 17,29
Tabel 11
Jumlah Jam Buka
No Uraian N Rata-rata
Jumlah Jam Buka
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Jumlah jam buka usaha retail tradisional
sebelum ada usaha ritel modern
120 13.80
.159
119
0.874 2. Perputaran barang dagangan usaha retail
tradisional sesudah ada usaha ritel modern
120 13.78
Pada tabel 9 tersebut terlihat bahwa nilai
signifikansi jumlah omset penjualan usaha retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern
dan sesuhah ada retail modern sebesar .000. Ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara jumlah omset penjualan usaha
retail tradisional sesudah dan sebelum adanya
retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05.
Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan
pengujian t hitung. Dari Tabel 9 diperoleh nilai
t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari
tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan
demikaian dapat disimpulkan terdapat
perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha
retail tradisional sebelum dan sesudah adanya
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
39
usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel
(3,943>1.980)
2. Perputaran Barang Dagangan
Perhitungan uji beda terkait dengan
perputaran barang dagangan didapatkan hasil
seperti pada Tabel 10.
Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai
signifikansi perputaran barang dagangan usaha
retail tradisional sebelum ada usaha retail
modern dan sesuhah ada retail modern sebesar
.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara perputaran
barang dagangan usaha retail tradisional sesudah
dan sebelum adanya retail modern, karena nilai
signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari
tabel 18 diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285
yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar =
1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan
terdapat perbedaan antara perputaran barang
dagangan usaha retail tradisional sebelum dan
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-
hitung>t-tabel (3,285>1.980)
3. Jumlah Jam Buka
Untuk mengetahui apakah jumlah jam buka
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
adanya usaha retail modern berbeda nyata atau
tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda
rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya
seperti tertera pada Tabel 11.
Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai
signifikansi jumlah jam buka retail tradisional
sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah
ada retail modern sebesar .874. Ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara jumlah jam buka usaha
retail tradisional sesudah dan sebelum adanya
retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05.
Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan
pengujian t hitung. Dari Tabel 11 diperoleh nilai
t-hitung sebesar .159 yang lebih kecil dari tabel
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan
antara jumlah jam buka usaha retail tradisional
sebelum dan sesudah adanya usaha retail
modern, kareta t-hitung<t-tabel (.159<1.980).
5. Laba Bersih
Berdasarkan perhitungan uji beda terkait
dengan laba bersih didapatkan hasil sebagai
berikut:
Tabel 12
Laba Bersih
No Uraian N Rata-rata Laba
Bersih/ bulan (Rp)
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Laba bersih usaha retail tradisional
sebelum ada usaha ritel modern
120 2.575.833,00
1.452
119
.149 2. Laba bersih usaha retail tradisional
sesudah ada usaha ritel modern
120 1.683.083,00
Tabel 13
Laba Kotor
No Uraian N Rata-rata Laba
Kotor/ bulan (Rp)
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Laba kotor usaha retail tradisional
sebelum ada usaha ritel modern
120 4.999.166,00
4.157
119
.000 2. Laba kotor usaha retail tradisional
sesudah ada usaha ritel modern
120 3.553.333,00
Tabel 14
Biaya Usaha
No Uraian N Rata-rata Biaya
Usaha/ bulan (Rp)
t
hitung
df Sig
(2-tailed)
1. Biaya usaha retail tradisional
sebelum ada usaha ritel modern
120 14.141.667,00
4.194
119
.000 2. Biaya usaha retail tradisional
sesudah ada usaha ritel modern
120 12.692.083,00
Untuk mengetahui apakah laba bersih
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
adanya usaha retail modern berbeda nyata atau
tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda
rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya
seperti tertera pada tabel 20. Pada tabel
tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi laba
bersih usaha retail tradisional sebelum ada
usaha retail modern dan sesudah ada retail
modern sebesar .149. Ini menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
laba bersih usaha retail tradisional sesudah dan
sebelum adanya retail modern, karena nilai
signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari
Tabel 12 diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,452
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)
40
yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar =
1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan
tidak terdapat perbedaan antara laba bersih
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t-
tabel (1,452<1.980)
6. Laba Kotor
Untuk mengetahui apakah laba kotor usaha
retail tradisional sebelum dan sesudah adanya
usaha retail modern berbeda nyata atau tidak,
maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-
rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti
tertera pada Tabel 13.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai
signifikansi laba kotor usaha retail tradisional
sebelum ada usaha retail modern dan sesudah
ada retail modern sebesar .000. Ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara laba kotor usaha retail
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail
modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal
tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian
t hitung. Dari Tabel 13 diperoleh nilai t-hitung
sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara
laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-
hitung > t-tabel (4,157>1.980)
7. Biaya Usaha
Berdasarkan perhitungan uji beda terkait
dengan biaya usaha didapatkan hasil seperti
pada Tabel 14.
Biaya usaha retail tradisional sebelum dan
sesudah adanya usaha retail modern berbeda
nyata atau tidak dapat diketahui dengan
melakukan pengujian dengan uji beda rata-rata
berpasangan dan hasilnya diperoleh seperti
tertera pada Tabel 14. Pada tabel tersebut
terlihat bahwa nilai signifikansi biaya usaha retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern
dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara biaya usaha retail tradisional
sesudah dan sebelum adanya retail modern,
karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut
dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.
Dari Tabel 14 diperoleh nilai t-hitung sebesar
4.194 yang lebih besar dari tabel distribusi t
sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat
disimpulkan terdapat perbedaan antara biaya
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-
tabel (4.194>1.980)
III. Penutup
A. Kesimpulan
1. Karakteristik, Posisi dan Potensi Usaha
Ritel Tradisional
a. Karakteristik Responden
Sebagian besar responden adalah
perempuan. Untuk usia responden, baik laki-laki
maupun perempuan semuanya berada dalam
usia produktif. Jenis usaha yang dijalankan dan
digeluti oleh semua pengusaha ritel masih
terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan
sehari-hari). Semua responden beragama Islam.
Sebagian besar responden, baik laki-laki
maupun perempuan lahir di Kota Semarang.
Tingkat pendidikan peritel tradisional sebagian
besar rendah. Jarak tempat usaha peritel
modern dengan tradisional rata-rata adalah
194m.
b. Posisi dan Potensi Usaha Ritel
Tradisional
Sebagian besar peritel tradisional tidak
memiliki ijin usaha. Jenis dagangan yang dijual
oleh pengusaha ritel tradisional adalah
kelontong dan merupakan pedagang eceran.
Rata-rata luas tempat usaha pengusaha ritel
tradisional adalah 24 m². Sebagian besar status
tempat usaha adalah milik sendiri.
Lama usaha yang telah dijalani oleh
pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun.
Bila dibandingkan antara modal awal usaha
dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang
sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang
dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah
Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata
modal yang dikeluarkan adalah Rp
23.200.000,00.
Sebagian besar responden tidak menjalin
kerjasama dengan pihak lain. Sebagian kecil
melakukan kemitraan yang meliputi: pemasaran,
pasokan barang maupun dengan pihak
perbankan yang terkait dengan penambahan
modal usaha.
Untuk asal barang dagangan sebagian besar
responden membeli langsung barang dagangan
ke pasar/tempat grosir karena barang yang
dibeli biasanya tidak banyak dan kecenderungan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
konsumen dalam partai kecil, selain itu juga
dipengaruhi oleh modal usaha yang terbatas
(kecil). Selain itu ada juga sebagian kecil yang
hanya mengambil barang dari pemasok saja.
Untuk penggunaan tenaga kerja sebagian
besar responden tidak menggunakan tenaga
kerja dan hanya sebagian kecil menggunakan
tenaga kerja karena merasa usahanya semakin
maju dan tidak memungkinkan untuk dikerjakan
sendiri. Tenaga kerja yang direkrutpun sebagian
besar berasal dari luar lingkungan usaha karena
kebanyakan masyarakat sekitar lebih memilih
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
41
bekerja di pabrik atau sektor swasta lain
daripada harus bekerja di toko.
Terkait dengan adanya pembinaan bagi
pengusaha ritel tradisional sebagian besar
responden menyatakan belum pernah
mendapatkan pembinaan usaha sedangkan
sebagian kecil mendapatkan pembinaan baik dari
perbankan, swasta, Perguruan Tinggi (UNNES)
maupun dari pihak keluarga.
2. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada
Ritel Modern
a. Omzet Penjualan
Penurunan omset penjualan karena
kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh
negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap
usaha ritel tradisional. Sebelum adanya ritel
modern, omset penjualan ritel tradisional paling
kecil Rp. 500.000,00 per bulan dan sesudah
adanya ritel tradisional paling kecil Rp.
300.000,00 per bulan. Ini menunjukkan bawha
setelah adanya ritel modern omset penjualan
mengalami penurunan. Hal ini juga dikuatkan
oleh adanya informasi bahwa usaha ritel
tradisional yang memiliki omset penjualan kecil,
jumlahnya meningkat dari 112 sebelum adanya
ritel modern menjadi 117 sesudah adanya ritel
modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa
yang memiliki omset besar mengalami
penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada
ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel
modern.
b. Jumlah Jam Buka Usaha
Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada
perubahan yang signifikan, hal ini dapat
diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum
maupun sesudah ada ritel modern sebanyak
13,8 jam. Keberadaan ritel modern tidak
berdampak pada jumlah jam buka. Ini
menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan usaha
bagi peritel tradisional tidak mengalami
perubahan aktivitas.
c. Perputaran Barang Dagangan
Perputaran barang dagangan secara rata-rata
sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi
perubahan. Penelitian ini mengungkapkan
adanya perubahan yang terjadi pada perputaran
barang dagangan, artinya perputaran barang
semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal
ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya
penurunan omset penjualan. Omset yang
jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok
barang dagangan juga sedikit sehingga
perputarannya menjadi semakin cepat.
Ritel modern berdampak pada perputaran
barang dagangan, ini ditunjukkan dengan
perputaran yang semakin cepat dibandingkan
sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah
secara mendalam perputaran barang dangangan
yang semakin cepat adalah baik. Namun
demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset
penjualan yang semakin sedikit, maka dampak
ritel modern terhadap perputaran barang
dagangan adalah negatif karena perputaran yang
cepat diakibatkan omset yang sedikit.
d. Biaya Usaha
Rata-rata biaya usaha mengalami
perubahan yaitu ada penurunan biaya usaha
setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya
merupakan efek dari sirkulasi barang yang
menurun kemudian turunnya omset sehingga
pengeluaran terutama untuk pembelian barang
semakin menurun. Biaya usaha yang menurun
merupakan dampak negatif dari keberadaan ritel
modern. Hal ini dapat dijelaskan dari biaya yang
dikeluarkan untuk membeli barang dagangan
yang menurun sebagai akibat omset penjualan
yang menurun pula.
e. Laba Bersih
Penelitian ini mengungkapkan terjadinya
penurunan rata-rata laba bersih. Walaupun
terjadi penurunan laba bersih, ini bukan
merupakan dampak dari adanya ritel modern.
Penurunan laba bersih tersebut diakibatkan
karena pendapatan yang berasal dari omset
penjualan yang menurun diikuti dengan
penurunan biaya yang tidak sebanding dengan
penurunan pendapatan. Penurunan omset
penjualan lebih tinggi dari pada penurunan biaya
usaha.
f. Laba Kotor
Laba kotor rata-rata juga mengalami
penurunan sesudah ada ritel modern.
Penurunan tersebut, tentunya lebih dikarenakan
persaingan usaha. Penurunan laba usaha
merupakan dampak negatif dari adanya ritel
modern. Hal ini sesuai dengan pendapatan dari
omset penjualan yang menurun.
3. Analisis Statistik dengan Uji Beda
a. Jumlah Omzet Penjualan
Nilai signifikansi jumlah omset penjualan
usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail
modern dan sesudah ada retail modern sebesar
.000. Ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara jumlah omset
penjualan usaha retail tradisional sesudah dan
sebelum adanya retail modern, karena nilai
signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Nilai
t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari
tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan
demikaian dapat disimpulkan terdapat
perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha
retail tradisional sebelum dan sesudah adanya
usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel
(3,943>1.980)
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)
42
b. Perputaran Barang Dagangan
Nilai signifikansi perputaran barang dagangan
usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail
modern dan sesuhah ada retail modern sebesar
.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara perputaran
barang dagangan usaha retail tradisional sesudah
dan sebelum adanya retail modern, karena nilai
signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.
Diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 yang lebih
besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980.
Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat
perbedaan antara perputaran barang dagangan
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t-
tabel (3,285>1.980)
c. Jumlah Jam Buka
Nilai signifikansi jumlah jam buka retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern
dan sesudah ada retail modern sebesar .874. Ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara jumlah jam buka usaha
retail tradisional sesudah dan sebelum adanya
retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05.
Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan
pengujian t hitung. Nilai t-hitung sebesar .159
yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar =
1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan
tidak terdapat perbedaan antara jumlah jam
buka usaha retail tradisional sebelum dan
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t-
hitung<t-tabel (.159<1.980).
d. Laba Bersih
Nilai signifikansi laba bersih usaha retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern
dan sesudah ada retail modern sebesar .149. Ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara laba bersih usaha retail
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail
modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal
tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian
t hitung. Dari tabel 5.20 diperoleh nilai t-hitung
sebesar 1,452 yang lebih kecil dari tabel
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan
antara laba bersih usaha retail tradisional
sebelum dan sesudah adanya usaha retail
modern, kareta t-hitung<t-tabel (1,452<1.980).
e. Laba Kotor
Nilai signifikansi laba kotor usaha retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern
dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara laba kotor usaha retail
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail
modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal
tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian
t hitung. Dari tabel 5.21 diperoleh nilai t-hitung
sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara
laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan
sesudah adanya usaha retail modern, karena t-
hitung > t-tabel (4,157>1.980)
f. Biaya Usaha
Nilai signifikansi biaya usaha retail tradisional
sebelum ada usaha retail modern dan sesudah
ada retail modern sebesar .000. Ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara biaya usaha retail tradisional
sesudah dan sebelum adanya retail modern,
karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut
dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.
Diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.194 yang lebih
besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980.
Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat
perbedaan antara biaya usaha retail tradisional
sebelum dan sesudah adanya usaha retail
modern, kareta t-hitung>t-tabel (4.194>1.980).
Dengan demikian dapat disimpulkan
terdapat empat variabel penelitian yaitu jumlah
omset penjualan, perputaran barang dagangan,
laba kotor usaha, dan biaya usaha yang
mempunyai perbedaan yang nyata antara
sebelum dan sesudah adanya peritel modern.
Keberadaan ritel modern berpengaruh negatif
terhadap jumlah omset penjualan, perputaran
barang dagangan, dan laba kotor usaha.
Sedangkan terhadap biaya usaha pengaruhnya
positif.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah
a. Menyusun Perda bagi pendirian ritel modern
yang mencakup antara lain :
pembatasan jumlah ritel modern dalam
satu wilayah (misalnya : dalam satu
kecamatan hanya diperbolehkan 1
sampai dengan 2 ritel modern),
jarak antara ritel modern dan tradisional,
pola kemitraan antara peritel tradisional
dan modern misalnya dalam hal pasokan
barang dagangan.
b. Pengembangan ritel tradisional melalui
pelatihan dan pembinaan manajemen usaha
yang meliputi antara lain :
manajemen keuangan
pemasaran (meliputi marketing mix,
space management/ display barang
dagangan),
manajemen persediaan barang dagangan,
dan manajemen sumberdaya manusia.
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43
43
c. Peningkatan sarana prasarana usaha
d. Memfasilitasi kemudahan mendapatkan
kucuran dana untuk menambah modal
usaha.
2. Ritel Tradisional
a. Meningkatkan ketrampilan dibidang
manajemen usaha
b. Meningkatkan omset penjualan melalui
diversifikasi usaha
c. Membuat display barang dagangan yang
menarik serta nyaman bagi konsumen
d. Melakukan kemitraan dengan berbagai pihak
untuk mengembangkan usahanya
3. Ritel Modern
a. Mematuhi ketentuan yang diberlakukan di
lingkungan berdirinya usaha
b. Mengadakan kemitraan dengan usaha ritel
tradisional khususnya dalam hal pasokan
barang dagangan
c. Memperhatikan jarak pendirian usaha titel
modern dengan ritel tradisional, dalam hal
ini jangan terlalu dekat jaraknya dengan ritel
tradisional.
d. Dalam satu lokasi jangan terdapat dua ritel
tradisional yang posisinya berdekatan
4. Akademisi
a. Melakukan kajian lebih lanjut keberadaan
usaha ritel modern bagi pola belanja
masyarakat di Kota Semarang
b. Kajian dari aspek sosial ekonomi untuk
mengetahui pola belanja masyarakat Kota
Semarang.
c. Menganalisis dampak usaha ritel modern
terhadap usaha ritel tradisional dengan alat
analisis selain uji beda
d. Berperan serta dalam usaha pengembangan
ritel tradisional melalui pengabdian kepada
masyarakat berupa pendampingan usaha
maupun pelatihan manajemen usaha dan
peningkatan jiwa kewirausahaan.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
WaliKota Semarang dan Kepala Bappeda Kota
Semarang yang telah memberikan dana kegiatan
penelitian melalui Bidang Penelitian dan
Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun
2010.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Perdagangan RI dan PT Indef
Eramadani (INDEF). 2007. “Kajian
Dampak Ekonomi Keberadaan
Hypermarket Ritel/ Pasar, Kerjasama
antara Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Dalam
Negeri (Ringkasan Eksekutif)”.
Hutabarat, Marthin Rapael. 2009. Dampak
Kehadiran Pasar Modern Brastagi
Supermarket terhadap Pasar Tradisional
SEI Sikambing di Kota Medan. Skripsi.
Departemen Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Sumatra Utara
Medan.
Kasali, Rhenald.http://iswekon.wordpress.com
“Minimarket dan Ritel Modern Kian
Menakutkan”. http://www.poskota.co.id.
“Pasar Ritel Modern Bukan Pembunuh Pasar
Tradisional”.
http://www.antaranews.com
Pemerintah Kota Semarang, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah
Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun
2005-2010.
“Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern
(Supermarket dan Hypermarket)
Terhadap Usaha Ritel Koperasi/
Waserda dan Pasar Tradisional”, Jurnal
Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1
Tahun I, 2006.
Penyempurnaan Perangkat Peraturan, Kebijakan
Pelaksanaan Operasional dan Kajian
Pengembangan Pasar Percontohan.
Laporan Akhir.
“Ritel Marak, Warung Kecil Gulung Tikar”,
http://www.poskota.co.id
“Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari
Toko Tradisional @ Mesin Kasir