012 Ekspresi Edisi Juni 2011 -...

52
Edisi 16 Tahun IX Juni 2011 Diterbitkan oleh PPPPTK Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Keterkaitan antara Ilmu Bahasa dan Pengajaran Bahasa The Use of CALL to Acquire the Vocabulary Teaching Grammar The Implementation of Mother Tongue based Multilingual Education Programmes in Philippines, Thailand, and China Pengintegrasian Education for Sustainable for Development (ESD) ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia 2011 K T Te Te Edisi 16 Tahun IX Jun ni M F B

Transcript of 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 -...

Page 1: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

1

Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Diterbitkan olehPPPPTK Bahasa

Kementerian Pendidikan Nasional

Keterkaitan antara Ilmu Bahasa dan Pengajaran BahasaThe Use of CALL to Acquire the VocabularyTeaching GrammarThe Implementation of Mother Tongue based Multilingual

Education Programmes in Philippines, Thailand, and ChinaPengintegrasian Education for Sustainable for Development (ESD)

ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa JermanInterferensi Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia

2011

KTTeTeEdisi 16 Tahun IX Junni

M�������� F������ B� ���

Page 2: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

2 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa ini merupakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional,

terutama antara PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kepen-didikan bahasa.

Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyum-bangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.

Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan. Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. e

KATA JAM DAN PUKUL

masing-masing

mempunyai

makna sendiri, yang

berbeda satu sama lain.

Hanya seringkali pemakai

bahasa kurang cermat dalam

menggunakan kedua kata

itu sehingga tidak jarang

digunakan dengan maksud

yang sama.

Kata jam menunjukkan

makna ‘masa’ atau ‘jangka

waktu’, sedangkan kata pukul

mengandung pengertian

‘saat’ atau ‘waktu’. Dengan

demikian, jika maksud yang

ingin diungkapkan adalah

‘waktu atau saat’, kata yang

tepat digunakan adalah

pukul, seperti pada contoh

berikut.

Rapat itu akan dimulai 1. pada pukul 10.00.Toko kami ditutup pada 2. pukul 21.00.

Sebaliknya, jika yang

ingin diungkapkan itu ‘masa’

atau ‘jangka waktu’, kata

yang tepat untuk digunakan

adalah jam, seperti pada

kalimat contoh berikut.

Kami bekerja selama 3. delapan jam sehari.Jarak tempuh Jakarta-4. Bandung dengan kereta api sekitar dua jam.

Selain digunakan untuk

menyatakan arti ‘masa’ atau

‘jangka waktu’, kata jam

juga berarti ‘benda penunjuk

waktu’ atau ‘arloji’, seperti

pada kata jam dinding dan

jam tangan.

***

DALAM PEMAKAIAN

bahasa

Indonesia

sering kita temukan

penggunaan kata relawan dan

sukarelawan. Penggunaan

kedua kata itu menyebabkan

sebagian pemakai bahasa

mempertanyakan bentuk

manakah yang benar dari

kedua kata itu.

Dalam hal ini, kita perlu

memahami bahwa imbuhan

-wan itu berasal dari bahasa

Sanskerta. imbuhan itu

digunakan bersama kata

nomina seperti pada kata

bangsa + -wan = bangsawanharta + -wan = hartawanrupa + -wan = rupawan

Imbuhan itu menyatakan

tentang ‘orang yang

memiliki benda seperti yang

disebutkan pada kata dasar’.

Jadi, bangsawan berarti

‘orang yang memiliki bangsa’

atau ‘keturunan raja dan/

atau kerabatnya’; hartawan

‘orang yang memiliki harta’,

dan rupawan ‘orang yang

memiliki rupa yang elok’ atau

‘orang yang elok rupa’.

Dalam perkembangannya,

arti imbuhan -wan meluas.

Pada kata ilmuwan,

negarawan, dan fisikawan,

misalnya, imbuhan -wan

menyatakan ‘orang yang

ahli dalam bidang yang

disebutkan pada kata

dasarnya’. Dengan demikian,

ilmuwan berarti ‘orang yang

ahli dalam bidang ilmu

tertentu’; negarawan ‘orang

yang ahli dalam bidang

kenegaraan’; dan fisikawan

‘orang yang ahli dalam

bidang fisika’.

senaraibahasaJam dan Pukul, Relawan atau Sukarelawan?

Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Buku Prak�s Bahasa Indonesia 2 Dendy Sugono (ed.) (Jakarta. Pusat Bahasa. 2003)

bersambung ke halaman 47

Page 3: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

3

Pada edisi kali ini, Ekspresi me-

nyuguhkan tulisan utamanya

me nge nai pandangan Kepala PPPPTK Bahasa yang

baru terhadap institusi PPPPTK Bahasa, kinerja,

dan sumber daya manusianya.

Dalam pandangan beliau perubahan adalah

sebuah keniscayaan, lingkungan, cuaca, lembaga,

bahkan negara, tidak akan pernah luput dengan

yang namanya perubahan. Perubahan bisa terjadi

secara alamiah ataupun direncanakan. Perubahan

tidak bisa ditolak, siapa pun yang menolak perubah-

an akan ditinggalkan. Waktu adalah faktor yang da-

pat mengubah hidup, waktu berbanding lurus de-

ngan proses perubahan, tiap detiknya merupa kan

hal yang berbeda yang berlaku pada setiap hal.

PPPPTK Bahasa sebagai bagian dari keniscayaan

tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam

struktur organisasi nya. Simak penuturan Dra. Hj.

Teriska R. Setiawan, M.Ed. selaku Kepala PPPPTK

Bahasa menggantikan Kepala yang lama dalam ru-

brik laporan utama.

Artikel lain menyuguhkan kepada Anda be-

ragam tulisan mengenai bahasa secara umum dan

pembelajaran bahasa. Semua hal tersebut bisa

Anda baca lewat Ekspresi edisi kali ini. Semoga

bermanfaat. e

Senarai Bahasa

Salam Redaksi

Laporan Utama

Membangun Futurisme Bahasa [4]

Bahasa dan Sastra

Keterkaitan antara Ilmu Bahasa dan

Pengajaran Bahasa [11]

The Use of CALL to Acquire the

Vocabulary [17]

Teaching Grammar [21]

The Implementation of Mother

Tongue based Multilingual

Education Programmes in

Philippines, Thailand, and China

[28]

Pengintegrasian Education for

Sustainable for Development

(ESD) ke dalam Materi Bahan

Ajar Bahasa Jerman [36]

Interferensi Bahasa Sunda ke dalam

Bahasa Indonesia [43]

Lintas Bahasa Budaya

Serambi Foto

Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Teriska R. Setiawan Penanggung Jawab Kabag Umum Abdul Rozak, Kasubbag Tatausaha dan Rumah Tangga Azokhigo Daeli Pemimpin Redaksi Kasatgas Protokol dan Dokumentasi Iri Agus Sudirdjo Redaktur Pelaksana Yusup Nurhidayat Redaktur Ririk Ratnasari, Mulawarni, Joko Subroto Desain Sampul dan Tataletak Yusup Nurhidayat Pencetakan dan Distribusi Naidi, Djudju, Komariah Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Jalan Gardu,

Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034 Faks. (021) 7271032 Website: www.pppptkbahasa.net Email: [email protected]

daftarisi

salamredaksi

Page 4: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

4 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

MEMBANGUN FUTURISME

KATA ORANG, SAYA INI IBARAT IKAN NYEBUR DI KOLAM, LANGSUNG SAJA SAYA JELAJAH

ISINYA. APA SAJA ISI KOLAM ITU, APAKAH DI DALAMNYA HANYA IKAN-IKAN KECIL YANG SIAP DIMAKAN PREDATOR, ATAU KEBANYAKAN IKAN PREDATOR YANG SALING SERANG? ATAU HANYA BERISI IKAN-IKAN HIAS, ATAU IKAN CAMPURAN? DAN BAGAIMANA IKAN-IKAN ITU BISA HIDUP? APAKAH HIDUPNYA BIASA SAJA ATAU BERMUTASI MENJADI LEBIH BAIK?

Page 5: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

5

BAHASA

LAPORANUTAMA

Jadi, wajar saja apabila

saya menginginkan suatu

perubah an yang lebih baik

bagi lembaga yang saya

pimpin, maka perubahannya

harus rasional; berbasis ke-

pada data-data dan faktanya

serta analisis lingkungan

yang relevan dengan kom-

petensi dan potensi lembaga-

nya. Apa dan bagaimana cara

mengubah lembaga ini men-

jadi menjadi lebih baik?

Pertama, manajemen lem-

baga, seperti halnya P4TK

yang lain, meskipun su-

dah meraih ISO 9001:2008,

perlu diteliti lagi, apakah

betul acuan prosedur kerja

dan standar yang dibuat itu

telah dilaksanakan dengan

konsekuen dan dipahami

oleh seluruh karyawan

yang ada? Kalau belum, apa

sebabnya? Kare na setiap

prosedur kerja yang dibuat

oleh suatu unit, terkait

dengan unit kerja lain.

Berikutnya, yang merupa-

kan hal penting adalah,

dengan melihat proses dan

hasil pelatihan yang dilak-

sanakan oleh P4TK

Bahasa, apakah sesuai

dengan kebutuhan pe-

langgannya? Apakah

berkualitas? Dan apak-

ah dampak pelatihan

tersebut sesuai de ngan

persepsi mutu yang

diharapkan dari pe-

langgan luar? Pelang-

gan luar ini termasuk

siswa di sekolah yang

akan mengecap hasil

pe ningkatan kualitas

gurunya, khususnya

guru Bahasa. Meng-

apa penting dilihat

dampaknya? Karena

P4TK Bahasa ini su-

dah berdiri lebih dari

tiga puluh tahun, dan

peranannya bagi pen-

ingkatan mutu guru

bahasa sangat pent-

ing. Dalam kurun

waktu lebih dari tiga warsa

ini, kegagalan UAN rata rata

disebabkan oleh bahasa; ba-

hasa Indonesia dan bahasa

Inggris.

Oleh karena itu, PPPTK

Bahasa sudah selayaknya

meme rankan dirinya un-

tuk mampu membantu

para pendidik memecahkan

masalah ini agar kualitas

siswa di bidang bahasa In-

donesia dan Inggris me-

ningkat. Berikutnya, selain

program pelatihan Bahasa

yang menjadi tugas pokok

utama lembaga ini adalah,

Page 6: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

6 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

LAPORANUTAMA

pemberdayaan sumber daya

manusianya; perlu dipela-

jari kompetensinya, dan

kualifikasinya serta sistem

peningkatan mutunya.

Saya melihat dalam waktu

kurang lebih 6 (enam) bu-

lan ini, bahwa lembaga ini

mempunyai banyak potensi.

Setelah otonomi daerah,

banyak dinas pendidikan

daerah, yang regular me-

minta bantuan pelatihan ba-

hasa Indonesia, Inggris, dan

bahasa China. Berikutnya,

kemitraan dengan organisasi

luar seperti Japan Founda-

tion juga berkesinambun-

gan, namun masih ada kele-

mahan dalam sistem kemit-

raan tersebut. P4TK Bahasa

belum mempunyai kesiapan

dalam menetapkan model

belajar customize (taylor

made) yang berbasis kepada

kompetensi. P4TK Bahasa

baru sekadar menerima or-

der berbasis biaya yang ada,

bukan kepada hasil analisis

kompetensi.

Jadi, hal ini yang menurut

saya sangat perlu diperbaik i,

sehingga para pelanggan

tadi tinggal memilih prog-

ramnya, dan menyesuaikan

dengan latar belakang pen-

didik yang akan menjadi

peserta pelatih an. Istilah

yang paling pas kalau su-

dah ada kurikulum basis

kompetensi itu, kita su-

dah seharusnya punya ko-

defikasi diklat-diklat yang

akan bisa sesuai dengan

kebutuhan pengembangan

profesi berkelanjut an (CPD

= continuous professional

development) bagi pendidik

maupun tenaga kependidi-

kan di bidang bahasa.

Untuk hal ini, mudah-mu-

dahan saja P4TK Bahasa

bisa mempersiapkan kuri-

kulum pelatihan berbasis

kompetensi ini mulai ta-

hun depan, termasuk pa-

ket modul belajarnya. Ada

prog ram yang membangga-

kan sebetul nya di lembaga

ini, seperti pelatihan ber-

basis web yang telah ber-

jalan lebih dari satu tahun

bagi guru bahasa Inggris,

yang menggunakan prog-

ram open source moodle,

meskipun mungkin perlu

ditingkatkan lagi modelnya

dan perlu dukungan yang

lebih besar lagi, karena

program ini baik dan effek-

tif bagi guru untuk belajar

mandiri, dan juga bisa di-

jangkau oleh guru di mana

pun, sehingga cost effective,

karena sebenarnya tidak

diperlukan bia ya yang besar

Page 7: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

7

untuk P4TK mendatangkan

guru ke kampus dalam wak-

tu yang relatif terlalu lama.

Sistemnya saat ini masih off-

line dan online: tatap muka

dan juga jarak jauh.

Masalah berikutnya, ke-

mungkinannya adalah da-

lam melatih para guru,

PPPTK Bahasa lebih mene-

kankan pelatihan “Tentang

Bahasa” ketimbang “Pe-

nguasaan Berbahasa”. Ber-

bicara tentang Bahasa ada-

lah berkaitan atau sama de-

ngan belajar mengenai ilmu

bahasa, dan segala hal yang

terkait de ngan tata bahasa

dan teori bahasa.

Misalnya, kalau para guru

bahasa Indonesia hanya be-

lajar mengenai apa itu pro-

sa, puisi dan drama, dan ba-

gaimana cara mengajarkan-

nya, maka saya yakin para

guru Bahasa yang dilatih

di P4TK Bahasa lebih baik

belajar ke perguruan ting-

gi atau kepada sastrawan

saja, atau bisa belajar

melalui buku teks bahkan

melalui e-library. Karena

ini berkaitan erat dengan

kemampuan peningkatan

kognitif para guru, de ngan

cara yang lebih ba nyak

bersifat induktif ketimbang

deduktif. Sehingga, ha-

sil pelatihan dengan cara

seper ti ini saya jamin tidak

akan memberikan inspirasi

apapun terhadap sistem

Kegiatan Belajar Mengajar di

sekolah yang seharusnya ada

unsur-unsur aktif, kreatif,

efektif dan menyenangkan.

Kemungkinan para siswa di

sekolah akan berpikir dan

mempunyai kesan bahwa,

memang bahasa Indonesia

atau bahasa Inggris itu sa-

ngat sulit dipelajari sebagai

alat komunikasi.

Sedangkan mengenai “Pe-

ngu asaan Berbahasa” ini

terkait dengan pendekatan-

pendekatan dan model

mengajar bahasa yang me-

nyenangkan dan efektif,

melalui keterampilan listen-

ing, speaking, reading, dan

writing yang memang sangat

diperlukan oleh siswanya

masing-masing dalam berko-

munikasi. Sehingga peran

P4TK Bahasa dalam hal ini

terkait erat dengan cara

meningkatkan pengetahuan

dan sekaligus keterampilan

mengajar para guru, mela-

lui strategi belajar meng-

ajar yang menarik dan tidak

membosankan, serta ber-

basis kepada fungsi bahasa

yang sesuai dengan konteks

yang ada di sekeliling siswa.

P4TK Bahasa juga harus

mampu membuat guru yang

tadinya hanya mengajar di

kelas dengan cara konven-

sional dan tradisional, men-

jadi guru yang aktif, kreatif

dan membuat suasana

kelas belajar berbasis ke-

pada kreativitas siswa.

Bahasa yang menarik

bisa di ajarkan melalui

tema yang sedang hangat

dibahas di dunia misal-

nya dikaitkan dengan isu

yang sedang trend seperti

pemanasan global, kare-

na isinya sarat dengan

kenyataan yang dihadapi

sehari-hari dan terkait

dengan kehidupan kita.

Page 8: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

8 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Jadi, mengajarkan bahasa itu,

harus melalui pendekat an

yang kontekstual dan nyata,

bukan khayalan, se hingga

pendidik dan siswanya akan

bisa berkomunikasi dan

mengkomunikasikan hal-hal

atau masalah-masalah yang

nyata yang ada di seputar

kehidupannya dan membuat

para peserta didik berpikir

kritis terhadap masalah dan

akan mampu menghasilkan

apa yang telah dipelajarinya

menjadi suatu karya nyata

(cognitive learning becomes

productive skills): menjadi

senang belajar bahasa Indo-

nesia maupun bahasa Inggris

serta bahasa asing lainnya.

Jadi, P4TK Bahasa juga ha-

rus mampu melatih guru ba-

gaimana caranya membuat

suatu sistem pembelajaran

bahasa, yang berbasis ke-

pada penguasaan berbahasa

yang komunikatif (bahasa

terapan), bukan tentang ba-

hasa yang pada kenyataan-

nya tidak dipakai sehari-

hari oleh setiap orang dalam

berkomunikasi.

Hal berikutnya yang masih

belum dikuasai adalah

masalah perangkat teknologi

yang digunakan untuk bela-

jar bahasa. Saya sadari bah-

wa guru bahasa Indonesia

dan bahasa Inggris seharus-

nya sama jumlahnya dengan

jumlah sekolah-sekolah yang

ada. Mengapa?

Pertama bahasa Indonesia

itu sebagai bahasa nasional

kita yang resmi harus diajar-

kan kepada siswa kita dan

selanjutnya bahasa Ing gris

itu merupakan satu-satunya

bahasa asing yang diberi

porsi untuk diujikan dalam

sistem ujian nasional. Jadi,

kalau P4TK Bahasa harus

melatih ratusan ribu guru

bahasa dalam waktu yang

singkat, ini me rupakan

“Mission Impossible” se-

LAPORANUTAMA

JADI, MENGAJARKAN BAHASA ITU, HARUS MELALUI PENDEKATAN

YANG KONTEKSTUAL DAN NYATA, BUKAN KHAYALAN, SE HINGGA

PENDIDIK DAN SISWANYA AKAN BISA BERKOMUNIKASI DAN

MENGKOMUNIKASIKAN HAL-HAL ATAU MASALAH-MASALAH YANG

NYATA YANG ADA DI SEPUTAR KEHIDUPANNYA DAN MEMBUAT PARA

PESERTA DIDIK BERPIKIR KRITIS TERHADAP MASALAH DAN AKAN

MAMPU MENGHASILKAN APA YANG TELAH DIPELAJARINYA MENJADI

SUATU KARYA NYATA.

Page 9: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

9

hingga dalam rancang an

strategis P4TK Bahasa, su-

dah seharus nya pelatih an

bahasa ini bisa diikuti oleh

para guru melalui program

virtual atau berbasis IT

dan dengan sistem pelatih-

an yang dilakukan melalui

kemitraan dengan KKG dan

MGMP di daerah dan sudah

saatnya pula P4TK Bahasa

mempunyai partner seko-

lah di setiap kabupaten dan

kota, sebagai sumber belajar

bahasa, sehingga para guru

atau KKG dan MGMP tidak

perlu mendatangi P4TK Ba-

hasa yang sulit dijangkau.

Yang perlu dipersiapkan oleh

P4TK Bahasa saat ini adalah

memilih model virtual yang

sesuai bagi kebutuhan guru

bahasa, menyusun kuriku-

lum berbasis kompetensi,

me nyusun modul dan ba-

han ajar basis kompetensi,

me nyusun prosedur dan

standar belajar bahasa yang

benar, menyusun strategi

pemetaan guru bahasa.

Untuk menunjang keingin-

an tersebut di atas, saya

perlu meningkatkan kapa-

sitas dan memberdayakan

staf dan tenaga fungsional

P4TK Bahasa sehingga lem-

baga ini menjadi lembaga

yang bisa diperhitungkan

oleh lembaga-lembaga lain

yang setara. Caranya adalah

dengan memberikan kesem-

patan kepada staf untuk

kursus singkat di luar negeri

dan belajar mengenai model-

model pembelajaran bahasa,

dan berikutnya bekerja sama

dengan lembaga-lembaga

kursus yang terkenal di du-

nia kebahasaan.

Tidak kalah pen-

tingnya adalah de-

ngan mulai mem-

berikan kesempat-

an kepada tenaga

fungsional bahasa

untuk melakukan

penelitian me ngenai

masalah pembelajar-

an bahasa-bahasa

di Indonesia, selain

tentunya konsekuen

dan terus menerus

melaksanakan Anali-

sis Kebutuhan Pelatihan dan

Studi Dampak Diklat setiap

tahunnya.

Tanpa adanya ketiga hal

tersebut, pelatihan bahasa

Indonesia dan bahasa asing

lainnya bisa dijamin tidak

akan berkembang, dan

tidak sesuai dengan harapan

pencapaian mutu di ting-

“STAF DAN TENAGA

FUNGSIONAL P4TK

BAHASA PERLU DIBERI

KESEMPATAN UNTUK

MENGIKUTI KURSUS

SINGKAT DI LUAR

NEGERI DAN BELAJAR

MENGENAI MODEL-

MODEL PEMBELAJARAN

BAHASA.”

Page 10: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

10 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

kat output sekolah. Selain

itu, kalaupun kurikulum

pelatih an basis kompetensi

sudah tersedia, dan jen-

jang pelatih an yang dibuat

otomatis terstandar, maka

suka atau tidak, para tenaga

peng ajar pun harus meng-

ikuti standar tersebut.

Misalnya, widyaiswara yang

perolehan TOEFL-nya kurang

dari 500, maka dia hanya

bisa mengajar di jenjang

pelatihan dasar, tidak bisa

mengajar ke tingkat mene-

ngah, atau yang perolehan

UKBI-nya baru semenjana,

maka dia tidak akan dibiar-

kan mengajar bahasa Indo-

nesia meskipun untuk ting-

kat dasar, karena sudah pas-

ti diragukan bidang keahlian

berbahasanya.

LAPORANUTAMA

Maka sebagai konsekuensi-

nya P4TK Bahasa perlu mem-

berikan kesempatan kepada

staf dan tenaga fungsional-

nya untuk terus melatih diri,

meningkatkan kualitasnya.

Masih banyak hal penting

yang berkaitan dengan tu-

poksi lembaga ini ke de-

pan, namun saya tidak bisa

melakukannya sendirian.

Saya dengan para unsur

pimpinan, tenaga fungsional,

dan karyawan harus bersatu

padu membangun sistem

yang lebih baik bersama-

sama, partisipatif untuk

maju, lebih transparan dalam

tata kelola dan akuntabilitas

kinerjanya, sehingga lem-

baga ini selayaknya menjadi

satu lembaga milik nasional

yang bisa diperhitungkan ke

depan, karena sudah mem-

punyai posisi yang strate-

gis sebagai satu-satunya in-

service training provider 7

(tujuh) bahasa sekaligus.

Saya pribadi selalu bersyu-

kur kepada Alloh swt, kare-

na setiap lembaga yang saya

pimpin sebenarnya sudah,

dan selalu diberi kesem patan

oleh Kementrian Pen di dikan

Nasional untuk mengembang-

kan dirinya dalam kerangka

peningkat an kualitas terus-

menerus. Jadi, kalau bukan

kita sendi ri yang mengubah

pola pikir mengenai mutu,

siapa lagi yang bisa meng-

ubah kita? e

PERUBAHAN ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN.

Page 11: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

11

KETERKAITAN ANTARA

ILMU BAHASA DAN PENGAJARAN BAHASA

Gunawan WidiyantoStaf PPPPTK Bahasa

Menagajar di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu,

Sabah, Malaysia

etakat ini dapat dikatakan bahwa awal mula penelitian tentang keterkaitan antara ilmu bahasa dan pengajaran ba-

hasa dapat dilacak balik ke abad ke-19. Sejak saat itu, setiap penelitian yang diajukan para sarjana acapkali menjadi bahan perdebatan. Hingga tahun 1960an, tatkala keterkaitan keduanya ditinjau ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang pertama menga-takan bahwa ilmu bahasa tidaklah sepen ting seperti yang dipraanggapkan setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beber-apa ahli bahasa seperti Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan ketidak-setujuannya mengenai anggapan bahwa

ilmu bahasa menjadi basis strategi pemelajaran. Lamen-della (1969) berpikir bahwa sungguh salah manakala kita meng andalkan tata ba-hasa transformasional atau teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlu-kan dalam bidang peng ajaran bahasa bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang ke-dua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu

bahasa, tetapi dengan syarat bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantia-sa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.

Levenson (1979 ) mengatakan bahwa tak ada satupun aliran analisis bahasa yang memo-nopoli kebenaran deskripsi fenomena ujaran entah itu aliran tata bahasa tradisi-onal atau tata bahasa trans-

Page 12: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

formasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance) secara spesifik dengan situ-asi pengajaran bahasa. Pada ga libnya dapat dinyatakan bahwa terdapat interaksi tim-bal balik antara imu bahasa dan pengajaran bahasa. Da-lam tulisan ini, terminologi pengajar an bahasa dan teori pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Se-jauh ini pula dapat dikatakan bahwa relasi antara ilmu ba-hasa dan pengajaran bahasa bersifat diadis. Ini bermakna, pada sisi yang satu, sebagian teori linguistik dapat dite-rapkan pada pengajaran ba-hasa, yang bermakna pula bahwa ilmu bahasa memandu perkembangan teori penga-

jaran bahasa. Pada sisi yang lain, sebuah teori pengajaran menyiratkan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat bahasa. Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan teori penga-jaran bahasa secara langsung dengan linguistik teoretis.

Ilmu Bahasa sebagai Pe-mandu Pengajaran Bahasa

Tahun-tahun awal perang dunia (PD) kedua, ilmu baha-sa dikenali sebagai komponen penting dalam teori penga-jaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat memerlukan banyak prajurit yang menge-tahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi permintaan ini, sekelompok bahasawan seperti Bloomfield (1942) mulai memakai pengetahuan Linguistik untuk menganali-sis bahasa yang akan diajar-kan dan hasilnya terbukti me-muaskan. Bloomfield menya-rankan bahwa satu-satunya guru yang mangkus (effective) sebaiknya adalah seorang ba-hasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik, kare-na guru bahasa sering kali kurang memiliki keterampil-an bahasa yang cukup, ha-nya bahasawan yang terlatih yang mengetahui bagaimana peserta didik belajar dari pe-nutur jati (native speaker) dan bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam konteks ini, saran Bloomfield memang tampak sedikit eks-

trim, tetapi kita harus meng-akui bahwa sebagai guru ba-hasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan penguasaan yang baik tentang ilmu baha-sa, supaya kita bisa mengajar dengan baik. Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai konstruksi organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan mela-lui sinergi antarorgan artiku-lasi itu. Kita juga dapat mem-bantu peserta didik memper-oleh pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan vokal dan konsonan dan cara meng-hasilkan bunyi itu secara aku-rat dengan posisi lidah yang benar. Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik tentang fonetik peserta didik bisa mempelajari lafal kata dengan baik pula. Mini-mal, guru bahasa sepatutnya meng adopsi analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan aso-siasi fonetik internasional un-tuk melatih pelafalan

Menjelang kira-kira tahun 1960, pengaruh linguistik struktural terhadap bidang pengajaran bahasa mencapai puncaknya di Amerika Seri-kat. Linguistik ini menekank-an pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat da-lam sistem itu. Bersama den-gan Behaviorisme, ia memberi

12 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 13: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

basis teoretis utama pada teori audiolingual dan memengaru-hi materi pengajaran bahasa, teknik, dan pendidikan guru. Behaviorisme menghasilkan teori-teori pemelajaran dan pengajaran bahasa yang men-jelaskan bagaimana sebuah peristiwa eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan peri-laku pada individu (response) tanpa perilaku mental apa-pun. Meskipun Behaviorisme mengabaikan aktivitas men-tal, ia menekankan penting-nya praktik dan pengulangan dalam pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor vital dalam mempelajari bahasa asing. Berkenaan dengan hal ini, metode audiolingual da-pat diambil sebagai contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara dan menyimak sebelum membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan latihan (drills); (3) penghindaran pemakaian bahasa ibu di kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak sebagai keterampi-lan berbahasa paling men-dasar, yang sinkron de ngan situasi pengajaran bahasa Ing gris saat ini.

Secara spesifik, dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu berkomunikasi dengan orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan menyimak itu lebih penting daripada kema-

hiran membaca dan menulis karena ia tidak diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bah-wa tatkala ia perlu berkomu-nikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang asing itu dan mengung-kapkan dirinya dengan baik.

Di Indonesia, kita mulai me-ngajar bahasa Inggris tatkala peserta didik berada di Seko-lah Dasar, meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan lokal. Sebelumnya, kita lebih sering mencurah-kan perhatian pada penga-jaran tata bahasa dan hasil-nya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta didik kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris de-ngan baik; bahkan beberapa di antaranya tidak bisa ber-kata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir ini, kita

menekankan pentingnya ber-bicara dan menyimak dalam pengajaran bahasa Inggris dan mengadopsi metode au-diolingual di kelas. Metode ini memberi penekanan pada praktik dan pengulangan ma-teri yang telah dipelajari di kelas; ia memercayai bahwa bahasa dipelajari melalui pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa supaya bisa berbicara bahasa Ing-gris dengan fasih, diperlukan praktik yang konstan. Dengan demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Ing-gris, kita sepantasnya beru-paya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.

Tatkala pengaruh Struktural-isme pada ilmu pengajaran ba-hasa begitu menyeluruh dan kuat, pengaruh Tata Bahasa Generatif Transformasional (TGG) menunjukkan hal yang

13

Page 14: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

berbeda. Pada akhir tahun 60an, terjadi perkembangan baru dalam ilmu pengajaran bahasa sebagai akibat dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik adalah teori kognitif pemelajar-an bahasa. Teori ini muncul tatkala TGG lengket erat dengan pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia berla-wanan dengan teori empirisis, yakni secara pedagogis adalah audiolingualisme, secara psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis adalah strukturalisme. TGG menekankan ak-tivitas mental. Teori ini menyarankan bahwa manusia memi-liki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat manusia memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan jumlah kalimat yang tak terbatas adalah ke-mampuan bawaan (inborn ability). Bahasawan seperti Diller (1970) lebih mendukung teori kognitif; sementara bahasawan yang lain seperti Chastain (1976) dan Rivers (1981:25-27) ber-anggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi dan mem-bentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah merepresentasikan berbedanya fase pemelajaran ba-hasa. Tampaknya, teori empirisis bermanfaat dan lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran bahasa; sedangkan teori kognitif lebih bermanfaat dan cocok untuk analisis bahasa.

Pada tahun 1970-an, sekelompok sarjana seperti Oller (1970) dan Widdowson (1978), yang merupakan ahli bahasanya

sendiri tetapi pada saat yang sama bergulat dengan prak-tik pengajaran, memberi arah kebahasaan pada pendidikan dan pengajaran bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam kedudukannya yang baik untuk menciptakan mata rantai antara teori ba-hasa dan praktik pengajaran bahasa, keduanya menekan-kan pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Minat Oller pada Pragmatik bisa dijadi-kan contoh. Oller (1970:507) menyatakan bahwa Pragmatik berimplikasi pada pengajaran bahasa; ia membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa un-tuk mendorong peserta didik tidak hanya memanipulasi rentetean bunyi tak bermak-na, tetapi juga mengirim dan menerima pesan dalam ba-hasa. Dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup ten-tang Pragmatik sungguh bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan meng-ajar bahasa Inggris dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian, orang se-ringkali berbicara secara tidak langsung, barangkali kita su-dah we have noticed it, tetapi tanpa pengetahuan Pragma-tik, kita tak bisa menerang-kannya dengan benar. Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa menerangjelaskan bebe-rapa gejala bahasa secara aku-rat, yang membuat peserta didik kita memiliki wawasan

14 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 15: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

yang lebih dalam tentang hakikat bahasa. Widdowson (1978) membatasi seperang-kat konsep yang berkontras untuk membedakan antara bahasa sebagai sistem formal dan bahasa sebagai peristiwa komunikatif. Beliau mengan-jurkan pergeseran penekanan dari pengajaran bahasa kedua sebagai sistem formal ke pe-ngajaran bahasa kedua seba-gai komunikasi. Pandangan Widdowson ini sejalan de ngan situasi pengajaran bahasa kedua di negara kita. Saat ini kita menekankan pentingnya kemampuan komunikatif pe-serta didik kita, yakni ber-kata, menyimak, dan berbin-cang alih-alih kemahiran ber-bahasa. Ini tidak bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu ba-hasa; justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran bahasa kita.

Ilmu Bahasa, Pengajaran Ba-hasa, dan Hakikat Bahasa

Bahasa merupakan sebuah en-titas yang kompleks. Ia kon-tradiktif dan opositif. Ilmu bahasa dan pengajaran ba-hasa semestinya mempertim-bangkan kontradiksi ini. Jika tidak, ia tidak bisa member solusi yang memuaskan ter-hadap permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikat-nya kompleks, yang harus di-lakukan ilmu bahasa adalah

mengidentifikasi elemen atau aspek untuk menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa, kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem gramatikal, sistem leksikal, dan sistem wacana. Dari keempat aspek itu, kita bisa melihat, termasuk atau tidak ter-masuk aspek yang mana teori pegajaran atau praktik pengajar-an bahasa kita. Secara teoretis, keempat aspek tersebut mesti dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena keempatnya merupakan gambaran menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita menganalisis setiap aspek itu, kita akan memakai teori bahasa untuk menggambarkannya, yang bermakna bahwa kita harus memepertimbangkan bagaimana ia beroperasi secara linguistis, apa maknanya secara semantis, dan bagaimana ia digunakan secara sosiolinguistis. Hanya jika bahasa dianali-sis secara sistematis, ia bisa dipelajari secara praksis. Namun, guru bahasa berharap bahwa ia mengajar bahasa secara me-nyeluruh, yang bermakna bahwa bahasa selayaknya diang-gap sebagai sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan demikian, teori pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa baik sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.

15

Page 16: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

16 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Sebagaimana dinyatakan sebe-lumnya, bahasa adalah juga sebuah entitas yang opositif, yakni bahwa bahasa itu ter-kendali aturan (rule-governed) dan bahasa itu berdaya cipta (creative). Ia tidak hanya me libatkan tata dan keter-aturan, tetapi juga member peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran bahasa atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya memper-timbangkan keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini dengan berba-gai cara. Dalam praktik peng-ajaran kita, kita seharusnya mengajar peserta didik kita tata bahasa atau aturan baha-sa; di sisi lain, kita meminta peserta didik memakai bahasa

secara inovatif berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah, pengajaran tata aturan bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi, karena tanpa dasar yang ko-koh tentang bahasa Inggris, sungguh berat bagi peserta didik untuk berkomunikasi secara mangkus.

Karena begitu peliknya sifat yang dimiliki bahasa, kita tidak bisa berharap banyak kepada teori pengajaran ba-hasa untuk mencakupi semua aspek bahasa. Karena kurang mungkin untuk sebuah teori bahasa mencakupi keseluruh-an bahasa, semua teori peng-ajaran bahasa mesti mengor-bankan beberapa aspek baha-sa untuk memberi penekanan

pada yang lain. Meskipun ilmu bahasa tidak bisa menyajikan sebuah penafsiran yang pasti tentang bahasa, ia bisa mem-bantu kita berpikir secara kri-tis dan konstruktif mengenai bahasa, yang memungkinkan terciptanya rancangan peng-ajaran bahasa secara praksis.

Perkara keterkaitan dual antara ilmu bahasa dan peng-ajaran bahasa sungguh pen-ting bagi pendidikan bahasa. Perkembangan yang terus-menerus dalam teori keba-hasaan dan teori pengajaran bahasa maupun perubahan konstan dalam bahasa itu sendiri menghendaki kajian mengenai bahasa secara per-manen dan relasi antara teori bahasa dan pengajaran ba-hasa. e

Pustaka AcuanBloomfield, L. (1942). Outline Guide for the Practical Study of Foreign Languages. Special

Publications of the Linguistic Society of America. Baltimore: Linguistic Society of America.

Chastain, K. (1976). Developing Second-Language Skills: Theory to Practice. Chicago: Rand McNally.

Diller, K.C. (1970). ‘Linguistic theories of language acquisition’ in Hester 1970:1-32.Johnson, M. (1967). Definitions and models in curriculum theory. Educational Theory,

17:127-40.Lamendella, J.T. (1969). On the irrelelevance of transformational grammar to second

language pedagogy. Language Learning, 19:255-70.Levenson, E.A. (1979). Second language lexical acquisition: issues and problems.

Interlanguage Studies Bulletin, 4:147-60.Oller, J.W. (1970). Transformational theory and pragmatics. Modern Language Journal,

54:504-507.Rivers, W.M. (1981). Teaching Foreign-Language Skills. Second edition. Chicago and London:

University of Chicago Press.Widdowson, H.G.. (1978). Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University

Press.

16 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 17: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

17 1177

Nowadays, the computer has played important role in all

of life, including in learning language. Computer has become a part of modern life and a tool to help the works. According to Hartoyo (2008, 11) that Computer is used for the learning process which called Computer Assisted Learning (CAL) and the sake of facilitating people who want to learn subjects, such as learning language. Computer as a machine still depends on the user. It can be useless, if the user can’t operate it. In learning process, people as user of computer isn’t required to master the material of learning, but also can operate it well to acquire the language.

Above are the important role of CAL to support learning of computer. Based on the view of Ruhlmann (1995), CAL can make the students actively, respond to questions, complete interactive tasks, and enter a personal dialogue with their electronic tutor.

Implementing of the use of computer in language learning which is needed by the learners, means developing in teaching and learning language. It indicates how the computer has a big role to enhance

Joko SukatonStaf PPPPTK Bahasa

Page 18: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

18 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

acquisition of language. The use of computer to learn language is called Computer Assisted Language Learning (CALL). According to Son (2001, 28) that the use of the computer for vocabulary learning in term of linking CALL is effective ways to acquire the vocabulary in language. For instance, Goodfellow (1994) proposes that CALL needs to promote a deep learning, to support learning language processes and Graney and Mokhtari (1993) suggest that practice with computer-assisted learning language has benefits or advantages to acquire vocabulary.

CALL In Language Learning

Many experts believe that CALL can improve the language competence of the learners as long as they can use it more frequent to practice the tasks of its program. According to Hartoyo (2008, 27), there are a number of advantages of CALL for the language learners, for examples that it can encourage the learners to develop their reading habit; it offers any topic which can be practiced by the learners; it has also flexibility of time for the language learners to use that program. Because of the advantages of CALL, many language learners recently use that program which aimed at acquisition of language, especially the vocabulary. Several studies using computer-mediated texts demonstrated the positive effects on vocabulary learning. Based on investigating of Reinking and Rickman (1990), the reader’s vocabulary learning and comprehension would be affected by displaying texts on a computer screen. It is more interesting to learn language using CALL than books.

The Importance of Vocabulary in Language Learning

In language learning process, vocabulary is an

important part of language to understand and communicate with others. Peng (2007) argues that the most difficult for the language learners in language learning is to remember the words. Wilkins (1972) has a view of vocabulary that vocabulary is the foundation of a language in language learning and teaching. The language learners could have met difficulties to speak and read fluency. As a basic of linguistic vocabulary can be an important standard to recognize the level of language learners. According to Ellis (1995), the learners sometimes don’t use context clues properly because of their poor vocabulary knowledge and low vocabulary capacity. Moreover, Parry’s (1993) proposes that a single context hardly gives enough information for the language learner to guess the full meaning of a word.

Vocabularies Acquisition In CALL

Many experts of language argues that computer technologies can support learning in a number of ways. Many features of the computer are considered to enhance vocabularies development. According to Chun and Plass (1996), they have three studies with students in their second year of German who used Cyberbuch. The program includes various type of annotations, such as picture, text, video. The objective of this study is to explore the vocabulary learning, and the effectiveness of that program on vocabulary acquisition. Based on this study, it has result that visual language can help the language learners in language learning. It can recall new words.

According to view of Tozcu and Coady (2004), they argue that using interactive computer-based or CALL in vocabulary acquisition is more effective than traditional materials. That program could have positive implications of using CALL, especially in language classroom for enhancing of vocabulary acquisition. To enhance that, the language learners should

Page 19: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

19

be active by doing tasks on CALL. Their increasing of vocabulary depends on their frequent practices. The more they do their tasks, the more to develop their vocabulary. The language learners should also know the instructions of the program in order to reach their goal. CALL has also a various vocabulary building program in order to stimulate the language learners to do the tasks on it.

The most important of using CALL for the language learners is to motivate them to learn language. The program of CALL is advisable for them to assist other people. CALL is defined as a device for helping the language learners to develop their learning skills in vocabulary and make best use of the strength they prefer when learning a new word. CALL has a positive aspect for the language learners and gives them more autonomy in language learning. They can learn it without instructors as long as they have time and know how to operate it well. The materials could motivate them to interact far more often.

Use CALL cannot make the language learners to have motivation to acquire the vocabulary by doing the tasks, but also can improve their language ability. CALL is only a device needed operator to run well. The operation of it

19

Page 20: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

20 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

d e p e n d s on the learners. The language learners should try it more frequent in order to acquire more vocabularies. When the language learners can improve their vocabulary capability, they can use it in communicating with other learners and read text to understand it. The program of CALL is needed to build language learning process which focus on acquisition in target words of language. Recently CALL has significant implications to developing of language which used in all over the world by the language learners. e

ReferencesChun, D. M., & Plass, J. L. (1996a).

Effects of multimedia annotations on vocabulary acquisition. Modern Language Journal, 80, 183-198.

Ellis, R. 1995. Modified oral input and the

acquisition of word meaning. Applied

Linguistics.Hartoyo, M.A.,Ph.D.,

2008, Individual Differences : In Computer – Assisted Language Learning (CALL), Pelita Insani Semarang.

http://iteslj.org/Articles/Constantinescu-Vocabulary.html

Tozcu, A. and J. Coady. (2004). Successful Learning of Frequent Vocabulary through CALL also Benefits Reading Comprehension and Speed. Computer Assisted Language Learning,

Parry, K. 1993. Too many words: Learning the vocabulary of an academic subject. In: T. Huckin, M. Haynes & J. Coady. (Eds.), Second language reading and vocabulary learning. Norwood, NJ: Ablex Publishing Corporation, 109-129.

Son, J.-B. (2001). CALL and vocabulary learning: A review.English Linguistic Science, 7, 27-35.

Wilkins, D. A. 1972. Linguistics in language teaching. London: Edward Arnold.

Page 21: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

21

Jodi EtmanWidyaiswara Bahasa Inggris

PPPPTK Bahasa

INTRODUCTION

In the old days people believed that grammar was central to learning language. When we learn a

foreign language, it means we learn about the grammar rules, and the success of learning a language was measured with the mastering of the rules of grammar. In other words, the emphasis of teaching grammar was on form rather than function.

Ellis (1993:5) says:

I think that grammar got a bad press in the 1980s, partly as a product of two very powerful writers and thinkers. I’m referring here to Krashen at the beginning of the 1980s and to Prabhu and his book in which appeared in 1987. Essentially, both Krashen and Prabhu were, for slightly different reasons, advancing a case against any attempts to actually control what grammar items a learner learns at any particular stage in their development. They advanced instead, the idea that, providing one can offer opportunities for meaningful communication in the classroom, grammar will be learned naturally and automatically.

Based on the two illustrations above, we realise how difficult and complex it is when we talk about language especially in teaching grammar. In the first illustration, the priority is on the form or accuracy, while in the second one it is on function or fluency.

IN RECENT YEARS, THE EMPHASIS HAS SHIFTED

AWAY FROM TEACHING GRAMMAR. TEACHERS

HAVE CONCENTRATED ON HOW PEOPLE LEARN

LANGUAGES, AND GRAMMAR BECOMES LESS

IMPORTANT. IT IS CLAIMED LANGUAGE IS FOR

COMMUNICATION. THIS WAY OF TEACHING ENGLISH

IS CALLED COMMUNICATIVE APPROACH WHEN THE

FOCUS IS ON FUNCTION RATHER THAN ON FORM.

Page 22: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

According to Lewis and Hill (1985:81)

The teaching should maintain a balance between practices which concentrate on fluency, and those which concentrate on accuracy. On the whole, fluency practices concentrate on why a person is speaking (function) and accuracy practices on how the message is conveyed (structural form). A good language teaching programme involves both.

The purpose of the discussion reported on in the body of this paper was firstly, to describe the traditional view of grammar in language teaching. Secondly, to explore the views of Rutherford and Ellis on the role of grammar in language teaching. Thirdly, to see the relevance of these new approaches to the teaching and learning of grammar in Indonesian situation, then followed by the conclusion.

THE TRADITIONAL VIEWS OF GRAMMAR

As has been mentioned earlier that in the old days people believed that grammar was central to learning language. It is taught deductively where the rules are given first. In other words, the teachers provide the learners with the grammatical rules and explanation, then followed by examples and exercises. The learners are asked to memorize the rules and then apply them to other examples. The language is taught in isolation without giving enough contexts to expose the learners to know how the structure items are used in the language. As a result the learners are able to master the grammar rules, but unfortunately they fail to use the language in communication because they are taught about the language not to use the language. Teaching grammar in traditional conceptions seem prioritise the accuracy

rather than function and meaning. If the students make errors in learning the target language, the teachers will correct them directly. The purpose is to get the learners to produce a linguistically correct.

THE VIEWS OF RUTHERFORD AND ELLIS ON THE ROLE OF GRAMMAR.Rutherford Consciousness-Raising

“We refer here of course to the fact that the learner has to be exposed to the data from which hypothesis may be formed and meaningful generalizations drawn. This ‘exposure’ factor is a more crucial one than might be supposed and becomes even more so where the classroom is the only source of target – language data.” (Rutherford 1987:150).

Based on the quotation above we realise that in order to enable the learners to successful in language teaching, they should be exposed to the meaningful context of the target language they are learning. By doing so they can understand how a particular grammatical feature works, what it consists of in a real situation. To achieve this, the teachers should provide the learners with the right kind of materials, in the right condition, and at the right time. In other words, in designing the materials, teachers should consider whether the materials are suitable, applicable and can motivate the learners in learning. Another

important point to be

considered is the provision of the materials should be as such

22 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 23: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

that the learners are ready to understand them.

While the learners are involved in motivating materials, the teachers can analyse what language problems the learners have. Then based on the problems the teachers devise activities to raise the learners’ grammatical consciousness towards the problems. In designing the activities to raise the learners’ consciousness, the teachers should also consider that the activities will encourage the learners to solve the problems. The purpose does not intend how to teach particular grammatical constructions. It is claimed that ‘consciousness-raising’ is considered as a potential facilitator for the acquisition of linguistic competence. In relation to this,

Rutherford (1987:160) says:

The C-R instruments of learner engagement to be looked at here can be divided into those that ask the learner for a judgement or discrimination of same kind and those that pose a task to be performed or a problem to be solved. These instruments are in no sense claimed to be exhaustive, and no doubt they can be improved upon or even better ones can be devised. They are to be considered as representative of various means for raising learner consciousness to aspects of grammatical system and are not intended as suggestions about how to ‘teach’ particular grammatical constructs.

Ellis’ Integrated Theory of Instructed Learning

In this theory Ellis believes that second language knowledge is differentiated into two; explicit and implicit knowledge. In the case of the former in conscious and declarative, while in the case of the later is subconscious and procedural, the same as what Krashen (1985) claims in his ‘monitor model’; ‘acquired’ knowledge is implicit and ‘learnt’ knowledge is explicit. They are stored separately in the brain. Furthermore, Ellis claims that explicit knowledge is

derived largely from form-focused instruction, while implicit knowledge is derived largely from meaning-focused instruction. Both of them are very important for learners in learning the target language because they can facilitate learning.

In meaning – focused instruction the learners are engaged in communication when the primary effort involves the exchange of meaning and where there is no conscious effort to achieve grammatical correctness. While in form- focused the learners are engaged in activities that have been specially designed to teach specific grammatical features. In other words, in meaning- focused instruction the learners are encouraged to semantic processing while in form- focused instruction the learners are encouraged to reflect on the formal features of the language. Since the explicit and implicit knowledge are stored in different part in the brain and it seems that implicit knowledge is the primary goal of most language teaching. Then what is the role of explicit knowledge? Krashen (1982) claims that its role is extremely limited. However, in the integrated theory explicit knowledge is very important because it functions as an acquisition facilitator, enabling the learners to notice second language features in meaning- focused input. Smidt and Frota (1986 : 279, quoted by Ellis 1990 : 193) support to this view :

They claim that the learner they studied (called “R”) benefited from formal instruction because he obtained information about the structure of the target language (Portuguese), which could have been derived only with great difficulty from instruction alone. However, R did not learn everything he was taught in the sense that he was able to use it spontaneously in subsequent instruction. Rather, ‘R heard and used what he was taught if he subsequently heard it and noticed it’.

To implement this theory, the learners should be provided with meaningful activities in order to enable them to use the language communicatively.

Ellis (1993:6) suggests:

“… what I’ve been suggesting is that a language teaching programme minimally ought to consists of opportunities for using the language communicatively,

23

Page 24: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

24 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

and by ‘using the language’ I don’t mean simply speaking or writing : I’m also talking about reading and listening. Also, a module in the language programme should seek to draw out learners’ conscious attention to problematic grammatical features, not with the expectancy that they would master these features and use them in communication immediately: but, rather, the expectancy would be that they learn what it is that they have ultimately to master.”

In order to help teachers to teach grammar communicatively, Ellis (1993) offers three alternative approaches to teaching grammar: Focused communication activities, Grammar consciousness – raising activities, and Interpretation grammar activities.

Focused communication activities: The 1. teachers provide a grammatical focus in the context of communicative activities such as, information - gap or opinion gap activities, while the learners are involved in doing the activities; a particular type of linguistic error is made, then the teacher will correct it through request for clarification. The purpose is to sort out a mis – or non – understanding. For example: if a learners says ‘I buy a new shirt yesterday’, then the teacher says ‘sorry’? or ‘uh’?. Hopefully, the learner tries to reformulate what he or she said

using the correct form. One of the advantages of this approach is that, the learners get opportunities to use the language naturally, and they can develop their fluency as well as accuracy of using the language.

According to Brumfit (1984) the communication tasks, will help to develop learners’ communicative skills and they also will contribute to learners’ linguistic development. In other words, communication tasks are important for both ‘fluency’ and ‘accuracy’. They aid fluency by enabling learners to activate their linguistic knowledge for use in natural and spontaneous language, such as when taking part in a conversation. They contribute to accuracy (i.e. linguistic competence) by enabling learners to discover new linguistic form during the course of communicating, and also by increasing their control over already acquired forms.

Grammar consciousness–raising activities.2.

The teacher provides activities which encourage learners with the help of the teacher, to try to discover a particular grammar rule, to learn about a grammar point for themselves. In other words, to get the learners to construct their own explicit grammar. For example; By

24 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 25: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

25

giving the learners with a list of sentences that illustrate two different grammatical structures or two different uses of the same structure and ask them to sort them into two sets and explain how they differ.

Interpretation grammar activities3.

The teacher provides learners with a very structured input, structured in the sense that the input would have been manipulated to contain examples of the particular grammatical structure that the teacher wanted to teach. The task would require learners to listen to this input in order to identify the meaning of the sentences containing this particular structure.

THE RELEVANCE OF THESE NEW APPROACHES TO THE TEACHING AND LEARNING OF GRAMMAR IN INDONESIAN SITUATION.

Communicative language teaching has been implemented in Indonesian junior and senior high schools since 1986. Many school teachers have been trained in order to fulfil the implementation of such an approach. Before the implementation of the PKG programme training ( Pemantapan Kerja Guru; strengthening of the work of teachers), Bahasa Indonesia was used as the medium of instruction in the high schools. The lessons were presented in a teacher – centred mixture of structural and grammar – translation techniques. The result was that after six years of learning about English most students could not use English at all to achieve communication. Based on the problem above in 1986, Indonesia set up a teacher training project called PKG to implement an innovative programme on the communicative English Language teaching at junior and senior high school level.

One way of teaching grammar introduced in

the PKG programme is discovery technique. The learners are encouraged to discover the grammar rules by themselves rather than explained by teachers.

Tomlinson (1990:31) points out:

We have been experimenting with a student active discovery approach, which has become known as EGRA, where the letters stand for Exposure, Generalization, Reinforcement, and application.

By applying this technique the learners are encouraged to construct their own explicit grammar. Another advantage of using this technique is the learners can learn and understand how the language works in context.

Referring to Hammer (1987:29) Discovery techniques on the other hand, are those where students are given examples of language and told to find out how they work – to discover the grammar rules rather than be told them. At the most covert level, this simply means that the students are exposed to the new language, with no focus of fuss, some time before it is presented. At a more conscious level, students can be asked to look at some sentences and say how the meaning is expressed and what the differences are between the sentences. As students puzzle through the information and solve the problem in front of them, they find out how grammar is used in a text and are actually acquiring a grammar rule, the advantages of this approaches are clear. By involving the students’ reasoning process in the task of grammar acquisition, we make sure that they are concentrating fully, using their cognitive powers

The grammar is presented by using the format of Exposure, Generalization, Reinforcement, and Application.

Exposure

The structure is introduced in a natural context through a written text or dialogue. At this stage the teacher should focus not on

25

Page 26: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

26 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

the structure that is being introduced, but on helping the students to understand the information in the text.

Generalization

Here the students are led to make gene ra l i z a t i ons about the form and meaning of the structure as presented in the text. This is done through questions and tasks given to the students. The emphasis is on students discovering the rules for themselves rather than given by the teacher.

Reinforcement

This stage involves giving the students more exercises through which they can check their understanding of the rules was correct. By using different examples the students are also able to extend their understanding of how and when the structure is used.

Application

This stage gives the students the opportunity to use the structure freely through speaking or writing activity. The aim is not to force them to use the structure, but allow them to integrate what they have learnt. The focus at this stage is fluency rather than accuracy. (Adapted from managing change in Indonesian high schools By: Brian Tomlinson). (See appendix for an example of teaching structure).

Basically, these new approaches are relevant to the teaching and learning grammar at

junior and senior high school level in Indonesia, especially with Grammar consciousness- raising activities suggested by Ellis. However, to maximize the process of teaching and learning grammar in our context in the future, it seems, it will be useful to consider other approaches such as, ‘Focused communication’, and ‘Interpretation grammar activities’ to be implemented. Another point to be considered is the way the teachers help the learners solve the problems they face in learning, such as, ‘Conscious – raising’ suggested by Rutherford, because so far, what have been done by the teachers at junior and senior high school level in Indonesia when the learners have problems in learning they are led back to generalization stage again in order to develop their understanding about the form and meaning of the structure that is being introduced. While Rutherford suggests that the teachers analyse the problems the learners have during the learning taking place, and based on the problems provide activities to raise their consciousness towards the problems. However, it seems quite difficult for the teachers to provide such activities since most of them are teaching in large classes. It seems, the learners will have different problems in learning. Probably, what the teachers can do is to prioritise the big problem the learners have,

Page 27: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

27

and based on it provide an activity to raise their consciousness towards the problem.

CONCLUSION

In this paper an attempt has been made to show how the role of grammar in language teaching in traditional conceptions differ from new approaches which are introduced by Ellis and Rutherford. Traditionally, grammar was considered as central to learning language, and it was presented deductively, where the focus was on form rather than on function. In other words, the priority was on accuracy.

Then, the emphasis has shifted away, and grammar became less important, when the communicative approach was implemented especially in the 1980s. The focus of learning language was on function rather than on form. It was believed when learners were provided with the opportunities for meaningful communication in the classroom, grammar would be learned naturally and automatically.

Nowadays, the experts realise that the role of grammar in language teaching is very important, and both form focused and meaning focused are very helpful for learners, because they can facilitate learning. The writers like Rutherford and Ellis suggest that the learners should be exposed to the real situation how the language works in context. Then encourage them to find out the form and the meaning of the particular structure is being taught. When the learners have problems in learning, the teachers should analyse the problems, then device activities to raise their consciousness towards the problems as suggested by Rutherford. It seems, there is link between the explicit and implicit knowledge, because explicit knowledge functions as an acquisition facilitator, enabling the learners to notice second language features in meaning focused input as explained by Ellis. In order to

involve the learners in meaningful activities, Ellis suggests to implement three alternative approaches such as focused communication activities, consciousness – raising activities, and interpretation grammar activities. e

REFERENCES

Brunfit, C. 1984. Communicative Methodology Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Ellis, R. 1993. Talking shop. Second language Acquistion research: how does it help teachers? ELT Journal 47/1.

Ellis, R. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Oxford. Basil Blackwell.

Hammer, J. 1987. Teaching and Learning Grammar. London. Longman.

Krashen, S. D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Oxford : Pergamon Press.

Lewis, J. and Hill. 1985. Practical Techniques for Language Teaching. Language Teaching Publications.

Nobuyosi, J. and Ellis, R. 1993. Focused on communication tasks and second language acquisition. ELT Journal 47/3.

Prabhu, N. S. 1987. Second Language Pedagogy. Oxford: Oxford University Press.

Rutherford, W. E. 1987. Second Language Grammar: Learning and Teaching. London and New York: Longman.

Rutherford, W. and Sharwood Smith, M. (eds) 1988. Grammar and Second Language Teaching : A Book of Readings.

Smidt, R. and Frota, S. 1986. Developing basic conversational ability in a second language : A case study of an adult learner of Portuguese. In Day (1986).

Tomlinson, B. 1990. Managing Change in Indonesian High Schools. ELT Journal 44/1.

Page 28: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

28 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

This article tries to provide information

in a nut shell on the implementation of Mother Tongue based Multilingual

Education (MTB MLE) programmes in Philippines, Thailand, and China, particularly in one area of

each country, namely Limay, Sangkhlaburi, and Shilong. These areas were visited during two MTB MLE programmes conducted by SEAMEO Secretariat in collaboration with World Bank

in Fiscal Year 2010. The programmes were Second Regional Training Workshop on MTB MLE Programmes held at SEAMEO

INNOTECH on 23 August -2 September and Study Visit to Effective and

Sustainable Multilingual Education (MLE) Programmes in Thailand on 19-24 September. The participants were representatives of six countries participating in the programmes, coming from Cambodia, Lao PDR, Malaysia, Philippines, Thailand, and Indonesia.

This article will start with the explanation on MTB MLE and MTB MLE programmes in each of the three countries initiated with the explanation about the country’s policy on mother tongue as a medium of instruction, followed by the implementation of the programme. Afterwards the lessons learned from the implementation for Indonesian context is described before the conclusion.

MTB MLE1. Language as a medium of instruction plays a significant role in teaching and learning process as it can lead to students’ comprehension. Pinnock (2008) explains that a strong and clear picture of the world

Anna Dwi Kurnia�Pininto Sarwendah

SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language

28 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 29: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

29

and academic concepts is initiated through a language that students understand. Afterwards transfer in a second or third language can take place. Problems are likely to occur when the language used in the classrooms is something that students are unfamiliar with. According to the World bank (cited in Pinnock, 2008), the main reason for drop outs globally is students’ limited access to the language used as a medium of instruction.

Besides effecting students’ achievement, Malone (2007) points out that language barrier can also effect students’ loss of confidence as learners and their failure to learn the official language of the school. In addition, they are faced with the fact that they may be alienated from their culture, language, and community. This situation happens as students are mostly discouraged to use their mother tongue in schools and the culture depicted in the textbooks is likely not theirs.

A number of research and reports has shown that MTB MLE was an effective solution for the inclusion of the exclusion in education due to language barrier (Dumatog & Decker, 2010, World Bank, 2005 cited in Save the Children, 2007; UNESCO, 2005). MTB MLE is education using students’ first language (L1) which serves as a strong educational basis and as a bridge language to second language (L2)-school/national language- and other languages (Malone, 2007). Thus, this (L1) will be used in the initial stage of education and will remain to be used throughout the pre-primary and primary education while gradually introducing L2 or other languages (Kosonen, 2009).

UNESCO (2007) illustrates that MTB MLE enables students to be multilingual, multiliterate and multicultural due to the fact that they are exposed to two or

more languages and cultures. MTB MLE also provides a wider opportunity not only for students to participate in class but also for their families to assist their learning process. In addition, MTB MLE assists in developing students’ cognitive and support community’s efforts on culture and language revitalization (Tianmee: 2008; SIL Southeast Asia 2009).

2. MTB MLE Programme in ChinaAccording to Kosonen (2009) there are 242 languages spoken in China. With the large number, the Chinese government has rules to support the use of mother tongue in education. The policies are as follows:

“All the nationalities of China are equal” and “every ethnic minority is free to use and develop their language” – Constitution of the People’s Republic of China (PRC)

“Every citizen of China, regardless of sex, ethnic group, economic status or religious belief, has the right and obligation to education, and enjoys equal educational opportunities to meet his or her essential needs.” – The Education Law of PRC

“The standardized spoken and written Chinese language (Mandarin) based on the northern dialect and the Beijing pronouncing system, and the standardized simplified characters approved by the State Council and in common use in the whole country, shall be popularised and used as the basic language media of curriculum and instruction in schools and other educational institutions of the country. But in schools in which students of minority ethnic groups constitute the majority, the spoken and written language of the majority ethnic group or of common use by the local ethnic groups may be used as language media of curriculum and instruction.” – The Education Law of PRC

“Mandarin Chinese ought to be used for literacy. In ethnic autonomous areas, the local ethnic languages could be used as the language of instruction …” – Regulations for Illiteracy Eradication issued by the State Council of the PRC

Page 30: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

30 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

3. MTB MLE Programmes in PhilippinesLlaneta (2010) points out that MTB MLE programmes in Philippines were initiated with the Lubuagan Programe in 1998.

With these supports, a number of MTB MLE programmes is being undergone by the Ministry of Education in collaboration with SIL (Summer Institute of Linguistics) East Asia. One of them is Bai Programme in Shilong, Yunnan Province.

SIL East Asia (2010) explains that this programme consists of two years of pre-school and the first two years of primary school. During the pre-school, Bai which is the mother tongue in the area, is used as language of instruction and in textbooks. In the second year, Chinese as L2 is gradually introduced. L2 is then continued to be introduced in primary school while maintaining the teaching of Bai.

There were two pre-school classes observed during the visit, namely kindergarten 1 and kindergarten 2. The teachers in the two classes were recruited from adult literacy classes which were conducted to improve Bai adults’ literacy skills. Literacy itself had become problems in the community as according to SIL East Asia (2010) Bais’ culture is oral and the new romanized Bai Script which had been invented in the 1950-s was never used widely. From the literacy classes, five best students were chosen to be teachers and then enrolled in teacher training programme. These teachers are minimum junior high school graduates.

Bais are known for their fondness in music and thus it is reflected in the teaching and learning process as well as textbooks and teaching medias used in the classrooms. Besides songs, materials incoporate games to engage students’ interest. According to SIL East Asia (2010) the materials also use a variety of educational activities which are purposely selected enabling students to apply them in a real life context.

30 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 31: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

31

Lilibuagan, the mother tongue in the area, was the medium of instruction in the first to third grade of primary school. Then along with the L1, L2 was used in the following grades. Llaneta (2010) illustrates that even though initially many were hesitant of the advantages of the programme, they finally saw its benefits. In fact, many teachers were eager to participate in training on MTB MLE and parents were interested in enrolling their children in schools implementing the programme. This programme has proven that MTB MLE is an effective way to overcome students’ learning problems due to language barrier.

Recognizing its importance, MTB MLE was institutionalized through Department of Education Order Number 74 on 14 July 2009 as “a fundamental educational policy and program within DepEd in the whole strectch of formal education including preschool and in the Alternative Learning System (ALS)” (Marquez & Singayan, 2010: p. 1).

One of the MTB MLE programmes currently implemented in the country is in the Kinaragan school, located in the mountainous area of the Aeta community in Limay, Bataan. This programme was opened based on the demand of parents to revitalize their culture and language to avoid children’s unfamiliarity with them. There were two classes observed during the visit. The first class was for students in grade one to three and the second class was for students in grade four to six. These classes held one time per week in July and three times per week in August were extracurricular programmes conducted after school for two hours from 3:00 to 5:00 p.m. Magbukun was used as medium of instruction based on students’ parents’ request to avoid the loss of the local language as they sensed their children’s tendency of not using the language. The lessons learned were taken from environment such as plants for herbal remedies.

Page 32: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

32 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

4. MTB MLE Programmes in ThailandAn official policy for MTB MLE has not yet existed in Thailand, however, the Ministry of Education allows the conduct of research or pilot projects on the matter (Samoh & Prapasapong, 2010). Samoh and Prapasapong (2010) elaborate that there are 14 pilot/research projects on MTB MLE conducted in 14 schools in Thailand. One of them is Mon, a collaborative project among Foundation for Applied Linguistics, Office of Basic Education Commission (OBEC) of Ministry of Education, and Pestalozzi Children’s Foundation (PCF) in Switzerland.

Thailand's World (2010) explains that Mon is member of Mon-Khmer language as the Mons in Thailand came from Southwest China who migrated to upper Myanmar then settled in Thailand. In Central Thailand they inhabit several provinces, one of which is Kanchanaburi. The study visit itself was conducted in that province in Wat Wang Wiwekaram School which is located in Wang Ka village, Sangkhlaburi. According to Tianmee (2009), the school has 1200 students from pre-school to lower secondary school coming from the village. Like other schools in the country, this school used Thai as the language of instruction. As a result, students performed low due to the fact that most of them speak Mon in their daily lives and understand few Thai, particularly the early years students. Realizing the fact, the school principal was eager to implement the MTB

MLE programme in his school and moreover that this project was also supported by the community. The community was afraid that Mon language and culture would soon disappear due to the decreasing number of users in the community (Tianmee, 2009).

According to Foundation for Applied Linguistics (n.d.), the MTB MLE programme was initiated in 2008 for kindergarten 1 students and in every year there was a gradual increase on the education level. In the MTB MLE programme in Mon, mother tongue starts to be introduced in pre-school as a language of instruction as well as a school subject in which the focus is on listening and speaking. At this level, Thai (L2) is also inserted in the curriculum with the focus on listening. Increase on language skills in Mon and Thai take place as the students come to the next level of education. In grade 1 students are expected to be able to master all language skills in mother tongue and L2. In this level, English (L3) starts to be taught as a subject with focus on listening and the language of instruction is mon and Thai. To give clear a picture of transition from Mon to Thai and English, a transition map is provided as follows:

32 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 33: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

33

5. Lesson Learned for Indonesian Context. Indonesia has not yet run the MTB MLE programmes but using local languages as medium of instruction are not something new. There has been a study conducted in a few areas concerning the use of local languages in some rural parts in Indonesia. For example, in West Nusa Tenggara, there was a study concerning the use of Sasak, one of the local languages in the province, in a few schools by linguists of Mataram University. Some experts observed the impact of Sasak as a medium of instruction on the children’s learning achievement. The results show that students could continue to the upper level since all of them could read and write not only in Sasak but also in Bahasa Indonesia. The other findings reported students’ attitude in learning. Students became more confident, enthusiastic and independent during learning process when they learnt through their mother tongue than in National Language (Centre for Language

and Cultural Research, Mataram University, 2010).

Page 34: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

34 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

There are, however, some challenges and issues in implementing the MTB MLE programmes, one of which is resistance which may arise from related stakeholders, such as education officials, principals, community, and even students’ parents. This is likely to occur due to the fact that they may be afraid to have these programmes run. They could think that these programmes may be against the National Education Law and the use of national language. Moreover, these stakeholders may see lesser economic benefits of learning the local language than foreign language. To overcome this issue, advocacy on the programme to the stakeholders are essential which can be done through meetings, workshops, seminars, conferences, the use of media, posters, local culture and so forth.

These challenges and issues were also addressed by the participants of the workshops organised by SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language in four provinces, namely West Java, Yogyakarta, South Sulawesi and West Nusa Tenggara in 2010. They also pointed out the needs for teacher training and preliminary research on MTB MLE. Having research on mother tongue helps the MTB MLE developer such as teachers and language research in getting the knowledge as background information on how far mother tongue has been researched and developed in some areas. Malone (2003) explains that research can also provide information about the language attitudes and uses, goals, needs as well as problems of a community.

In regard to the lessons learned for Indonesia, MTB MLE programmes in China, Thailand and Philippines can be adapted to meet Indonesia’s needs. Thus, the programmes in the country require series of activities and involve all elements in society starting from teachers, school principals, officials of Local Education Office, Local Government, community leaders, school supervisors, parents and so forth. The programmes are likely to have a long road in background research, advocacy strategies, syllabus design, material development, teacher training and workshops. Therefore, all elements of society have important roles in realizing the MTB MLE programmes.

34 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 35: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

35

CONCLUSION

MTB MLE programmes determine the success of students not only in education but also their future. The programmes facilitate the students to learn in the language that they understand, then gradually bridge to L2 (national language) and L3. These programmes also enable students’ local culture to be preserved.

The three areas visited in the three countries during the programmes held by SEAMEO Secretariat in collaboration with World Bank in 2010 provide pictures of the implementation of MTB MLE programmes in the areas. The knowledge gained then can be used for Indonesian context, even though a long process may be needed to implement the programmes in the country. A lot of elements that determine the succes of these programmes should put into consideration such as research, advocacy, teacher training, syllabus design, material development and many more. Not to mention the supports from all levels of community are also needed. e

REFERENCESCentre for Language and Cultural Research.

(2010). The Use of Mother Tongue as Medium of Instruction in Elementary Schoold in Lombok. Mataram: Mataram University.

Dumatog, R. C., & Dekker, D. (2003). First Language Education in Lubuagan, Northern Philippines. Retrieved January 26, 2011, from http://resources.wycliffe.net/pdf/MT-Based%20MLE%20programs.pdf

Foundation for Applied Linguistics. (n.d.). Supporting Mother Tongue based Bi/Multilingual education: Mon-Thai Project. Thailand.

Kosonen, K. (2009). First Language-based Multilingual Education Can Help Those

Excluded by Language. the 12th UNESCO-APEID International Conference (pp. 1-15). Bangkok: UNESCO.

Llaneta, C. A. (n.d.). The Language of Learning: Mother Tongue-based Multilingual Education in the Philippines. Retrieved January 1, 2011, from http://mlephil.wordpress.com/2010/05/06/the-language-of-learning-mother-tongue-based-multilingual-education-in-the-philippines/

Malone, S. (2007). Mother Tongue-based Multilingual Education: Implications for Education Policy. Seminar on Education Policy and the Right to Education: Towards more equitable Outcomes for South Asia's Children, (pp. 1-8). Kathmandu.

Malone, S. (2009, June). Planning for MTB MLE: Components of Strong Programs .

Marquez, J. A., & Singayan, M. C. (2010). Country Report on Mother Tongue-based Multilingual Education (MTB MLE) Curriculum Development and Implementation in the Philippines. Manila: SEAMEO INNOTECH.

Pinnock, H. (2008). Mother tongue based multilingual education: how can we move ahead? The 1st International conference on Language Developement, Language Revitilization and Multiligual Education in Minority Communities in Asia (pp. 1-11). Bangkok: SEAMEO.

Prapasapong, B., & Samoh, U. (2010). Framework and Good Practices on Curriculum Development for MTB MLE. Quezon City, Manila: SEAMEO INNOTECH.

Save the Children . (2007). Mother Language First. Bangladesh: Save the Children UK.

SIL East Asia. (2009). Ten Year Report. Kunming : SIL East Asia.

Tienmee, W. (2008). From Theory to Practice: Mother-tongue based Bi/Multilingual Education. UNESCO/UNU 2008 Conference, (pp. 1-9).

UNESCO. (2005). First Language First: Community-based Literacy Programmes for Minority Language Contexts in Asia. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education.

UNESCO. (2007). Mother Tongue-based Literacy Programmes: Case Study of Good Practice in Asia. Bangkok: UNESCO.

Page 36: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

36 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Pendahuluan

Pada sidang umum sesi ke-57 tahun 2002, PBB menetap-kan tahun 2005-2014 seba-gai Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Decade of Education for Sus-tainable Development). UNES-CO menjabarkan ESD sebagai

pendidikan yang memung-kinkan peserta didik untuk memperoleh keterampilan, kapasitas, nilai dan penge-tahuan yang diperlukan un-tuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Pembangun-an berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan mutu

hidup manusia, dan terutama juga mutu hidup generasi mendatang, melalui rekon-siliasi pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan per-lindungan lingkungan. Se-bagai sebuah kesatuan yang bersama-sama hidup di bumi maka setiap individu harus memiliki tanggung jawab dan komitmen bersama untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan.

Pendidikan (formal, nonfor-mal dan informal) merupakan instrumen kuat yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penya-daran, pembelajaran dan da-

pat untuk memobil-

isasi massa/komunitas, serta menggerak-kan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan (more sustainably developed). ESD merupakan pendidikan yang menyisipkan wawasan dan konsep secara luas, men-dalam dan futuristik tentang

Emy Widiar�Widyaiswara Bahasa Jerman

PPPPTK Bahasa

Page 37: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

37

perkembangan global yang mencakup hubungan sebab dan akibat, dan cara meng-atasinya.

Berdasarkan konteks ESD tersebut dan terkait dengan tanggung jawab sebagai indi-vidu terhadap keberlanjutan kehidupan maka salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang pengajar bahasa Jer-man dalam kapasitasnya seba-gai pengajar adalah mengem-bangkan materi ajar bahasa Jerman yang berdimensi ESD. Tulisan ini berisi tentang sebuah model pengembangan materi ajar bahasa Jerman berdimensi ESD.

Model Pengembangan Ma-teri Ajar dengan Menginte-grasikan ESD

Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (2009) menjelaskan bahwa strategi yang dapat diterap-kan agar ESD tersebar dalam

dunia pendidikan adalah menggunakan pendekatan in-tegratif bukan monolitik. Me-nilik hal tersebut materi ESD

tidak dijadikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Materi ESD dapat diintegrasi-kan ke dalam materi mata pelajaran yang sudah ditetap-kan dalam kurikulum. Isi dari ESD tidak boleh berbeda dari isi mata pelajaran yang telah ada , tetapi isi semua mata pelajaran yang ada harus mengandung atau mentrans-formasikan/mentranslasikan ESD. Untuk mengintegrasikan materi ESD perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1. Tiga (3) Komponen ESD

Pembangunan berkelanjut-an mempertimbangkan ke tiga aspek yaitu aspek sosial-budaya, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan berkelanju-tan.

Ketiga komponen dijabar-kan ke dalam sub-sub kom-ponen berikut: (Tabel 1)

Ke-15 sub-sub komponen tersebut di atas masih be-lum operasional sehingga guru harus menerjemahkan-

nya lebih lanjut agar dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah.

2. Identifikasi SK/KD

Contoh konkrit adalah Cli-mate Change (CC) yang menjadi isu utama ESD saat ini di dunia global. The In-tergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), a consortium of several thou-sand independent scientists memprediksi kenaikan suhu bumi sekitar 1.4-5.80C pada 95 tahun akan datang. CC sangat potensial mengubah kehidupan mahkluk hidup di muka bumi. Salah satu topik yang dapat diangkat dalam rangka menghambat CC adalah kontribusi ma-nusia terhadap perubahan iklim. Topik ini mengan-dung materi-materi beri-kut:

Persepsi yang salah ten-1. tang sumber daya alam;

Gaya hidup dan pola 2. konsumsi;Perilaku dan kebiasaan.3.

Sosial-Budaya Lingkungan Ekonomi

Hak azasi manusia1. Keamanan2. Kesetaraan gender3. Keragaman Budaya 4. dan Pemahaman Lintas BudayaKesehatan5. HIV/AIDS6. Tata Kelola7.

Sumberdaya Alam8. Pencemaran9. Pembangunan Pedesaan10. Urbanisasi Berkelanjutan11. Pencegahan dan 12. Penanganan Bencana

Pengurangan Kemiskinan13. Tanggung jawab 14. PerusahaanEkonomi Pasar15.

Page 38: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

38 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Setelah guru memahami topik tersebut di atas, maka guru mata pelajaran selan-jutnya menentukan Standar Kompetensi (SK) dan Kom-petensi Dasar (KD) dalam kurikulum mata pelajaran yang diampu yang sesuai dengan topik CC. Misal-nya, guru Bahasa Jerman di SMA Kelas XI Program IPS mengintegrasikan isu tentang “Perilaku dan Ke-biasaan” untuk mengem-bangkan bahan ajar dengan tema “Kehidupan Sehari-

hari”, sub tema “Alltagsle-ben: z.B. Einkaufen beim Lebensmittelhändler (Ke-hidupan Sehari-hari, Misal: Belanja Kebutuhan Sehari-hari)”.

Proses identifikasi SK dan KD tidak berhenti de ngan hanya menentukan SK dan KD yang sesuai den-gan peta isu CC yang dipi-lih, melainkan dilanjutkan dengan proses identifikasi keterkaitan materi ajar de-ngan isu perubahan iklim. Tabel berikut membantu

dalam proses identifikasi tersebut. (Tabel 2)

3. Lima (5) Indikator keterca-paian aspek ESD

Integrasi ESD ke dalam materi ajar harus memper-hitungkan indikator keter-capaian aspek ESD (Knowl-edge, Issue, Skill, Value, dan Perspective). (Gambar 1)

Berdasarkan lima (5) kom-ponen indikator dan terse-but arah pengembangan materi ajar dan pembelajar-

Materi Ajar (SK & KD)Hubungan keterkaitan dengan

Isu Perubahan IklimRekomendasi

Bahasa Jerman Program PilihanKelas XI Semester 2Tema: Kehidupan sehari-hariSub tema: Alltagsleben: z.B. Einkaufen beim Lebensmi�elhändler

5. Mendengarkan: Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 5.1 Mengiden�fikasi bunyi, ujaran ( kata, frasa atau kalimat ) dalam suatu konteks

dengan mencocokkan, menjodohkan dan membedakan secara tepat5.2 Memperoleh Informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari berbagai

bentuk wacana lisan sederhana secara tepat

6. Berbicara: Mengungkapkan informasi sederhana secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang Kehidupan sehari-hari6.1 Menyampaikan informasi secara lisan dalam kalimat sederhana sesuai konteks

yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang santun dan tepat6.2 Melakukan dialog sederhana dengan lancar yang mencerminkan kecakapan

berkomunikasi dengan santun dan tepat

7. Membaca: Memahami wacana tulis berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 7.1 Mengiden�fikasi bentuk dan tema wacana sederhana secara tepat7.2 Memperoleh informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari wacana

tulis sederhana7.3 Membaca kata, frasa dan atau kalimat dalam wacana tertulis sederhana dengan

tepat

8. Menulis: Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 8.1 Menulis kata, frasa, dan kalimat dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat8.2 Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai

konteks yang mencerminkan kecakapan menggunakan kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur yang tepat

Memiliki keterkaitan (pilih salah satu):

Langsung a. Tidak Langsung b. Tidak Terkaitc.

Jelaskan hubungannya:Perilaku dan kebiasaan belanja (pola konsum�f) yang ekologis mampu mencegah perubahan iklim

Materi �dak perlu diubah

Page 39: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

39

an berdimensi ESD dapat dilihat pada tabel berikut: (Tabel 3)

4. Pemilihan Teks

Pemilihan teks-teks yang akan digunakan dalam pe-ngembangan materi ajar ju-ga ikut menentukan keter-capaian tujuan yang tertu-ang dalam SK/KD. Misalnya, teks yang disajikan berupa teks otentik yang ditemu-kan dalam sebuah web-site: www.essen-und-trinken.de. Dalam hal ini created text dihindari agar siswa menge-tahui situasi dan kondisi nyata di Jerman tentang pola dan perilaku belanja di negara tersebut. Unsur Landeskunde (Pengetahuan tentang Budaya) secara kontrastif menjadi karak-teristik dalam pembelajar-an bahasa Jerman dengan tujuan siswa mampu mem-bandingkan budaya Jerman dengan budaya siswa agar siswa dapat memahami bu-daya Jerman dan mengena-li dengan lebih baik budaya sendiri, khususnya tentang pola dan perilaku belanja

yang ramah lingkungan di Jerman.

Kesulitan ten-tu akan mun-cul akibat peng gunaan teks oten-tik. Apalagi

bila teks yang ditemukan sesuai dengan tema, tetapi tingkat kebahasaan tidak sesuai dengan tingkat kebahasaan siswa. Guru dapat menyederhanakan atau menu-runkan tingkat kebahasaan teks oten-tik tersebut(catatan: sumber teks tetap dicantumkan dengan mencantumkan kete rangan teks telah dipermudah (ver-einfacht). Aktivitas ini tentu mensyarat-kan guru harus memiliki kompetensi ke-bahasaan bahasa Jerman yang memadai untuk mampu menyederhanakan teks.

5. Enam (6) Pilar ESD

Proses pembelajaran terkait erat dengan materi ajar yang digunakan dalam pem-belajaran. Dengan mengacu pada karak-teristik pembelajaran yang menginteg-rasikan nilai-nilai ESD tersebut di atas maka materi ajar yang dikembangkan patut mempertimbangkan karakteristik tersebut. Menurut Arief Rachman (2005)

Page 40: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

40 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

pengintergrasian nilai-nilai ESD ke dalam proses pem-belajaran memiliki karak-teristik sebagai berikut:

Interdisiplin dan holistik, di mana ESD bukan seba-gai mata ajar tersendiri melainkan terintegrasi pada mapel Berbasis nilai-nilai ESDBerpikir kritis dan ikut memecahkan masalah ESDMenggunakan berbagai metodepartisipasi aktif pembe-lajarMemuat isu lokal dan globalMenggunakan bahasa pengantar yang dikenal pembelajar

Terkait dengan karakter-istik pembelajaran yang mengandung nilai-nilai ESD, pengembangan materi ajar berdimensi ESD perlu mengacu pada enam (6) pi-lar ESD. (Gambar 2)

Kompetensi Berbahasa Jer-man Siswa berdimensi ESD

Pengembangan materi ajar ba-hasa Jerman berdimensi ESD akan membekali siswa tidak hanya dari segi penguasaan empat keterampilan berbahasa Jerman (mendengarkan, ber-bicara, membaca dan menulis) melainkan juga membekali siswa dengan kompetensi ESD. Contoh pengembangan materi ajar tema “Einkaufen” terse-but di atas membekali siswa

kompetensi ESD yaitu siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman pola belanja yang ramah lingkungan sehingga siswa memiliki pola pikir dan pola tindak yang lebih berwa-wasan lingkungan atau ramah lingkungan dan juga mampu mengembangkan kemampuan memilih produk-produk yang ramah lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Tema “Einkaufen” hanya menjadi salah satu contoh materi ajar yang dapat men-jadi bahan untuk memasuk-kan nilai-nilai ESD kepada siswa. Tentu tema-tema yang lain dalam kurikulum bahasa Jerman dapat dikembangkan dengan pengingtegrasian ESD ke dalam tema-tema tersebut

Materi Ajar (SK & KD)

Bahasa Jerman Program PilihanKelas XI Semester 2Tema: Kehidupan sehari-hariSub tema: Alltagsleben: z.B. Einkaufen beim Lebensmi�elhändler

5. Mendengarkan: Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 5.1 Mengiden�fikasi bunyi, ujaran ( kata, frasa atau kalimat ) dalam suatu konteks dengan mencocokkan, menjodohkan dan

membedakan secara tepat5.2 Memperoleh Informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari berbagai bentuk wacana lisan sederhana secara tepat

6. Berbicara: Mengungkapkan informasi sederhana secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang Kehidupan sehari-hari6.1 Menyampaikan informasi secara lisan dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang

santun dan tepat6.2 Melakukan dialog sederhana dengan lancar yang mencerminkan kecakapan berkomunikasi dengan santun dan tepat

7. Membaca: Memahami wacana tulis berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 7.1 Mengiden�fikasi bentuk dan tema wacana sederhana secara tepat7.2 Memperoleh informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari wacana tulis sederhana7.3 Membaca kata, frasa dan atau kalimat dalam wacana tertulis sederhana dengan tepat

8. Menulis: Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan sehari-hari 8.1 Menulis kata, frasa, dan kalimat dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat8.2 Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan menggunakan

kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur yang tepat

Page 41: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

41

dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah ini.

Penutup

Pengembangan materi ajar yang mengintgrasikan nilai-nilai ESD ke dalamnya mem-butuhkan kompetensi guru tidak hanya dari segi keba-hasaan dan pedagogik saja, melainkan juga membutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang ESD. Meskipun de-mikian, tidak perlu menunda untuk ikut berkontribusi da-lam menjaga mutu kehidupan di bumi. Mengembangkan ma-teri ajar berdimensi ESD men-jadi bukti kepedulian guru ba-hasa Jerman dalam menyikapi permasalahan-permasalahan

Metoda Pembelajaran Indikator Metoda Evaluasi

Ac�ve Learning yang berorientasi pada keak�fan siswa dan mengembangkan berbagai bentuk interaksi belajar:

Tanya Jawab- Diskusi- Kerja berpasangan- Kerja kelompok- Presentasi- Bermain peran, - misalnya memilih barang yang ramah lingkungan

Knowledge Menemukan informasi dalam wacana lisan- berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan Sehari-hariMenemukan informasi dalam wacana tulis- berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan Sehari-hariMengungkapkan informasi secara lisan- dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang kehidupan sehari hariMengungkapkan informasi secara tertulis- dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang kehidupan sehari hari.

Penilaian selama proses belajar berlangsung

Issue Perilaku dan kebiasaan belanja yang ramah lingkungan

Skill Mampu mengembangkan perilaku dan kebiasaan belanja yang ramah lingkungan dengan memilih produk-produk yang ramah lingkungan

Value Memiliki sikap peduli terhadap lingkungan dengan - mengembangkan perilaku dan kebiasaan belanja konsumsi) yang ramah lingkunganMenghargai dan menghemat sumber daya-

Lembar evaluasi diri

Perspec�ve Pemahaman pengaruh perilaku dan kebiasaan belanja terhadap perubahan iklim dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial.

degradasi mutu kehidupan. Makalah ini diharapkan men-jadi bantuan kecil yang ber-manfaat bagi guru dalam mengembangkan bahan ajar berdimensi ESD. e

Sumber Kepustakaan

Pembekalan dan Penyiapan bahan Seminar Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (TOT Education for Sustainable Development). PPPPT Bidang Bisnis dan Pariwisata Sawangan: 10-12 Januari 2010.

Rachman, Arief. Decade of Education for Sustainable Development (DESD): Prosiding Seminar

Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan. 3 Juni 2005. Jakarta Convention Center.

Strategi Nasional Pelaksanaan ESD: Pembentukan Insan Indonesia Cerdas Komprehensif dan Kompetetif melalui Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable for Development). 2009: Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Depdiknas.

The Decade of Education for Sustainable Development at a Glance. UNESCO. ED/2005/PEQ/ESD/3.

Page 42: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

42 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Mat

eri (

SK &

KD

)6

Pila

r PP

B Pe

njel

asan

Baha

sa Je

rman

Pro

gram

Pili

han

Kela

s XI

Sem

este

r 2

Tem

a:

Kehi

dupa

n se

hari

-har

iSu

b te

ma:

A

lltag

sleb

en: z

.B. E

inka

ufen

bei

m L

eben

smi�

elhä

ndle

r

5. M

ende

ngar

kan:

Mem

aham

i wac

ana

lisan

ber

bent

uk p

apar

an a

tau

dial

og se

derh

ana

tent

ang

Kehi

dupa

n se

hari

-har

i 5.

1 M

engi

den�

fikas

i bun

yi, u

jara

n (

kata

, fra

sa a

tau

kalim

at )

dal

am s

uatu

kon

teks

den

gan

men

coco

kkan

, men

jodo

hkan

dan

mem

beda

kan

seca

ra te

pat

5.2

Mem

pero

leh

Info

rmas

i um

um, i

nfor

mas

i ter

tent

u da

n at

au r

inci

dar

i ber

baga

i ben

tuk

wac

ana

lisan

sed

erha

na s

ecar

a te

pat

6. B

erbi

cara

: M

engu

ngka

pkan

info

rmas

i sed

erha

na s

ecar

a lis

an d

alam

ben

tuk

papa

ran

atau

di

alog

tent

ang

Kehi

dupa

n se

hari

-har

i6.

1 M

enya

mpa

ikan

inf

orm

asi

seca

ra l

isan

dal

am k

alim

at s

eder

hana

ses

uai

kont

eks

yang

m

ence

rmin

kan

keca

kapa

n be

rbah

asa

yang

san

tun

dan

tepa

t6.

2 M

elak

ukan

di

alog

se

derh

ana

deng

an

lanc

ar

yang

m

ence

rmin

kan

keca

kapa

n be

rkom

unik

asi d

enga

n sa

ntun

dan

tepa

t

7. M

emba

ca:

Mem

aham

i w

acan

a tu

lis b

erbe

ntuk

pap

aran

ata

u di

alog

sed

erha

na t

enta

ng

Kehi

dupa

n se

hari

-har

i 7.

1 M

engi

den�

fikas

i ben

tuk

dan

tem

a w

acan

a se

derh

ana

seca

ra te

pat

7.2

Mem

pero

leh

info

rmas

i um

um,

info

rmas

i te

rten

tu d

an a

tau

rinc

i da

ri w

acan

a tu

lis

sede

rhan

a7.

3 M

emba

ca k

ata,

fras

a da

n at

au k

alim

at d

alam

wac

ana

tert

ulis

sed

erha

na d

enga

n te

pat

8. M

enul

is:

Men

gung

kapk

an i

nfor

mas

i se

cara

ter

tulis

dal

am b

entu

k pa

para

n at

au d

ialo

g se

derh

ana

tent

ang

Kehi

dupa

n se

hari

-har

i 8.

1 M

enul

is k

ata,

fras

a, d

an k

alim

at d

enga

n hu

ruf,

ejaa

n da

n ta

nda

baca

yan

g te

pat

8.2

Men

gung

kapk

an in

form

asi s

ecar

a te

rtul

is d

alam

kal

imat

sed

erha

na s

esua

i kon

teks

yan

g m

ence

rmin

kan

keca

kapa

n m

engg

unak

an k

ata,

fra

sa d

enga

n hu

ruf,

ejaa

n, t

anda

bac

a da

n st

rukt

ur y

ang

tepa

t

Pem

bela

jara

n se

panj

ang

haya

tM

enga

jark

an

pola

da

n pe

rila

ku

kons

umsi

ra

mah

lin

gkun

gan

untu

k di

tera

pkan

dal

am k

ehid

upan

nya.

Berf

okus

pad

a pe

mbe

laja

rLa

�han

-la�h

an y

ang

dike

mba

ngka

n da

lam

mat

eri

ajar

m

enun

tut

sisw

a ak

�f d

alam

pro

ses

bela

jar,

mis

alny

a pr

esen

tasi

, “M

ini-P

roje

k”,

men

jela

jah

info

rmas

i di

in

tern

et,

mem

buat

pos

ter/

plak

at,

perm

aina

n, b

erm

ain

pera

n da

n se

baga

inya

.

Pend

ekat

an H

olis

�k (E

kolo

gi –

Ek

onom

i – S

osia

l/Bu

daya

)D

ari

segi

eko

logi

dan

eko

nom

i si

swa

diaj

arka

n un

tuk

men

ghar

gai s

umbe

rday

a, m

engh

emat

sum

berd

aya

yang

di

tunj

ukka

n de

ngan

kem

ampu

an m

emili

h pr

oduk

ram

ah

lingk

unga

n m

elal

ui p

erub

ahan

per

ilaku

dan

keb

iasa

an

bela

nja

yang

eko

logi

s.

Dar

i se

gi s

osia

l, si

swa

berl

a�h

beke

rja

sam

a, m

ampu

m

engh

arga

i pen

dapa

t or

ang,

dan

mem

iliki

ket

eram

pila

n un

tuk

men

gaju

kan

pert

anya

an

dan

men

geva

luas

i di

riny

a.

Dar

i seg

i bud

aya

dike

mba

ngka

n ko

ntra

s�ve

Lan

desk

unde

(p

enge

tahu

an te

ntan

g ne

gara

Jerm

an, k

husu

snya

�ng

kat

kepe

dulia

n ne

gara

Je

rman

te

rhad

ap

perm

asal

ahan

lin

gkun

gan,

dan

mem

band

ingk

an d

enga

n ne

gara

sen

diri

ag

ar

lebi

h m

emah

ami

lebi

h ba

ik

terh

adap

bu

daya

se

ndir

i).

Bera

gam

met

ode

kerj

a D

emok

ra�s

Pros

es

pem

bela

jara

n di

laku

kan

dala

m

berb

agai

be

ntuk

int

erak

si b

elaj

ar,

mis

alan

ya k

erja

man

diri

, ke

rja

berp

asan

gan,

ker

ja k

elom

pok,

dan

ple

no.

Berfi

kir

men

dala

mD

alam

mat

eri a

jar d

ikem

bang

kan

ak�fi

tas y

ang

men

untu

t si

swa

untu

k m

engk

lasi

fikas

i, m

enga

nalis

is, d

an a

khir

nya

mam

pu m

emili

h pr

oduk

ram

ah li

ngku

ngan

.

Bera

gam

per

spek

�f y

ang

berb

eda

Pem

aham

an p

enga

ruh

peri

laku

dan

keb

iasa

an b

elan

ja

terh

adap

per

ubah

an i

klim

dar

i se

gi e

kolo

gi,

ekon

omi,

dan

sosi

al,

yang

�da

k ha

nya

berp

enga

ruh

seca

ra l

okal

te

tapi

juga

glo

bal

The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bisnis dan Pariwisata Sawangan: 2-6 Juni 2009.

The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bidang Otomotif dan Elektronika Malang: 15-19 Juni 2009.

The Training’s Material of ToT on Education for Sustainable Development: Climate Change Education Recources Project. Ditjen PMPTK. PPPPTK Bisnis dan Pariwisata: 2-6 Juni 2009.

Page 43: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

43

PengantarMasyarakat Indonesia,

baik secara kultural maupun secara sosiolinguistik meru-pakan masyarakat yang maje-muk. Betapa tidak, Indonesia terdiri atas beratus-ratus suku bangsa dengan segala karak-teristik budaya yang men-jadi ciri masing-masing suku bangsa tersebut.

Dilihat dari sudut keba-hasaan, suku-suku bangsa di Indonesia pada umumnya memiliki bahasa daerah sendi-ri-sendiri yang pada umumnya pula menjadi bahasa ibu. Se-bagai contoh, kita mengenal bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Goron-talo, bahasa Bugis, bahasa Be-tawi, dan lain-lain.

Di samping memiliki baha-sa daerah sebagai bahasa ibu (B1), bangsa Indonesia memi-liki bahasa Indonesia yang berkedudukan dan berfungsi sebagai bahasa nasional, ba-hasa resmi negara, dan seba-gai bahasa persatuan. Kondisi seperti inilah yang menyebab-kan bangsa Indonesia ter-

masuk masyarakat dwibaha-sawan atau masyarakat yang menguasai dua bahasa. Seba-gaimana dikemukakan oleh Sus Naban (1986) bahwa “Ke-dwibahasaan seseorang ialah kebiasaan orang memakai dua bahasa dan penggunaan ba-hasa itu secara bergantian.” Mackey (1962) mengatakan, bahwa “kedwibahasaan dapat dianggap sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur” (dalam Tari-gan, 1988).

Bagi masyarakat Indone-sia, BI dipergunakan sdebagai alat pengantar intrabudaya dan intradaerah dalam ruang lingkup suku bangsa yang bersangkutan, sedangkan B2 dipergunakan sebagai alat perhubungan yang bersifat nasional, antarsuku bangsa yang satu dengan suku bang-sa yang lain.

Bahkan, pada lingkungan masyarakat tertentu, misal-nya masyarakat terpelajar, tidak sedikit yang menguasai lebih dari dua bahasa, yakni selain menguasai bahasa dae-

INTERFERENSI BAHASA SUNDA

KE DALAM BAHASA INDONESIA

Abd Rohim HSWidyaiswara Bahasa Indonesia

PPPPTK Bahasa

Interferensi yaitu

masuknya suatu sistem

bahasa tertentu ke dalam

sistem bahasa yang lain.

Page 44: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

44 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

rah (B1) dan bahasa Indonesia (B2) juga menguasai berbagai bahasa asing (B3). Dengan de-mikian, kelompok masyarakat Indonesia tertentu menguasai lebih dari dua bahasa atau multibahasa (multilingual).

Pada masyarakat yang menguasai lebih dari satu ba-hasa sangat mungkin terjadi sentuh bahasa atau kontak antarbahasa yang dikuasai itu. Kasus inilah yang me-nyebabkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain sa-ling mempengaruhi dalam pemakaiannya, baik bersi-fat positif maupun bersifat negatif (interferensi).

Interferensi Istilah interferensi menu-

rut Kamus Linguistik (Krida-laksana, 1984) adalah ‘meru-pakan penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individu-al dalam suatu bahasa.”

Alwasilah (1985) memberi-kan batasan interferensi ber-dasarkan rumusan Hartman dan Stork, yaitu “bahwa in-terferensi sebagai kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatau bahasa terha-dap bahasa lain mencakupi mengucapan satuan bunyi, tatabahasa, dan kosakata.

Rusyana (1984) memberi batasan interferensi “sebagai pengambilan suatu unsur dari suatu bahasa yang diperguna-kan dalam hubungan dengan

bahasa lain, penerapan dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa, penyimpangan yang terjadi pada tuturan seseorang seba-gai akibat pengenalan akan dua bahasa atau lebih.

Interferensi dapat pula dikatakan sebagai alih kode yang negatif. Sus Nababan (1986) memberi batasan Alih Kode ialah mengganti bahasa yang digunakan oleh sese-orang yang bilingual; umpa-manya dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia; dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing, dan sebagai nya. Sebagai alih kode negatif, tentunya interferensi bersifat negatif pula.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa interfe-rensi yaitu masuknya suatu sistem bahasa tertentu ke da-lam sistem bahasa yang lain.

Jenis-Jenis InterferensiSebagaimana yang di-

jelaskan sebelumnya, interfe-rensi adalah masuknya suatu sistem bahasa tertentu ke da-lam sistem bahasa yang lain. Ini memberi penjelasan bah-wa interferensi dapat terjadi pada semua tataran gramatik (komponen kebahasaan).

Rusyana (1984) menjelas-kan, bahwa “interferensi dapat terjadi dalam bidang-bidang fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis.” Se-dangkan Mustakim (1994) selain tataran sebelumnya, juga menambahkan kasus in-

Berdasarkan sifatnya,

kita dapat mengenali

interferensi atas tiga

macam yaitu interferensi

aktif, pasif, dan

variasional.

44 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 45: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

45

terferensi dapat terjadi pada tataran semantik.

Berdasarkan sifatnya, kita dapat mengenali interferensi atas tiga macam yaitu inter-ferensi aktif, pasif, dan varia-sional. Interferensi aktif yaitu adanya kebiasaan dalam ber-bahasa daerah (B1) dipindah-kan ke dalam bahasa kedua (B2). Interferensi pasif yaitu penggunaan beberapa bentuk B1 dalam pemakaian B2 kare-na bentuk tertentu tidak ter-dapat dalam B2. interferensi variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam bahasa tertentu ke dalam bahasa yang lain.Contoh Kasus (Interferensi Bahasa Sunda ke dalam Ba-hasa Indonesia)1) Kasus Interferensi Tataran

Fonologi/Bunyi (lafal)Interferensi tataran bunyi

(lafal) yaitu masuknya sistem bunyi bahasa Sunda ke dalam sistem bunyi bahasa indone-sia.

Pada pemakai bahasa Indo-nesia yang berasal dari daerah Priangan sering terjadi tidak adanya pembeda bunyi /p/ dengan bunyi /f/ atau /v/, bunyi /sy/ dan /s/.

Contoh:/fokus/ diucapkan /pokus//televisi/ diucapkan /telepisi//syarat/ diucapkan /sarat//vaksin/ diucapkan /paksin/

2) Kasus Interferensi Tataran MorfologiPada bidang morfologi,

proses sistem morfologis

(proses pembentukan kata) pada penutur bahasa Indone-sia yang berasal dari daerah Sunda terjadi interferensi seperti contoh berikut:ngopi, ngetik, ngantor, ngobyek.

Dalam bahasa Sunda dike-nal prefiks (awalan) ng- atau nga- yang memiliki fungsi sama dengan afiks meN- da-lam bahasa Indonesia. Kata-kata ngantor, ngopi, nge-tik, dan ngobyek merupakan penggabungan sistem afiks bahasa Sunda yang digabung-kan dengan kata-kata bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia bentukan tersebut seharusnya: berkantor (me-ngantor), mengopi, mengetik, mengobyek.

Contoh lainnya, seperti pada kata nusuk, nabrak, nu-lis seperti pada kalimat:

- Penjahat itu nusuk perut penghuni rumah itu.

- Bus itu nabrak sepeda mo-tor.

- Adik sedang nulis surat un-tuk paman di kota.

Dalam bahasa Sunda terda-pat afiks meN- dalam bahasa Indonesia. Bentukan tersebut seharusnya:

- Penjahat itu menusuk perut penghuni rumah itu.

- Bus itu menabrak sepeda motor.

- Adik sedang menulis surat

untuk paman di kota.

3) Kasus Interferensi Tataran KosakataBentuk lain kasus interfe-

rensi yaitu masuknya kosaka-ta bahasa daerah (Sunda) ke

Interferensi bahasa

Sunda ke dalam bahasa

Indonesia dapat terjadi

dalam tataran fonologi, morfologi

dan kosakata, serta tataran

sintaksis.

Page 46: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

dalam bahasa Indonesia. Tentunya, hal ini terjadi pada penutur bahasa Indonesia yang berasal dari daerah Priangan.

Sebagai contoh kasus, perhatikan cuplik-an dialog penutur bahasa Indonesia yang be-rasal dari Priangan berikut ini (diamati pada tanggal 5 Mei 2008, di PPPPTK Bahasa).

”Kemana saja, Yi? Akang jarang melihat, naha sibuk?’”Wah,... kayaknya mah punya proyek. Bagi-bagi atuh, jangan sibuk sendiri, nggak apa-apa Akang mah dapat yang becek-becek juga kalau

diajak mah.”

Kalau kita amati cuplikan dialog tersebut, kita akan menemukan beberapa kosakata ba-hasa Sunda, yang masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Kata-kata yi (Ayi = Adik), (Akang = Kakak), mah, atuh adalah kosakata bahasa Sunda.

4) Kasus Interferensi Tataran SintaksisKasus interferensi pada tataran sintaksis

dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indone-sia dapat dilihat contoh kasus-kasus berikut ini.

Tataran FraseSaya berangkat dengan ibuhari keduanya

hari besoknya

Tiga frasa tersebut, memiliki konstruksi frase bahasa Sunda. Frase dengan ibu dalam bahasa Sunda jeung Ema termasuk ke dalam konstruksi frase eksosentrik direktif (frasa yang berpreposisi).Preposisi jeung berarti de-ngan (Djajasudarman, 1996).

Dalam bahasa Indonesia konstruksi frase dengan ibu tidak tepat, sebab kata kete-rangan dengan menunjukkan makna kete-rangan alat, mi salnya dengan pisau, dengan pistol. Frase dengan ibu tersebut, seharusnya bersama ibu.

Frase hari besoknya terinterferensi frase bahasa Sunda poe isukna. Dalam bahasa Sunda ditemui bentukan yang lain, poe beurangna, poe sorena, poe peutingna. Dalam

bahasa Sunda afiks –na tidak melekat pada unsur atribut poe, sedangkan dalam bahasa Indonesia –nya melekat pada unsur atribut hari. Poe (BS) = hari (BI).

Dalam bahasa Indonesia: siang + harinya = siang hari nya

Dalam bahasa Sunda: poe + isukna= poe isukna

Simpulan Dari uraian tersebut, dapat ditarik bebera-

pa simpulan sebagai berikut:Interferensi adalah masuk nya sistem baha-

sa tertentu ke dalam sistem bahasa yang lain pada pemakaian bahasa yang dwibahasawan (bilingual).

Pada penutur bahasa Indonesia yang be-rasal dari daerah Priangan, banyak terjadi interfe rensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi dimaksud dapat terjadi dalam tataran fonologi, morfologi dan kosaka-ta, serta tataran sintaksis. e

DAFTAR PUSTAKAAl-Kasimi, Ali M. 1977. Linguistics and

Billingual Dictonary. Leinden: E.J. Brill.Alwasilah, A. Chaidar. 1985. Sosiologi Bahasa.

Bandung: Angkasa.Depdikbud, 1988. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Djajasudarman.1996. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: HPBI dan Yayasan Pustaka Wina.

Kridalaksana, Harimukti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Suwito. 1983. Sosiolinguistik. Surakarta: Henary Offset.

Tarigan, Hanry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.

Yus Rusyana dan Samsuri. 1984. Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

46 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Page 47: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

47

Pada kata seperti olahragawan, peragawan, dan usahawan, imbuhan -wan berarti ‘orang yang berprofesi dalam bidang yang disebutkan pada kata dasar’. Jadi, olahragawan berarti ‘orang yang memiliki profesi dalam bidang olahraga’; peragawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang peragaan’; dan usahawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang usaha (tertentu)’.

Pada contoh itu terlihat bahwa imbuhan -wan pada umumnya dilekatkan pada kata benda (nomina), seperti bangsa, harta, ilmu, olahraga, usaha, dan peraga. Imbuhan -wan tidak pernah dilekatkan pada kata kerja (verba).

Berdasarkan kenyataan itu, penggunaan imbuhan -wan pada kata relawan dipandang tidak tepat. Hal itu sama kasusnya dengan penambahan -wan pada kata kerja pirsa yang menjadi pirsawan. Dalam hal ini pilihan bentuk kata yang benar adalah pemirsa, yaitu orang yang melihat dan memperhatikan atau menonton siaran televisi.

Kata sukarelawan mengandung pengertian ‘orang yang dengan sukacita melakukan sesuatu tanpa rasa terpaksa’. Kata sukarelawan ini berasal dari kata dasar sukarela dan imbuhan -wan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:970) pun, bentukan kata yang ada adalah sukarelawan, sedangkan kata relawan tidak ada. Oleh karena itu, kata yang sebaiknya kita gunakan adalah sukarelawan, bukan relawan. e

sambungan dari halaman 2

Jam dan Pukul,

Relawan atau Sukarelawan?

Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Komunikasi Jenaka karya Dr. Deddy Mulyana, M.A. (Bandung. Remaja Rosdakarya. 2003)

PANTS

Banyak perbedaan arti kata yang sama di antara bahasa Inggris di Amerika dan di

Inggris (British) yang bila salah arti bisa menjadi sebuah adegan yang lucu. Contohnya adalah kata pants. Dalam bahasa Inggris Amerika kata itu berarti celana, sedangkan dalam bahasa Inggris British kata pants artinya lebih spesifik lagi yaitu celana dalam. Perbedaan inilah yang membuat Brian, orang Amerika asli mengalami kesulitan ketika berada di London, Inggris.

Ceritanya begini, Brian adalah remaja Amerika yang bisa dibilang cukup beruntung. Waktu liburan musim panas, ia diizinkan oleh orang tuanya untuk jalan-jalan ke Inggris selama dua minggu bersama adiknya, Matt. Sebagai remaja yang cuek, Brian hanya membawa tas kecil berisi beberapa helai baju, dua potong celana, dan tentunya celana dalam secukupnya. Ia berpikir bahwa ia hanya berada di sana selama dua minggu dan biasanya juga satu celana bisa digunakan selama kurang lebih satu minggu, jadi untuk apa ia membawa pakaian banyak.

Tapi sial baginya, ternyata sewaktu turun dari pesawat tasnya terkena tumpahan jus anggur sehingga terlihat ada noda ungu yang cukup lebar. Semua baju dan celananya yang kebetulan diletakkan di bagian atas tas miliknya ikut terkena. Sedangkan semua celana dalamnya selamat karena diletakkan di bagian bawah tas. Tanpa pikir panjang lagi, sesampainya di hotel ia langsung mencari department store yang terdekat.

Setelah mendapat beberapa potong baju, ia lalu bertanya letak bagian celana pria kepada seorang penjaga toko, “Where is the men’s pants section?”

Si penjaga toko langsung membawanya ke bagian celana dalam pria sambil berkata dengan logat Inggris yang kental, ”Here you are Sir. Men’s pants.”

lintasbudayabahasa

47

Page 48: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

48 Edisi 16 Tahun IX Juni 201148 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Tentu Brian menjadi amat bingung, ia meminta celana bukan celana dalam.

“No, I mean pants,” kata Brian.

Si penjaga toko yang merasa dirinya benar langsung membalas, “Yes Sir, these seem like pants to me, Sir.”

Brian yang mulai kesal lantas menegaskan, “I need pants, not underwear... pants!”

Si penjaga toko sambil menunjuk ke bagian BH wanita berkata, “Yes my good Sir... These are pants for you... those are underwear... I don’t quite think you’ll be needing those, Sir.”

Setelah sekian lama Brian baru menyadari maksud si penjaga toko. Ia pun tidak kekurangan akal, “Aaaaa... where are these?” sambil menunjukkan celana yang dipakainya.

Si penjaga toko pun sadar dan berkata, “Ooooo... trousers... so that’s

what you mean,” sambil menunjuk ke bagian celana panjang pria. []

BEFORE

Teman saya mempunyai seorang sahabat pena

yang berasal dari sebuah kota kecil di Prancis. Ia bernama Alain, seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas di Paris. Alain sangat gemar mempelajari bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang dipelajarinya adalah bahasa Inggris gaya Amerika.

Suatau hari Alain mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan kemampuan berbahasa Inggrisnya, bukan di Amerika melainkan di Inggris. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di London. Ia sangat gembira dan

menulis surat kepada teman saya untuk

menceritakan pengalaman barunya itu.

Di London Alain tinggal dengan orang tua angkat yang sudah ‘disediakan’ untuknya yaitu Mr. dan Mrs. Stewart. Mereka adalah orang Amerika yang sudah lama tinggal di London. Mr. dan Mrs. Stewart tidak mempunyai anak. Oleh karena itu, mereka sangat senang menerima Alain dan memperlakukannya seperti anak mereka sendiri.

Pada suatu hari, suami istri tersebut mendapat undangan. Sahabat Mrs. Stewart yaitu Mrs. Carlington akan merayakan ulang tahunnya. Mr. dan Mrs. Stewart mengajak Alain untuk menghadiri pesta ulang tahun tersebut.

Sesampainya di tempat pesta, Mrs. Stewart mengajak Alain untuk menemui Mrs. Carlington untuk mengucapkan salam. Tetapi Alain sangat bingung tentang apa yang harus diperbuat untuk memberi selamat. Akhirnya ia memutuskan

untuk melakukan apa yang biasa dilakukan seorang Prancis terhadap seorang yang berulang tahun. Ia mendekati

Mrs. Carlington lalu menciumnya. Mr.

Carlington yang berdiri di samping istrinya, menjadi terkejut dan marah. Lalu berkata, “How dare you kiss my wife before me!” (Beraninya Anda mencium istriku di depanku!)

Alain menjawab, “I’m sorry Sir! Next time I

kepada teman saya untuk A

Cs

Page 49: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

49 49

will kiss you first!” (Maafkan saya, Pak! Lain kali saya akan mencium Bapak terlebih dahulu)

Alain mengira kata before hanya memiliki arti sebelum padahal yang dimaksud Mr. Carlington adalah di depan.

Para tamu yang mendengar hal tersebut tentu saja tertawa terbahak-bahak. Wajah Mr. Carlington menjadi merah padam karena marah dan malu. Lalu Mr. Stewart menyuruh Alain untuk meminta maaf dan membantu menjernihkan kesalahpahaman supaya ia tidak melakukan kesalahan itu lagi. []

SUCK IT!

Pada suatu hari seorang warga negara Indonesia

yang tinggal

di salah satu negara bagian di Amerika Serikat berniat untuk dikhitan di rumah sakit setempat. Pria Indonesia

yang sudah berumur kurang lebih tiga puluh tahun itu telah siap untuk dikhitan oleh seorang dokter.

Setelah mendapatkan suntikan anestesi dan dimulai pemotongan bagian paling ujung dari alat vital laki-laki itu, karena sudah terlalu alot maka prosesnya memakanwaktu yang lama. Akibatnya, pada saat dokter menjahit luka, biusnyasudah terlanjur habis dan pria itu mengerang kesakitan sambil berteriak, “Aduuuhh, sakit!”

Sang dokter pun serta-merta marah dan membalas berteriak,

“Suck it yourself!” Dari cerita

di atas terjadi kesalahpahaman karena perbedaan makna bahasa yang digunakan oleh pasien yaitu

sakit terdengar seperti suck it yang bahasa

Indonesianya berarti hisaplah (benda) itu.

RESTROOM

Suatu ketika seorang gardener

(tukang kebun) di sebuah hotel di Batam berpapasan dengan turis bule yang sedang

menggendong anaknya. Kemudian si bule itu bertanya, “Excuse me, where’s the restroom?”

Tukang kebun itu kaget, sama sekali tidak menyangka akan ditanya oleh si bule.

“Oh...restroom, maam?” tukang kebun balik tanya.

“Yes, restroom.”“Oh...yes restroom, follow

me.”Tukang kebun itu kemudian

mengajak wanita bule itu bersama anaknya menuju ke lobi hotel.

“This is a restroom,” kata si tukang kebun.

Bule itu hanya diam kebingungan.

“Where’s the restroom?” tanyanya.

“Yes, here it is. A restroom, right?”

“No, I mean a toilet.”“Ooooo...toilet. Over there

beside the coffee shop.”“Oh...thanks.”Memang benar kalau

diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia, restroom berarti tempat istirahat, tetapi arti sebenarnya dalam

konteks itu adalah WC. e

ssu

Page 50: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

serambifoto

Lepas sambut Kepala PPPPTK Bahasa dari Dr. Muhammad Ha�a, M.Ed. ke Dra. Hj. Teriska R.

Se�awan, M.Ed. (1/4)

Foto bersama pada pembukaan Diklat Tingkat Lanjut Guru Bahasa Jepang SMA/MA/SMK (26/4) di PPPPTK

Bahasa.

Auditor dari SAI Global tampak tengah mendengarkan penjelasan (25/3) saat memeriksa kelengkapan dokumen ISO Seksi Evaluasi PPPPTK

Bahasa.

Auditor dari SAI Global tampak tengahA od dau dto r GSA ob l pam t n hS loAI a ta kmp engaWorkshop Penyusunan Modul BERMUTU Tahap I sedang dibuka secara resmi oleh Kepala PPPPTK

Bahasa Dra. Hj. Teriska R. Se�awan, M.Ed. (22/5).

Rakor Persiapan Diklat pengawas dengan LPMP (20/5) dilaksanakan untuk mematangkan pelaksana-an diklat penguatan kompetensi pengawas sekolah.

Rakor Persiapan Diklat pengawas dengan LPMPR ko rP ap n atDi pea o iae a D kl aa de g Pn Pg sw en a MLSuasana kelas Diklat Tingkat Dasar (B1) Guru Bahasa Jerman SMA (26/5) di PPPPTK Bahasa.

Page 51: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

serambifoto

Para pegawai PPPPTK Bahasa mengiku� upacara peringatan Hari Pendidikan Na sional (2/5) di

lapangan PPPPTK Bahasa.

Para pegawai PPPPTK Bahasa mengiku� upacara peringatan Hari Kebangkitan Na sional ke-103

(20/5) di lapangan PPPPTK Bahasa.

Para guru dan kepala sekolah dasar Bangladesh saat berkunjung ke PPPPTK Bahasa (11/5) berfoto

bersama.

Para pegawai PPPPTK Bahasa tengah menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad Saw di Auditorium

PPPPTK Bahasa (2/3).

Para Pegawai PPPPTK Bahasa tampak sedang sibuk melaksanakan kerja bak� (15/4) di halaman

belakang PPPPTK Bahasa.

Para peserta Workshop Pengembangan Silabus Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi Tahap I

tampak sedang berdiskusi (25/4).

Page 52: 012 Ekspresi Edisi Juni 2011 - p4tkbahasa.kemdikbud.go.idp4tkbahasa.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/06/012-Ekspresi...ke dalam Materi Bahan Ajar Bahasa Jerman Interferensi

52 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Edisi 16 Tahun IX Juni 2011

Diterbitkan olehPPPPTK BahasaKementerian Pendidikan Nasional

Edisi 16 Tahun IX Juni 2011KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BAHASA