Post on 18-Jun-2015
description
1
Ekonomi Islam (Teori dan Praktek)
Muhammad Abdul Mannan
Oleh:
Early Ridho KismawadiNIM 11 EKNI 2364
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARAMEDAN
2012 M/1433 H
2
Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh tahun 1938. Pada tahun 1960,
ia mendapat gelar Master di bidangEkonomi dari Rajashi University dan bekerja di
Pakistan. Tahun 1970, ia meneruskan belajar di Michigan State University dan
mendapat gelar Doktor pada tahun 1973. Setelah mendapat gelar doctor, Mannan
mengajar di Papua Nugini. Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai Profesor di
International Centre for Research in Islamic Economics di Jeddah.
Sebagian karya Abdul Mannan adalah Islamic Economics, Theory and
Practice, Delhi, Sh. M. Ashraf, 1970. Buku ini oleh sebagian besar mahasiswa dan
sarjana ekonomi Islam dijadikan sebagai buku teks pertama ekonomi Islam. Penulis
memandang bahwa kesuksesan Mannan harus dilihat di dalam konteks dan periode
penulisannya. Pada tahun 1970-an, ekonomi Islam baru sedang mencari formulanya,
sementara itu Mannan berhasil mengurai lebih seksama mengenai kerangka dan ciri
khusus ekonomi Islam. Harus diakui bahwa pada saat itu yang dimaksud ekonomi
Islam adalah fikih muamalah.
Seiring dengan berlalunya waktu, ruang lingkup dan kedalaman pembahasan
ekonomi Islam juga berkembang. Hal tersebut mendorong Abdul Mannan
menerbitkan buku lagi pada tahun 1984 yakni The Making of Islamic Economiy.
Buku tersebut menurut Mannan dapat dipandang sebagai upaya yang lebih serius dan
terperinci dalam menjelaskan bukunya yang pertama.
Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada
beberapa sumber hukum, yaitu :
• Al Qur’an
• Sunnah Nabi
• Ijma’ dan atau Qiyas
• Sumber hukum Lainnya
3
Dari sumber-sumber Hukum Islam di atas, ia merumuskan Langkah-langkah
operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu:
1. Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam semua sistem
tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti fungsi konsumsi, produksi
dan distribusi.
2. Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic functions yang
berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu (timeless), misal sikap moderation
dalam berkonsumsi.
3. Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau formulasi,
karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin ekonomi Islam mulai
dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan tentang apa (what), fungsi, perilaku,
variable dan sebagainya.
4. Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan jasa untuk
mencapai tujuan (yaitu: moderation) pada tingkat individual atau aggregate.
5. Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah keempat.
Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga atau transfer
payments.
6. Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau atas target
bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh kerangka yang ditetapkan
pada langkah kedua maupun dalam dua pengertian pengembalian (return), yaitu
pengembalian ekonomi dan non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan
positif dan normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting.
7. Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah
dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement). Pada tahap ini perlu
melakukanreview atas prinsip yang ditetapkan pada langkah kedua dan
4
merekonstruksi konsep-konsep yang dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan
kelima.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan cukup konkrit dan realistik. Hal ini
berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada
dikotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Tidak jarang para pemikir
ekonomi Islam masih terjebak dalam dikotomi ini. Aliran normatif biasanya lebih
mengedepankan pembahasan ekonomi Islam pada literatur historis dan terpaku pada
literatur dan historis tersebut. Akibatnya ekonomi Islam seperti menjadi kumpulan
teks yang mati dan tidak bisa mengikuti perkembangan serta tidak mampu menjawab
berbagai problematika yang ada saat ini. Kalaupun dipaksakan menjawab tantangan
zaman yang terus berkembang, solusinya cenderung kaku dan bahkan sering tidak
solutif. Sementara itu, aliran positifisme lebih mengedepankan problem yang ada saat
ini dengan penyelesaian ekonomi Islam yang kadang memaksakan ayat dan dalil yang
tidak sesuai dengan solusi Islam itu sendiri. Akibatnya, banyak bermunculan
transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan hukum syara’ yang dipaksakan untuk
sesuai dengan hukum syara’ dengan cara dicarikan dalil dan pendekatan-pendekatan
tertentu yang seakan-seakan sesuai dengan hukum syara.
Mannan secara jelas tidak terjebak dalam dua dikotomi tersebut. Secara jelas
Mannan mengatakan, “ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi
sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya
(ought to be). Penelitian ilmiah ekonomi modern (Barat) biasanya membatasi diri
pada masalah positif daripada normatif
Demikianlah fakta yang terjadi, beberapa ekonom muslim juga mencoba
untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga
dengan cara demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam
kerangkapemikiran Barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan secara
sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif.
5
Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu
ekonomi Islam saling terkait sehingga segala upaya memisahkan kedua aspek ini
akan menyesatkan dan menjadi counter productive.
Asumsi Dasar Ekonomi Islam
Beberapa asumsi dasar dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:
Pertama, Mannan tidak percaya kepada “harmony of interests” yang
terbentuk oleh mekanisme pasar seperti teori Adam Smith. Sejatinya harmony of
interests hanyalah angan-angan yang utopis karena pada dasarnya setiap manusia
mempunyai naluri untuk menguasai pada yang lain. Hawa nafsu ini jika tidak
dikendalikan maka akan cenderung merugikan pada yang lain. Begitulah kehidupan
kapitalistik yang saat ini tengah terjadi, di mana kepentingan pihak-pihak yang kuat
secara faktor produksi dan juga kekuasaan mendominasi percaturan kehidupan. Oleh
karena itu, Mannan menekankan pada perlunya beberapa jenis intervensi pasar. Dari
sini dapat dipahami bahwa manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan
yang sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang lain. Oleh
karena itu, ekonomi Islam diharapkan akan bekerja pada perpotongan antara
mekanisme pasar dan perencanaan terpusat.
Kedua, penolakannya pada Marxis. Teori perubahan Marxis tidak akan
mengarah pada perubahan yang lebih baik. Teori Marxis hanyalah reaksi dari
kapitalisme yang jika ditarik garis merah tidak lebih dari solusi yang tidak tuntas.
Bahkan, lebih jauh teori Marxis ini cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan
naluri manusia yang fitrah, di mana setiap manusia mempunyai kelebihan antara satu
dan lainnya dan itu perlu mendapatkan reward yang berarti. Dia berpendapat, hanya
ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan yang lebih baik. Alasan utama
Mannan adalah karena ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan kemampuan
motivasional. Tetapi, Mannan tidak menjelaskan perbedaan nilai etika Islam dan
kemampuan motivasional tersebut dengan nilai-nilai Marxis beserta motivasinya.
6
Ketiga, Mannan menyebarkan gagasan perlunya melepaskan diri dari
paradigma kaum neoklasik positivis, dengan menyatakan bahwa observasi harus
ditujukan kepada data historis dan wahyu. Argumen ini sebenarnya bertolak belakang
dari agumennya sendiri untuk meninggalkan paradigma kaum neoklasik yang
mendasarkan pada historis. Hanya saja, Mannan lebih jauh menampilkan “wahyu”
sebagai penunjukan dan pelengkap dalam arah observasi ekonomi. Jadi, rupanya
Mannan sangat menaruh perhatian pada norma wahyu dalam setiap observasi
ekonominya. Ini dapat dipahami bahwa ekonomi Islam dibangun dari pondasi utama
yaitu dalil-dalil syara’ yang notabenenya sebagai wahyu. Oleh karena itu, semua
observasi ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan ruh dari ekonomi
Islam tersebut.
Keempat, Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan
konsumen. Hal tersebut menurutnya akan memunculkan dominasi dan eksploitasi.
Dalam kenyataan, sistem kapitalistik yang ada saat ini dikotomi kekuasaan produsen
dan kekuasaan konsumen tak terhindarkan. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan
perlunya keseimbangan antara kontrol pemerintah dan persaingan dengan
menjunjung nilai-nilai dan norma-normasepanjang diizinkan oleh syariah. Hanya
saja, mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilai-nilai dan norma yang sesuai
dengan syariah belum dijabarkan dengan baik. Artinya, mekanisme ini akan sangat
beragam sesuai dengan persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara.
Kelima, dalam hal pemilikan individu dan swasta, Mannan berpendapat
bahwa Islam mengizinkan pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral
dan etik. Dia menambahkan bahwa semua bagian masyarakat harus memiliki hak
untuk mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun, setiap individu
tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan yang dimilikinya dengan cara
mengeksploitasi pihak lain. Pandangan Mannan ini masih bersifat normatif. Mannan
dalam beberapa tulisannya belum menjelaskan secara gamblang cara, instrumen dan
sistem yang dia pakai sehingga keharmonisan ekonomi Islam di masyarakat dapat
7
terwujud. Misalnya, Mannan belum membedakan sifat dari kepemilikan individu,
kepemilikan umum dan kepemilikan negara, serta hal-hal apa yang tidak boleh
dilakukan intervensi dari ketiganya. Hanya saja Mannan telah menjelaskan norma
bahwa kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja.
Menurutnya, zakat dan shadaqah memegang peranan penting untuk memainkan
peranan distributifnya, sehingga paham kapitalis yang mengarah pada individualisme
tidak ada dalam ekonomi Islam.
Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, langkah pertama
Mannan adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi
tiga fungsi, yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Ada lima prinsip dasar yang
berakar pada syariah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni
prinsip righteousness, cleanliness, moderation, beneficence dan morality. Perilaku
konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum adalah
kebutuhan manusia yang terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.
Pada setiap aktivitas ekonomi, aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan
aspek produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa
sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan
subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi,
sedangkan kriteria subyektif terkait erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi
dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi, dalam sistem ekonomi kesejahteraan
tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga harus berorientasi
pada etika Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan kapitalistik yang berorientasi
pada materi untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Oleh karena
itu, tidak heran jika dalam pendekatan kapitalistik, azas yang dipakai adalah
pemenuhan kebutuhan materi secara melimpah dengan prinsip produk, to product and
to product. Akibat dari azas dan prinsip ini, maka telah muncul masyarakat pembosan
dan cenderung mencari materi secara terus menerus sehingga sering kali makna
kebahagiaan dan kesejahteraan yang sesungguhnya menjadi kabur. Islam tidak
8
menekankan yang demikian, namun, lebih menekankan pada keseimbangan antara
pemenuhan materi dan senantiasa berorientasi pada prinsip dan etika Islam. Dalam
Islam, halal dan haram menjadi standar utama dalam melakukan aktifitas ekonomi
dan aktifitas lainnya.
Aspek penting lainnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan.
Mannan mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi
kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajibanyang
dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan secara sukarela.
Kerangka Institusional Ekonomi Islam
Berdasarkan asumsi dasar di atas, Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka
institusinal ekonomi Islam, sebagai berikut:
Pertama, keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul
Mannan menekankan bahwa ekonomi berpusat pada individu, karena menurutnya,
masyrakat dan negara ada karena adanya individu. Oleh karena itu, ekonomi Islam
harus digerakkan oleh individu yang patuh pada agama dan bertanggung jawab pada
Allah swt dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan individu dijamin oleh control
social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan untuk menjalankan semua
kewajiban yang digariskan oleh syariah. Mannan menjamin tidak ada konflik antara
individu, masyarakat dan negara, karena syariah telah meletakkan peranan dan posisi
masing-masing dengan jelas. Bahkan, antara kebebasan individu dan kontrol
masyarakat dan negara akan saling melengkapi, karena mempunyai tujuan dan
maksud baik yang bersama-sama diupayakan dalam menjalankan sistem ekonomi
Islam.
Kedua, mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik
temu antara sistem harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya
bauran yang optimal antara persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang
9
bersifat sukarela. Mannan tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat
tercipta. Sekali lagi Mannan telah memunculkan pemikiran normatif elektis yang
masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit untuk merelaisasikan norma tersebut
dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi yang jelas, Mannan tidak setuju
dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan output. Hal itu akan
memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang
mendasari mekanisme pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan
gagalnya mekanisme pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan
permintaan kelompok kaya. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan konsep kebutuhan
efektif untuk menggantikan konsep permintaan efektif..
Ketiga, kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar
dari setiap pembahasan ekonomi, termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah
kepemilikan. Dalam hal ini, Mannan mendukung pandangan yang menyatakan bahwa
kepemilikan absolut terhadap segala sesuatu hanyalah pada Allah swt saja. Manusia
dalam posisinya sebagai khalifah di muka bumi bertugas untuk menggunakan semua
sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya untuk kebaikan dan kemaslahatannya.
Kepemilikan resmi diakui keberadaannya menurut Islam, namun legitimasi
kepemilikan itu tidaklah mutlak. Dalam legitimasi kepemilikan tersebut terdapat
kewajiban-kewajiban moral, agama dan kemasyarakatan dari individu yang
bersangkutan.
Mannan mengusulkan pandangannya untuk mengatur kepemilikan oleh
swasta antara lain; tidak boleh ada aset yang menganggur, pembayaran zakat,
penggunaan yang menguntungkan, penggunaan yang tidak membahayakan,
pemilikan kekayaan secara sah, penggunaan yang seimbang (tidak boros dan juga
tidak kikir), distribusi returns yang tepat, tidak boleh terjadi konsentrasi kekayaan dan
penerapan Hukum Islam tentang warisan. Sebagai konsekwensi dari tawaran Mannan
10
ini, maka setiap pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut membuka peluang
campur tangan negara. Namun, Mannan tidak menyebutkan secara detail apakah
individu yang melanggar itu masih boleh memegang hak miliknya atau kehilangan
haknya.
Keempat, implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan
sumber utama penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan
lebih sebagai kewajiban agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah
maka zakat merupakan poros keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian,
beberapa pengamat ekonomi Islam melakukan kritik terhadap zakat yang menyatakan
bahwa sekalipun dalam konotasi agama, kaum muslimin berupaya menghindari
pembayaran zakat itu.
Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf
delapan). Zakat tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru
zakat menjadi pendorong kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat
sehingga ia rajin bekerja agar menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain
itu, jika seseorang membiarkan hartanya menganggur, maka ia akan semakin
kehilangan hartanya karena dikurangi dengan pengeluaran zakat tiap tahun. Oleh
karena itu, ia harus bekerja dan hartanya harus produktif.
kedudukan zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah
satunya dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa
Rasulullah saw sampai sekarang. Hal itu penting karena zakat memiliki dua fungsi,
yaitu fungsi spiritual dan fungsi sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan
tanggungjawab seorang hamba kepada Tuhannya yang mensyariatkan zakat.
Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan zakat untuk membiayai
proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
11
Kelima, pelarangan riba. Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga
ahli ekonomi yang lainnya, Mannan sangat menekankan penghapusan sistem bunga
dalam sistem ekonomi Islam.
Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif
dengan mengalihkan sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya
merupakan bagi laba (rugi) dan sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah,
tidak saja semangat Qur’ani akan lebih terpenuhi, namun, pada saat yang sama
penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan kegiatan ekonomi akan lebih sejalan
dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja tawaran Mannan tidak sebatas
pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai pula tawaran
transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya.
Keadilan dalam Distribusi Sebagai Basis
Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si miskin
demikian besar sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata
dan merupakan pusat berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan
berpendapat bahwa distribusi merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber
daya.
Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena
pemilikan orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu,
sebagian orang memiliki lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar,
asalkan keadilan manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk
mengakses faktor produksi bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat
memperoleh surplus penerimaannya asal ia telah menunaikan semua kewajibannya.
Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam ekonomi Islam, inti masalah bukan
terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak pada
ketidakmerataan distribusi kekayaan.
12
Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan
adalah tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling
penting. Menurut Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang.
Mannan juga berpendapat bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan
tanah. Implikasi dari pendapatnya itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk
menyewa maupun berbagi hasil tanaman, sekalipun ia lebih setuju dengan pendapat
yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak disewakan dan lebih baik digarap
dengan sistem bagi hasil.
Berkaitan dengan landlordism, Mannan memberikan kritikannya terhadap
sewa tanah tersebut karena hal itu dapat mengarah kepada penciptaan kelas
kapitalistik dan dapat menjadi ancaman bagi penciptaan masyarakat di negara Islam
yang berkeadilan. Mannan menambahkan bahwa penciptaan kelas kapitalistik juga
mengancam etika dan moral Islam. Namun demikian, Mannan memunculkan ambigu
pada paparannya yang menyatakan bahwa “Islam tidak mengenal eksploitasi pekerja
dengan modal, dan tidak pula Islam menyetujui penghapusan kelas kapitalis
Kritikan Mannan pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada
perlakuan distribusi sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah
distribusi fungsional pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan
ambigu karena Mannan juga mengakui adanya empat faktor produksi serta
menguraikan mengapa masing-masing faktor produksi layak mendapat imbalan.
Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun, mengkritik bunga sebagai imbalan
dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme perolehan pendapatan dari
imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan pekerja.
Ada pertanyaan menarik kalau kita cermati pendapat Mannan dalam hal
distribusi, yaitu jika ketidakmerataan diperbolehkan dan sifatnya alamiah, maka
sampai batas mana ketidakmerataan tersebut dapat ditolelir ? Sehubungan dengan hal
ini, Mannan hanya menjelaskan bahwa hal itu tergantung pada tahap dan tingkat
13
perkembangan sosio ekonomi dan kondisi kehidupan nyata masyarakat. Dia
menambahkan bahwa asalkan kebutuhan dasar sudah terjamin bagi semua orang,
maka ketidakmerataan dapat ditolelir
Produksi sebagai Upaya Mensejahterakan Masyarakat
Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau penciptaan
nilai guna. Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan
kesejahteraan, maka barang dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal
dan menguntungkan, yaitu hanya barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut
Mannan, konsep Islam mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan
melalui peningkatan produksi barang yang baik saja, melalui pemanfaatan sumber-
sumber tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal maupun melalui
partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi
Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan
maksimalisasi dan partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga
produksi memiliki fungsi yang berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau
firm bukan hanya sebagai pemasok komoditas, namun juga sebagai penjaga
kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan ekonomi dan masyarakat.
Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah tangga
produksi yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus
memperhatikan moral, sosial dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul
Mannan, gabungan dari motif laba, kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta
dorongan moral akan memacu proses produksi dan distribusi menjadi maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, surplus produksi diperlukan sebagai persediaan
generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan
14
pada mereka yang mampu menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan
pada individu dan pemerintah untuk berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara
anggota masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi
mereka. Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan
ekonomi akan menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi,
bukan konsentrasi dan eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan
demikian akan menimbulkan efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan
mempertimbangkan permintaan efektif, namun berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu
kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu norma dan nilai-nilai Islam.
Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi
sebagai suatu proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus
berdasarkan kapasitas potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan
dasar kepada semua anggota masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah
(miskin). Berdasarkan asumsi ini maka produsen tidak hanya melakukan reaksi dari
harga pasar, melainkan juga atas perencanaan nasional untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan spesialisasi untuk berproduksi
harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan menekankan perlunya
humanisasi proses produksi.