Post on 26-May-2018
PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID
AYAM BROILER
KENYO PALUPI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh
Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid
Ayam Broiler adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2012
Kenyo Palupi
B04070097
ABSTRAK
KENYO PALUPI. Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran
Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler. Dibimbing oleh SRI
ESTUNINGSIH dan WIWIN WINARSIH.
Kortikosteroid merupakan senyawa anti-inflamasi yang digunakan secara luas
khususnya dalam dunia peternakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
efek kortikosteroid yaitu Prednisone pada organ limfoid ayam broiler. Sebanyak
30 ekor DOC dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kontrol dan
kelompok kedua adalah perlakuan (diberikan Prednisone 3 mg/kg BB per oral).
Masing-masing kelompok dibagi menjadi 5 kelompok sesuai umur perlakuan,
mulai dari umur 2 minggu sampai 6 minggu. Perlakuan ini berlangsung selama 6
minggu setelah itu ayam dinekropsi. Organ limfoid yang disampling adalah bursa
Fabricius, timus, dan limpa yang selanjutnya dibuat preparat histopatologi
menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin dan diamati. Parameter yang
diamati antara lain, jumlah limfosit, jumlah folikel limfoid, tinggi dan lebar plika
bursa Fabricius, jumlah limfosit dan luas organ timus, serta jumlah limfosit dan
folikel limfoid pada limpa. Data dianalisis secara kuantitatif dengan uji lanjut T-
student. Hasil dari penelitian ini adalah kortikosteroid memberikan efek
imunosupresi yang ditunjukkan menurunnya jumlah limfosit dan jumlah folikel
limfoid organ limpa. Jumlah limfosit Bursa Fabricius, timus, dan limpa
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Jumlah folikel limfoid besar dan
kecil, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, luas medulla timus, dan jumlah
folikel limfoid limpa menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Kortikosteroid
memberikan efek yang signifikan terhadap organ limfoid ayam broiler.
Kata kunci: kortikosteroid, organ limfoid, histopatologi
ABSTRACT
KENYO PALUPI. Effect of Corticosteroid on Limfoid Organ of Broiler. Under
direction of SRI ESTUNINGSIH and WIWIN WINARSIH.
Corticosteroid is an anti-inflammatory agent which have been used for poultry
industry widely. The aim of this research was to study the effect of corticosteroid on
lymphoid organ of broiler by histopathological analysis. Thirty commercial DOC (Day
Old Chick) were divided into 2 groups. First group was control and second group was
treated by corticosteroid (3 mg/Kg) orally. Each group was divided into 5 subgroups
according to their sacrifice day at age from 2 week until 6 week. This treatment done for
6 weeks, broilers then were necropsied. The bursa of Fabricius, thymus, and spleen were
collected as histopathological samples. Samples were processed routinely to prepared
histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin. The parameters observed include
to measured the number of lymphoid follicle of bursa Fabricius and spleen, the number of
lymphocyte of bursa, thymus and spleen, and width of bursa’s plica and cortex and
medulla of thymus. Quantitative data were analyzed with T-student test. The observation
results was corticosteroid caused immunossupression that showed by decrease of
lymphocyte and lymphoid follicle numbers which are significant (p<0.05) compared to
the control group. There were significant (p<0.05) compare to the control group on the
number of small and large lymphoid follicles, high and wide of plica of bursa of
Fabricius, width of medulla of thymus, and the number of lymphoid follicles of spleen.
Keywords: corticosteroid, lymphoid organ, histopathology
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID
AYAM BROILER
KENYO PALUPI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran
Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler
Nama Mahasiswa : Kenyo Palupi
NRP : B 04070097
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Mengetahui,
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet. Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MS, APVet.
Pembimbing I Pembimbing II
Menyetujui,
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APvet.
Wakil Dekan
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kortikosteroid
Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler” telah
diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
ucapkan kepada:
1. Keluarga tercinta, Ibu, Bapak, dan Riris, adik tersayang atas cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tiada henti tercurah kepada penulis.
2. Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, MS.
APVet selaku dosen pembimbing tugas akhir atas ilmu, waktu, pelajaran
hidup, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang diberikan kepada
penulis.
3. Drh. Faisal Jamin, M.Si yang senantiasa membantu dan mengarahkan
penulis selama penelitian berlangsung.
4. Dr. drh. Chusnul Chaliq, MS, MM selaku dosen pembimbing akademik
atas bimbingannya sampai penulis meraih gelar sarjana.
5. Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS atas ilmu berorganisasinya.
6. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Phd, APVet atas segala masukan dalam
seminar hasil penelitian.
7. Dr. drh. Hera Maheswari M.Si dan Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.Si atas
segala masukan serta nasihat dalam ujian akhir sarjana.
8. Dosen dan Staf Laboratorium Patologi (Mas Bangkit, Mba Kiki, Pak
Kasnadi, Pak Sholeh, dan Pak Endang) yang selalu bersedia membantu
penulis.
9. Cholillurrahman yang selalu setia menampung air mata dan memberikan
senyum kepada penulis.
10. Teman-teman Yayasan Patologi Bisa: Niken, Nova, Inez, Dara, Dian,
Endah, Abas, Agung, Griv dan Nisa atas dukungan, semangat, dan
kerjasamanya.
11. Teman-teman Wisma Geulis: Uji, Eka, Nyitong, Moy, Archi, Uwen, Rifki,
Emil, Titi, Milah, Pitri, dan Sari yang selalu ada saat penulis dalam
keadaan suka dan duka.
12. Teman-teman Polar Bear dan Smeki: Madu, Kiki, Rio, Darjat, Fahri,
Wamen, Rissar, Pea, Andi, Binturong, Joko, Danang, Edi, Ganjar, dan
Sukron atas keceriaan dan kesediaannya menjadi penari-penari FKH.
13. Komunitas seni Steril atas pengalaman dan masa-masa indah yang
diberikan kepada penulis.
14. Keluarga besar Gianuzzi FKH 44 yang akan selalu ada di hati penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2012
Kenyo Palupi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1989 di Yogyakarta. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Heddy Julistiono
dan Ibu Sri Rejeki Retno Wahyuningsih.
Penulis dibesarkan di Bogor dan menempuh sekolah taman kanak-kanak di
TK Mesra. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di SD Negeri
Bangka 3 Bogor, lalu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor pada tahun
2001. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor pada
tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan (FKH). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di dalam beberapa
kegiatan mahasiswa, diantaranya menjadi anggota paduan suara Agriaswara
sebagai alto 1 dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) musik Max pada tahun
2007/2008. Selain itu penulis pernah menjabat sebagai ketua Komunitas Seni
Teatrikal dan Ilmiah (KS STERIL) pada tahun 2009/2010 dan anggota divisi
Infokom Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (SATLI) pada tahun 2009/2010.
Penulis sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II tahun
2011/2012. Pada tahun 2011 penulis berpartisipasi dalam ADIC (Aceh
Development International Conference) di Bangi, Malaysia.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2
1.4 Hipotesa ........................................................................................ 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Broiler ................................................................................. 3
2.2 Program Vaksinasi ........................................................................ 4
2.3 Respon Kekebalan Unggas ........................................................... 5
2.3.1 Bursa Fabricius .................................................................. 6
2.3.2 Timus ................................................................................. 8
2.3.3 Limpa ................................................................................ 10
2.4 Kortikosteroid .............................................................................. 12
2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya ....................................... 15
2.4.2 Residu Steroid pada Manusia ................................................. 16
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat penelitian ...................................................... 19
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................. 19
3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 20
3.3.1 Tahap Persiapan Kandang .................................................. 20
3.3.2 Pengelompokkan Ayam Penelitian ................................... 20
3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ ...................... 21
3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi .................................... 21
3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi .................................. 22
3.3.6 Pengolahan Data................................................................ 23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perubahan Histopatologis pada Bursa Fabricius Akibat
Pemberian Kortikosteroid ............................................................ 24
4.2 Perubahan Histopatologis pada Timus Akibat Pemberian
Kortikosteroid .............................................................................. 32
4.3 Perubahan Histopatologis pada Limpa Akibat Pemberian
Kortikosteroid .............................................................................. 37
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 43
5.2 Saran ........................................................................................... 43
6. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 44
7. LAMPIRAN ........................................................................................ 50
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
1. Parameter Penelitian ...................................................................... 23
2. Perbandingan Tinggi dan Lebar Plika Bursa Fabricius Kontrol
(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................ 25
3. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid Besar dan Kecil Bursa
Fabricius Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) .... 26
4. Perbandingan Jumlah Total Folikel Limfoid Bursa Fabricius
Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) .................... 28
5. Perbandingan Jumlah Limfosit Bursa Fabricius Kontrol
(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................. 30
6. Perbandingan Luas Medula dan Korteks Timus Kontrol (CC0)
dan Pemberian Kortikosteroid ....................................................... 32
7. Perbandingan Luas Timus Kontrol (CC0) dan Pemberian
Kortikosteroid (CC2) ..................................................................... 34
8. Perbandingan Jumlah Limfosit Timus Kontrol (CC0) dan
Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................................... 35
9. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid (pulpa putih) Limpa Kontrol
(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................. 37
10. Perbandingan Jumlah Limfosit Limpa Kontrol (CC0) dan
Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................................... 49
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
1. Ayam Broiler ................................................................................. 3
2. Bursa Fabricius .............................................................................. 8
3. Timus ............................................................................................. 10
4. Limpa Ayam .................................................................................. 12
5. Konfigurasi Dasar Kortikosteroid.................................................. 13
6. Mekanisme Apoptosis Akibat Glukokortikoid .............................. 14
7. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan
Perbesaran 4x dan 10x ................................................................... 29
8. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan
Perbesaran 40x ............................................................................... 31
9. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan
Perlakuan 4x .................................................................................. 35
10. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan
Perlakuan 40x ................................................................................ 36
11. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan
Perlakuan 4x .................................................................................. 38
12. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan
Perlakuan 40x ................................................................................ 40
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ternak ayam memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi. Mulai dari telur sampai daging ayam dikonsumsi masyarakat
sebagai sumber protein hewani. Seiring dengan perkembangan zaman maka usaha
ternak ayam broiler atau broiler yang pada mulanya hanya berkisar pada kegiatan
atau usaha rakyat kemudian berkembang dengan pesat demi memenuhi
permintaan daging dari masyarakat. Pemenuhan akan daging ayam tidak terlepas
dari peternakan ayam bibit. Peternakan ayam bibit ini nantinya akan menghasilkan
anak ayam atau Day Old Chick (DOC) komersial. DOC ini akan dipelihara oleh
peternak untuk dibesarkan menjadi ayam broiler komersial. Ayam broiler
merupakan jenis unggas dengan daya produktivitas tinggi yaitu dapat dipanen
pada usia minggu ke-6 sampai minggu ke-7 dan bobot yang bertambah pesat yaitu
sekitar 40 – 50 kali lipat dari bobot awalnya (± 1.5 kg). Hal ini yang membuat
usaha ternak ayam dinilai sangat menguntungkan.
Pemeliharaan secara intensif harus dilakukan dalam usaha ternak ayam
komersial. Pemeliharaan intensif dilakukan dengan fasilitas pemeliharaan dari
segi perkandangan dan segi pakan yang diberikan untuk memenuhi sasaran pada
tujuan produksi. Salah satu faktor pemeliharaan yang paling penting adalah
manajemen kesehatan karena kesehatan merupakan landasan utama penentu
kualitas dari sebuah peternakan. Manajemen kesehatan dilakukan dengan tindakan
preventif dan tindakan kuratif. Tindakan preventif dilakukan untuk mencegah
ternak terserang agen penyakit misalnya dengan pemberian vaksin. Sedangkan
tindakakan kuratif merupakan tindakan pengobatan untuk menghilangkan agen
penyakit.
Salah satu obat atau senyawa yang sering diberikan adalah kortikosteroid.
Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan
tidak sesuai dengan indikasi maupun dosis dan lama pemberian seperti pada
penggunaan kortikosteroid sebagai obat untuk menambah nafsu makan dan
menambah berat badan. Kortikosteroid dapat menimbulkan beberapa efek
samping kompleks sehingga banyak dokter takut memberikan kortikosteroid dosis
besar yang sebenarnya diperlukan pada berbagai pengobatan inflamasi (Harmanto
2007).
Kortikosteroid yang digunakan pada ayam penelitian ini adalah
Prednisone. Menurut Wissman (2006), Prednisone merupakan obat golongan
kortikosteroid yang berfungsi sebagai anti-inflamasi dan bersifat imunosupresif,
sedangkan pada unggas dapat mengatasi aspergillosis serta infeksi fungal lainnya.
Pengawasan ketat diperlukan dalam penggunaan obat ini baik secara oral, topikal
maupun parenteral. Namun kortikosteroid juga dapat menekan fungsi
immunnologis dan mengaktifasi infeksi laten sehingga pada beberapa kasus
kortikosteroid memberikan efek immunosupressi.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari kortikosteroid
terhadap organ limfoid, yaitu timus, limpa, dan bursa Fabricius pada ayam broiler.
1.3 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui efek dari pemberian
kortikosteroid terhadap sistem immunitas ayam broiler.
1.4 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam
broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler
kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).
H1 : Terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam
broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler
kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Broiler
Ayam broiler adalah jenis unggas yang memiliki laju pertumbuhan yang
berbeda, pertambahan berat badan tiap minggu yang berbeda serta memiliki besar
konsumsi pakan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan
(North et al. 1990). Ayam broiler yang baik adalah ayam broiler yang
pertumbuhanya cepat, warna bulu putih, tidak terdapat bulu-bulu berwarna gelap,
serta memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang seragam (Mountney 1978). Ayam
broiler dipasarkan pada bobot hidup antara 1.3-1.6 kg per ekor ayam yang
dilakukan pada umur ayam 5-6 minggu karena ayam broiler yang terlalu berat
akan sulit dipasarkan. Bahkan bila dipelihara sampai 8 bulan beratnya dapat
mencapai 2 kg (Rasyaf 2008).
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi
peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana
pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan
ukuran otot, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adiposa dan
peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Ciri dari ayam broiler ini adalah
ukuran badan relatif besar, padat, kompak, dan berdaging penuh. Jumlah telur
sedikit, bergerak lambat, tenang, dan lebih lambat mengalami dewasa kelamin.
Adapun jenis ayam broiler ini antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish
dan Sussex (Sudaryani dan Santosa 2002).
Gambar 1 Ayam broiler (sumber: Purba 2011)
2.2 Program Vaksinasi
Penyakit merupakan masalah besar yang cukup potensial yang telah
mengubah industri peternakan ayam untuk mengembangkan vaksin. Industri
vaksin berperan dalam pemeliharaan dan pengawasan kesehatan ayam. Program
vaksinasi termasuk usaha pencegahan masuknya infeksi penyakit, selain itu jika
dilihat dari kesehatan manusia, manusia akan terhindar dari residu obat yang
terdapat dalam daging ayam yang pernah diberi obat akibat terpapar penyakit
(Appleby 2004).
Menurut Leeson dan Summers (2000) vaksin berfungsi untuk
menstimulasi sistem imun unggas tanpa menyebabkan tanda-tanda penyakit yang
jelas. Banyak diantaranya berfungsi untuk melindungi unggas dari infeksi virus,
beberapa jenis vaksin lainnya telah dikembangkan untuk perlindungan terhadap
cekaman bakteri tertentu (lebih sering disebut bakterin dibanding vaksin) dan juga
untuk koksidiosis. Program vaksinasi bagi peternak bertujuan untuk melindungi
unggas muda dan dewasa dari infeksi, selain itu vaksinasi juga bertujuan untuk
mengoptimumkan antibodi maternal pada anak ayam broiler. Pada saat sejumlah
dosis vaksin diberikan, unggas akan memproduksi antibodi yang dilepaskan oleh
bursa Fabricius tergantung usia dari unggas tersebut.
Vaksin yang digunakan pada unggas dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu
vaksin hidup dan vaksin inaktif. Vaksin inaktif terdiri dari antigen yang
dipekatkan dikombinasikan dengan minyak emulsi atau adjuvant alumunium
hidroksida. Vaksin jenis ini memberikan ketahanan tubuh yang lebih lama,
terutama jika dikombinasikan dengan vaksin hidup. Vaksin ini dapat berisi dua
atau tiga jenis antigen dan diberikan secara parenteral. Sedangkan vaksin hidup
biasanya hanya berisi satu jenis antigen dan diaplikasikan secara aerosol, melalui
air minum, dan dalam beberapa kasus dapat diberikan secara injeksi. Antigen
dapat berupa penyakit yang telah dilemahkan sehingga tingkat virulensinya
rendah (Jordan 1994).
Menurut Marangon dan Busani (2006) faktor yang mempengaruhi
kemanjuran vaksin yang berkaitan dengan individu ayam adalah kekebalan
maternal dan imunosupresi, status sanitasi serta faktor genetis. Optimumnya
antibodi maternal disertai status sanitasi faktor genetik yang baik mendukung
program vaksinasi sedangkan imunosupresi dapat merusak organ kekebalan
sehingga menghambat program vaksinasi.
Program vaksin yang umum diberikan untuk ayam broiler antara lain
vaksin Marek’s disease yang diberikan kepada ayam umur 18 hari masa embrio
secara in-ovo. Vaksin Newcastle disease dan Infectious Bronchitis yang diberikan
pada ayam umur 1 hari atau setelah menetas dengan rute spray cabinet. Vaksin
ND dan IB kembali diberikan pada usia 14 hari melalui minuman. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin adalah kejadian penyakit di
daerah tersebut, ketersediaan vaksin, periode stres, kondisi iklim, dan faktor lain
yang mempengaruhi program vaksinasi (North et al. 1990).
2.3 Respon Kekebalan Unggas
Tubuh melindungi dirinya sendiri melawan benda asing, seperti bakteri
dan virus, melalui aksi sistem kekebalan tubuh. Masuknya virus dan bakteri
merangsang aksi dari limfosit (sel darah putih) dan makrofag (scavangers) dalam
tubuh. Limfosit diproduksi dan diatur oleh bursa (sel B) dan timus (sel T). Sel B
bermigrasi ke limpa dan limfonodus, tempat antigen menstimulasi antibodi,
akivitas ini merujuk pada kekebalan humoral. Timus yang ditemukan di leher
ayam memproduksi sel T dibawah perintah hormon. Dewasa kelamin sangat
menentukan produksi sel T. Sel T bekerja sama dengan makrofag untuk
memusnahkan bakteri, virus dan benda asing lainnya. Aksi sel T tersebut merujuk
pada kekebalan seluler (Leeson dan Summers 2000).
Imunitas humoral (bursa) adalah pertahanan utama melawan bakteri,
sementara kekebalan seluler menjalankan fungsinya dalam melawan virus. Sel B
diinduksi untuk membagi dan menspesialisasi serta bersifat peka saat masuk ke
peredaran darah. Sel B memiliki masa hidup 3-5 hari dalam peredaran darah. Sel
B memiliki sistem memori sehingga sel B mampu melipatgandakan aksinya saat
ada infeksi dari antigen yang sudah dikenali, proses ini juga yang memengaruhi
kekebalan tubuh melalui vaksinasi. Sedangkan sel T dari timus merespon antigen
dengan cara menghasilkan sel efektor dan sel memori. Sel efektor bereaksi
langsung pada virus dan melepaskan zat kimia yang disebut limfokin yang
membantu menarik sel imun lain, seperti makrofag dan limfosit-limfosit lain ke
antigen yang berikutnya akan mengaktivasi sel-sel tersebut untuk tahap proses
kekebalan (Leeson dan Summers 2000).
Bangsa burung memproduksi tiga jenis antibodi, yaitu IgM, IgG, dan IgA.
Respon antibodi primer dimulai dengan perkembangan antibodi IgM. Setelah itu
IgG dan IgA diproduksi. Walaupun IgG unggas dan mamalia memiliki fungsi
biologi yang mirip, namun IgG unggas memiliki pasangan yang lebih panjang
dibandingkan milik mamalia dan tidak memiliki engsel molekul yang dikodekan.
Sehingga IgG unggas lebih sering disebut dengan IgY. IgA berperan dalam
kekebalan lokal di saluran respirasi dan pencernaan. Pada unggas IgA diangkut ke
hati kemudian disimpan di empedu (Schultz 1999).
Jaringan limfomieloid berkembang dari epitelial kubus sebaris (bursa
Fabricius dan timus) atau mesenkim (limpa, limfonodus, dan sumsum tulang)
yang didiami oleh sel-sel haematopoietik. Pada organ limfoid pusat, sel stem
haematopoietik memasuki bursa atau timus dan berkembang menjadi sel
imunokompeten B dan T. Sel-sel imun yang telah dewasa memasuki sirkulasi dan
mendiami organ limfoid perifer, diantaranya limpa, limfonodus, dan usus,
bronkhus dan jaringan limfoid yang bergabung dengan kulit (Davison 2003).
Menurut Aughey dan Frye (2001), sistem limfoid Aves terdiri dari limpa, timus,
nodul lokal di dinding pembuluh dan mukosa limfatik serta bursa Fabricius
2.3.1 Bursa Fabricius
Bursa Fabricius adalah kelenjar limfoepitelial yang terdapat di dorsal
kloaka. Secara umum bursa Fabricius akan mengalami atropi setelah penetasan
namun pada beberapa jenis burung tergantung usia (contohnya burung dari genus
gallinae) (Freeman 1971). Menurut Davison (2008) bursa Fabricius ayam
memiliki bentuk dan ukuran seperti kastanye dan lokasinya diantara kloaka dan
sakrum. Saluran bursa yang menyerupai celah menghubungkan dengan lumen
bursa. Sebagai diverticulum kloaka, bursa memiliki struktur epitel silindris. Bursa
dikelilingi oleh permukaan otot yang tebal dan licin. Selama kontraksi otot,
tekanan folikel-folikel memperkuat aliran sel di dalam medula dan aktivitas
limfatik di setiap lipatan plika bursa.
Glick (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan bursa Fabricius dapat
dipelajari dalam tiga bentuk. Pertama pertumbuhan yang cepat dari ayam baru
menetas sampai tiga atau empat minggu. Kedua, periode plateu selama lima atau
enam minggu berikutnya. Ketiga, regresi yang terjadi sebelum pematangan
seksual.
Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12
minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan
seksual yaitu pada umur 14 – 20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut,
terjadi pembentukan jaringan ikat lebih intensif, deretan epitel menjadi berlipat-
lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid di dalam
folikel limfoid digantikan oleh kista (Riddel 1987).
Riddel kembali mengungkapkan struktur bursa Fabricius adalah
permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika) besar dan kecil.
Lipatan yang besar mencapai keseluruhan dari panjang lumen bursa sedangkan
lipatan yang kecil tidak mencapai lumen. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel
bursa dan di bawahnya terdapat matriks jaringan ikat, dari lipatan bursa melalui
lumen untuk tiap folikel yang disebut lumen bursa. Jumlah total lipatan mukosa
pada bursa yang matang atau dewasa sekitar 10-15 plika (Cross 1987).
Menurut Tizard (1987) bursa adalah organ limfoid primer yang fungsinya
sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari pembentuk antibodi.
Karena itu sel ini disebut sel B. Di samping itu, bursa juga berfungsi sebagai
organ limfoid sekunder yaitu, dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi.
Bursa juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang
salurannya.
Gambaran histopatologi pada bursa Fabricius diantaranya atropi.
Akumulasi stres yang tidak spesifik, seperti malnutrisi, manajeman kandang yang
buruk, dan infeksi dapat menginduksi atropi prematur dan imunosupresi pada
bursa Fabricius. Infeksi virus pada unggas dapat menyebabkan regresi bursa,
nekrosis folikel limfoid sampai limfositolisis. Badan inklusi virus baik
intranukleus maupun intrasitoplasma dapat ditemukan dalam makrofag dan
limfosit. Infeksi bakteri jarang menyerang bursa Fabricius. Namun jika terinfeksi,
organ akan membesar dan tidak beraturan serta terdapat abses yang dikelilingi
oleh makrofag dan sel raksasa. Infeksi jamur jarang ditemukan. Peradangan
gabungan heterofil, limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel raksasa dapat
ditemukan pada infeksi jamur. Sedangkan infeksi protozoa akan menyebabkan
bursa Fabricius edema. Paparan toxin dapat menyebabkan deplesi limfositik dan
limfositolisis. Malnutrisi dan kekurangan vitamin A menyebabkan atropi bursa.
Neoplasma atau limfosarkoma pada unggas diinduksi oleh retrovirus (Schmidt
2003).
Gambar 2 Bursa Fabricius: (1) lumen, (2) pseudostratified columnar epitelial, (3) folikel, dan
(4) muskularis (sumber: Nassar 2008).
2.3.2 Timus
Timus adalah organ yang sangat penting pada hewan muda.
Perkembangannya dimulai dari saat sebelum pubertas sampai dewasa. Ukuran
timus akan semakin mengecil seiring dengan pertambahan umur hewan. Pada
permukaan timus dapat ditemukan lapisan lemak, elemen fibrosa dan jaringan
timus. Timus terbentuk dari kantung faringeal ketiga (Dyce et al. 2002). Menurut
Hammond (2005) Pembentukan timus pada masa embrional diinduksi oleh
kantong endodermal. Secara anatomis, timus ayam terletak pada sisi kanan dan
kiri saluran pernafasan (trakhea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan,
bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Tiap
lobus dihubungkan oleh jaringan ikat dan membentuk suatu untaian yang berada
dekat dengan vena jugularis (Getty 1975).
Tizard (1987) mengungkapkan bahwa timus tediri dari kortex dan medula.
Korteks terdiri dari limfosit dan epitel retikulum. Limfosit T (thymocytes) yang
telah meninggalkan sumsum tulang di bagian organ imunitas yang kompeten telah
bermigrasi dan menempati korteks. Pada titik ini, limfosit T telah terbagi menjadi
sel imun yang jauh lebih kompeten. Pada beberapa bagian lobus akan tampak
kegelapan akibat populasi dari sel-sel ini. Sedangkan di dalam medula terdapat
benda bulat yang dikenal sebagai badan timus (korpuskulus Hassal) yang
fungsinya tidak diketahui. Benda ini mengandung keratin dan mungkin sebagai
petunjuk adanya kegagalan keratinisasi oleh sel epitelial. Penyediaan darah ke
timus berasal dari arteri yang masuk melalui jaringan ikat pembatas dan menjulur
sebagai arteriol sepanjang pertemuan pertemuan kortiko-medula. Kapiler yang
terjadi dari arteriol ini memasuki korteks dan melingkar kembali ke medula.
Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal
mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi
ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks,
pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada
hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel
epitel retikuler membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman 1989).
Histopatologi yang sering terdapat pada timus unggas, diantaranya sistik,
atropi, dan neoplasia. Sistik pada timus unggas jarang ditemukan sebagai lesi
insidentil. Etiologi sistik tidak diketahui, namun sistik dapat terbentuk dari dilatasi
saluran timofaringeal persisten. Pada sistik dapat teramati sel-sel epitel squamosa
yang berlapis-lapis sehingga menjadi tebal dan material-material menyerupai
koloid. Atropi dicirikan dengan hilangnya populasi limfosit dan hilangnya batas
perbedaan antara medula dan korteks. Avian Influenza, virus Marek, serta
beberapa virus penyebab IBD (Infectious Bursal Disease) dapat menimbulkan lesi
yang serupa pada unggas. Stres akibat nutrisi dan paparan hormon kortison juga
dapat menyebabkan atropi. Neoplasia pada timus dapat tumbuh dari sel-sel epitel
atau limfosit. Tumor epitelial dapat diklasifikasikan sebagai thymoma sedangkan
tumor limfosit diklasifikasikan sebagai lymphosarkoma. Massa tumor dapat
terbentuk di semua bagian subkutis leher mulai dari mandibula sampai pangkal
dada. Massa dapat berupa sistik dan hemoragi (Schmidt et al. 2003).
Gambar 3 Organ timus terdiri medula dan korteks yang dibungkus oleh kapsula. Setiap
lobus timus dihubungkan oleh trabekula (sumber: Bellham 2011).
2.3.3 Limpa
Limpa bangsa burung berbentuk bulat, berstruktur merah kecoklatan yang
berada di lambung bagian kanan. Perbedaan dengan limpa mamalia adalah dari
struktur anatomi dan fungsinya. Limpa pada ayam memiliki kapsul jaringan ikat
yang tebal dan kerangka yang tersusun atas sel retikular. Pulpa merah dan pulpa
putih melapisi bagian limpa dengan jumlah yang sama. Pulpa mengisi 80-90%
bagian limpa dan sisanya merupakan jaringan penghubung. Pulpa putih membaur
dan tidak tampak jelas batas-batasnya. Pulpa putih terdiri dari sel limfoid yang
berakumulasi di ujung cabang arteri limpa. Pulpa merah termasuk sinus venosus
dan jaringan spons terdiri dari limfosit, sel retikular, makrofag, sel plasma, dan sel
darah merah. Perbedaan pulpa merah dan pulpa putih pada ayam kurang jelas jika
dibandingkan dengan mamalia. Fungsi dari limpa pada unggas adalah (a)
memfagositosis sel darah merah oleh makrofag di pulpa merah, (b) limfositpoiesis
di pulpa putih, dan (c) menyerap antigen serta memproduksi antibodi oleh sel
limfoid di pulpa merah dan putih. Hal ini dapat dikatakan limpa sebagai gudang
penyimpanan darah (Herenda 1996).
Davison et al. (2008) menyatakan setelah proses haematopoiesis selesai
maka pulpa merah akan berubah fungsi menjadi penyaring sel-sel eritrosit yang
mengalami penuaan. Pengamatan imunohistokimia menunjukkan matriks
ekstraseluler limpa sangat kompleks, dengan setiap bagian memiliki bagian
spesifik yang berkontribusi dalam proses adhesi dan migrasi sel-sel leukosit. Sel
limfoid dan sel non-limfoid dapat dikenali oleh pulpa merah. Terdapat banyak
makrofag pada pulpa merah. Sedangkan sel-sel non-limfoid seperti heterofil
tersebar di sinus pulpa merah. Sturkie (2000) berpendapat pulpa putih terdiri atas
3 daerah, yaitu PALS (periarteoral lymphatic sheath), pusat germinal, dan daerah
periellipsoid white pulp (PWP). Arteri pusat yang masuk ke PWP menjadi
penicilliform capillary (PC). Daerah PC dikelilingi capillary sleeve (CS). CS
disulam oleh ellipsoid-associated cell (EAC) yang mengikat beragam substansi
yang memasuki CS melalui stomata oleh sel endothelial dari daerah PC. Pada
unggas daerah limpa terdiri dari CS yang diselaputi EAC beserta sel B dan
makrofag.
Limpa memiliki reaksi dengan antigen. Antigen yang masuk secara
intravena akan dijerat paling tidak sebagian, di dalam limpa yang diambil oleh
makrofag baik yang terdapat di zona pembatas maupun yang membatasi sinusoid
pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih,
setelah itu sel penghasil antibodi akan bermigrasi. Sel penghasil antibodi ini
menempati zona pembatas dan pulpa merah, dan di daerah inilah produksi
antibodi ini pertama kali ditemukan. Pembentukan pusat germinal juga terjadi
dalam folikel primer dalam beberapa hari, walaupun hal ini tidak langsung
berkaitan dengan produksi antibodi. Pada hewan yang sudah memiliki antibodi
yang bersirkulasi, penjeratan antigen oleh sel dendrit dalam folikel sekunder
menjadi penting. Seperti halnya pada tanggap kebal primer, sel penghasil antibodi
berpindah dari folikel ini menuju ke pulpa merah dan zona pembatas, tempat
sebagian besar produksi antibodi berlangsung, walaupun sebagian antibodi bisa
juga diproduksi di dalam folikel sekunder yang hiperplastik (Tizard 1987).
Atropi dan pembesaran limpa sulit untuk dibedakan dengan ukuran normal
organ. Atropi dapat disebabkan oleh beberapapa mekanisme seperti
hemosiderosis, usia yang sudah tua, kelainan sekresi, dan kelanjutan dari kongesti.
Kongesti pada limpa merupakan hal yang umum dan dapat terlihat adanya
akumulasi darah yang berwarna gelap saat diinsisi. Penyebab yang paling sering
adalah akibat ethanasia dengan barbituat. Kongesti juga dapat ditemukan pada
anemia hemolitik dengan eritrosit yang mengalami retensi dalam pulpa merah.
Pembesaran limpa dengan berbagai alasan cenderung berakibat thrombosis dan
infark. Adanya diskret pada nodul yang muncul saat permukaan limpa diinsisi
merupakan indikasi dari hiperplasia limfoid benign nodular (Carlton dan
McGavin 1995).
Menurut Schimidt et al. (2003) penyakit viral yang sering menyerang
organ limpa unggas adalah Avian Polyomavirus, Herpesvirus, dan Avipoxvirus.
Akibat agen ini, limpa unggas mengalami pembesaran atau splenomegali. Ayam
merupakan reservoir terbesar Salmonella khususnya Salmonella thypimurium
yang menyebabkan splenomegali dan infiltrasi limfosit, makrofag, dan heterofil.
Penyakit degeneratif yang biasa menyerang limpa adalah amiloidosis. Hal ini
disebabkan substansi protein yang bersifat patologis dan menjadi deposit di
jaringan serta organ. Umumnya limpa akan tampak pucat dan padat jika diinsisi.
Sedangkan karsinoma metastatik jarang ditemukan pada organ ini.
Gambar 4 Limpa ayam: (1) kapsula, (2) pulpa merah, (3) pulpa putih, (4) arteri, dan (5)
nodul limfatik (sumber: Nassar 2008).
2.4 Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan bagian dari hormon steroid yang diproduksi di
korteks adrenal. Kortikosteroid memiliki peran yang luas dalam sistem fisiologis
seperti respon stres, respon imun, dan regulasi dalam proses inflamasi,
metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, pengaturan level elektrolit darah
dan tingkah laku. Glukokortikoid dan mineralkortikoid merupakan jenis dari
kortikosteroid. Glukokortikoid contohnya kortisol berfungsi untuk mengatur
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu, kortisol juga berperan
sebagai anti inflamasi dengan mencegah pelepasan phospholipid, mengurangi
kerja eosinofil dan beberapa mekanisme lainnya. Sedangkan mineralkortikoid
contohnya aldosteron yang mengatur kadar air dengan menaikkan sodium di
ginjal (Kansky et al. 2000).
Kansky juga mengungkapkan struktur dasar kortikosteroid terdiri dari 21
cincin atom-karbon sterol. Aktivitas dari kortikosteroid meningkat dengan adanya
ikatan tak jenuh antara dua atom karbon pertama. Kortikosteroid yang pertama
kali dibuat untuk kepentingan klinis tidak mengandung halogen. Halogenisasi dari
struktur dasar steroid posisi 9 alpha tidak hanya dapat meningkatkan aktivitas tapi
juga meningkatkan efek samping.
Menurut Suherman (1987) kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan yang responsif
melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor-
steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju
nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA
dan sisntesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara
efek fisiologis steroid.
Gambar 5 Konfigurasi dasar kortikosteroid (sumber: Kansky 2000)
Prednisone merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki kekuatan 4
kali lebih poten dibandingkan glukokortikoid alami yang diproduksi dalam tubuh.
Tubuh yang terpapar stres akan menstimuli hipotalamus untuk memproduksi CRH
(Corticotropin Realeasing Hormon). CRH akan memberi sinyal kepada pituitari
anterior untuk memproduksi ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal
untuk menseksresikan hormon glukokortikoid. Glukokortikoid dalam tubuh
diantaranya akan mempengaruhi organ hati, otot, lemak dan limfosit (Bowen
2006).
Glukokortikoid menyebabkan deplesi limfosit melalui mekanisme
apoptosis (programme cell death). Prinsip dari mekanisme ini adalah reseptor
glukokortikoid yang terdapat pada sitoplasma sel akan aktif saat menempel
dengan ligan. Saat berikatan, dalam sel akan terjadi peristiwa beruntun yang
melibatkan beberapa senyawa protein yang akhirnya akan menyebabkan sel
mengalami apoptosis. Peristiwa ini disebut cascade. Reseptor yang berikatan
dengan ligan akan menempuh 2 jalan, yakni genomik dan non-genomik. Genomik
terjadi saat ikatan reseptor-ligan merangsang gen dalam sel untuk memproduksi
senyawa pro-apoptosis yang kemudian akan bereaksi dalam membran
mitokondria. Sitokrom akan keluar dari mitokondria dan mengaktivasi enzim
caspase yang akan menginduksi apoptosis. Sedangkan jalur non-genomik terjadi
tanpa ada rangsangan perubahan gen. Namun pada mekanisme ini diketahui
terdapat protein Bcl-2 dan Bcl-xL yang merupakan senyawa anti-apoptosis yang
dalam keadaan tertentu akan menghambat kerja protein pro-apoptosis
(Schlossmaker et al. 2011).
Gambar 6 Mekanisme apoptosis akibat glukokortikoid (sumber: Schlossmaker et al.2011)
2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya
Kortikosteroid merupakan derivat dari kolesterol, termasuk Prednisone,
Prednisolone, dan Methylprednisolone. Agen inflamasi poten ini menimbulkan
efek yang bervariasi yaitu mereduksi jumlah dan aktivitas dari sel-sel sistem
imun. Senyawa kortikosteroid digunakan untuk terapi anti-inflamasi (Kuby 1992).
Suherman (1987) berpendapat bahwa penggunaan klinik kortikosteroid
sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit
tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang
menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering
disebut life saving drug, tetapi juga kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi
yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar
evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang
terjadi masking effect, dari luar penyakit nampak sudah sembuh tetapi infeksi di
dalam dapat terus menjalar.
Salah satu indikasi klinis utama dari kortikosteroid adalah efek anti
inflamasinya. Kortikosteroid memiliki kemampuan untuk memblok enzim
phospolipase, yang menimbulkan reaksi pembentukan prostaglandin, mediator
utama dari respon imun. Kortikosteroid juga menjaga sel dari trauma inflamasi
dengan beberapa mekanisme, diantaranya menstabilkan membran sel untuk
mencegah perombakan, menstabilkan membran lisosom sehingga tidak
melepaskan enzim rasa sakit, menghentikan sintesis histamin, menghambat
sintesis interleukin, dan mengurangi proses eksudasi (Wanamaker dan Massey
2004).
Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid, antara lain atropi kulit,
eritema persisten, teleangiektasia, papula, dan pustula, steroid acne, gluteal
granuloma, hipertrichosis, perubahan pigmentasi, dan alergi. Sedangkan efek
samping sistemiknya adalah ketidakseimbangan elektrolit, diabetes steroid,
peningkatan katabolisme protein, hipertensi arteri, dan osteoporosis (Kansky
2000).
Terapi kortikosteroid menyebabkan menurunnya jumlah limfosit sebagai
induksi dari lisisnya limfosit (lympholisis). Seperti hormon steroid lainnya,
kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat menembus membran plasma dan
berikatan pada reseptor dalam sitosol. Kortikosteroid juga dapat mereduksi
kemampuan makrofag dan netrofil untuk memfagositosis benda asing. Efek inilah
yang memberikan kontribusi dalam aksi anti-inflamasi kortikosteroid. Selain itu,
kortikosteroid juga mereduksi kemotaksis, hal inilah yang membuat beberapa sel
inflamasi tertarik oleh aktivasi sel TH. Ekspresi dari molekul MHC II dan IL-1
yang diproduksi oleh makrofag otomatis juga akan tereduksi. Akhirnya
kortikosteroid juga akan menstabilisasi membran lisosom dari leukosit, sehingga
terjadi penurunan level dari enzim lisosom dilepaskan pada situs inflamasi (Kuby
1992).
Forbes dan Altman (1998) berpendapat bahwa pada unggas kortikosteroid
dapat menjadi terapi untuk lesio polifolikuler. Lesi ini mengakibatkan pruritus.
Pemberian kortikosteroid atau NSAID, agen inflamasi dapat menghilangkan
pruritus. Sedangkan Tully (2000) berpendapat pemberian obat topikal pada
unggas harus diwaspadai dan tidak boleh terlalu banyak pemberiannya. Obat ini
dapat melekat di bulu dan akan termakan oleh unggas saat unggas melicinkan
bulunya dengan paruh sehingga berdampak toksisitas. Kortikosteroid topikal perlu
diwaspadai penggunaannya. Banyak dilaporkan terjadi kematian setelah
penggunaan kortikosteroid.
Prednisolone, salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk
penyakit rematik. Dosis rendah Prednisolone dapat menyebabkan kerusakan
persendian. Efek paling serius paparan kortikostreoid adalah penekanan pitutari-
adrenal. Kelenjar adrenal akan mengalami atropi lalu kehilangan kemampuan
untuk memproduksi kortikosteroid alami. Tubuh tidak akan dapat bertahan
menghadapi stres sehingga tubuh akan selalu berada di bawah cekaman. Anti-
inflamasi kortikosteroid menurunkan fungsi imun. Respon infeksi akan meningkat
seiring dengan berkurangnya jumlah limfosit. Berbagai infeksi seperti
tuberkulosis akan mudah menyebar bahkan sebelum terdiagnosa (Thorp 2008).
2.4.2 Residu Hormon Steroid pada Manusia
Agen anabolik digunakan pada ternak untuk meningkatkan pertumbuhan.
Terdapat dua macam steroid, yaitu steroid yang terdapat dan disintesis dalam
tubuh (steroid endogenus) dan steroid yang berasal dari luar tubuh (steroid
eksogenus). Steroid eksogenus mengandung ester dari steroid endogenus,
contohnya estradiol benzoat dan testosteron propionat. Senyawa-senyawa ini akan
masuk ke tubuh manusia melalui makanan. Steroid yang terkonsumsi manusia
memiliki kecenderungan akan menganggu produksi endokrin. Mengkonsumsi
daging yang terpapar senyawa ini meningkatkan level hormon dalam tubuh
manusia. Akumulasi steroid eksogenus dalam tubuh akan berselisih dengan
steroid endogenus dalam 3 cara. Pertama, aktivitas biologis steroid eksogenus
akan lebih kuat dibanding steroid endogenus. Kedua, steroid eksogenus
dimetabolis secara berbeda, dan ketiga, steroid eksogenus akan memberikan efek
berbeda dibanding steroid endogenus (Zeliger 2011).
Hormon steroid diberikan pada ayam dengan tujuan mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Selain itu hormon ini juga dapat
meningkatkan massa otot ayam sebelum disembelih. Hal ini membantu peternak
untuk meningkatkan keuntungan dan mempercepat panen ayam broiler tanpa
mengeluarkan banyak biaya. Namun kandungan hormon steroid tersebut masih
terdapat pada daging ayam bahkan setelah proses pemasakan, artinya saat
mengkonsumsi, manusia akan terpapar oleh hormon ini dan menimbulkan efek
negatif pada tubuh konsumen (Ankeny 2011).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2009
tentang peternakan dan kesehatan hewan Pasal 58 ayat 1 menyebutkan bahwa
dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan
pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi
produk hewan.
Akumulasi senyawa steroid dalam daging berpotensi menimbulkan efek
yang buruk bagi manusia selaku konsumen. Efek yang ditimbulkan mencangkup
gangguan pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas, seperti imunotoksisitas,
genotoksisitas, dan karsinogenisitas (Addis et al. 1999). Menurut Gandhi dan
Snedeker (2003) beberapa steroid sintetis, contohnya diethylstilbestrol (DES),
ditemukan dapat meningkatkan resiko kanker vagina. Paparan hormon steroid
yang berkepanjangan juga dapat meningkatkan resiko kanker payudara. Hormon
steroid yang terdapat pada makanan dilaporkan menyebabkan pubertas yang lebih
cepat pada anak-anak perempuan. Sedangkan studi lain di Italia menunjukkan
bahwa residu hormon steroid pada daging sapi dan ayam dinilai dapat
menyebabkan pembesaran payudara baik pada anak perempuan maupun anak
laki-laki.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Fasilitas Kandang Percobaan FKH IPB,
Laboratorium Histopatologi, dan Laboratorium Photo, Bagian Patologi
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian berlangsung dari bulan September
2009 sampai dengan bulan Februari 2010.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. 30 ekor ayam broiler berumur 1 hari (DOC).
2. Bahan imunosupressan kortikosteroid yaitu Prednisone (3 mg/Kg BB)
(Jamin 2011).
3. Vaksin Newcastle Disease (ND) strain La-Sota dan vaksin Gumboro (IBD)
yang merupakan vaksin aktif
4. Vitamin, antibiotik, dan ransum dari produk komersil serta air yang
diberikan secara ad libitum
5. Kebutuhan sanitasi kandang, diantaranya air bersih isi ulang, deterjen,
insektisida, formalin 10%, dan enilconalone 15 % konsentrasi (150 g/L)
sebagai fungisida.
6. Sekam
7. Bahan nekropsi dan pembuatan preparat histopatologi, yaitu larutan buffer
netral formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%,
80%, 90%, alkohol 95%, dan alkohol absolut), larutan penjernih (xylol),
parafin granul histoplast dengan titik leleh 56-57 0C, pewarna Meyer’s
Hematoksilin, Eosin dan lithium karbonat.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Alat pemeliharaan ayam seperti kandang, timbangan, dan syringe
2. Alat nekropsi seperti pisau, pinset, gunting, jarum pentul, dan pot plastik
3. Alat pembuatan preparat histopatologi Autotechnic Tissue Processor,
mikrotom, paraffin embedding console, tissue cassette, waterbath, pisau
mikrotom, gelas objek, gelas penutup, inkubator, spidol dan label.
4. Mikroskop cahaya untuk mengamati preparat histopatologi, digital eye
piece camera beserta seperangkat komputer untuk mengambil gambar
jaringan
5. Software Image J®
for Microsoft Windows®
untuk menghitung dan
mengukur jaringan.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Tahap Persiapan Kandang
Langkah-langkah persiapan kandang sebelum dimulai penelitian, adalah:
1. Kandang disemprot dengan menggunakan air bersih dan dibersihkan dari
limbah ternak sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali agar
kandang benar-benar bersih.
2. Kandang disemprot deterjen dan insektisida dengan komposisi 200 l air
ditambah insektisida 500 ml dan 1 kg deterjen.
3. Kandang disemprot formalin 10% dengan komposisi 180 l air ditambah 20 l
formalin teknis.
4. Pengapuran lantai dan dinding kandang selama 3-5 hari.
5. Sekam ditaburkan dengan ketebalan 7-12 cm kemudian disemprot fungisida
enilconalone 15% dengan konsentrasi 150g/L untuk mencegah
penyimpangan hasil penelitian akibat infeksi penyakit sebelum ayam
dimasukkan.
3.3.2 Pengelompokan Ayam Penelitian
Hari pertama dilakukan penimbangan DOC dan ditempatkan pada
kandang sesuai dengan pengelompokkannya. Hari ke-empat dilakukan vaksinasi
ND pada DOC melalui tetes mata. Aklimatisasi dilakukan 7 hari sebelum ayam
diberikan perlakuan. Ayam divaksin IBD pada hari ke-11 melalui tetes mata.
Vaksinasi ND kembali dilakukan pada hari ke-19 melalui cekokan. Ayam broiler
diberikan pakan komersil dan minum secara ad libitum yang diganti setiap pagi
dan sore hari.
Ayam broiler berjumlah 30 ekor dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan,
yaitu kelompok kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) yang diberikan
Prednisone 3 mg/kg BB secara per oral (Jamin 2011) setiap hari mulai dari umur
ayam 2 minggu. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor ayam. Mulai dari umur 1
minggu sampai 6 minggu, sebanyak 3 ekor dari masing-masing kelompok
dinekropsi setiap minggunya.
3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ
Mulai dari minggu kedua sampai minggu keenam sebanyak 3 ekor ayam
diambil dari kandang secara acak menurut kelompok per minggunya. Sebelum
dinekropsi, ayam dikorbankan dengan cara disembelih. Nekropsi dilakukan untuk
mengamati perubahan patologi (PA) dan mengambil organ untuk selanjutnya
diamati secara histopatologi (HP). Organ yang diambil adalah timus, limpa, dan
bursa Fabricius. Organ-organ tersebut dimasukkan ke dalam pot plastik yang
berisi larutan BNF 10% dan diberi label. Setelah organ terfiksasi sempurna di
dalam larutan BNF 10% selama 24 jam maka organ siap dijadikan preparat
histopatologi.
3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi
Organ timus, limpa, dan bursa Fabricius yang telah difiksasi dalam larutan
BNF 10% dipotong setebal 0.5 cm lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette
kemudian direndam kembali ke dalam larutan BNF 10%. Proses selanjutnya
adalah dehidrasi dengan cara merendam organ berturut-turut ke dalam alkohol
bertingkat 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II. Tahapan
selanjutnya adalah clearing atau penjernihan dengan xylol kemudian organ
direndam dalam paraffin I dan paraffin II. Proses tersebut berjalan secara otomatis
dalam alat Sakura® tissue processor.
Tahap selanjutnya adalah meletakkan organ dalam alat pencetak blok
paraffin kemudian diisi sedikit paraffin dengan bantuan paraffin embedding
console. Letak organ diusahakan tepat berada di tengah blok paraffin. Paraffin
yang sudah mulai mengeras kembali ditambahkan paraffin cair hingga penuh dan
dibiarkan sampai beku kemudian dilepaskan dari cetakan. Selanjutnya dilakukan
pemotongan jaringan (sectioning) setebal 5µm dengan menggunakan mikrotom.
Hasil potongan berupa pita (ribbon) kemudian diletakkan di atas permukaan air
pada waterbath dengan suhu 45°C agar lipatan paraffin hilang. Sediaan diangkat
dengan menggunakan object glass yang telah diberikan albumin agar organ
merekat sempurna. Sediaan diletakkan dalam inkubator bersuhu 60°C selama satu
malam.
Sediaan yang sudah berada dalam inkubator selama semalam selanjutnya
dideparafinisasi dalam xylol sebanyak dua kali. Proses selanjutnya adalah
rehidrasi dengan merendam sediaan dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol
absolut sampai dengan alkohol 80% yang lamanya masing-masing 2 menit.
Selanjutnya sediaan dibilas dengan air bersih lalu dikeringkan. Setelah kering
maka sediaan siap memasuki proses pewarnaan. Sediaan organ timus, limpa dan
bursa Fabricius dilakukan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).
Pewarnaan HE dimulai dengan merendam sediaan dalam Mayer’s
Haematoxylin selama delapan menit, sediaan dibersihkan dengan air mengalir
selama 30 detik. Sediaan direndam dalam lithium karbonat selama 15-30 detik,
dibersihkan kembali dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dalam larutan
Eosin selama 2 menit lalu dibersihkan dengan air mengalir hingga akhirnya
dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan
alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 kali, direndam dalam alkohol
absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit.
Sediaan ditutup dengan cover glass yang sudah diberikan perekat permount.
Preparat didiamkan sampai perekat mengering.
3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi
Pengamatan perubahan histopatologi atau respon organ limfoid dilakukan
dengan cara:
1. Pengamatan mikroskopis untuk mengamati jumlah limfosit, jumlah folikel
limfoid bursa Fabricius dan limpa, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius,
serta luas timus terhadap pengaruh bahan imunosupresan kortikosteroid,
yaitu Prednisone 3 mg/Kg BB dan korelasinya dengan pertambahan umur
ayam.
2. Pembuatan foto mikrograf digital eye piece camera terhadap perubahan
histopatologi pada organ limfoid. Pengamatan pada foto dilakukan dengan
luas 2909.09 x 2327.27 µm2.
3. Pengamatan dilakukan dengan menyesuaikan pembesaran okuler dan
objektif. Hal ini dilakukan dengan cara seperti yang tercantum pada tabel 2
dibawah ini.
4. Perhitungan jumlah sel dan pengukuran organ dilakukan dengan
menggunakan software Image J®
for Microsoft Windows®
.
Tabel 1 Parameter Penelitian
No Organ Pembesaran Objektif Objek Pengamatan
1 Timus 4x Luas Korteks
Luas Medula
40x
Luas Total Timus
Jumlah Limfosit
2 Bursa Fabricius 4x Panjang Plika Bursa
Lebar Plika Bursa
10x Jumlah Folikel Limfoid
40x Jumlah Limfosit
3 Limpa 10x
40x
Jumlah Pulpa Putih
Jumlah Limfosit
3.3.6 Pengolahan Data
Hasil data berupa jumlah limfosit bursa Fabricius, timus dan limpa, jumlah
folikel limfoid limpa dan bursa Fabricius, panjang dan lebar plika bursa Fabricius,
serta luas timus dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji T-student
untuk melihat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok
perlakuan kortikosteroid.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius
sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan
MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue) termasuk dalam organ limfoid
sekunder. Limfosit B mengalami pematangan di bursa Fabricius sedangkan
limfosit T mengalami pendewasaan di timus. Limfosit dihasikan oleh organ
limfoid primer segera memasuki peredaran darah lalu dikirim ke organ limfoid
sekunder. Pada organ limfoid sekunder ini limfosit dijaga tetap hidup dan siap
beradaptasi saat antigen datang (Elgert 2009).
Beberapa faktor diyakini dapat menghambat dan menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Saat sistem ini turun maka tubuh akan mudah terserang
penyakit. Salah satunya adalah stres. Menurut Shini (2010) stres (sering
digunakan untuk menyebut stresor atau respon stres) merupakan suatu kondisi
tubuh dalam merespon infeksi akut maupun kronis. Stresor adalah faktor yang
menimbulkan respon tersebut. Respon stres adalah mekanisme yang kompleks,
dan mekanisme ini mempengaruhi perilaku, psikologis, metabolisme, dan reaksi
imunologis tubuh demi beradaptasi dan bertahan pada lingkungan. Stresor yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kortikosteroid. Ayam broiler diberikan
kortikosteroid untuk mengetahui status respon imun selama pertumbuhan.
4.1 Perubahan Histopatologi pada Bursa Fabricius Akibat Pemberian
Kortikosteroid
Ukuran bursa Fabricius dapat dijadikan sebagai indikator umur hewan.
Bursa berukuran besar menandakan umur hewan masih muda sedangkan bursa
yang mengalami atropi menandakan hewan sudah dewasa. Pembentukan bursa
Fabricius dipengaruhi oleh hormon seks steroid yang dihasilkan oleh gonad
(Broughton 2003). Pengaruh kortikosteroid terhadap bursa Fabricius tidak dapat
dibedakan antara kelompok kontrol dengan perlakuan secara patologi anatomi,
sehingga dilakukan pengamatan secara histopatologi. Pengamatan histopatologi
pada bursa Fabricius meliputi ukuran plika, jumlah folikel limfoid, dan limfosit.
Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan tinggi dan lebar plika bursa
Fabricius dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius (µm) antara kelompok
kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27
µm2).
Umur
Ayam
(minggu)
Tinggi Plika (µm) Lebar Plika (µm)
CC0 CC2 CC0 CC2
2 3025.87±1153.00a
2981.33±1074.40a
2214.40±332.89a
1376.20±321.90b
3 3235.74±630.36a
2238.11±339.51b 1680.00±272.55
a 1216.00±292.42
b
4 2961.81±958.61a
3623.33± 674.90a
1754.20±332.37a
1542.60±486.80a
5 3691.77±1276.00a
2961.44±705.56a
3691.77±1276.04a
1334.20±433.20b
6 2347.05±1476.00a
2788.78±990.14a
1528.50± 395.02a
1295.20± 295.00a
Keterangan: huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P<0.05).
Hail uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05)
antara tinggi plika kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan setelah
diberikan kortikosteroid selama 3 minggu. Sedangkan penghitungan lebar plika
terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan pada umur 2, 3, dan 5 minggu. Kortikosteroid dapat menekan
perkembangan bursa Fabricius, sehingga plika memendek. Plika bursa Fabricius
pada kelompok yang diberikan kortikosteroid (CC2) dari umur 2, 3, 4, 5, dan 6
minggu memiliki lebar yang lebih kecil daripada kelompok kontrol (CC0). Pada
kelompok perlakuan (CC2) tampak lebar plika cenderung mengecil sejalan
dengan waktu pemberian kortikosteroid. Namun tinggi plika kelompok perlakuan
(CC2) pada umur 4 minggu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (CC0)
yang menunjukkan terdapat respon yang variatif. Variasi respon pada tinggi dan
lebar plika dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ayam sehingga ayam tidak 100% seragam. Menurut Pastoret et al.
(1998), faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ukuran bursa Fabricius
diantaranya genetik, agen infeksius, nutrisi, lingkungan, dan reseptor hormon.
Bahan aktif dari Prednisone, yaitu steroid dapat mempengaruhi
perkembangan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius. Berdasarkan hasil
penelitian, steroid dapat menyebabkan imunosupresi yang ditunjukkan dengan
mengecilnya ukuran plika bursa Fabricius kecuali pada kelompok ayam umur 5
minggu. Kelompok ayam umur 5 minggu yang diberikan kortikosteroid memiliki
plika yang lebih pendek daripada kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan
faktor bobot badan yang tidak sama antar kelompok. Semakin besar bobot badan
ayam maka semakin besar pula ukuran bursa Fabriciusnya. Selain itu faktor umur
dapat mempengaruhi perkembangan bursa Fabricius. Bursa Fabricius pada ayam
yang berumur 3 minggu mengalami perkembangan yang pesat, umur 4-8 bursa
Fabricius dalam kondisi statis, dan umur ayam di atas 8 minggu
perkembangannya menurun. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak mempengaruhi
tinggi plika bursa Fabricius. Penelitian yang dilakukan Glick pada tahun 1957
dalam Taylor dan McCorkle (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara perkembangan bursa dengan level hormon. Pemberian baik kortikosteroid
maupun hormon androgen dapat menyebabkan regresi bursa Fabricius.
Parameter lain yang diamati adalah penghitungan jumlah folikel limfoid
besar dan limfoid kecil bursa Fabricius. Withers et al. (2006) menyatakan terdapat
dua macam folikel yang terbentuk, yakni folikel besar dan kolikel kecil setelah
terjadi infeksi IBDV (Infectious Bursal Disease Virus) pada ayam muda. Folikel
kecil memiliki batas korteks dan medula yang belum jelas sedangkan folikel besar
berperan aktif dalam proliferasi limfosit B. Hasil uji satistik T-student terhadap
jumlah folikel limfoid dapat dilihat pada Tabel 3 dan jumlah folikel keseluruhan
pada bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3 Perbandingan jumlah folikel limfoid besar dan kecil bursa Fabricius
kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam satu plika).
Umur
(minggu)
Jumlah Folikel Besar Jumlah Folikel Kecil
CC0 CC2 CC0 CC2
2 9.87±6.81a 11.67±5.52
a 11.67±6.67
a 18.70±10.37
b
3 11.70±3.97a 11.30±4.15
a 7.67±2.61
a 11.33±4.70
b
4 11.00±4.5a 9.53±3.31
a 12.00±4.29
a 19.10±7.87
b
5 9.40±5.45a 7.80±2.18
b 12.80±6.99
a 19.73±15.74
a
6 8.20±5.29a 9.00±2.73
b 14.73±8.71
a 12.73±7.38
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada
jumlah folikel limfoid besar kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada
umur 5 dan 6 minggu. Kelompok ayam umur 2 dan 6 minggu memiliki jumlah
folikel limfoid besar yang lebih banyak daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Graczyk (2003) bahwa imunisasi pada ayam
yang disertai pemberian hormon steroid mengakibatkan peningkatan berat bursa
Fabricius sebesar 50%. Hormon steroid dan imunisasi tersebut dapat merangsang
pembentukan folikel limfoid sekunder (folikel besar). Kelompok kontrol ayam
umur 5 dan 6 minggu menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kelompok
perlakuan. Namun jumlah folikel limfoid besar pada kelompok ayam umur
tersebut lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa
kortikosteroid tidak memberikan pengaruh pada ayam umur 5 dan 6 minggu.
Penghitungan jumlah folikel limfoid besar menunjukkan hasil yang
berbeda dengan jumlah folikel limfoid kecil. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) jumlah folikel limfoid kecil pada ayam
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan umur 2, 3, dan 4 minggu.
Sedangkan ayam umur 5 dan 6 minggu tidak memiliki perbedaan nyata antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuannya. Ayam umur 2, 3, dan 4
minggu kelompok perlakuan memiliki folikel limfoid kecil lebih banyak daripada
kelompok perlakuan. Perkembangan folikel limfoid bursa Fabricius dimulai pada
saat embrio memasuki umur 10 hari. Prekursor limfosit memasuki jaringan epitel
lalu menembus membran yang kemudian akan berploriferasi di medula lalu
memasuki korteks. Kumpulan prekursor limfosit tersebut membentuk folikel
limfoid primer (kecil). Folikel limfoid ini akan terus tumbuh dan berkembang
sampai ayam mencapai pertumbuhan optimum pada umur 7-13 minggu, yakni
saat ayam mencapai dewasa kelamin (Klein dan Horejsi 1997). Jumlah folikel
limfoid kecil kelompok kontrol yang lebih besar daripada kelompok perlakuan
dapat mengindikasikan bahwa kortikosteroid tidak mempengaruhi jumlah folikel
limfoid kecil pada ayam umur 2, 3, dan 4 minggu. Hal ini disebabkan
pertumbuhan folikel limfoid saat umur tersebut dalam kondisi optimum.
Folikel primer (kecil) akan terus berkembang menjadi folikel limfoid
sekunder (besar) untuk respon imun humoral. Status respon imun humoral dapat
diketahui melalui penghitungan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa
Fabricius. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa
Fabricius dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok kontrol tidak berbeda nyata
dengan kelompok perlakuan (P>0.05) tetapi jumlah folikel keseluruhan kelompok
perlakuan cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol.
Pemberian imunisasi (vaksin IBDV) saat umur ayam 11 hari menyebabkan
timbulnya respon imun dari folikel limfoid primer yang semakin aktif untuk
berubah menjadi folikel sekunder. Selain itu karena adanya pengaruh
kortikosteroid yang dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder
mengakibatkan jumlah folikel limfoid keseluruhan pada kelompok perlakuan
lebih banyak daripada kelompok kontrol. Pemberian kortikosteroid pada ayam
mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50% (Graczyk 2003).
Namun kelompok perlakuan (CC2) ayam umur 6 minggu jumlah folikel limfoid
keseluruhan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (CC0) karena
pada ayam umur ini secara alami perkembangannya mulai menurun (Taylor dan
McCorkle 2009).
Tabel 4 Perbandingan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius antara
kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan(CC2) (dalam satu plika).
Umur (minggu) CC0 CC2
2 21.50±12.66a 30.33±14.55
a
3 19.40±5.10a 22.60±6.35
a
4 23.00±80a 28.60±8.07
a
5 22.40±11.10a 27.50±14.53
a
6 22.93±12.82a 21.73±8.25
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Folikel limfoid primer ditemukan pada DOC namun folikel limfoid
sekunder baru dapat dilihat pada ayam berumur 7 hari. Jumlah minimal folikel
limfoid keseluruhan yang dapat ditemukan pada saat ayam baru menetas adalah
205±10.8 dan jumlah maksimal pada umur 17 minggu adalah 535±21.15
(Albogoghobeish 2003). Jumlah folikel limfoid keseluruhan pada bursa Fabricius
dalam penelitian baik kelompok kontrol (CC0) maupun perlakuan (CC2) umur 2,
3, 4, 5, dan 6 minggu berkisar 194−303 folikel. Jumlah ini masih normal dalam
perkembangan bursa Fabricius pada ayam umur 2. 3, 4, 5, dan 6 minggu.
Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian kortikosteroid
terhadap panjang dan lebar plika pada kelompok kontrol (A) tidak terlalu terlihat
perbedaannya dengan kelompok perlakuan (B) jika diamati pada pembesaran
objektif 4x. Perbedaan bursa Fabricius secara histopatologi baru dapat terlihat
pada pembesaran objektif 10x melalui penghitungan jumlah folikel limfoid
keseluruhan. Jumlah follikel limfoid keseluruhan kelompok perlakuan (D)
cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol (C). Plika bursa yang diamati
dengan perbesaran objektif 10x pada kelompok kontrol (C) menunjukkan jaringan
muskularis yang lebih padat dibandingkan plika bursa kelompok perlakuan (D).
Gambar histopatologi kelompok perlakuan (D) menunjukkan adanya edema atau
akumulasi cairan pada jaringan interlobulernya sehingga membuat kepadatan
jaringan intertisium bursa Fabricius berkurang.
Gambar 7 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 4x pada
kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE dilakukan pengukuran
panjang dan lebar plika (P). Perhitungan jumlah folikel limfoid (FL) pada
kontrol (C) dan perlakuan (D) dilakukan dengan perbesaran 10x. Edema (E)
tampak pada kelompok perlakuan.
Parameter lain yang dapat diamati dari organ bursa Fabricius adalah
jumlah limfosit. Limfosit B dihasilkan dan mengalami pematangan dalam folikel
limfoid bursa Fabricius. Limfosit B berproliferasi di bagian korteks folikel
limfoid. Limfosit B muda akan bermigrasi ke medula jika mendeteksi adanya
antigen. Adanya antigen akan memicu pembentukan, pendewasaan limfosit B, dan
P
FL FL
E
A B
C D
0.5 mm
P
produksi imunoglobulin (Williams 2011). Menurut Cheville (2006), edema
merupakan akumulasi cairan di jaringan intertisial. Edema disebabkan 2
mekanisme, yaitu meningkatnya tekanan hidrostatis dalam darah atau menurunnya
tekanan osmotik koloid dalam plasma darah. Edema biasanya ditemukan pada
peradangan yang disertai meningkatnya jumlah sel radang dan kerusakan jaringan.
Edema akibat proses homeostasis tubuh tidak disertai sel-sel radang dan
kerusakan jaringan. Glukokortikoid dalam tubuh menyebabkan ekstravasasi cairan
ke jaringan intertisial, sedangkan mineralkortikoid menyebabkan retensi cairan.
Akumulasi cairan atau edema dapat terjadi akibat kerja hormon tersebut. Hasil uji
statistik T-student terhadap perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius
kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0)
dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).
Umur
(minggu) CC0 CC2
2 1164.30±148.95a
1111.20±163.11a
3 1058.80±132.54a
729.80±112.33b
4 1125.40±187.05a 762.80±159.96
b
5 1403.90±213.56a
888.30±103.41b
6 1431.70±141.52a
903.10±178.25b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit bursa Fabricius
kelompok kontrol berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok perlakuan saat ayam
berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Saat ayam umur 2 minggu kelompok kontrol tidak
berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) namun kelompok kontrol
tetap memiliki jumlah limfosit yang lebih banyak daripada kelompok perlakuan
sama seperti ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Limfosit B sangat dibutuhkan
sebagai mekanisme pertahanan tubuh ayam usia muda karena ayam usia muda
sangat rentan terhadap agen penyakit. Rendahnya jumlah limfosit B
mengakibatkan antibodi tidak dapat diproduksi secara optimum. Steroid dapat
menghambat perkembangan dan pendewasaan limfosit B (Male et al. 2006).
Mekanisme penghambatan pembentukan dan fungsi limfosit B oleh
kortikosteroid yakni dengan cara menghambat tahap awal pematangan limfosit B.
steroid juga dapat menghambat perlekatan interleukin pada limfosit B. Hal ini
mengakibatkan limfosit B sulit menghasilkan antibodi (Roitt et al. 2001). Oleh
karena itu kelompok ayam yang diberi kortikosteroid memiliki jumlah limfosit
yang lebih sedikit daripada kelompok kontrol. Sekresi glukokortikoid akan
mengakibatkan kematian limfosit. Lesio histopatologi akibat kematian limfosit
tersebut akan berdampak pada bursa Fabricius. Bursa Fabricius akan mengalami
imunosupresi sehingga limfosit dan folikel limfoid mengalami deplesi. Selain itu,
efek stres dari glukokortikoid dapat menyebabkan atrofi organ limfoid. Kondisi
imunosupresi tersebut membuat unggas mudah terpapar bakteri dan meningkatkan
resiko kematian unggas (Hadipour et al. 2011). Gambaran histopatologi limfosit
kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 40x
pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan
adanya deplesi (D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid.
Gambar 7 menunjukkan kepadatan limfosit yang berbeda antara bursa
Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok perlakuan (CC2). Limfosit
bursa Fabricius kelompok kontrol (A) lebih padat daripada kelompok yang diberi
kortikosteroid (B). Kortikosteroid menyebabkan deplesi pada limfosit bursa
Fabricius. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan deplesi limfosit adalah
pemberian steroid, penyakit akut dan kronis akibat paparan virus, bakteri, jamur,
infeksi parasit, bahan-bahan kimia yang mengandung toksin, malnutrisi,
hipovitaminosis A, dan stres akibat manajemen kandang yang tidak baik (Doneley
2010).
A B
L
L
L
L
D
4.2 Perubahan Histopatologi pada Timus Akibat Pemberian Kortikosteroid
Pengamatan luas timus termasuk medula dan korteks dilakukan untuk
mengetahui efek imunosupresi dari kortikosteroid. Hasil uji statistik T-student
terhadap perbandingan luas medula dan korteks timus pada kelompok kontrol
(CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 6. Luas medula pada ayam
umur 2 minggu kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata dengan kelompok
perlakuan (P<0.05). Ayam kelompok kontrol memiliki medula yang lebih luas
daripada kelompok perlakuan. Namun pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu luas
medula kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan.
Secara umum medula kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan
koelompok kontrol kecuali pada ayam umur 2 minggu.
Tabel 6 Perbandingan luas medula dan korteks timus (µm2) kelompok kontrol
(CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).
Umur
(minggu)
Luas Medula (x1000µm2) Luas Korteks (x1000µm
2)
CC0 CC2 CC0 CC2
2 26700± 249.37a 189.79± 30.11
b 1199.36± 299.16
a 688.96± 257.66
a
3 283.62± 96.78a 545.86± 431.74
a 1108.93± 389.13
a 1559.99± 794.04
a
4 488.99± 203.34a 793.47± 626.86
a 1484.97± 482.34
a 1887.77± 223.00
a
5 390.2± 327.16a 722.26± 453.27
a 1383.83± 784.69
a 1725.03± 62.68
a
6 353.51± 295.78a 537.26± 231.48
a 1283.78± 754.31
a 1438.2± 485.09
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Menurut Dellman (2006), struktur medula hanya mengandung sedikit
limfosit dan didominasi limfosit kecil sehingga warnanya lebih terang
dibandingkan dengan korteks timus. Sedangkan korteks timus memiliki warna
lebih gelap karena berisi banyak limfosit dan proses pematangan limfosit T terjadi
di dalamnya.
Pemberian kortikosteroid dapat menghambat pembentukan dan fungsi
limfosit B. Limfosit B yang sedikit pada medula akan semakin sedikit jumlahnya
karena pengaruh kortikosteroid dan mengakibatkan pengecilan area medula. Oleh
karena itu pada kelompok ayam yang diberikan kortikosteroid khususnya umur 2
minggu medulanya lebih kecil daripada kontrol. Namun kortikosteroid tidak
berpengaruh pada kelompok ayam 3, 4, 5, dan 6 minggu. Medula kelompok
perlakuan lebih luas daripada kelompok kontrol.
Timus merupakan organ limfoid yang memiliki respon terbesar terhadap
fluktuasi hormon. Reduksi limfosit akibat steroid pada bagian medula timus dapat
menyebabkan sel-sel epitel menjadi tampak lebih jelas. Sel-sel epitel juga akan
mengalami pertambahan jumlah dan ukuran. Namun hiperplasia tersebut harus
dibedakan dengan neoplasia (Elmore 2006). Hal inilah yang menyebabkan ukuran
medula pada timus kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan timus
kelompok kontrol (CC0).
Penghitungan luas korteks antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Saat ayam umur 2 minggu, kelompok
kontrol memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok perlakuan. Namun
saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan memiliki korteks
yang lebih luas daripada kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemberian kortikosteroid berpengaruh pada ayam umur 2 minggu yang
menyebabkan korteks timus menjadi sempit namun tidak pada ayam umur 3, 4, 5,
dan 6 minggu. Korteks kelompok perlakuan (CC2) memiliki luas yang lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol (CC0) disebabkan respon korteks yang besar
terhadap hormon steroid. Elmore (2006) menyatakan reseptor hormon steroid
pada korteks timus lebih banyak dibandingkan medula.
Penyempitan korteks timus pada kelompok perlakuan (CC2) umur 2
minggu dapat berpengaruh terhadap jadwal vaksinasi yang diberikan pada hari ke-
11. Menurut Woodland dan Kohlmeier (2009), setelah timus merespon vaksin
maka antigen spesifik sel T memori akan didistribusi ke perifer. Sel-sel tersebut
akan menjadi pertahanan baris pertama terhadap infeksi sekunder patogen.
Timus merupakan organ limfoid primer yang berperan sebagai tempat
diferensiasi limfosit T. Setiap lobul timus memiliki bagian gelap yang disebut
korteks dan bagian terang disebut medula. Korteks memproduksi limfosit secara
kontinyu. Walaupun mengalami apoptosis dan difagositosis oleh makrofag,
banyak yang bermigrasi ke medula lalu memasuki aliran darah melalui dinding
pembuluh darah (Bloom dan Fawcett 2002). Hasil uji statistik T-student terhadap
perbandingan luas timus pada kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok
perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan luas timus (µm2) kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan
(CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).
Umur (minggu) Luas CC0 (µm2) Luas CC2 (µm
2)
2 1466.37± 529.53a 878.75± 273.28
a
3 1392.59± 483.25a 2105.86± 1225.31
a
4 1973.97± 656.58a 2681.24± 796.63
a
5 1774.04± 1095.59a 2447.29± 511.59
a
6 1637.30± 934.96a 1975.22± 714.51
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Luas timus antara kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Kelompok kontrol ayam umur 2
minggu memiliki timus yang lebih luas daripada kelompok perlakuan (CC2).
Namun pada umur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan (CC2) memiliki
timus yang lebih luas daripada kelompok kontrol (CC0). Perkembangan timus
secara umum pada unggas mencapai maksimum pada umur 16 minggu. Selama
masa embrionik sampai sebelum pubertas, timus akan tumbuh dan berkembang
dengan pesat (Schalm et al. 2000). Luas timus pada kelompok perlakuan (CC2)
lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol pada umur 2 minggu.
Timus merupakan organ limfoid yang paling peka terhadap steroid.
Steroid menyebabkan penekanan terhadap timus sehingga dapat terjadi
imunosupresi (Elmore 2006). Penekanan organ pada umur 2 minggu dapat
memberikan pengaruh buruk pada pemberian vaksin yang dilakukan pada hari ke-
11 (memasuki umur 2 mimggu). Menurut (Zimmerman 2012), jika vaksin
diberikan dalam kondisi hewan imunosupresi maka vaksin tidak akan mampu
menstimuli tubuh untuk memproduksi antibodi. Hasilnya adalah tubuh akan
rentan terhadap penyakit. Hal ini disebut kegagalan vaksin. Gambar histopatologi
timus ayam dapat dilihat pada Gambar 9.
Efek dari kortikosteroid pada timus dapat diamati dari jumlah dan
perkembangan limfosit. Anderson dan Jenkinson (2008) menyatakan bahwa pada
pertengahan tahun 1970an diketahui limfosit memiliki peran dalam respon imun.
Limfosit diketahui memiliki sifat dan fungsi imunitas yang diproduksi pada organ
yang berbeda-beda. Sel yang memiliki kemampuan memproduksi antibodi
diantaranya diproduksi pada bursa Fabricius pada bangsa burung, sedangkan
timus merupakan kunci kekebalan yang berguna untuk menghasilkan limfosit
dengan fungsi sitotoksik efektor.
Gambar 9 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 4x dengan
pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan luas
korteks (K) dan medula (M).
Menurut Lechner et al. (2001), perkembangan limfosit sangat dipengaruhi
oleh faktor antigen. Limfosit muda atau yang belum dewasa merupakan subjek
seleksi respon baik positif maupun negatif pada organ limfoid primer tergantung
derajat reaktivitas tubuh terhadap antigen. Limfosit T dipilih dalam timus
sedangkan sel B diproduksi oleh bursa Fabricius pada unggas. Glukokortikoid
diketahui dapat menginduksi apoptosis pada timosit dan limfosit B yang belum
dewasa. Jumlah limfosit pada organ timus dalam penelitian ini dihitung untuk
mengetahui efek supresan dari stresor kortikosteroid terhadap kepadatan organ
limfoid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit antara kelompok kontrol dan
kelompok yang diberi kortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan jumlah limfosit timus kelompok kontrol (CC0) dengan
perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).
Umur (minggu) CC0 CC2
2 3307.30±440.91a
2975.00±227.77b
3 3919.10±458.34a
2920.70±359.60b
4 3996.10±445.35a 2564.70±503.62
b
5 3914.20±105.05a
2547.00±278.76b
6 3765.40±247.27a
2429.30±378.04b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05)
A B
K
K
M
M
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada timus
kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata (P<0.05) dengan kelompok yang
diberi kortikosteroid. Jumlah limfosit timus yang diberi kortikosteroid (CC2) lebih
sedikit daripada kelompok kontrol (CC0). Timus merupakan salah satu organ
yang memiliki banyak reseptor glukokortikoid. Stres akibat induksi kortikosteroid
dapat menstimulasi kejadian apoptosis pada timosit ayam. Sel-sel timosit yang
masih muda lebih rentan terhadap induksi kortikosteroid daripada sel T yang
sudah dewasa. Populasi sel timik akan mengalami reduksi setelah 12 jam
diberikan kortikosteroid. Tidak hanya mengalami apoptosis namun kortikosteroid
juga dapat mereduksi aktivitas mitosis. Hewan muda lebih sensitif terhadap
paparan kortikosteroid (Franchini et al. 2004). Steroid dapat menghambat aktivasi
dan proliferasi limfosit T. Penghambatan ini mengakibatkan limfosit T menjadi
tidak responsif terhadap interleukin I sehingga sintesis interleukin II juga
terhambat (Roitt et al. 2001).
Gambar 10 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 40x pada kontrol
(A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya deplesi
(D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid.
Gambar 10 menunjukkan bahwa limfosit pada timus kelompok kontrol (A)
lebih banyak daripada kelompok yang diberi kortikosteroid (B). Limfosit yang
terpapar stres akibat kortikosteroid akan mengalami apoptosis sehingga folikel
limfoid timus akan mengalami deplesi. Kong et al. (2002) menyatakan hormon
steroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresi sehingga hormon ini
banyak digunakan untuk penyakit autoimun, alergi, peradangan, dan tumor
limfoid malignan. Namun steroid juga dikenal memiliki efek apoptosis terhadap
A B
L
L
D
limfosit pada timus, baik pada mamalia maupun unggas. Steroid dalam dosis
tinggi selain mengganggu timopoiesis, juga dapat menghambat suplai limfosit T
ke perifer. Induksi stres steroid akan memengaruhi pembentukan limfosit T pada
timus sehingga menyebabkan timus atropi. Penurunan level sel T pada timus
akibat stres akan berdampak pada imunosupresi beberapa organ imun lainnya.
Atropi timus dan teraktivasinya sel NKT (Natular Killer T) adalah akibat dari
penyuntikkan glukokortikoid, namun tidak terlalu berdampak pada level
granulosit (Sagiyama et al. 2004).
4.3 Perubahan Histopatologi pada Limpa Akibat Pemberian Kortikosteroid
Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam respon
imun melawan antigen yang beredar secara sistemik dan bergantung pada timus
(timus-dependent antigens). Perkembangan limfosit T pada limpa mencapai
perkembangan terendah selama embriogenesis dan jumlah tertinggi setelah
menetas (Careem et al. 2007). Limpa terlibat dalam respon kekebalan humoral
maupun selular melalui perannya pada perbanyakan, pendewasaan, dan
penyimpanan limfosit. Ekspresi gen pada limpa unggas umum digunakan sebagai
indikator respon imun (Sanford et al. 2011). Parameter yang diamati adalah
jumlah folikel limfoid limpa. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid
limpa dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Perbandingan jumlah folikel limfoid (pulpa putih) limpa kelompok
kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27
µm2).
Umur (minggu) CC0 CC2
2 33.93±2.86a
34.20±3.85a
3 26.86±3.50a
31.00±3.29b
4 34.86±4.20a 28.87±4.83
b
5 28.53±2.69a
16.07±3.57b
6 24.86±2.44a
16.60±3.18b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Pemberian kortikosteroid dapat mempengaruhi jumlah folikel limfoid
limpa. Hasil uji statistik T-student menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata
(P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada ayam umur
3, 4, 5, dan 6 minggu. Jumlah folikel limfoid atau pulpa putih pada limpa yang
diinduksi kortikosteroid (CC2) mengalami penurunan drastis pada umur 5
minggu. Namun ayam kelompok perlakuan (CC2) umur 2 minggu menunjukkan
nilai tertinggi pada jumlah folikel limfoid, hal ini disebabkan pengaruh umur
hewan terhadap respon stres. Hal ini sejalan dengan Guyton dan Hall (1996) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor pemicu stres adalah umur. Secara umum
jumlah pulpa putih limpa yang terpapar kortikosteroid (CC2) masih lebih rendah
jika dibandingkan limpa kontrol (CC0).
Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang memiliki peran penting
terhadap fungsi kekebalan. Peran limpa diantaranya pendewasaan sel T, sel B, dan
mengatur interaksi makrofag selama respon kekebalan berlangsung. Induksi
kortikosteroid menyebabkan penurunan massa organ limfoid, khususnya limpa
dan bursa Fabricius. Penurunan ini ditemukan pada 7 hari setelah ayam diinduksi
oleh kortikosteroid. Penekanan massa organ limfoid limpa akibat kortikosteroid
disertai dengan penurunan aktivitas sel-sel fagositik. Kortikosteroid dengan
konsentrasi tinggi dapat menghambat aktivitas organ limfoid. Hal ini disertai
penurunan kadar limfosit (respon sel T) dan titer antibodi IBDV (Infectious Bursal
Disease Virus) sebagai respon humoral-perantara (Shini et al. 2010). Gambar
histopatologi pulpa putih (folikel limfoid) limpa pada kelompok kontrol (CC0)
dan perlakuan (CC2) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 4x dengan
pewarnaan HE pada kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan pulpa
merah (PM) dan pulpa putih (PP) yang berisi limfosit.
Kelompok limpa perlakuan (B) menunjukkan beberapa folikel limfoid
(pulpa putih) tampak menyatu dan batas antara pulpa merah dan pulpa putih tidak
A B
PP
PP
PM
PM
jelas. Sedangkan kelompok kontrol (A) menunjukkan batas antara folikel limfoid
(pulpa putih) tampak jelas. Luzicova dan Epimova (2009) menyatakan
glukokortikoid menyebabkan kematian sel pada folikel limfoid (pulpa putih)
limpa. Namun limfosit pada pulpa merah kurang sensitif terhadap glukokortikoid
jika dibandingkan dengan pulpa putih. Glukokortikoid mempengaruhi molekul
protein pada limfosit, yaitu reseptor yang terdapat pada sitoplasma di luar
membram mitokondria yang menstimulasi mekanisme apoptosis. Perbedaan
sensitivitas reseptor glukokortikoid ini yang mempengaruhi struktur pulpa putih
pada limpa.
Limpa merupakan penyaring darah terbesar di tubuh. Organ ini berfungsi
untuk menghilangkan eritrosit yang sudah tua. Fungsi ini dilakukan pada pulpa
merah. Sedangkan daerah limfoid (pulpa putih) merupakan kompartemen limfosit
T dan B yang mengelilingi cabang-cabang pembuluh darah arteri. Mekanisme
kekebalan pada limpa diatur oleh kemokin yang menarik limfosit T dan B ke zona
masing-masing sel. Hal ini yang membuat limpa memiliki baik respon humoral
maupun seluler. Limfosit memasuki pulpa putih melalui zona marjinal (Mebius
dan Kraal 2005).
Pulpa putih merupakan indikator dalam penelitian ini untuk mengetahui
status tanggap kebal ayam. Selain jumlah dan ukuran folikel limfoid (pulpa putih),
jumlah limfosit dalam pulpa putih juga dihitung untuk mengetahui respon limpa
terhadap kortikosteroid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit limpa
kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Perbandingan jumlah limfosit limpa kelompok kontrol (CC0) dengan
perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).
Umur (minggu) CC0 CC2
2 844.70±159.72a
892.60±138.00a
3 1010.80±137.76a
919.90±83.74b
4 1194.30±104.67a 1087.70±109.2
b
5 1060.70±79.26a
1169.10±101.48a
6 1723.50±678.51a
628.50±135.18b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P<0.05).
Hasil yang diperoleh adalah terdapat beda nyata (P<0.05) pada jumlah
limfosit limpa pada umur 3, 4 minggu dan 6 minggu. Secara umum jumlah
limfosit pada limpa yang terpapar kortikosteroid lebih rendah dibandingkan limpa
kontrol. Hal ini menunjukkan steroid memberikan efek stres terhadap limpa.
Ayam kelompok umur 5 minggu memiliki jumlah limfosit pada kelompok
perlakuan (CC2) lebih banyak daripada kelompok kontrol (CC0). Namun hasil
tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05). Induksi stres akibat hormon steroid dapat
menyebabkan reduksi atau penurunan jumlah limfosit pada organ limpa sehingga
dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh (Wei et al. 2003).
Stres kronis sering membuat sistem imun mengalami kondisi
imunosupresi. Hal ini menyebabkan apoptosis pada limfosit. Kondisi ini dapat
disebut juga limfositopenia. Reduksi limfosit diketahui dapat meningkatkan resiko
kanker dan pertumbuhan serta perkembangan tumor (Shi et al. 2003). Struktur
histopatologi limpa yang mengalami reduksi jumlah limfosit dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 40x dengan
pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan deplesi
(D) pada limfosit (L). Terlihat juga eritrosit (E) yang berinti.
Folikel limfoid (pulpa putih) kontrol (A) menunjukkan kepadatan limfosit
yang lebih tinggi dibandingkan pulpa putih perlakuan (B). Limfosit yang
mengalami apoptosis akibat terpapar kortiksteroid menyebabkan deplesi pada
folikel limfoid limpa. Apoptosis akibat glukokortikoid diinduksi oleh enzim
caspase (Schlossmacher et al. 2011) (Imunosupresi yang terjadi pada limpa
perlakuan dapat menyebabkan ayam mudah terserang penyakit. Limpa bekerja
secara sistemik, jika terjadi reduksi sel-sel antibodi maka tubuh akan peka
terhadap agen penyakit.
A B
L
L
E
D
E
Salah satu efek buruk dari steroid yang menyerang sistem imun adalah
menyebabkan leukosit mengalami deplesi. Stres akut dapat mempengaruhi
perkembangan serta fungsi dari sel dendrit, netrofil, makrofag, dan limfosit yang
berpengaruh terhadap sistem kekebalan humoral maupun seluler. Stres kronis
akan menekan jumlah leukosit sehingga mengakibatkan imunosupresi (Dhabhar
2008).
Prednisone merupakan kortikosteroid yang digunakan baik untuk manusia
maupun hewan. Hewan yang umum mendapatkan anti-inflamasi berupa
prednisone adalah kucing, anjing, dan kuda. Dalam penelitian ini Prednisone yang
diberikan secara per oral kepada ayam broiler untuk melihat perubahan organ
limfoidnya. Dosis yang diberikan merupakan dosis yang umum diberikan kepada
manusia. Menurut Jamin (2011), dosis yang diberikan adalah 3 mg/Kg BB per
oral.
Kortikosteroid berfungsi sebagai anti-inflamasi namun jika diberikan
secara terus-menerus maka akan berdampak buruk. Kortikosteroid akan menekan
sistem kekebalan tubuh sehingga akan membuat ayam lebih mudah terpapar agen
penyakit. Kondisi ini disebut imunosupresi dan dapat dilihat dari perubahan
histopatologi organ limfoid ayam broiler. Perubahan sangat signifikan dapat
dilihat pada jumlah limfosit baik pada bursa Fabricius, timus, dan limpa. Pada
jumlah limfosit organ yang diberi perlakuan (CC2) secara umum mengalami
apoptosis sehingga kepadatan berkurang. Pengamatan histopatologi menunjukkan
deplesi pada folikel limfoid akibat kematian limfosit. Deplesi diakibatkan
mekanisme apoptosis yang melibatkan enzim caspase akibat reaksi dari ikatan
reseptor dan glukokortikoid.
Hal yang sama dialami oleh folikel limfoid limpa. Namun pengamatan
pada jumlah folikel limfoid bursa Fabricius tidak menunjukkan efek imunosupresi
dari kortikosteroid. Pengamatan yang dilakukan terhadap ukuran organ, yakni
bursa Fabricius dan timus juga tidak terlalu menunjukkan pengaruh kortikosteroid
secara signifikan. Beberapa organ yang terpapar kortikosteroid mengalami atrofi
yang ditunjukkan plika bursa yang lebih pendek daripada kelompok kontrol
(CC0). Folikel limfoid yang mengalami deplesi akan terisi oleh cairan sehingga
organ akan mengalami edema. Kondisi imunosupresi yang jelas dapat terlihat dan
diamati adalah dari kepadatan limfosit bukan dari ukuran organ.
Dengan melihat kecenderungan terjadi penurunan jumlah limfosit dan
ukuran bursa Fabricius, limpa, serta luas korteks timus diperkirakan jika
penggunaan diberikan atau dilakukan dalam jangka waktu panjang dapat
mempengaruhi ukuran folikel limfoid. Namun karena sel imunokompeten yang
penting adalah limfosit, maka penurunan jumlah limfosit sudah membeikan
kerugian. Ayam akan menjadi rentan terhadap penyakit dan respon vaksinasi akan
buruk. Kerugian akan terlihat lebih jelas pada ayam layer atau breeder dan ayam
hias yang memiliki masa hidup lebih lama dibandingkan ayam broiler.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pemberian kortikosteroid sebagai stresor pada ayam broiler secara per oral
selama 6 minggu terbukti dapat memberikan efek imunosupresi terhadap organ
limfoid ayam, yaitu bursa Fabricius, timus, dan limpa. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya penurunan jumlah limfosit pada bursa Fabricius, timus dan limpa.
5.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut kortikosteroid terhadap sumsum
tulang dan limfosit dalam darah perifer.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dampak kortikosteroid dengan
keberhasilan vaksinasi.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh kortikosteroid pada
ayam layer dan breeder dengan masa hidup yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Addis P, Thomas B, Crooker B. 1999. Generic Enviromental Impact Statement on
Animal Agriculture: A Summary of the Literature Related to the Effects of
Animal Agriculture on Human Health. [terhubung berkala].
http://www.eqb.state.mn.us/geis/ LS_Humanhealth.pdf [9 November 2011].
Alboghobeish N, Mayahi M. 2003. Developmental Study of Lymphoid Tissue of
Bursa Fabricius in Lokal Chicken. The 11th
International Syposiom of the
World Association of Veterinary Laboratory Diagnostticians and OIE
Seminar on Biotechnology in Bangkok, Thailand. hlm 20.
Anderson G, Jenkinson EJ 2008. Bringing the Timus to the Bench. The J
Immunology 181(11):7435-7436.
Ankeny S. 2011. What Kinds of Harmful Chemicals Do They Feed Chickens.
[terhubung berkala]. http://www.ehow.com/info_8474758_kinds-chemicals-
do-feed-chickens.html [9 November 2011].
Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare.
London: CABI Publishing. hlm 178.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with clinical
correlates. London: Manson Publishing. hlm 247.
Bellham S. 2011. Key Histology Features: Timus. [terhubung berkala].
http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/histology/timus.gif [8 Maret
2012].
Broughton JM. 2003. Size of the Bursa of Fabricius In Relation to Gonad Size and
Age In Laysan and Black-Footed Albatrosses. The Condor (96):203-207.
Bloom, Fawcett DW. 2002. A Textbook of Histology 12th
edition. New York:
Chapman and Hall. hlm 385.
Bowen R. 2006. Glucocorticoid. [terhubung berkala].
http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/adrenal/gluco.html
[25 Maret 2012].
Careem MF, Hunter DB, Lambourne MD, Barta J, Sharif S. 2007. Ontogeny of
Cytokine Gene Expression in the Chicken Spleen. Poultry Sci (86): 1351-
1355.
Carlton WG, McGavin DM. 1995. Thompson’s Special Veterinary Pathology. St.
Louis: Mosby. hlm 114.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Oxford:
Blackwell Publishing. hlm: 147.
Cross GM. 1987. Proceeding of Workshop on Avian Histopathology. Aus. Vet.
Poultry Association. hlm 123.
Davison F, Kaspers B, Schat KA. 2008. Avian Immunology. London: Elsevier.
hlm 13.
Davison TF. 2003. The Immunologist’s Debt to the Chicken. British Poultry Sci
(44): 6–2.
Dellman B. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah Hartono R. Jakarta
: Penerbit Universitas Indonesia. hlm 88.
Dhabhar FS. 2008. Enhancing versus Suppressive Effects of Stres on Immune
Function: Implications for Immunoprotection versus Immunopathology.
Allergy, Asthma, and Clinical Immunology 4(1):2-11.
Doneley B, Doneley R. 2010. Avian Medicine and Surgery in Practice:
Companion and Aviary Birds. Manson Publishing: Barcelona. hlm 336.
Dyce, Sack, Wensing. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Pennsylvania:
Saunders. hlm 74.
Elgert KD. 2009. Immunology: Understanding The Immunology System. New
Jersey: Wiley-Blacwell. hlm 44.
Elmore SA. 2006. Enhanced Histopathology of The Timus. Toxicol Pathol 34(5):
656-665.
Franchini A, Marchesini E, Ottaviani E. 2004. Corticosterone 21-acetate In Vivo
Induces Acute Stres in Chicken Timus Cell Proliferation, Apoptosis and
Cytokine Responses. Hitol Hispathol (19): 693-699.
Freeman, B. M. 1971. The Corpuscles and the Physical Characteristic of Blood.
in: Phisiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Vol. 2. pp. 841-850.
D. J Bell and B. M. Freeman, eds. Academic Press INC, London
Forbes NA, Altman RB. 1998. Self Assessment Colour Review of Avian Medicine.
Barcelona: Manson Publishing Ltd. hlm: 34.
Gandhi R, Snedeker SM. 2003. Consumer Concerns About Hormons in Food.
[terhubung berkala]. http://envirocancer.cornell.edu/Factsheet/Diet/fs37.
hormons.cfm [9 November 2011].
Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of Domestic AnimalsI. 5th
Edition. Philadelphia: W.B Saunders Company. hlm 181.
Glick B. 1956. Normal Growth of The Bursa of Fabricius. Di dalam: Taylor RL,
McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-
Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4): 816-
823.
Glick B. 2000. Immunophysiology. Sturkieís Avian Physiology. Editor : G.C.
Whittow. Fifth Edition. London: Academic Press. hlm 658-659.
Graczyk S, Kuryszko J, Madej J. 2003. Reactivity of Spleen Germinal Centres in
Immunized and ACTH-treated Chickens. Acta Vet (72): 523-531.
Guyton AC, Hall EJ 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.ed ke-9. Setawan I,
Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari:
Textbook of Medical Physiology. Hlm 1103-1106.
Hadipour MM, Farjadian SH, Azad F, Kamravan M, Dehghan A. 2011.
Nepropathogenicity of H9N2 Avian Influenza Virus in Commercial Broiler
Chicken Following Intratracheal Inoculation. J Animal and Veterinary
Advances 10(13): 1706-1710.
Hammond, WS. 2005. Origin of Timus in the Chick Embryo. J Morphology.
Volume 95(3):501-521.
Harmanto N, Subroto MA. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm 41-42.
Herenda DC, Franco DA. 1996. Poultry Disease and Meat Hygiene: A Color
Atlas. Iowa: University Press. hlm 32.
Jamin F. 2011. Kajian patologi imunosupresi akibat pemberian kortikostreoid dan
infeksi Candida Albicans pada ayam broiler. [Tesis] Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
Jordan FTW. 1994. Poultry Disease. London: Baillere Tindall. hlm 418.
Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical
Preparations in Children. ACTA 9(2):20-24.
Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical
Preparations in Children. [terhubung berkala]. http://ibmi.mf.uni-lJsi/acta-
apa/acta-apa-00-2/kansky.html [4 Oktober 2011].
Klein J, Horejsi V. 1997. Immunology Second Edition. UK: Blackwell Science.
Kong FK, Chen CL, Cooper MD. 2002. Reversible Disruption of Thymic
Function by Steroid Treatment. The J Immunology 168(12):6500-6505.
Kuby J. 1997. Immunology. New York: WH Freeman. hlm 376.
Lechner O, Dietriech H, Wiegers GJ, Vacchio M, Wick G. 2001. Glucocorticoid
Production in the Chicken Bursa and Timus. International Immunology
13(6): 769-776.
Leeson S, Summers JD. 2000. Broiler Breeder Production. London: Nottingham
University Press. hlm 67-77.
Luzicoza EM, Evimova OA. 2009. Reaction of Bcl-2 Positive Splenic Cells to
Glucocoticoids. Bul Exp Bio and Med 147(2): 257-261.
Male DK, Brostoff J, Roitt IM. 2006. Immunology. Canada: Mosby. hlm: 312.
Marangon S, Busani L. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Rev.
sci. tech. Off. int. Epiz. Volume 26 (1): 265-274.
Mebius RE, Kraal G. 2005. Structure and Function of The Spleen. [Review]
Nature Publishing Group. hlm 606-616.
Mountney G. 1978. Poultry Products Technology. Connecticut: The Avi
Publishing Company. hlm 4.
Nassar P. 2008. Avian Bursa Fabricius (25x) - Slide C40: Bursa of
Fabricius.[terhubung berkala]. http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/
Lab8lymphatics/Lab8hsc30avspleen2x.htm [24 Oktober 2011].
Nassar P. 2008. Avian Spleen (100x) - Slide C28: Avian Spleen.[terhubung
berkala].http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/Lab8lymphatics/Lab8hsc28av
spleen10x.htm [24 Oktober 2011].
North MO, Weaver WD, Bell DD. 1990. Commercial chicken production manual.
New York: AVI Publishing Inc. hlm 460.
Pastoret PP, Griebel P, Bazin H, Govaerts A. 1998. Handbook of Vertebrate
Immunology. California: Academic Press. hlm: 104.
Purba D. 2011. Harga Daging Ayam Broiler Merangkak Naik. [terhubung
berkala]. http://obrolanbisnis.com/harga-daging-ayam-broiler-merangkak-
naik [4 Oktober 2011].
Rasyaf M. 2008. Panduan Beternak Ayam Broiler. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm
8.
Riddel C. 1987. Avian Histopathology. American Association of Avian
Pathologist University of Pennsylvania, New Boston Center Pennsylvania.
hlm 8-14.
Roitt I, Brostoff J, Male D. 2001. Immunology. London: Mosby. hlm 313-321.
Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. Wellington: CAB International. hlm
34.
Sagiyama K, Tsuchida M, Kawamura H, Wang S, Li C, Bai X, Nagura T, Nozoe
S, Abo T. 2004. Age-related Bias in Function of Natural Killer T Cells and
Granulocytes After Stres: Reciprocal Association of Steroid Hormons and
Sympathetic Nerves. Clinical and Exprimental Immunology 135(10):56–63.
Sanford EE, Orr M, Balfanz E, Bowerman N, Li X, Zhou H, Johnson TJ,
Kariyawasam S, Liu S, Nolan LK. 2011. Spleen Transcriptome Response to
Infection With Avian Pathogenic Escherichia Coli in Broiler Chicken. BMC
Genomics 12(469): 1-13.
Schalm OW, Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC. 2000. Schalm’s Veterinary
Hematology. Lipincott: Wiley. hlm 344.
Schmidt RE, Reavill DR, PHlmen DN. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds.
Iowa: Blacwell Publishing. hlm 133-140.
Schlossmacher G, Stevens A, White A. 2011. Glucocorticoid Receptor Mediated
Apoptosis: Mechanisms of Resistance in Cancer Cells. J Endocrinol 211(10):
17-25.
Schultz RD. 1999. Veterinary Vaccines and Diangnostics. London: Academic
Press. hlm 488.
Shi Y, Devadas S, Greeneltch KM, Yin D, Mufson RA, Zhou J. 2003. Stresed to
Death: Implication of Lymphocyte Apoptosis For Psychoneuroimmunology.
Brain, Behaviour, and Immunity 17(2):18-26.
Shini S, Huff GR, Shini A, Kaise P. 2010. Understanding Stres-Induced
Immunosuppression: Exploration of Cytokine. Poultry Sci 89(10): 841-851.
Sturkie PD, Whittow GC. 2000. Stukie’s Avian Physiology. London: Academic
Press. hlm 660.
Sudaryani T, Santosa H. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya.
hlm 21.
Suherman. 1972. Farmakologi dan Terapi edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
hlm 112.
Taylor RL, McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-
Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4):816-
823.
Thorp CM. 2008. Pharmacolgy for the Help Health Care Professions. West
Sussex : Blackwell Publishing. hlm 119.
Tizard Ian. 1987. Veterinary Immunology an Introduction Third Edition.
Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 59.
Tully TN, Lawton MPC, Dorrestein GM. 2000. Avian Medicine. Edinburgh:
Elsevier Science. hlm 93.
Wannamaker BP, Massey K. 2004. Applied Pharmacology for Vetenerian
Technicians. Missouri: Saunders Elsevier.
Wei XL, Zhou JN, Shi YF. 2003. Lymphocyte reduction induced by hindlimb
unloading: distinct mechanisms in the spleen and timus. Cell Research
13(6):465-471.
Williams AE. 2011. Immunology : Mucosal and Body Surface Defences. West
Sussex: Wiley Blacwell. hlm 114.
Wissman, MA. 2006. Avian Medicine A-Z. [terhubung berkala].
http://www.exoticpetvet.net/avian/avianmeds.html [22 Oktober 2011].
Withers DR, Davison TF, Young JR. 2006. Diversified Bursal Medulary B Cells
Survive and Expand Independently After Depletion Following Neonatal
Infectious Bursal Disease Virus Infection. Immunology 117(4):558-565.
Woodland DL, Kohlmeier JE. 2009. Migration, maintenance and recall of
memory T cells in peripheral tissues. Nature Reviews Immunology (9):153-
161.
Zeliger H. 2011. Human Toxicology of Chemicals Mixtures. Oxford: Elsevier. hlm
109.
Zimmerman J, Korricker L, Ramirez A. 2012. Disease of Swine 10th
Edition.
Oxford: Wiley-Blacwell. hlm 247.