Post on 07-Mar-2019
i
KAJIAN SISTEM DRAINASE DI DAERAH
JALAN SWADARMA RAYA, JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
AMALIA PRIMA PUTRI
F44080012
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
STUDY OF DRAINAGE SYSTEM AT SWADARMA RAYA STREET,
SOUTH JAKARTA
Amalia Prima Putri
Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, Indonesia
Email: primaputri@gmail.com
ABSTRACT
Flood is unsolved problem in Jakarta, it could occur due to high rainfall and drainage
channels that cannot accommodate the runoff water. This research was conducted at Swadarma Raya
Street, precisely in South Jakarta. The required data were rainfall, drainage channels length,
drainage channel dimensions, catchment area, and elevation of the location. Softwares used were
Rainbow, Microsoft Excel and Google Earth. In the calculation, several methods were used such as
Rational Method, Kirpich empirical formula, and Manning formula. The results were existing
drainage flow (Q) of 0.47 m³ /sec, while flood-peak flow (Qp) of 0.73 m3 / sec. From the result, it
could be predicted that the existing drainage system was unable to accommodate flood-peak
discharge. It also could be seen from the contour map, the elevation of Pesanggrahan River was in
lower elevation than the street. The action that could be taken to control the flood is deepening the
channel by changing its dimension to h= 0.85 m so the channel could accommodate the flow for 0.78
m3/sec and cost estimation for the construction is 613,000,000 rupiahs. In addition, re-planning the
drainage system and a good maintenance of it might be a solution to flooding that occurred in the
area.
Key words: Flood, Drainage Channel, Flow Discharge, Flood-Peak Discharge, Inundation
ii
AMALIA PRIMA PUTRI. F44080012. Kajian Sistem Drainase di Daerah Jalan Swadarma Raya,
Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan Dedi Kusnadi Kalsim.
______________________________________________________________________________
RINGKASAN
Banjir selalu menjadi masalah bagi Kota Jakarta, khususnya pada musim hujan. Peristiwa ini
hampir setiap tahun berulang, namun permasalahan ini belum terselesaikan, bahkan cenderung makin
meningkat, baik frekuensi, luasan, kedalaman, maupun durasinya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk evaluasi keadaan saluran drainase di Jakarta
apakah cukup memadai atau tidak jika ditinjau dari curah hujan yang terjadi beberapa tahun
belakangan. Dengan mengetahui hal tersebut maka dapat diketahui pula tindak lanjut mengenai
permasalahan banjir di Jakarta.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Pesanggaran,
dan Kelurahan Ulujami yang tepatnya pada daerah sekitar Jalan Swadarma Raya yang merupakan
daerah pemukiman. Selama kurang lebih 5 tahun terakhir ini daerah sekitar Jalan Swadarma Raya
mengalami banjir.
Tahapan penelitian berupa pengumpulan data seperti pengukuran dimensi dan panjang saluran
drainase di daerah Jalan Swadarma Raya. Selain itu, dilakukan pengambilan data curah hujan harian
10 tahun yang didapat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Alat yang
dibutuhkan selama penelitian adalah alat ukur meteran dan perangkat lunak yaitu Microsoft Excel dan
Rainbow untuk mengolah data.
Berdasarkan perhitungan, didapat debit aliran saluran drainase eksisting (Q) daerah sekitar
Jalan Swadarma Raya sebesar 0.47 m³/detik, sedangkan besaran aliran banjir puncak (Qp) sekitar
Jalan Swadarma Raya sebesar 0.73 m³/detik. Dengan demikian, sistem drainase eksisting yang ada
tidak dapat menampung debit banjir puncak. Dari peta kontur dapat dilihat bahwa Kali Pesanggrahan
yang menjadi tempat pembuangan air terakhir memiliki elevasi yang lebih rendah dibandingkan lokasi
penelitian sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab banjir pada daerah sekitar Jalan Swadarma
Raya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dalam bulan-bulan tertentu, sistem drainase yang
kurang baik dan saluran eksisting yang tidak dapat menampung debit banjir puncak. Agar dapat
menampung debit puncak maka dilakukan dengan cara memperdalam saluran menjadi h = 0.85 m.
Dengan mengubah dimensi saluran, maka debit aliran yang dapat ditampung di saluran sebesar 0.78
m³/ detik. Estimasi biaya untuk memperdalam saluran drainase sebesar 613,000,000 rupiah yang
dihitung berdasarkan pedoman SNI 2835:2008 dan SNI 7394:2008.
Pemeliharaan sistem drainase yang baik dapat menjadi solusi pengendalian banjir yang
terjadi di daerah tersebut. Kemiringan saluran drainase di Jalan Swadarma Raya harus diperbaiki
dengan membeton saluran yang masih alami sehingga kemiringan menjadi tidak terlalu bervariasi.
Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan saluran juga menjadi hal yang penting
untuk mengendalikan banjir.
iii
KAJIAN SISTEM DRAINASE DI DAERAH
JALAN SWADARMA RAYA, JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
SARJANA TEKNIK
pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
AMALIA PRIMA PUTRI
F44080012
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
iv
Judul skripsi : Kajian Sistem Drainase di Daerah Jalan Swadarma Raya,
Jakarta Selatan
Nama : Amalia Prima Putri
NIM : F44080012
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Akademik
(Ir. Dedi Kusnadi Kalsim, M.Eng.,Dip.HE)
NIP. 19490416 197603 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
(Prof.Dr.Ir. Asep Sapei, MS)
NIP. 19561025 198003 1 003
Tanggal Lulus : 1 Oktober 2012
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Sistem
Drainase di Daerah Jalan Swadarma Raya, Jakarta Selatan adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Yang membuat pernyataan
Amalia Prima Putri
F44080012
vi
© Hak cipta milik Amalia Prima Putri, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vii
BIODATA PENULIS
Amalia Prima Putri. Lahir di Bangkok, Thailand pada tanggal 13 Juli 1990 dan
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Bekti
Nusantara dan Ibu Intan Noerhandajani. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan
pendidikan SD Sekolah Indonesia Bangkok, Thailand. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan pada jenjang SMP di Sekolah Indonesia Bangkok,
Thailand dan lulus tahun 2005. Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan ke
jenjang SMA juga di Sekolah Indonesia Bangkok. Thailand dan lulus tahun
2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi
Pertanian dan menyelesaikan studi sarjananya pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa penulis
aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa TPB dan Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan
Lingkungan. Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia di Jakarta dengan topik “Pengolahan Air Limbah di PT Toyota Motor Manufacturing Sunter
Plant“. Selanjutnya penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Sistem Drainase di Daerah
Jalan Swadarma Raya, Jakarta Selatan“ dibawah bimbingan Ir. Dedi Kusnadi Kalsim, M.Eng, Dip.
HE.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Laporan penelitian ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Jakarta Selatan, Provinsi
DKI Jakarta pada bulan April 2012.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Dedi Kusnadi Kalsim, M.Eng, Dip. HE selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan saran dan bimbingan dalam bidang akademik, moral, dan spiritual.
2. Bapak, ibu, adik, dan keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan secara moral
maupun spiritual dalam penyusunan skripsi ini.
3. Teman-teman sebimbingan Nina, Indah, dan Burhan atas bantuan dan semangatnya selama
penulis melaksanakan studi, penelitian dan penyusunan skripsi.
4. Seluruh teman – teman Teknik Sipil dan Lingkungan khususnya Husna, Husni, Nanda, Rahma,
Haska, Joan, Rafdi, dan Rahmat atas masukan, bantuan dan pencerahan yang diberikan kepada
penulis dalam mengolah data.
5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Suku Dinas PU Jakarta Selatan yang telah membantu penulis dalam
memperoleh data dan memberi penjelasan mengenai topik penelitian.
6. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu terlaksananya
penelitian hingga tersusunnya laporan ini.
Penulis berharap laporan ini bermanfaat bagi penulis pribadi maupun semua pihak yang
memerlukannya.Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan sebagai bahan perbaikan laporan ini. Penulis berharap
laporan ini bermanfaat bagi penulis pribadi maupun semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................ v
I. PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 2
2.1 Infrastruktur ................................................................................................................... 2
2.2 Drainase ......................................................................................................................... 2
2.3 Debit Banjir Rencana .................................................................................................... 15
2.4 Koefisien Run Off ......................................................................................................... 17
2.5 Intensitas Hujan ............................................................................................................ 17
2.6 Daerah Tangkapan Air (Catchment Area)...................................................................... 17
2.7 Perhitungan Kapasitas .................................................................................................. 17
III. METODOLOGI .................................................................................................................... 20
3.1 Lokasi dan Waktu ......................................................................................................... 20
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................................. 20
3.3 Metode penelitian ......................................................................................................... 20
3.4 Kerangka Penelitian ...................................................................................................... 20
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN .............................................................................. 22
4.1 Gambaran Umum ......................................................................................................... 22
4.2 Kondisi Lokasi Daerah Sekitar Jalan Swadarma Raya ................................................... 23
4.3 Keadaan Saluran Drainase Sekitar Jalan Swadarma Raya .............................................. 25
4.4 Kondisi Saluran Drainase Eksisting .............................................................................. 27
4.5 Data Curah Hujan Daerah Sekitar Jalan Swadarma Raya ............................................... 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 29
5.1 Perhitungan Curah Hujan dan Rencana ......................................................................... 29
5.2 Perhitungan Kapasitas Saluran Drainase Eksisting......................................................... 29
iii
5.3 Perhitungan Debit Banjir Rencana ................................................................................ 31
5.4 Perhitungan Luas Penampang Basah Saluran Rencana................................................... 34
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 39
6.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 39
6.2 Saran ............................................................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 40
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Standar harga koefisien run off .......................................................................................... 17
Tabel 2. Standar Harga Koefisien Kehalusan ................................................................................... 19
Tabel 3. Data pengukuran saluran drainase eksisting sekitar Jalan Swadarma Raya .......................... 27
Tabel 4. Curah hujan harian maksimum stasiun Ciledug .................................................................. 29
Tabel 5.Hasil perhitungan curah hujan harian maksimum menggunakan Rainbow ........................... 29
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Struktur drainase perkotaan ............................................................................................... 3
Gambar 2.Bentuk segi empat penampang melintang saluran drainase................................................. 6
Gambar 3.Bentuk bulat dan oval penampang melintang saluran drainase ........................................... 6
Gambar 4.Bentuk trapesium dan trapesium tersusun penampang melintang saluran drainase .............. 6
Gambar 5. Mengaktifkan danau oxbow kembali................................................................................. 9
Gambar 6. Penanaman bantaran dan tebing dengan vegetasi .............................................................. 9
Gambar 7. Pelebaran daerah bantaran sungai untuk konsentrasi hulu ............................................... 10
Gambar 8. Pulau buatan pada daerah sungai .................................................................................... 10
Gambar 9. Aliran air tanah dalam daur hidrologi ............................................................................. 11
Gambar 10. Jenis-jenis alat ukur curah hujan ................................................................................... 12
Gambar 11. Metode Poligon Thiessen ............................................................................................. 14
Gambar 12. Isohyet ......................................................................................................................... 15
Gambar 13. Kemiringan (slope) saluran .......................................................................................... 19
Gambar 14. Diagram alir tahapan penelitian .................................................................................... 21
Gambar 15. Peta DKI Jakarta dengan pembagian kota administrasi.................................................. 22
Gambar 16. Peta 78 daerah rawan genangan DKI Jakarta................................................................. 23
Gambar 17. Peta lokasi penelitian (skala peta 1 : 10.000) ................................................................. 24
Gambar 18. Lokasi penelitian: Jalan Swadarma Raya ...................................................................... 25
Gambar 19. Kondisi saluran drainase Jalan Swadarma Raya ............................................................ 25
Gambar 20. Kondisi saluran drainase Jalan Perdana ........................................................................ 26
Gambar 21. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Ridi ....................................................................... 26
Gambar 22. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Rohimin ................................................................ 26
Gambar 23. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Mairin ................................................................... 27
Gambar 24. Penampang saluran eksisting pada daerah Jalan Swadarama Raya pada saat air normal . 27
Gambar 25.Penampang saluran eksisting di daerah Jalan Swadarma Raya ....................................... 30
Gambar 26. Kemiringan saluran sepanjang Jalan Swadarma Raya ................................................... 33
Gambar 27. Desain saluran drainase rencana di Jalan Swadarma Raya ............................................. 35
Gambar 28. Peta aliran air di kawasan Jakarta Selatan ..................................................................... 38
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Estimasi biaya saluran drainase rencana di Jalan Swadarma Raya................................. 41
Lampiran 2. Peta kontur lokasi penelitian ........................................................................................ 44
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Banjir merupakan masalah yang kerap kali sering terjadi di Indonesia, khususnya pada musim
hujan, mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami bencana banjir. Peristiwa ini hampir
setiap tahun berulang, namun permasalahan ini belum terselesaikan, bahkan cenderung makin
meningkat, baik frekuensi, luasan, kedalaman, maupun durasinya.
Jika dilihat ke belakang, akar permasalahan banjir di perkotaan berawal dari pertambahan
penduduk yang sangat besar di atas rata - rata pertumbuhan nasional, akibat urbanisasi, baik
migrasi musiman maupun permanen. Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan
penyedian prasarana dan sarana perkotaan menjadi tidak teratur. Pemanfaatan lahan yang tidak
tertib inilah yang menyebabkan persoalan drainase di perkotaan menjadi sangat kompleks. Hal ini
mungkin juga disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dan masih acuh
tak acuh terhadap penting nya memecahkan permasalahan yang dihadapi kota. Sebagian besar
masyarakat masih terfokus pada permasalahan yang lebih penting dan mendesak, yaitu pemenuhan
kebutuhan primer. Selain itu masih belum mengakarnya kesadaran hukum, perundang-undangan,
dan kaidah – kaidah yang berlaku. Belum konsistennya pelaksanaan hukum menambah kompleks
masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Kecenderungan ini timbul karena proses
pembangunan yang selama ini berlangsung kurang melibatkan masyarakat secara aktif.
Penelitian ini dilakukan di Jalan Swadarma Raya yang wilayahnya merupakan tempat
pemukiman dan pertokoan. Daerah ini dilanda banjir parah kurang lebih lima tahun terakhir yang
menimbulkan genangan air terparah pada tahun 2007 hingga 2 meter. Banjir yang kerap kali
terjadi di daerah ini dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, kondisi sistem drainase yang
tidak terpelihara ataupun keadaan Kali Pesanggrahan yang memburuk.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk evaluasi keadaan saluran drainase di daerah
sekitar Jalan Swadarma Raya apakah cukup memadai atau tidak jika ditinjau dari curah hujan yang
terjadi beberapa tahun belakangan. Dengan mengetahui hal tersebut maka dapat diketahui pula
tindak lanjut mengenai permasalahan banjir di Jakarta. Tindakan tersebut dapat berupa
meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar untuk peduli dalam memelihara saluran drainase
ataupun perbaikan teknis yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian mengenai kondisi sistem drainase di daerah
sekitar Jalan Swadarma Raya, meliputi:
1. Mengidentifikasi keadaan eksisting sistem drainase pada daerah sekitar Jalan Swadarma Raya.
2. Menghitung analisis curah hujan dengan menggunakan perangkat lunak Rainbow.
3. Menghitung debit aliran saluran eksisting.
4. Menghitung saluran drainase rencana.
5. Memberikan saran dalam upaya mengatasi banjir di daerah sekitar Jalan Swadarna Raya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infrastruktur
Menurut sumber dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), infrastruktur
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial.
Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan pada proses produksi
maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas termasuk semua prasarana umum seperti:
drainase perkotaan, air bersih dan sanitasi, irigasi, telekomunikasi perhubungan, sedangkan
infrastruktur sosial meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan. Urusan prasarana umum identik
dengan persoalan-persoalan yang menjadi perhatian bidang pekerjaan umum (public works). Saat
ini di Indonesia pekerjaan umum merupakan tugas dari Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah atau Dinas terkait pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota.
2.2 Drainase
Menurut Sukarto (1999), drainase adalah suatu ilmu tentang pengeringan tanah. Drainase
(drainage) berasal dari kata to drain yang berarti mengeringkan atau mengalirkan air dan
merupakan terminologi yang digunakan untuk menyatakan sistem-sistem yang berkaitan dengan
penanganan masalah kelebihan air, baik di atas maupun di bawah permukiman tanah. Pengertian
drainase tidak terbatas pada teknis pembuangan air yang berlebihan namun lebih luas lagi
menyangkut keterkaitannya dengan aspek kehidupan yang berada di dalam kawasan diperkotaan.
Semua hal yang menyangkut kelebihan air yang berada di kawasan kota sudah pasti dapat
menimbulkan permasalahan yang cukup rumit. Dengan semakin rumitnya permasalahan drainase
perkotaan maka di dalam perencanaan dan pembangunannya tergantung pada kemampuan masing-
masing perencana. Dengan demikian di dalam proses pekerjaanya memerlukan kerjasama dengan
beberapa ahli di bidang lain yang terkait.
Menurut sumber dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) ada beberapa
sarana penunjang bangunan drainase:
1. Lubang air pada dinding saluran (wheep hole) yaitu lubang yang berfungsi untuk mengalirkan
air resapan yang berasal dari tanah sekitar saluran drainase, sehingga tanah tidak menjadi
berlumpur.
2. Lubang air pada trotoar (street inlet) yaitu lubang yang berfungsi untuk mengalirkan air yang
berasal dari jalan yang beraspal sehingga tidak terjadi genangan air/banjir.
3. Saringan sampah kasar (bar screen) yaitu saringan sampah yang diletakkan sebelum
terdapatnya kantong lumpur atau pasir sehingga sampah yang berukuran besar tidak dapat
masuk ke dalam kantong lumpur atau pasir.
4. Saringan sampah halus (fine screen) yaitu saringan sampah yang mempunyai ukuran lebih
kecil dari pada ukuran saringan sampah kasar di letakkan pada gorong-gorong (box culvert)
sehingga sampah yang mempunyai ukuran kecil tidak dapat masuk kedalam gorong-gorong.
5. Penutup atas parit (cover slab) yaitu struktur beton bertulang yang diletakkan di atas
bangunan drainase. Umumnya penutup parit ini digunakan pada daerah perkotaan, hal ini
disebabkan karena keterbatasan lahan untuk pembuatan trotoar.
Menurut Maryono (2000), pada daerah perkotaan konsep drainase konvensional atau drainase
ramah lingkungan sering dilakukan, dimana dalam konsep drainase konvensional seluruh air hujan
yang jatuh di suatu wilayah harus secepat-cepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke
laut. Konsep drainase konvensional untuk permukiman atau perkotaan dibuat dengan cara
3
membuat saluran-saluran lurus terpendek menuju sungai. Demikian juga di areal wisata dan
olahraga, semua saluran drainase didesain sedemikian rupa sehingga air mengalir secepatnya ke
sungai terdekat dan sama sekali tidak memperhatikan apa yang akan terjadi di bagian hilir. Jika
semua air hujan dialirkan secepatnya- cepatnya ke sungai tanpa diupayakan agar air mempunyai
waktu cukup untuk meresap ke dalam tanah akhirnya dampak tersebut dapat kita lihat sekarang ini
yaitu terjadinya kekeringan dimana-mana, banjir, tanah longsor dan pelumpuran.
Selanjutnya menurut Maryono (2004), sistem drainase perkotaan dapat dibagi manjadi 2 (dua)
macam sistem dan ditambah dengan pengendalian banjir (food control), sistem tersebut adalah:
1. Sistem Jaringan Drainase Utama (Major Urban Drainage System), berfungsi mengumpulkan
aliran air hujan dari minor drainase sistem untuk diterusin ke badan air (sungai yang melalui
daerah pemerintahan kota dan kabupaten, seperti: waduk, rawa-rawa, sungai dan muara laut
untuk kota-kota di tepi pantai).
2. Drainase Lokal (Minor Urban Drainage System), adalah jaringan drainase yang melayani
bagian-bagian khusus perkotaan seperti kawasan real estate, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan perkampungan, kawasan komplek-komplek, perumahan dan lain-lain.
3. Struktur saluran, secara hirarki drainase perkotaan mulai dari yang paling hulu akan terdiri
dari: saluran kwarter/saluran kolektor jaringan drainase lokal, saluran tersier, saluran sekunder
dan saluran primer (dilihat pada Gambar 1).
Keterangan:
1. Saluran primer 3. Saluran tersier 5. Batas daerah pengalian
2.Saluran Sekunder 4. Kuarter
Sumber: Maryono, 2004
Gambar 1.Struktur drainase perkotaan
Menurut Sukarto (1999), ada beberapa kegunaan drainase, selain untuk pengeringan tanah
atau menghambat terjadinya banjir, drainase dapat berfungsi untuk pertanian, bangunan,
kesehatan, dan lansekap.
1. Pertanian
Tanah yang terlalu basah seperti rawa misalnya tidak dapat ditanami.Untuk dapat digunakan
sebagai lahan pertanian , tanah rawa yang selalu basah perlu dikeringkan.
2. Bangunan
Untuk mendirikan bangunan ( gedung, jalan dan lapangan terbang) di atas tanah yang basah
perlu drainase, agar tanah menjadi kering dan daya dukung tanah manjadi bertambah sehingga
dapat mendukung beban bangunan di atasnya.
3. Kesehatan
4
Tanah yang digenangi air dapat menjadi tempat berkembangnya nyamuk, sehingga perlu
dikeringkan dengan sistem jaringan drainase.Pada tanah kering telur dan larva nyamuk tidak
hidup.Sedangkan dari ilmu kesehatan gas-gas yang terdapat di rawa seperti gas methan tidak
baik untuk kesehatan, sehingga tanah sekitar permukiman perlu dikeringkan.
4. Lanskap
Menurut Sukarto (1999), untuk pemandangan yang baik, tanah basah atau berair harus
dikeringkan, sehingga dapat ditanami rumput atau tanaman-tanaman hias lainnya. Pengaliran air
dalam drainase perkotaan disebabkan terutama oleh limbah rumah tangga dan hujan. Tetapi yang
paling dominan yang mengakibatkan banjir adalah air hujan. Jatuhnya hujan di suatu daerah, baik
menurut waktu maupun menurut pembagian geografisnya tidak tetap melainkan berubah-ubah.
Bila hujan yang jatuhnya deras dan lebih besar dari kapasitas infiltrasi dan kapasitas intersepsi,
semakin besar pula aliran melalui permukaan tanah, maka kelebihan aliran permukiman tanah
menjadi lebih besar, saluran drainase dan sungai tidak dapat menampung seluruh air yang datang
karena telah terisi penuh dan terjadi luapan air. Dalam perencanaan bangunan air, yang
masalahnya adalah berapakah besar debit air yang harus disalurkan itu adalah debit suatu saluran
pembuangan atau sungai, maka besarnya debit tidak tertentu dan berubah-ubah karena adanya
banjir. Debit banjir ini disebut banjir rencana, yaitu banjir yang dipakai sebagai dasar untuk
perhitungan ukuran bangunan saluran drainase yang direncanakan. Debit banjir rencana itu sudah
tentu tidak boleh diambil terlalu kecil, sebab jika sewaktu-waktu terjadi banjir maka banguna
tersebut akan selalu terancam keamanannya. Sebaliknya jika debit banjir rencana juga tidak boleh
diambil terlalu besar sehingga menyebabkan ukuran bangunan air menjadi terlalu besar, dan
mungkin dapat melampaui batas-batas ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.2.1 Pola aliran dalam drainase
Aliran dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka (open chanel flow) maupun
saluran tertutup (pipe flow). Pada aliran saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas (free
surface). Permukaan bebas ini dapat dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara
langsung.Sedangkan pada aliran saluran tertutup tidak terdapat permukaan yang bebas, hal ini
dikarenakan seluruh saluran diisi oleh air. Pada aliran saluran tertutup permukaan air secara tidak
langsung dipengaruhi oleh tekanan udara luar, kecuali hanya oleh tekanan hidraulika yang ada
dalam aliran saja. Pada aliran saluran terbuka untuk penyederhanaan dianggap bahwa aliran sejajar
,kecepatan beragam dan kemiringan kecil.
Dalam hal ini permukaan air merupakan garis derajat hidraulika dan air di dalamnya sama
dengan tinggi tekanan. Meskipun kedua jenis aliran hampir sama, penyelesaian masalah aliran
dalam saluran terbuka jauh lebih sulit dibanding dengan aliran pipa tekan. Hal ini disebabkan
karena permukaan air bebas cenderung bebas sesuai dengan waktu dan ruang juga bahwa
kedalaman aliran, debit, kemiringan dasar saluran dan kedudukan permukaan bebas saling
bergantung satu sama lainnya. Aliran dalam suatu saluran tertutup tidak selalu merupakan aliran
pipa.
Apabila terdapat permukaan bebas, harus digolongkan sebagai aliran saluran terbuka.Sebagai
contoh saluran drainase air hujan yang merupakan saluran tertutup, biasanya dirancang untuk
aliran saluran terbuka sebab aliran saluran drainase diperkirakan hampir setiap saat memiliki
permukaan bebas.
5
Penggolongan jenis aliran berdasarkan perubahan kedalaman aliran sesuai dengan perubahan
ruang dan waktu di bagi dua, yaitu aliran tunak (steady flow) dan aliran tidak tunak (unsteady
flow).
1. Aliran tunak (steady flow). Aliran tunak adalah aliran yang mempunyai kedalaman tetap untuk
selang waktu tertentu. Aliran tunak diklasifikasikan menjadi:
a. Aliran seragam (uniform flow). Aliran saluran terbuka dikatakan seragam apabila ke dalam
air sama pada setiap penampang saluran.
b. Aliran berubah (varied flow). Aliran saluran terbuka dikatakan berubah secara lambat
apabila kedalaman air berubah di sepanjang saluran. Aliran berubah terdiri dari dua macam
yaitu aliran berubah secara lambat apabila kedalaman aliran berubah secara lambat dan
aliran berubah secara cepat apabila kedalaman aliran berubah secara cepat.
2. Aliran tidak tunak (unsteady flow). Aliran tidak tunak adalah aliran yang mempunyai
kedalaman tidak tetap untuk selang waktu tertentu. Aliran tidak tunak diklasifikasikan
menjadi:
a. Aliran seragam tidak tunak (unsteady uniform flow). Aliran saluran terbuka dimana
alirannya mempunyai permukaan yang berklasifikasi waktu dan tetap sejajar dengan
dasar saluran. Aliran seperti ini jarang ditemukan di lapangan.
b. Aliran berubah tidak tunak (unsteady varied flow). Aliran saluran terbuka dimana
kedalaman aliran berubah sepanjang waktu dan ruang. Aliran berubah tidak lunak terdiri
dari dua macam yaitu aliran yang berubah secara lambat dimana kedalaman aliran
berubah sepanjang waktu dan ruang dengan perubahan kedalaman secara lambat, serta
aliran tidak lunak berubah secara cepat dimana kedalaman aliran berubah sepanjang
waktu dan ruang dengan perubahan kedalaman secara cepat.
Kekentalan dan gravitasi dapat mempengaruhi sifat aliran pada saluran terbuka. Tegangan
permukaan aliran dalam keadaan tertentu dapat pula mempengaruhi sifat aliran, tetapi pengaruh ini
tidak terlalu besar dalam masalah saluran terbuka pada umumnya ditemui dalam dunia
perekayasaan.
1. Aliran Laminer. Aliran saluran terbuka dikatakan laminer apabila gaya kekentalan (viscosity)
relatif sangat besar dibandingkan dengan gaya inersia sehingga kekentalan berpengaruh besar
terhadap sifat aliran. Butir-butir aliran bergerak menurut lintasan tertentu yang teratur atau
lurus dan selapis cairan tipis seolah-olah menggelincir di atas lapisan lain.
2. Aliran Turbulen. Aliran saluran terbuka dikatakan turbulen apabila gaya kekentalan (viscosity)
relatif lemah dibandingkan dengan gaya inersia. Butir-butir air bergerak menurut lintasan
tertentu yang tidak teratur, tidak lancar dan tidak tetap walaupun butir-butir tersebut bergerak
maju di dalam aliran keseluruhan
2.2.2 Bentuk – bentuk penampang melintang saluran drainase
Ada beberapa macam bentuk penampang saluran drainase dapat dilihat pada Gambar 2, 3, dan
4.
6
Gambar 2.Bentuk segi empat penampang melintang saluran drainase
Sumber: Sukarto, 1999
Gambar 3.Bentuk bulat dan oval penampang melintang saluran drainase
Sumber: Sukarto, 1999
Gambar 4.Bentuk trapesium dan trapesium tersusun penampang melintang saluran drainase
2.1 Banjir
Menurut Sukarto (1999), genangan air atau banjir pada umumnya terjadi akibat adanya hujan
lebat dengan durasi lama sehingga meningkatkan volume air dan mempercepat akumulasi aliran
7
permukaan (run off) pada permukaan tanah.Akhir-akhir ini banjir terjadi dimana-mana, hal ini
terjadi disebabkan oleh intensitas dan frekuensi curah hujannya meningkat.
Sedangkan menurut Irianto (2003), kajian masalah banjir terlebih dahulu harus dianalisa
penyebab utamanya sebelum menyusun strategi antisipasinya.Secara teoritis banjir terjadi dengan
intensitas cenderung meningkat merupakan akibat dari masukan sistem yang berlebihan, dalam hal
curah hujan yang melibihi normalnya atau sering dikenal dengan curah hujan pengecualian
(eksepsional). Kejadian banjir yang terus berulang merupakan hasil dari kerusakan sistem dalam
hal ini adalah daerah aliran sungai (DAS).
Berdasarkan kajian menurut Maryono (2004), ada beberapa metode pencegahan banjir
perkotaan, yaitu metode kolam konservasi, metode river side polder, metode sumur peresapan, dan
metode pengembangan areal perlingsungan air tanah (groundwater protection area).
1. Metode kolam konservasi. Dalam metode ini dikatakan dengan membuat kolam-kolam air,
baik di perkotaan, permukiman, pertanian, atau perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat
untuk menampung air hujan terdahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai
secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah
bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan menggali
suatu areal atau bagian tertentu.
2. Metode river side polder. Metode menahan air dengan mengelola atau menahan kelebihan air
(hujan) disepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan
memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai. Lokasi
polder perlu dicari, sejauh mungkin polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-
tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan
mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat
dikurangi dan konservasi air terjaga.
3. Metode Sumur Resapan. Metode ini merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-
sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh apada atap perumahan atau kawasan tertentu.
Sumur resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal oleh raga dan wisata. Perlu diketahui
bahwa sumur peresapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan dan tidak boleh memasukan air
limbah rumah tangga.
4. Metode Pengembangan Areal Perlindungan Air Tanah. Metode ini dilakukan dengan cara
menetapkan kawasan lindung untuk air tanah, dimana di kawasan tersebut tidak boleh
dibangun apapun. Areal tersebut dkhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah.
Pada berbagai kawasan perlu segera mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara geologi
dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian
penting dari komponen drainase kawasan.
Selanjutnya menurut Irianto (2003), rekayasa dan rancang bangun antisipasi serta
minimalisasi resiko banjir dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
1. Curah hujan perkecualian (eksepsional). Perubahan iklim global yang terjadi belakangan ini
ternyata berdampak pada terjadinya akumulasi curah hujan tinggi dalam waktu yang singkat.
Dengan curah hujan tahunan yang relative sama, namun dengan durasi yang singkat akan
berdampak pada meningkatnya intensitas banjir yang terjadi. Apalagi jika curah hujannya
menyimpang jauh lebih tinggi (hujan eksepsional) dibandingkan normalnya, maka banjir yang
akan terjadi akan sangat besar.
2. Kerusakan sistem daerah aliran sungai (DAS). Laju pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan.
Lahan yang dahulunya merupakan areal pertanian (cultivated land) karena bertambahnya
8
jumlah penduduk, lahan-lahan tersebut berubah menjadi daerah permukiman sehingga
penggunaan lahan melampaui daya dukungnya.
2.3.2 Renaturalisasi Sungai
Untuk mencegah terjadinya banjir pada daerah perkotaan, penting dilakukannya renaturalisasi
sungai-sungai yang ada. Menurut Maryono (2004), renaturalisasi adalah usaha koreksi terhadap
kesalahan konsep hidraulik murni pada pembangunan wilayah sungai dekade lalu dan sekaligus
menghambat laju pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni yang sekarang masih sering
dilakukan.
Di Swiss renaturalisasi ini sering disebut river revitalization, di kawasan Eropa lain disebut
river restoration, sedangkan di Amerika dan Kanada disebut renaturalization. Renaturalisasi
didefenisikan sebagai usaha mengembalikan kondisi sungai atau wilayah air ke kondisi natural
atau paling tidak mendekati, setelah sebelumnya dilakukan koreksi terhadap berbagai
pembangunan seperti sodetan, pelurusan, penanggulangan, penalutan, pemindahan sungai, maupun
penutupan alur.
Tujuan renatulisasi adalah untuk meningkatkan kualitas ekosistem dan keanekaragaman
hayati wilayah sungai, meningkatkan konservasi air di hulu, meningkatkan retensi ekologi
hidraulik sepanjang sungai, menurunkan intensitas banjir di hilir, menanggulangi kekeringan,
kelongsoran di hulu serta meningkatkan kualitas air sungai. Lokasi renaturalisasi harus dipilih
secara selektif sehingga apa yang terjadi dapat terkontrol dengan baik.
Berbagai macam metode renaturalisasi yang sedang giat dilakukan di beberapa Negara Eropa,
Kanada, Amerika, dan Jepang. Di antara metode tersebut ada yang membuka kembali tanggul
yang menutup oxbow sungai lama atau mengaktifkan oxbow menjadi sungai lagi tanpa harus
menutup sungai sodetan, menanami bantaran dan tebing sungai yang telah diluruskan dengan
berbagai vegetasi, menginisiasi sungai yang diluruskan menjadi meander, membangun pulau
buatan di sungai, dan memperlebar bantaran banjir di sepanjang sungai.
Mengaktifkan tanggul sodetan atau oxbow buatan (Gambar 5) di sungai bekas pelurusan
sodetan biasanya disebut danau tanggul buatan (initial oxbow lake). Sedangkan oxbow lake adalah
danau oxbow natural hasil proses alamiah terputusnya meander sungai setelah ratusan tahun terjadi
penggerusan. Energi kelebihan atas putusnya meander secara alamiah ini akan diredam meander-
meander lain di bagian hulu dan hilirnya.
Danau tanggul buatan merupakan pengganti ekosistem sungai yang mati, air yang diam,
kualitas air buruk dan sering menjadi sarang nyamuk, selain biasanya menjadi tempat pembuangan
sampah masyarakat. Lambat laun tanggul buatan ini akan dangkal dan tertutup sedimen, baik
sedimen yang berasal dari daerah sekitarnya maupun endapan sisa-sisa vegetasi. Akhir dari
perkembangan oxbow baik alamiah maupun hasil sodetan adalah berupa hutan moor atau dijadikan
areal persawahan, industri dan pemukiman oleh penduduk setempat.
Cara renaturalisasi oxbow adalah dengan membuka kembali tanggul pembatas oxbow dengan
sungai utama. Dengan dibukanya tanggul pemisah, aliran air sungai akan melewati oxbow
kembali, di samping air masih dapat melewati sungai sodetan yang ada. Aliran air yang kembali ke
danau oxbow akan mengurangi kecepatan air ke hilir sehingga resiko banjir juga berkurang.
Sementara konservasi air di hulu dapat ditingkatkan dan ekosistem daerah sungai oxbow akan
hidup kembali. Menanami kembali bantaran tebing dengan vegetasi setempat akan meningkatkan
kualitas ekosistem dan retensi air banjir sehingga menjamin stabilitas tebing sungai (Gambar 6).
9
Sumber: http://www.daviddarling.info/encyclopedia/
Gambar 5. Mengaktifkan danau oxbow kembali.
Sumber: Maryono, 2004
Gambar 6. Penanaman bantaran dan tebing dengan vegetasi
Berikutnya adalah menginisiasi meander. Sungai yang telah diluruskan dapat dimeanderkan
lagi dengan cara menginisiasi meander di berbagai tempat secara berselang-seling. Sarana inisiasi
ini dapat dipakai vegetasi setempat atau kombinasi bronjong batu dan vegetasi. Secara simultan
maka sungai yang bersangkutan akan membentuk meander atau berkelok-kelok lagi, jumlah flora
dan fauna meningkat, banjir dihulu berkurang.
Memperlebar daerah bantaran banjir dan memanjangkan sungai (Gambar 7) juga bisa
dilakukan. Daerah bantaran banjir (flood plain) yang biasanya berubah menjadi areal pertanian
atau dibuat talud memanjang dan diuruk dapat direnaturalisasi dengan membuka kembali talud,
tanggul, atau mengeruk kembali timbunan yang ada.
10
Sumber: Maryono, 2004
Gambar 7. Pelebaran daerah bantaran sungai untuk konsentrasi hulu
Di samping itu pada bantaran-bantaran yang sempit diperlebar secara proporsional. Areal
terbuka bantaran sungai dapat dibiarkan sebagai kolam retensi bantaran atau direvegetasi dengan
tanaman yang sesuai. Cara ini sangat efektif untuk menahan banjir dan meningkatkan konservasi
air di hulu. Membangun pulau-pulau buatan (lihat Gambar 8) menjadi pilihan lain.
Pulau-pulau sungai buatan pada normalisasi dan pelurusan sungai umumnya dikeruk atau
dihilangkan. Dalam renaturalisasi pembuatan pulau-pulau di tengah sungai ini umumnya sangat
digemari di Eropa karena merupakan komponen ekologi-hidraulik yang sangat vital dan secara
cepat dapat menyediakan lokasi berkembangnya keanekaragaman hayati sekaligus dapat
menaikkan retensi hidraulik.
Sumber: Maryono, 2004
Gambar 8. Pulau buatan pada daerah sungai
Selanjutnya untuk membangun pulau di sungai perlu dipelajari dan diteliti karakteristik pulau
yang pernah ada dilokasi tersebut. Pulau-pulau buatan di sungai yang paling stabil adalah pulau
buatan yang baik bentuk, formasi, maupun tata letaknya di sungai mengikuti karakteristik pulau
alamiah yang pernah ada.
Pembuatan pulau ditengah sungai dapat dilakukan dengan cara langsung, yaitu dengan
membangun pulau ditengah sungai dan cara tidak langsung yaitu membuat pelebaran di suatu
penggal sungai sehingga kecepatan aliran sungai turun., pengendapan ditengah sungai terbentuk,
selanjutnya secara simultan terbentuk pulau sungai. Keterlambatan renaturalisasi sungai biasanya
banyak mendapat kesulitan misalnya mahalnya pembongkaran kembali bantaran yang telah di
talud dan seterusnya.
2.2 Hujan
Menurut Soemarto (1995), terjadinya hujan diawali oleh suatu peristiwa penguapan air dari
seluruh permukaan bumi, baik dari muka tanah, permukaan pohon-pohonan dan permukaan air.
11
Penguapan yang terjadi dari permukaan air dikenal dengan penguapan (free water evaporation),
sedangkan penguapan yang terjadi dari permukaan yang terjadi dari permukaan pohon dikenal
dengan transpirasi (transpiration). Sebagai akibat terjadinya penguapan, maka akan dapat
terbentuk awan. Oleh sebab adanya perbedaan temperatur, awan tersebut akan bergerak oleh
tiupan angin ke daerah-daerah tertentu. Hujan baru akan terjadi apabila berat butir-butir hujan air
tersebut telah lebih besar dari gaya tekan udara ke atas.
Dalam keadaan klimatologis tertentu, maka air hujan yang masih melayang tersebut dapat
berubah kembali menjadi awan. Air hujan yang sampai ke permukaan tanah yang disebut hujan
dan dapat diukur. Hujan yang terjadi tersebut sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dan
akan diuapkan kembali. Air yang jatuh di permukaan tanah terpisah menjadi dua bagian, yaitu
bagian yang mengalir di permukaan yang kemudian menjadi aliran limpasan (overland flow) yang
selanjutnya dapat menjadi limpasan (run-off), lalu aliran tersebut menuju sungai dan kemudian
menuju laut. Aliran limpasan sebelum mencapai saluran dan sungai, sebagian akan mengisi
lekukan-lekukan permukaan bumi. Bagian lainnya masuk kedalam tanah melalui proses infiltrasi,
dan dapat menjadi aliran mendatar yang disebut aliran antara (interflow, subsurface flow). Bagian
air ini juga mencapai sungai atau laut. Air yang meresap lebih dalam lagi, sebagian akan mengalir
melalui pori-pori tanah sebagai air perkolasi (percolation). Sebagian besar lagi yang meresap lebih
jauh lagi ke dalam tanah, mencapai muka air tanah, inilah yang menyebabkan muka air tanah naik.
Pada suatu keadaan dimana dasar sungai lebih rendah dari muka air tanah, maka air tanah
akan mengalir ke dalam sungai dan membentuk pengaliran secara perlahan-lahan, terutama pada
musim kemarau, aliran yang demikian disebut aliran-aliran air tanah (groundwater flow), seperti
pada Gambar 9.
Keterangan:
1. Penguapan (evaporation, transpiration) 6. Aliran limpasan (overland flow)
2. Awan hujan 7. Aliran permukaan (surface run off)
3. Penguapan kembali 8. Aliran antara (subsurface flow, interflow)
4. Hujan (precipitation, rainfall) 9. Perkolasi (percolation)
5. Infiltrasi (infiltration)
Sumber: Soemarto, 1995
Gambar 9. Aliran air tanah dalam daur hidrologi
2.4.1 Tipe-tipe hujan
Berdasarkan sumber dari Departemen Pekerjaan Umum (1989), hujan sering dibedakan
menurut faktor penyebab pengangkatan udara yang menyebabkan terjadinya hujan, antara lain
Hujan Konvektif, Hujan Siklon, dan Hujan Orografik.
12
1. Hujan Konvektif, disebabkan oleh pergerakan naiknya udara yang lebih panas dari keadaan di
sekitarnya. Umumnya hujan jenis ini terjadi pada daerah tropis, dimana pada saat cuaca panas,
permukaan bumi memperoleh panas yang tidak seimbang, menyebabkan udara naik ke atas
dan kekosongan yang diakibatkan diisi oleh udara di atasnya yang lebih dingin.
2. Hujan Siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas yang bergeraknya
di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin.
3. Hujan Orografik, terjadi bila udara dipaksa naik di atas sebuah hambatan berupa gunung. Oleh
sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya menjadi daerah yang
berhujan lebat.
2.4.2 Pengukuran hujan
Berdasarkan sumber dari Departemen Pekerjaan Umum (1989), hujan merupakan komponen
masukan yang sangat penting pada proses hidrologi, sebab jumlah kedalaman hujan ini yang
dialihragamkan menjadi aliran di sungai. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah besaran
kedalaman hujan yang terjadi di seluruh daerah aliran drainase. Jadi tidak hanya besaran hujan
yang terjadi di satu stasiun penakar hujan atau pengukuran hujan. Dalam hal ini yang diperlukan
adalah data kedalaman hujan dari banyak stasiun hujan yang tersebar di seluruh daerah aliran.
Memperoleh besaran hujan yang dianggap sebagai kedalaman hujan yang sebenarnya terjadi di
seluruh daerah aliran sungai, maka diperlukan sejumlah stasiun hujan yang dipasang sedemikian
rupa sehingga dapat mewakili besaran hujan di daerah aliran sungai tersebut.
Selanjutnya, besaran hujan ini dapat diukur dengan alat pengukur hujan (rain gauge) seperti
terlihat pada Gambar 10. Dalam pemakaiannya ada terdapat dua jenis alat ukur hujan, yaitu:
1. Penakar hujan biasa (manual rain gauge), merupakan alat ukur yang paling banyak
digunakan, yang terdiri dari corong dan bejana. Ukuran diameter dan tinggi corong ini
berbeda-beda untuk masing-masing negara yang berbeda sehingga hasil dari pengukuran ini
tidak dapat diperbandingkan.
2. Penakar hujan otomatis (automatic rain gauge), mencatat tinggi muka air secara otomatis
untuk jangka waktu tertentu. Dalam pemakaian alat ini terdapat tiga jenis alat ukur hujan
otomatis, yaitu dengan weighing bucket, tipping bucket, dan float.
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1989
Gambar 10. Jenis-jenis alat ukur curah hujan
13
2.4.3 Radar hujan untuk antisipasi banjir
Pemerintah daerah yang wilayahnya sering dilanda banjir sehingga aktifitas masyarakatnya
terganggu sebaiknya memanfaatkan radar hujan yang bisa memprediksi curah hujan sesaat sebagai
sistem peringatan dini tentang banjir. Alat ini dapat memprediksi intensitas dan lamanya hujan
yang akan terjadi hingga H minus 3. Hasil prediksi intensitas dan lamanya hujan yang akan terjadi
dapat dikombinasikan dengan perhitungan karakteristik sistem daerah aliran sungai (DAS)
sehingga dapat diperkirakan berapa besar banjir yang mungkin terjadi.
Bila kemungkinan banjir sudah diketahui sejak dini, maka masyarakat dapat
mengantisipasinya. Peringatan dini tentang banjir dapat dilakukan mulai H minus 3 sampai dengan
H minus 1, dengan menginformasikan pada instansi terkait sehingga evakuasi korban dapat
diantisipasi lebih dini.
2.4.4 Hujan rata-rata suatu wilayah
Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau
daerah dinyatakan dalam millimeter (mm).
Menurut Suripin (2004), curah hujan wilayah ini harus diperkirakan dari beberapa titik
pengamatan curah hujan. Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh beberapa cara yang
sampai saat ini sangat lazim digunakan, yaitu dengan cara:
1. Rata-Rata Aljabar
Metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan wilayah. Metode ini didasarkan
pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Cara ini cocok
untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat penakar tersebar merata atau hampir
merata, dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya. Hujan
suatu wilayah diperoleh persamaan sebagai berikut:
Di mana P1, P2,….Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,2,…..n dan n
adalah banyaknya pos penakar hujan.
2. Poligon Thiessen.
Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis
sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan
bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang
pos dianggap dapat mewakil wilayah terdekat. Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat
dibandingkan dengan metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas
500 – 5000 km2 dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.
Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta DAS. Antar pos penakar dibuat garis lurus
penghubung.
b. Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa,
sehingga memberntuk poligon Thiessen (Gambar 11). Semua titik dalam satu
poligon akan mempunyai jarah terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya
14
dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada pos
tersebut dianggap representasi hujan pada wilayah dalam poligon yang bersangkutan.
c. Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter dan luas total DAS
dapat diketahui dengan menjumlahkan semua luasan poligon
d. Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut:
di mana P1, P2,…Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, .., n.
A1, A2, ...., An adalah luas areal poligon 1, 2, …., n. n adalah banyaknya pos
penakar hujan.
Sumber: Suripin, 2004
Gambar 11. Metode Poligon Thiessen
3. Isohyet.
Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-rata,
namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara aktual
pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Dengan kata lain, asumsi metode Thiessen yang secara
membabi buta menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama
untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.
Metode isohyet terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut (Gambar 12) :
a. Memplot data kedalaman air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta.
b. Menggambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik-titik yang
mempunyai kedalaman air yang sama. Interval isohyets yang umum dipakai adalah 10
mm.
c. Menghitung luas area antara dua garis isohyets dengan menggunakan planimeter.
Kemudian masing – masing luas area dikalikan dengan rata-rata hujan antara dua isohyey
yang berdekatan. Perhitungan tersebut didapatkan dengan menggunakan persamaan
berikut:
Metode isohyets cocol untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km2.
15
Sumber: Suripin, 2004
Gambar 12. Isohyet
2.4.5. Perhitungan Curah Hujan Rencana
Perhitungan debit banjir dengan periode ulang tertentu, diperlukan juga hujan harian
maksimum dengan periode ulang tertentu pula. Hujan harian maksimum ini sering disebut dengan
hujan rencana. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan berapa besarnya
hujan rencana, antara lain Metode Distribusi Log Pearson Tipe III, Metode Gumbel, Metode
Distribusi Log Normal, dan Metode Distribusi Normal.
Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Rainbow dalam perhitungan curah hujan
rencana dan metode yang digunakan adalah Metode Distribusi Log Normal. Menurut Soewarno
(1991), adapun rumus perhitungan untuk Metode Distribusi Log Normal sebagai berikut:
Xi = Xrt + k . s
Keterangan :
Xi = besarnya curah hujan yang mungkin terjadi dengan periode ulang X tahun (mm).
s = standar deviasi data hujan maksimum tahunan.
Xrt = curah hujan rata-rata (mm).
k = nilai karakteristik dari distribusi Log-Normal, yang nilainya tergantung dari koefisien
variasi.
2.3 Debit Banjir Rencana
Menurut Soemarto (1995), cara menghitung debit banjir rencana tergantung pada data yang
tersedia. Apabila data debit yang tersedia tidak cukup panjang, sedangkan data curah hujan
tersedia cukup panjang, maka debit hujan rencana dapat dihitung dengan metode rasional
(modified rational method).
Asumsi dasar yang ada selama ini adalah bahwa kala ulang debit ekivalen dengan kala ulang
hujan. Debit rencana untuk daerah perkotaan pada umumnya dikehendaki pembuangan air yang
secepatnya, agar jangan ada genangan air atau banjir pada daerah perkotaan tersebut. Untuk
memenuhi tujuan ini saluran-saluran harus disesuaikan dengan debit rancangan.
Faktor-faktor yang menentukan sampai berapa tinggi genangan air yang diperbolehkan agar
tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat perkotaan adalah:
16
1. Berapa luas daerah yang akan tergenang (sampai batas tinggi yang diperbolehkan)
2. Berapa lama waktu penggenangan itu
Suatu daerah perkotaan umumnya merupakan bagian dari suatu daerah aliran yang lebih luas
dan pada daerah aliran ini sudah ada sistem jaringan drainase alami. Perencanaan dan
pengembangan sistem bagi suatu daerah perkotaan yang baru harus diselaraskan dengan sistem
drainase alami yang sudah ada, agar keadaan aslinya dapat dipertahankan sejauh mungkin.
Rumus Metode Rasional
……………..……………………………(5)
Keterangan :
Qp = Debit puncak aliran (m3/detik)
C = Koefisien limpasan (run off)
Cs = Koefisien penampungan
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (m/detik)
A = Luas daerah aliran genangan air/banjir (m2)
Menurut Sukarto (1999), koefisien penampungan (Cs) tidak mudah ditetapkan, tetapi
perkiraan nilai tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula rumus :
…………………..……………………………..(6)
Keterangan :
tc = Waktu konsentrasi
td = Waktu tempuh air di dalam saluran (menit)
Selain itu, perlu dihitung waktu tempuh air di dalam saluran (td). Dalam hal ini td ditentukan
oleh karakteristik hidrolis di dalam saluran, dimana rumus pendekatan adalah :
................................…………………………(7)
Keterangan :
L = Panjang saluran
V = Kecepatan rata-rata dalam saluran
Langkah selanjutnya, tc ditentukan dengan menggunakan rumus empiris dari Kirpich sebagai
berikut :
……….………………………………..(8)
Keterangan :
tc = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang saluran (m)
S = Kemiringan saluran (m)
17
2.4 Koefisien Run Off
Menghitung analisis hidrologi dapat dilakukan dengan mengetahui besar koefisien run
off yang dipengaruhi oleh kondisi penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan tanah. Besarnya
koefisien run off untuk berbagai jenis tata guna lahan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Standar harga koefisien run off
No Tata Guna Lahan Koefisien Run Off
1 Daerah Komersial Perdagangan 0.75 - 0.95
2 Daerah Industri 0.50 - 0.90
3 Daerah Permukiman dengan kepadatan
a. Rendah < 20 rumah/ha 0.25 - 0.40
b. Sedang = 20 - 40 rumah/ha 0.40 - 0.60
c. Tinggi > 40 rumah/ha 0.60 - 0.75
4 Daerah Pertanian 0.45 - 0.55
5 Daerah Perkebunan 0.20 - 0.30
6 Daerah hutan, datar dan kemiringan
a. Kemiringan < 20 % 0.10 - 0.50
b. Kemiringan = 2 - 7 % 0.10 - 0.15
Sumber : Sukarto, 1999
2.5 Intensitas Hujan
Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (I) dihitung dengan menggunakan rumus
Mononobe, yang merupakan dasar dalam menentukan harga intensitas hujan, yaitu sebagai berikut
:
………………………………………………(9)
Keterangan :
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
tc = Lamanya curah hujan (menit)
2.6 Daerah Tangkapan Air (Catchment Area)
Daerah tangkapan air adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung bukit
atau batas-batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah
hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai
utama, akhirnya bermuara ke danau atau laut. Pada penelitian ini, dalam menentukan daerah
tangkapan air di lokasi penelitian dilihat dari aliran air dalam saluran drainase di sekitar lokasi
yang kemudian dicocokkan dengan peta wilayah dan peta kontur serta data elevasi.
2.7 Perhitungan Kapasitas
Kapasitas saluran menurut Sukarto (1999), kapasitas rencana saluran dihitung dengan
menggunakan rumus Manning, yang merupakan dasar dalam menentukan dimensi saluran, yaitu
sebagai berikut:
18
……….……………………………..(10)
…………………………………..………...(11)
……………………………………………….…...(12)
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
K = Koefisien kehalusan (Tabel 3)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata- rata saluran
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Q = Debit aliran (m3/detik)
Rumus perhitungan luas penampang basah saluran yang berbentuk segi empat (A):
A = B.h
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase
h = Kedalaman air dalam saluran drainase
Rumus keliling basah saluran berbentuk segi empat (P):
P = B + 2h
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase
h = Kedalaman air dalam saluran drainase
Rumus radius hidrolis (R)
R= A/P
Keterangan :
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Kemiringan saluran (S):
Dibutuhkan data elevasi dan jarak horizontal saluran untuk menghitung kemiringan
saluran (slope), ilustrasi dapat dilihat di Gambar 13. Data elevasi bisa dilihat dari peta kontur
ataupun perangkat lunak Google Earth sedangkan jarak horizontal didapatkan dari hasil observasi
lapangan. Jika data tersebut telah tersedia kemudian kemiringan saluran dapat dihitung dengan
persamaan rumus di bawah ini:
19
Gambar 13. Kemiringan (slope) saluran
Keterangan:
∆X = Beda levasi (m)
Y = Jarak horizontal (m)
S = Kemiringan saluran (slope)
Koefisien kehalusan (K) menurut Sukarto (1999) sangat bervariasi dan tergantung pada berbagai
faktor. Pada Tabel 2 diberikan beberapa harga koefisien kehalusan (K).
Tabel 2. Standar Harga Koefisien Kehalusan
No. Material Saluran Koefisien Kehalusan Strickler
1 Plasteran halus 77 – 100
2 Plasteran kasar 67 – 91
3 Beton cor dipoles 60 – 77
4 Beton pra cetak 67 – 91
5 Pasangan batu disiar 50 – 67
6 Pasangan batu kosong 42 – 59
7 Pasangan batu bronjong 29 – 50
8 Saluran tanah bersih 30 – 45
9 Saluran tanah dan timbunan 1 - 3
Sumber : Sukarto, 1999
20
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dengan topik “Kajian Sistem Drainase di Daerah Jalan Swadarma Raya,
Jakarta Selatan” dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai pada bulan Maret hingga Juli 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam perhitungan analisis curah hujan dan saluran
drainase, yaitu data curah hujan harian 10 tahun , seperangkat komputer, program Microsoft
Excel, RAINBOW, kalkulator, dan alat ukur.
3.3 Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam kajian sistem drainase meliputi tahap
pengumpulan dan pengolahan data serta tahap analisis data. Setelah semua data yang dibutuhkan
terkumpul, kemudian dilakukan perhitungan dengan beberapa metode dan perangkat lunak.
3.3.1 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian, yaitu peta wilayah, peta kontur lokasi penelitian,
dimensi dan panjang saluran drainase di daerah Jalan Swadarma. Selain juga dibutuhkan data
curah hujan maksimum 10 tahun di stasiun Ciledug yang didapat dari Badan Klimatologi,
Meteorologi, dan Geofisika (BMKG).
3.3.2. Analisis Data
1. Perhitungan Curah Hujan
Curah hujan dihitung berdasarkan data curah hujan maksimum harian selama 10 tahun dari
BMKG. Curah hujan tersebut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Rainbow.
2. Perhitungan Debit Banjir
Analisis hidrologi untuk mengetahui besar debit puncak aliran genangan air banjir dihitung
dengan menggunakan rumus Metode Rasional.
3. Perhitungan Kapasitas Saluran Drainase Eksisting dan Rencana
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus Manning.
4. Perhitungan Luas Penampang Basah Saluran Rencana
Tahapan perhitungan luas penampang basah saluran rencana sama seperti pada perhitungan
kapasitas saluran drainase eksisting. Namun yang membedakannya adalah dimensi dari
saluran tersebut. Perhitungan ini dilakukan jika ternyata dari hasil perhitungan sebelumnya
kapasitas saluran eksisting tidak dapat memadai debit puncak aliran.
3.4 Kerangka Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data yang
dibutuhkan dalam kajian sistem drainase di daerah sekitar Jalan Swadarma Raya. Kemudian
dilakukan pencarian berbagai literatur yang terkait dengan penelitian ini. Setelah dilakukan survey
lapangan untuk melihat kondisi lokasi penelitian, lalu dilakukan perhitungan analisis curah hujan
dan debit aliran saluran eksisting. Tahapan peneltian dapat dilihat pada diagram alir tahapan
penelitian di Gambar 14.
22
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di
bagian barat laut Pulau Jawa. Jakarta memiliki luas sekitar 661.52 km² (lautan: 6,977.5 km²), dengan
penduduk berjumlah 9,607,787 jiwa. Jakarta terbagi lagi menjadi lima kota yaitu kota administrasi
Jakarta Utara, Barat, Timur, Pusat, dan Selatan (Gambar 15). Jakarta Selatan adalah kota administrasi
yang kemudian dibagi lagi menjadi 10 kecamatan antara lain Kebayoran Baru, Kebayoran Lama,
Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, Jagakarsa, Mampang, Prapatan, Pancoran, Tebet, dan
Setiabudi.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Pesanggaran, dan
Kelurahan Ulujami, tepatnya pada daerah sekitar Jalan Swadarma Raya. Pada penulisan ini yang
diteliti adalah sistem drainase perkotaan yang merupakan salah satu sarana dan prasarana infrastruktur
yang penting dalam pengembangan suatu daerah agar dapat menjadi kota yang terlihat lebih indah,
tertata dan bebas banjir.
Dalam kajian sistem drainase perkotaan ini, daerah yang diteliti adalah daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya (lihat Gambar 17), yaitu:
1. Jalan Perdana
2. Jalan Swadarma Raya
3. Jalan Haji Ridi
4. Jalan Haji Mairin
5. Jalan Haji Rohimin
Adapun daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dipilih karena merupakan daerah pemukiman dan
pertokoan. Selama kurang lebih 5 tahun terakhir ini daerah sekitar Jalan Swadarma Raya mengalami
banjir dengan yang terparah pada tahun 2007 dimana tinggi genangan mencapai 2 meter dengan lama
genangan berkisar antara 2-4 hari. Banjir parah tersebut terjadi beberapa tahun ini disebabkan oleh
pembangunan pemukiman baru seperti rumah dan apartemen sehingga terjadi perubahan tata guna
lahan.
Sumber: PU DKI Jakarta
Gambar 15. Peta DKI Jakarta dengan pembagian kota administrasi
23
Dinas Pekerjaan Pekerjaan Umum (PU) telah melakukan kajian mengenai daerah rawan
banjir dengan membuat peta area rawan genangan di DKI Jakarta. Daerah lokasi penelitian dapat
terlihat pada Gambar 16 yang dilingkari yaitu di daerah Cipulir dan Ciledug. Peta tersebut merupakan
kajian yang dilakukan pada tahun 1997 sedangkan daerah sekitar Jalan Swadarma Raya baru saja
mengalami banjir yang cukup parah dalam waktu 5 tahun terakhir.
Dari hasil wawancara penduduk sekitar, luas genangan air atau banjir di daerah Jalan
Swadarma Raya sekitar 9 Ha. Menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
534/KPTS/M/2001: Tentang Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Drainase dan
Pengendalian Banjir, dapat diklasifikasikan bahwa daerah sekitar Jalan Swadarma Raya memiliki area
genangan air di atas 10 Ha maka penanganannya harus secara makro sedangakan untuk luas genangan
di bawah 10 Ha maka penanganannya secara mikro. Sehingga daerah sekitar Jalan Swadarma Raya
merupakan salah satu daerah genangan air atau banjir yang perlu diperhatikan.
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum
Gambar 16. Peta 78 daerah rawan genangan DKI Jakarta
4.2 Kondisi Lokasi Daerah Sekitar Jalan Swadarma Raya
Lokasi penelitian yaitu Jalan Swadarma Raya dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Di sekitar Jalan Swadarma Raya merupakan daerah padat pemukiman dan pertokoan, kendaraan yang
melintasi jalan ini sebagian besar merupakan kendaraan pribadi juga kendaraan umum yang melintasi
jalan untuk menuju Jalan Cildeug Raya.
25
Gambar 18. Lokasi penelitian: Jalan Swadarma Raya
Sumber: Survey lapangan
4.3 Keadaan Saluran Drainase Sekitar Jalan Swadarma Raya
Untuk mengantisipasi genangan air atau banjir maka dibutuhkan saran dan prasarana untuk
mendukungnya, salah satu sarana dan prasarana yang dimaksud adalah sistem jaringan drainase yang
baik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19, 20, 21, 22, dan 23, sehingga dapat dikatakan bahwa
keadaan sistem jaringan daerah sekitar Jalan Swadarma Raya belum terencana dan terawat dengan
baik sehingga drainase belum berfungsi secara optimal. Selain itu, terlihat di saluran drainase terdapat
sampah yang menyumbat sehingga membuat air tergenang pada beberapa bagian saluran drainase di
jalan. Pengelolaan dan perawatan saluran drainase di beberapa jalan tersebut belum baik, terlihat dari
adanya sedimentasi yang tentu juga membuat daya tampung saluran terhadap air berkurang.
Gambar 19. Kondisi saluran drainase Jalan Swadarma Raya
Sumber: Survey lapangan
26
Gambar 20. Kondisi saluran drainase Jalan Perdana
Sumber: Survey lapangan
Gambar 21. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Ridi
Sumber: Survey lapangan
Gambar 22. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Rohimin
Sumber: Survey lapangan
27
Gambar 23. Kondisi saluran drainase Jalan Haji Mairin
Sumber: Survey lapangan
4.4 Kondisi Saluran Drainase Eksisting
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapat data dimensi dan panjang saluran drainase
di daerah sekitar Jalan Swadarma Raya yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data pengukuran saluran drainase eksisting sekitar Jalan Swadarma Raya
No Nama Saluran
Ukuran Saluran Panjang Saluran
(m) Kondisi Saluran Eksisting Tinggi
(m)
Lebar
(m)
1 Jalan Swadarma Raya 0.55 0.60 1600 Beton cor
2 Jalan Perdana 0.50 0.60 150 Beton cor + alami
3 Jalan Haji Ridi 0.50 0.60 300 Beton cor + alami
4 Jalan Haji Mairin 0.55 0.50 400 Beton cor + alami
5 Jalan Haji Rohimin 0.55 0.50 350 Beton cor + alami
Sumber : Pengukuran di lapangan
Ilustrasi saluran drainase eksisting di Jalan Swadar ma Raya dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Penampang saluran eksisting pada daerah Jalan Swadarama Raya pada saat air normal
28
4.5 Data Curah Hujan Daerah Sekitar Jalan Swadarma Raya
Untuk mengetahui besaran aliran banjir maka terlebih dahulu harus didapatkan data curah
hujan yang berasal dari Instansi Pemerintah yang membutuhkan data informasi curah hujan seperti
Dinas Pekerjaan Umum atau pos-pos pengamatan curah hujan seperti Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Pada daerah sekitar Jalan Swadarma data informasi curah hujan didapatkan dari BMKG
Pusat dengan pos pengamatan Stasiun Ciledug Jakarta Selatan.
29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas besaran aliran banjir terhadap drainase di sekitar Jalan Swardarma
Raya, namun sebelumnya dibutuhkan data informasi curah hujan dari pos pengamatan curah hujan di
sekitar Jalan Swadarma Raya, yang didapat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), sehingga dengan mengetahui data tersebut kemudian dapat dianalisis terhadap drainase
eksisting yang ada apakah dapat menampung aliran debit banjir atau tidak.
5.1 Perhitungan Curah Hujan dan Rencana
Curah hujan rencana dapat dihitung berdasarkan data curah hujan harian selama 10 tahun
yang didapatkan dari Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ciledug
dengan menentukan curah hujan harian maksimum, seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Curah hujan harian maksimum stasiun Ciledug
Sumber: BMKG Pusat, 2012
Tabel 5.Hasil perhitungan curah hujan harian maksimum menggunakan Rainbow
Sebaran
Periode
R2 5
Tahun
10
Tahun
20
Tahun
(mm/hari)
Normal 195.2 222.9 245.7 0.53
Log Normal 178.4 208.5 237.1 0.67
Square Normal 215.3 240.0 258.6 0.44
Square Root Normal 186.2 215.1 240.6 0.60
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan perangkat lunak Rainbow yang dapat dilihat di
Tabel 5, metode sebaran yang digunakan yang memiliki R2 mendekati 1 adalah metode sebaran Log
Normal. Curah hujan maksimum harian yang digunakan adalah periode ulang 5 tahun yaitu 178.4
mm/hari yang kemudian digunakan untuk perhitungan debit puncak banjir.
5.2 Perhitungan Kapasitas Saluran Drainase Eksisting
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapat data penampang saluran drainase di daerah
sekitar Jalan Swadarma Raya seperti terlihat pada Tabel 3. Gambar penampang saluran eksisting dari
hasil penelitian pada daerah sekitar Jalan Swadarma Raya seperti terlihat pada Gambar 25, di bawah
ini :
30
Gambar 25.Penampang saluran eksisting di daerah Jalan Swadarma Raya
Dari penampang saluran di atas dapat diketahui bahwa:
B = 0.60 m
h = 0.55 m
Kapasitas saluran eksisting daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan Manning (10), (11) , dan (12) yang merupakan dasar dalam menentukan
dimensi saluran.
……….……………………………..(10)
…………………………………..………...(11)
……………………………………………….…...(12)
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
K = Koefisien kehalusan (Tabel 2)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata- rata saluran (slope)
F = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Q = Debit aliran (m3/detik)
Luas penampang basah saluran berbentuk segi empat (A) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan rumus (13):
A = B.h
= 0.60 m x 0.55 m
= 0.33 m2
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase
h = Kedalaman saluran drainase
Keliling basah saluran berbentuk segi empat (P) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
rumus (14):
31
P = B + 2h
= 0.60 m + (2 x 0.55) m
= 1.70 m
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase
h = Kedalaman saluran drainase
Berdasarkan uraian persamaan rumus (13) dan (14) di atas maka perhitungan radius hidrolis (R) dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (12):
Keterangan:
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Berdasarkan uraian persamaan rumus (12) di atas maka perhitungan kecepatan aliran rata – rata dalam
saluran (V) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (10):
= 1.40 m/detik
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
K = Koefisien kehalusan (Tabel 3)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata- rata saluran
Berdasarkan uraian persamaan rumus (10) dan (13) di atas maka perhitungan debit saluran eksisting
(Q) daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (11):
Q = V. A
= 1.40 m/detik x (0.60 m x 0.55 m)
= 0.47 m3/detik
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
Q = Debit aliran (m3/detik)
5.3 Perhitungan Debit Banjir Rencana
Analisis hidrologi didapatkan dari perhitungan besaran debit puncak aliran genangan banjir
dengan menggunakan persamaan rumus (5), sebagai berikut:
32
Keterangan:
Qp = Debit puncak aliran (m3/detik)
C = Koefisien limpasan (run off)
Cs = Koefisien penampungan
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (m/detik)
A = Luas daerah tangkapan air (m2)
Sedangkan untuk koefisien penampungan (Cs) tidak mudah ditetapkan, namun perkiraan
nilai tersebut didapat dari perhitungan dengan menggunakan persamaan rumus (6) :
Keterangan:
= Waktu konsentrasi
= Waktu tempuh air di dalam saluran (menit)
Untuk mendapatkan waktu aliran air di atas permukaan tanah sampai ke ujung saluran (td),
menggunakan persamaan rumus (7) berikut:
Keterangan :
= Waktu tempuh air di dalam saluran (menit)
L = Panjang saluran (meter)
V = Kecepatan rata-rata dalam saluran (meter/detik)
Kemiringan saluran atau slope (S) didapatkan dari perangkat lunak Google Earth yaitu
sebesar 0.005 (Gambar 26). Dengan perhitungan sebagai berikut:
33
Gambar 26. Kemiringan saluran sepanjang Jalan Swadarma Raya
Waktu konsentrasi (tc) dapat dihitung dengan persamaan rumus (8), sebagai berikut:
= 43.97 menit
Keterangan:
tc = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang saluran (1600 m)
S = Kemiringan saluran (slope)
Berdasarkan uraian persamaan rumus di atas maka perhitungan analisis hidrologi untuk besaran debit
puncak aliran banjir daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dapat dihitung dengan persamaan rumus (6):
Cs = 0.82
Keterangan:
tc = Waktu konsentrasi (menit)
td = Waktu tempuh air di dalam saluran (menit)
Koefisien run off dapat dilihat pada Tabel 1:
C = 0.60
Curah hujan maksimum dalam 24 jam didapat dari perhitungan dengan perangkat lunak
Rainbow yang menggunakan sebaran Log Normal periode ulang 5 tahun. Intensitas hujan selama
waktu konsentrasi (I) dihitung dengan menggunakan rumus Mononobe, dengan menggunakan
persamaan rumus (9):
34
= 76.08 mm/ jam
Keterangan :
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
tc = Lamanya curah hujan (menit)
Sehingga untuk mengubah satuan intensitas curah hujan dari mm/jam menjadi m/detik dapat diuraikan
dengan persamaan rumus berikut:
Keterangan:
I = Intensitas hujan (menit/detik)
Daerah tangkapan air (A) didapatkan dari hasil observasi peta wilayah (Gambar 17) dan peta
kontur lokasi penelitian (Lampiran 2). Maka dari hasil observasi arah aliran air dalam saluran drainase
di jalan- jalan lain di sekitar Jalan Swadarma Raya, luas daerah tangkapan air adalah sekitar 70,500
m2. Angka tersebut didapat dari perhitungan dengan menggunakan metode langkah.
Perhitungan analisis hidrologi untuk besaran debit puncak aliran banjir daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya dapat dihitung dengan persamaan rumus berikut:
Qp = Cs.C.I.A
= 0.82 x 0.60 x 0.0000211 m/det x 70,500 m²
= 0.73 m³/det
Keterangan:
Qp = Debit puncak aliran (m³/detik)
C = Koefisien run off (Tabel 1)
Cs = Koefisien penampungan
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (m/detik)
A = Luas daerah tangkapan air (m²)
5.4 Perhitungan Luas Penampang Basah Saluran Rencana
Gambar desain saluran rencana di daerah Jalan Swadarma Raya seperti terlihat pada Gambar
27 di bawah ini:
35
Gambar 27. Desain saluran drainase rencana di Jalan Swadarma Raya
Kapasitas saluran rencana daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan Manning (10), (11) , dan (12) yang merupakan dasar dalam menentukan
dimensi saluran.
……….……………………………..(10)
…………………………………..………...(11)
……………………………………………….…...(12)
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
R = Radius hidrolis (m)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Q = Debit aliran (m3/detik)
Luas penampang basah saluran berbentuk segi empat (A) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan rumus (13):
A = B.h
= 0.60 m x 0.85 m
= 0.51 m2
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase (meter)
h = Kedalaman saluran drainase (meter)
Keliling basah saluran berbentuk segi empat (P) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
rumus (14):
P = B + 2h
= 0.60 m + (2 x 0.85) m
= 2.3 m
36
Keterangan:
B = Lebar saluran drainase
h = Kedalaman saluran drainase
Berdasarkan uraian persamaan rumus (13) dan (14) di atas maka perhitungan radius hidrolis (R) dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (12):
Keterangan:
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
Kemiringan saluran (S):
S = 0.005
Berdasarkan uraian persamaan rumus (12) di atas maka perhitungan kecepatan aliran rata – rata dalam
saluran (V) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (10):
= 1.54 m/detik
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
K = Koefisien kehalusan (Tabel 2)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata- rata saluran (slope)
Berdasarkan uraian persamaan rumus (10) dan (13) di atas maka perhitungan debit saluran rencana
(Q) daerah sekitar Jalan Swadarma Raya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (11):
Q = V. A
= 1.54 m/detik x (0.60 m x 0.85 m)
= 0.78 m3/ detik
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata- rata dalam saluran (m/detik)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
Q = Debit aliran (m3/detik)
Sehingga berdasarkan persamaan rumus (10) dan (11), maka luas penampang basah saluran
rencana (A) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus (11):
37
= 0.48 m2
Keterangan :
V = Kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/detik)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
Q = Debit aliran (m3/detik)
Dari perhitungan didapatkan debit aliran saluran drainase eksisting (Q) daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya adalah 0.47 m³/det, sedangkan besaran aliran banjir puncak (Qp) daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya adalah 0.73 m³/det, sehingga dapat diperkirakan bahwa besaran aliran banjir tidak
dapat ditampung oleh kapasitas saluran drainase eksisting yang ada. Melihat kondisi di lapangan,
maka yang dapat dilakukan untuk mengubah dimensi saluran adalah dengan perdalaman saluran
sehingga debit puncak banjir dapat tertampung. Dimensi saluran menjadi h = 0.85 m dan sesuai
perhitungan di atas, setelah dimensi saluran diubah debit yang dapat ditampung menjadi 0.78
m3/detik. Estimasi biaya perdalaman saluran sebesar Rp 613,000,000 (Lampiran 1).
Dari hasil observasi dan data sekunder yang diperoleh dapat diketahui bahwa air genangan
yang terjadi di Jalan Swadarma Raya ketika curah hujan tinggi yang mengalir di saluran drainase
menuju ke saluran PHB Ulujami kemudian ke Kali Petukangan Utara dan berakhir di Kali
Pesanggrahan (Gambar 28). Terlihat juga dari peta kontur (Lampiran 2) didapatkan data elevasi
Saluran PHB Ululjami berkisar antara 14-15 m sedangkan elevasi tanggul Kali Pesanggarahan
berkisar antara 12–13 m. Elevasi tanggul tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
daerah Jalan Swadarma Raya yang memiliki elevasi berkisar antara 19-20 m. Kali Pesanggrahan akan
meluap jika tinggi muka airnya melebihi 1 meter dari tinggi tanggul, dengan demikian dapat diketahui
bahwa saat Kali Pesanggrahan meluap elevasinya menjadi berkisar antara 13-14 m dimana elevasi
tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan elevasi di daerah Jalan Swadarma Raya.
Adapun data karakteristik DAS Kali Pesanggrahan sebagai berikut:
Luas DAS : 112.06 km2
Luas DAS bagian hulu : 67.51 km2
Panjang sungai utama (L) : 73.68 km
Kemiringan sungai utama : 0.27%
Jumlah ruas sungai : 105
Lebar DAS hulu : 5.61 km
Lebar DAS hilir :2.27km
38
Gambar 28. Peta aliran air di kawasan Jakarta Selatan
Dari data di atas maka dapat diprediksi bahwa genangan air yang terjadi di daerah Jalan
Swadarma Raya bukan akibat luapan kali namun karena hujan lokal dan kondisi saluran drainase yang
kurang baik. Genangan yang terjadi di beberapa titik di sepanjang Jalan Swadarma Raya juga
diakibatkan oleh kemiringan saluran yang bervariasi menyebabkan adanya cekungan di beberapa titik
jalan sehingga air menggenang, hal tersebut terjadi karena pada dasar saluran drainase ada yang sudah
dibeton dan masih alami. Selain itu, dari hasil observasi di lapangan terlihat banyak sampah yang
menyumbat saluran.
Selain perhitungan uraian persamaan rumus yang telah diuraikan di atas, ada beberapa hal
yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya penyebab genangan air atau banjir di kawasan Jalan
Swadarma Raya.
1) Membersihkan sampah, tumbuhan pengganggu yang ada pada saluran.
2) Memperbaiki longsoran-longsoran kecil yang terjadi di lereng saluran.
3) Menambal dinding saluran yang retak atau rusak, dan merapikan bentuk profil saluran.
Perawatan berkala, dilakukan dengan cara:
1) Melakukan pengerukan atau mengangkat endapan lumpur secara manual di sepanjang saluran,
dilakukan setiap periode tertentu (1-4 tahun sekali) dan dilakukan pada musim kemarau.
2) Cara lain selain pengerukan secara manual adalah dengan penggarukan (rodding), penyemprotan
(jetting) serta penyedotan.
39
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1) Hasil pehitungan curah hujan harian maksimum dengan menggunakan perangkat lunak Rainbow
adalah 178 mm/hari dimana sebaran yang digunakan adalah Log Normal dengan periode ulang 5
tahun.
2) Berdasarkan perhitungan, digunakan curah hujan harian maksimum dengan periode ulang 5 tahun
didapatkan debit aliran saluran drainase eksisting (Q) dengan daerah sekitar Jalan Swadarma
Raya sebesar 0.47 m³/det, sedangkan besaran aliran banjir puncak (Qp) daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya sebesar 0.73 m³/det. Dengan demikian, sistem drainase eksisting yang ada tidak
dapat menampung debit banjir puncak.
3) Dari peta kontur dapat dilihat bahwa Kali Pesanggrahan yang menjadi tempat pembuangan air
terakhir ketika dalam kondisi meluap memiliki elevasi berkisar antara 13- 14 meter yang masih
lebih rendah jika dibandingkan dengan lokasi penelitian yang memiliki elevasi berkisar antara
19–20 meter sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab banjir pada daerah sekitar Jalan
Swadarma Raya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dalam bulan-bulan tertentu. Selain itu
karena saluran drainase eksisting yang ada tidak dapat menampung debit banjir puncak, dan
sistem drainase yang kurang baik.
4) Saluran drainase eksisting tidak dapat menampung debit banjir puncak sehingga dimensi saluran
perlu diubah. Karena kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan dilakukan perlebaran saluran
maka penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan memperdalam saluran rencana dengan h
= 0.85 m (lihat Gambar 27). Jika dimensi saluran diubah, maka debit aliran yang dapat ditampung
di saluran sebesar 0.78 m³/ detik.
5) Estimasi biaya perdalaman saluran sebesar Rp 613,000,000 (Lampiran 1) yang dihitung dengan
menggunakan pedoman SNI 2835: 2008 mengenai tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
tanah untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan dan SNI 7394:2008 mengenai tata cara
perhitungan harga satuan pekerjaan beton untuk konstruksi bangunan dan perumahan.
6) Pemeliharaan sistem drainase menjadi solusi pengendalian banjir yang terjadi di daerah tersebut.
Kemiringan saluran drainase di Jalan Swadarma Raya harus diperbaiki dengan membeton saluran
yang masih alami sehingga kemiringan menjadi tidak terlalu bervariasi. Partisipasi dan kesadaran
masyarakat dalam pemeliharaan saluran juga menjadi hal yang penting untuk mengendalikan
banjir.
6.2 Saran
Dimensi saluran yang diperdalam membutuhkan kajian lebih lanjut untuk rancangan
konstruksi dari saluran drainase tersebut.
40
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim] Oxbow Lake. http://www.daviddarling.info/encyclopedia/O/oxbow_lake.html [8 Oktober
2012]
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2012. Data Iklim 2002 – 2011. Jakarta:
Stasiun Klimatologi Ciledug
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2835:2008 Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Beton untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 7394:2008 Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Tanah untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1989. Metode Perhitungan Debit Banjir Edisi Pertama.
Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Bangunan.
[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Laporan Studi Pengendalian Banjir DAS Pesanggrahan.
Jakarta: Dinas PU DKI Jakarta.
[DPPW] Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. Keputusan Menteri Pemukiman dan
Prasarana Wilayah, No. 543/KPTS/M/2001. Jakarta : Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah
[DPPW] Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Modul Pelatihan Manajemen
Prasarana dan Sarana Perkotaan. Jakarta : Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah
Irianto, Gatot. 2003. Banjir dan Kekeringan. Bogor: Universal Pustaka Media.
Maryono, Agus. 2004. Renaturalisai Sungai di Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI.
Nasution, Amrinsyah. 2009. Analisis dan Desain Struktur Beton Bertulang. Bandung: ITB.
Soemarto, C.D. 1995. Hidrologi Teknik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Soewarno. 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Bandung :
Nova.
Sukarto, Haryono. 1999. Drainase Perkotaan. Jakarta: Mediatama Saptakarya.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan.Yogyakarta: ANDI.
Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: IPB Press
41
Lampiran 1. Estimasi biaya saluran drainase rencana di Jalan Swadarma Raya
A. Perencanaan Adukan Beton
1. Untuk perencanaan, ditetapkan:
a. fc = 150 kg/cm2
b. Slump = 2.5 – 5 cm
c. Sifat agregat kasar (kerikil)
ukuran maksimum 50 mm
specific gravity 2.69
berat volume 1600 kg/m3
d. Sifat agregat halus (pasir)
specific gravity 2.64
modulus kehalusan 2.80
Ukuran SLUMP yang dianjurkan bagi berbagai jenis konstruksi
No. Uraian SLUMP (mm)
Maksimum Minimum
1 Dinding, pelat pondasi dan pondasi telapak bertulang 80 25
2 Pondasi telapak tidak bertulang, kaison, konstruksi di bawah tanah 80 25
3 Pelat, balok, kolom dan dinding 100 25
4 Perkerasan jalan 80 25
5 Pembetonan missal 50 25
(Nasution, 2009)
2. Dari table di bawah dengan ketentuan di atas diperoleh berat air campuran beton dan persentase
udara yang terperangkap sebagai berikut:
Jumlah air = 154 kg/m3, Persentase udara yang terperangkap = 0.5 %, Nilai rasio W/C = 0.8
Berat air yang diperlukan untuk setiap m3 beton dan persentase udara terperangkap untuk
berbagai SLUMP dan ukuran maksimum agregat.
SLUMP (cm) Berat air (kg/m³) beton untuk ukuran agregat berbeda
10 mm 12.5 mm 20 mm 25 mm 38 mm 50 mm 75 mm 150 mm
2.5 - 5 208 199 187 179 163 154 142 125
7.5 - 10 228 217 202 193 179 169 157 136
15 - 17 243 228 214 202 187 178 169 -
Persentase udara (%) yang ada di dalam unit beton
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0.3 0.2
Nilai rasio W/C dengan kekuatan tekan rencana beton
Kekuatan tekan beton Nilai rata-rata W/C
kg/cm³ Mpa
410 41 0.44
330 33 0.53
260 26 0.62
190 19 0.73
150 15 0.80
(Nasution, 2009)
42
3. Berat semen yang dibutuhkan untuk m3 beton:
Berat semen = (154/0.8) = 192.5 kg/m3
4. Ukuran maksimum agregat kasar = 50 mm
Angka modulus kehalusan agregat halus (pasir) = 2.80, diperoleh nilai volume agregat kasar
sebesar = 0.74.
Dengan demikian, berat agregat kasar perlu yang mempunyai berat volume = 1600 kg/m3
adalah 0.74 x 1600 = 1184 kg/m3 beton.
Persentase volume agregat kasar/ m3 volume beton
Ukuran agregat kasar (mm)
Persentase volume agregat kasar/m³ volume beton untuk
Fineness Moduli agregat halus (pasir)
2.40 2.60 2.80 3.00
10.0 50 48 46 44
12.5 59 57 55 53
20.0 66 64 62 60
25.0 71 69 67 65
37.5 75 73 71 69
50.0 78 76 74 72
75.0 82 80 78 76
150.0 87 85 83 81
(Nasution, 2009)
5. Penentuan proporsi unsur beton bagi adukan beton untuk setiap m3 beton (specific gravity
semen = 3.15) adalah:
Volume semen = 192.5/ (3.15 x 1000) = 0.062 m3
Volume air = 154/1000 = 0.154 m3
Volume agregat kasar = 1184/ (2.69 x 1000) = 0.440 m3
Volume agregat halus = 0.5% = 0.005 m3
Total volume di luar unsur agregat halus = 0.661 m3
Dari perhitungan di atas, volume agregat halus dalam setiap m3 beton:
Volume agregat halus = (1.0 – 0.661) m3 = 0.339 m
3
Dengan nilai specific gravity = 2.64 kondisi kering muka berat rencana agregat halus adalah :
2.64 x 1000 x 0.339 = 894 kg
6. Perhitungan berat bahan bagi setiap m3 beton adalah:
Semen = 192.5 kg
Air = 154 kg (berat jenis 1 kg/m3)
Agregat halus = 894 kg (berat jenis 1400 kg/m3)
Agregat kasar = 1184 kg (berat jenis 1350 kg/m3)
B. Perhitungan Volume Galian Tanah
V = [(volume beton cor) + (volume perdalaman saluran)] x 2
= [(volume beton cor) + (lebar saluran x tinggi saluran x panjang saluran)] x 2
= [((2 x 0.15 x 1.0 x 1600) + (0.60 m x 0.15 x 1600 m)) + (0.60 m x 0.30 m x 1600 m)] x 2
= [624 m3 + 288 m3] x 2
= 1824 m3
43
C. Perhitungan Volume Beton Cor
V = [volume beton cor] x 2
= [(2 x 0.15 x 1.0 x 1600) + (0.60 m x 0.15 x 1600 m)] x 2
= 1248 m3
D. Perhitungan Analisis Harga Satuan Pekerjaan
No Pekerjaan Indeks Satuan Harga
Satuan (Rp)
Upah
Kerja (Rp)
Harga
Alat/Bahan
(Rp)
Jumlah
(Rp)
Galian Tanah (m³) [SNI 2835: 2008]
1 Pekerja 0.750 jam 30,000.00 22,500.00 22,500.00
2 Mandor 0.025 jam 40,000.00 1,000.00 1,000.00
3 Jack Hammer 1 jam 15,000.00 15,000.00 15,000.00
Sub Jumlah 23,500.00 15,000.00 38,500.00
Pengecoran Beton (m³) [SNI 7394: 2008]
1 Pekerja 1.650 OH 30,000.00 49,500.00 49,500.00
2 Tukang batu 0.275 OH 35,000.00 9,625.00 9,625.00
3 Mandor 0.083 OH 40,000.00 3,320.00 3,320.00
4 Air 154 liter 40.00 6,160.00 6,160.00
5 Semen Portland 192.5 kg 1,050.00 202,125.00 202,125.00
7
Kerikil
(maksimum 30
mm)
0.639 m³
150,000.00 95,785.71 95,785.71
6 Pasir beton 0.877 m³ 77,500.00 67,970.37 67,970.37
Sub Jumlah 62,445.00 372,041.08 434,486.08
E. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
No. Pekerjaan Satuan Volume
(m³) Harga Satuan Jumlah
1 Galian Tanah m³ 1824 Rp 38,500.00 Rp 70,224,000.00
2 Pengecoran Beton m³ 1248 Rp 434,486.08 Rp 542,238,633.65
TOTAL Rp 612,462,633.65
≈ Rp 613,000,000.00