Post on 06-Apr-2018
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
1/12
ILWI Buletin No 03-2009
uletin
ILWI ( Indonesian Land
reclamation & Water management
Institute), adalah sebuah lembaga kajian
dibidang reklamasi dan pengelolaan air.
Lembaga ini berupaya untuk
menyebarkan informasi dan
pengetahuan di bidang reklamasi &
pengelolaan air kepada masyarakat.
Salah satunya dengan penerbitan
buletin.
Buletin ini kami kirimkan
secara gratis. Tulisan, saran dan
pemberitaan media menjadi bagian dari
isi buletin ini.Alamat :
Jl. Rajawali II No. 5A
Manukan, Condong Catur
Yogyakarta 55283
atau
P.O. Box 7277/JKSPM
Jakarta Selatan 12072
Email :ilwi@indosat.net.id
MENANTI UPAYA
MENGURANGI RISIKOBENCANA DI JAKARTA
No : 03-2009
Juli 2009
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
2/12
ILWI Buletin No 03-2009
Pengantar Redaksi
Pembaca yang budiman, tema besar yang diangkat dalam Buletin ILWI Nomor 3 ini, adalahmasalah Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) di Jakarta. Melihat banyaknyaancaman bencana yang mungkin timbul dan masih minimnya upaya antisipasi yang dilakukan. Inibukan untuk menakut-nakuti, kita perlu lebih mengangkat persoalan ini untuk mengingatkan bahwakita perlu bersiap diri seandainya sewaktu-waktu terjadi bencana.
Ini perlu, mengingat kecenderungan kota-kota besar di dunia yang juga sudah membuatrencana aksi untuk pengurangan risiko bencana di wilayahnya. Kita memang harus selalu siap,mengingat bencana yang tidak tahu kapan datangnya, sewaktu-waktu akan membalikkanpembangunan yang kita laksanakan hingga mundur jauh kebelakang. Belum lagi kerugian hartabenda dan nyawa yang ditimbulkannya.
Melakukan tindakan pengurangan risiko bencana pada hakekatnya juga merupakan upaya
mengurangi kisah pilu yang disebabkan bencana tersebut. Tentu saja pekerjaan ini bukan hanyatanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali.
Pembaca, mengikuti tema besar yang diambil, dibagian lain tentu kami juga punya bahasanmengenai reklamasi dan pengelolaan air yang dikaitkan dengan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan.Diantaranya bagaimana reklamasi pantai utara dipakai sebagai kesempatan untuk membanguninfrastruktur mitigasi bencana yang lebih lengkap. Disamping itu, kami juga mengangkatbagaimana seharusnya merawat situ-situ yang ada dan sudah berusia lanjut. Selamat menikmatibuletin ILWI kali ini.
Redaksi ILWI
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
3/12
ILWI Buletin No 03-2009
Rawan Bencana Di Metropolitan
Ditengah pembangunan yang terus dipacu, ancaman bencana ternyata juga mengintai ibukota.Pengembangan Jakarta kedepan harus dikaitkan dengan upaya pengurangan risiko bencana yangberkelanjutan. Penegakan aturan dan sosialisasi penanggulan bencana harus segera dilaksanakan.
Foto : Doc BRR
Pelajaran dari bencana di Aceh-Nias
Kita tidak bisa membayangkan seandainya
Jakarta Raya (Jabodetabek), kena goncangan gempaseperti yang terjadi Aceh 26 Desember 2004 atau di
Yogyakarta 27 Mei 2006 silam. Warga pasti akan
berlarian kocar-kacir tidak karu-karuan, mereka tak
tahu mau ke mana menyalamatkan diri.
Tetap di dalam rumah jelas risikonya cukup
besar, mau lari ke luar melalui lorong-lorong di depan
rumah risikonya sama saja, ancaman ambruknya
dinding rumah tetangga lebih mengerikan lagi. Mau
mencari lapangan luas untuk menyelamatkan diri, tentu
bukan perkara gampang, mencari tanah sejangkal saja
sulit dicari di kota metropolitan ini apalagi tanah
terbuka dengan ukuran besar.
Bisa dibayangkan berapa banyak korban yangakan berjatuhan dan berapa besar kerugian yang
ditimbulkan, jika ibukota dihantam gempa seperti itu.
Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, setidaknya sekitar
270 ribu rumah ambruk rata dengan tanah, belum lagi
rumah yang rusak sedang dan ringan. Korban nyawa
yang ditimbulkannya bahkan melebihi enam ribu
orang.
Kisah pilu di Yogyakarta itu, tentu tak kita
harapkan terjadi di Jakarta. Ini sekedar ilustrasi
membayangkan jika ibukota mengalami hal yang sama.
Pesan yang ingin disampaikan adalah, apakah Jakarta
sudah siap seandainya terjadi bencana seperti ini ?
Dengan kerapatan penduduk yang cukup tinggi, aksespenyelamatan yang minim, rumah-rumah yang tak
memenuhi persyaratan tahan gempa, tentu kerugian
dan korban yang ditimbulkan sudah tak terbayangkan
lagi.
Kemungkinan kejadian ini perlu diingatkan,
tak hanya kepada pemerintah tapi juga seluruh
masyarakat Jakarta.
Semua pihak diingatkan untuk melakukan
upaya Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk
Reduction). Harus diakui, selama ini mitigasi dan
kesiapsiagaan menghadapi bencana di DKI Jakarta
masih sangat minim sekali.
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
4/12
ILWI Buletin No 03-2009
Foto : Doc TTN
Kampus yang hancur akibat gempa di Yogyakarta
Kota Paling Komplit Ancaman Bencananya
Padahal Jakarta bisa jadi merupakan kota
yang paling rawan terhadap terjadinya bencana di
Indonesia. Beragam jenis bencana alam sangat
mungkin terjadi di Jakarta gempa bumi, tsunami, dan
banjir, adalah sebagian diantaranya. Belum lagi
bencana yang sifatnya kerawanan perkotaan
kebakaran, kegagalan teknis bangunan, runtuhnya
bangunan-bangunan tua atau mungkin demonstrasi
massa yang mengarah anarkisme.
Seperti diketahui sebelah barat Pulau
Sumatera dan sebelah Selatan Pulau Jawa adalah
tempat pertemuan dua lempeng besar, yaitu Lempeng
Eurasia dan Lempeng Indo Australia. Posisi ini
menyebabkan daerah-daerah di pulau itu sangat rawan
terhadap terjadinya bencana gempa bumi, karenakedua lempengan itu kerap bergeser dan bertumbukan.
Bagi DKI Jakarta tentu kerawanan dari gempa bumi ini
tidak bisa dipandang sepele.
Sedangkan untuk ancaman dari bencana
tsunami, beberapa studi memang mengindikasikan
bahwa bahaya tsunami di Jakarta tidak separah yang
terjadi Aceh. Pengangkatan dasar laut akibat pertemuan
dua plat tektonik besar itu, mempunyai dampak yang
tak begitu besar di Jakarta, karena letaknya yang cukup
jauh.
Ancaman adanya tsunami diprediksi juga bisa
datang akibat kegiatan vulkanik. Terutama bahaya
yang disebabkan oleh meletusnya anak krakatau.
Meski demikian tsunami yang diakibatkan proses
vulkanik ini, bagi kota Jakarta diyakini oleh beberapa
pakar tidak lebih besar dari tsunami yang ditimbulkan
oleh pergeseran lempeng tektonik.
Dampak tsunami akibat meletusnya anak
Krakatau ini lebih terasa pada dearah-daerah di ujung
Sumatera, sebelah Selatan dan ujung Pulau Jawa
sebelah Barat. Meski demikian ibukota, khususnya
Jakarta Utara tetap harus mempersiapkan diri jika
tsunami benar-benar datang. Kejadian di Aceh, juga
akibat belum adanya prediksi bahwa gelombang sebesar
itu akan sanggup menelan sekitar seribu kilometer
garis pantai di daerah Serambi Mekkah ini. Harus
diingat bahwa Tsunami setinggi dua meter saja akan
mampu menelan ratusan jiwa.
Saat ini, bencana alam yang paling kerap dan
rutin mengganggu kota Jakarta adalah banjir. Hampir
setiap tahun Jakarta digenangi air dalam jumlah besar.
Beberapa kali bahkan sempat memakan korban jiwa.
Tahun 2002 umpamanya, tak tanggung-tanggung 80 orang nyawa manusia harus melayang
ditelan air. Kini setiap tahun warga Jakarta pasti
menabung kerugian akibat selalu didatangi banjir.
Foto : ILWI
Banjir bencana alam yang kerap melanda ibukota
Kerawanan Perkotaan
Kerawanan perkotaan melengkapi ancaman
bencana di tanah betawi ini. Di banyak wilayah di
Indonesia bencana yang potensial mendatangkan
banyak kerugian pastilah yang datangnya dari alam.
Akan tetapi berbeda dengan kota sebesar Jakarta,
dengan ketidakaturan yang sudah puluhan tahundijalankan, ancaman diluar bencana alam ternyata
masih cukup mengerikan.
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
5/12
ILWI Buletin No 03-2009
Foto : ILWI
Kerawanan perkotaan juga menjadi ancaman warga
Jakarta
Kegagalan teknis tanggul Situ Gintung
membuktikan hal itu. Bertahun-tahun orang yang
tinggal di mulut tanggul itu tak pernah merasa takut
akan terjadinya malapetaka ini. Sampai akhirnya pintu
air tanggul tersebut jebol tanpa diduga-duga, akibatnya
warga yang minim pengetahuan dan minim persiapan,harus menahan pilu karena kehilangan harta bahkan
juga sanak saudaranya.
Bisa dipastikan bahwa ancaman-ancaman
bencana akibat kelalaian manusia seperti ini akan tetap
ada mewarnai perkembangan kota Jakarta. Bahaya
runtuhnya bangunan, kebakaran, dan kerawanan akibat
kelalaian manusia lainnya, akan selalu mengusik
ketenangan warga kota Jakarta.
Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Meski tidak diharapkan, cepat atau lambat
ancaman-ancaman itu pasti ada yang datang, warga
Jakarta harus siap menghadapinya. Pernahkah Anda
membayangkan jika salah satu jalan layang di Jakartaruntuh ? Ada berapa rumah liar yang berada
dibawahnya hancur dan berapa pula korban jiwa yang
ditimbulkannya. Meski bahayanya seperti itu,
masyarakat tetap saja tanpa ada rasa takut terus
membangun rumah di kolong-kolong jalan layang.
Pembuatan sumur dan pembakaran sampah di bawah
kolong jembatan memberikan kontribusi bagi
peningkatan risiko terjadinya bencana.
Memang hal itu belum pernah terjadi tapi
kemungkinannya tetap ada, dan yang namanya bencana
selalu datang tiba-tiba. Karena itu sekecil apapun
ancaman bencana itu harus sudah diusahakan untuk
bisa diatasi sejak sekarang. Pilihannya adalah segera
melakukan upaya pengurangan risiko bencana
sesegera mungkin.
Kebakaran merupakan potensi kerawanan terutama di
daerah padat
Masyarakat dunia sendiri sudah memberi
perhatian yang besar terhadap upaya pengurangan
risiko bencana. Ini sudah didengungkan sejak
pelaksanaan Konferensi Pengurangan Risiko Bencana
Sedunia , Januari tahun 2005, lalu. Pertemuan itu
menghasilkan Deklarasi Hyogo Framework for Action
( Kerangka Kerja Aksi Hyogo ) 2005 2015. Dalam
deklarasi itu ditekankan bagi seluruh negara di dunia
untuk menyusun mekanisme terpadu pengurangan
risiko bencana yang didukung kelembagaan dan
kapasitas sumberdaya yang memadai.
Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana
Karena itu Jakarta sebagai salah satu kota besar
dunia memang harus segera mengambil sikap terhadap
usaha-usaha penanggulangan bencana. Pembangunan
yang terus digeber harus memperhatikan kesiapan
institusi dan kemampuan sumber daya manusia dalam
menghadapi bencana yang berpotensi untuk muncul.
Hal ini bukan saja untuk menyelamatkan jiwa
manusia dan lingkungan yang rusak, lebih dari itu juga
agar pembangunan yang sudah dirancang dan
dijalankan tidak harus mundur terlalu jauh akibat
bencana. Bagaimanapun visi pembangunan ke depan
tak bisa dilepaskan dari upaya antisipasi terhadapbencana.
Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,
tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi dan
kesiapsiagaan adalah bagian dari fase prabencana.
Keselamatan dan kerugian yang timbul akibat bencana
sangat tergantung pada tahap ini. Untuk itu
perencanaan kota secara keseluruhan perlu segera
dikaitkan dengan mempertimbangkan potensi bencana
yang mungkin terjadi.
Pertama yang harus dilakukan adalah
identifikasi sumber bahaya dan ancaman bencana.
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
6/12
ILWI Buletin No 03-2009
Salah satu cara efektif dalam merencanakan
penanggulangan bencana adalah identifikasi ancaman
bencana. Disamping itu, menentukan potensi bencana
di satu daerah juga akan membuat masyarakat setempat
fokus terhadap apa yang harus dilakukan.
Perlu dibuat zonasi pada daearah-daerah mana
yang mungkin terjadi bencana. Sekaligus ditentukan
daerah yang dipastikan susah menanganinya jika terjadi
satu jenis bencana. Sebagai contoh kebakaran, zona-zona mana saja yang rawan terjadinya kebakaran. Serta
jika terjadi kebakaran sulit ditembus kendaraan
pemadam kebakaran.
Kedua adalah memperkuat peraturan soal
mitigasi bencana. Undang-undang dan peraturan yang
sudah ada di tingkat pusat perlu dilengkapi dengan
aturan daerah bermuatan lokal agar fleksibel
pelaksanaannnya. Peraturan yang berasal dari pusat,
perlu dilengkapi karena aparat di pemerintahan lokal
dianggap lebih tahu keadaan daerahnya.
Aturan-aturan tersebut harus diterapkan di
lapangan dan mempunyai ketetapan hukum, seperti
melalui Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Masyarakat harus tahu bagaimana
persyaratan pembangunan rumah, dimana boleh
membangun dan dimana yang tidak, bagaimana lebar
jalan lingkungan, agar dalam keadaan darurat
kendaraan penolong tetap bisa masuk dan lain-lain.
Foto : Doc Depsos DIY
Simulasi Menghadapi Bencana
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya
adalah melakukan perencanaan penanggulangan
bencana. Ini meliputi persiapan aparatur dan lembaga,
persiapan sistem kerja , serta persiapan masyarakat.
Jika mengacu kepadan UU 24 tahun 2007, maka untuk
daerah lembaga yang mengurusi masalah bencana
adalah Badan Penanggulangan Bencana daerah
(BPBD). Tapi, di Indonesia kelihatannya baru Jawa
Tengah saja yang memilik badan ini.Masih banyak daerah yang belum memiliki
badan semacam ini. Daerah-daerah ini, masih
mengandalkan mekanisme Satkorlak dan Saklak dalam
menanggulangi bencana. Apapun bentuknya yang
terpenting adalah adanya institusi di pemerintahan
daerah yang mengurusi masalah penanggulangan
bencana ini. Siapa melakukan apa dan bagaimana
sistem kerjanya harus jelas sehingga saat bencana
datang tak lagi ada yang tumpang tindih pekerjaan.
Disamping itu perlu ada sosialisasi potensi
bencana yang mungkin terjadi sekaligus bagaimana
cara menghadapinya. Pelatihan dan simulasi perlu
dilakukan agar masyarakat tanggap apa yang harus
dilakukan ketika bencana datang. Simulasi tak harus
dilakukan ditingkat provinsi, lebih baik lagi kalau
dilaksanakan dilevel kawasan, karena bisa disesuaikan
dengan potensi bencana paling besar di tempat itu.Sawariyanto, Bagian Mitigasi dan Kesiapsiagaan
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
7/12
ILWI Buletin No 03-2009
Aspek Mitigasi Dalam Reklamasi
Reklamasi sulit dielakan dalam pengembangan kota Jakarta. Kesempatan menata kawasan baru takhanya harus memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, aspek mitigasi bencana bagipenghuninya harus pula diperhatikan.
Sumber BP Pantura
Rencana Reklamasi Pantura
Setiap kali ada upaya untuk melakukanpengembangan dan pembangunan di Jakarta,
perdebatan masalah sosial dan lingkungan langsung
mengemuka. Bagaimana perlakuan terhadap warga
yang sudah lebih dahulu ada ditempat itu, perubahan
sisitem sosial yang pasti akan terjadi, masalah
lingkungan akibat adanya program pembangunan baru
dan sebagainya.
Perdebatan semacam itu sering menimbulkan
saling ngotot antara pemerintah, pengembang, lembaga
swadaya masyarakat dan warga sekitar. Meski
pembangunan yang dilakukan menyebabkan perbaikan
pada lingkungan hidup, tetap saja program tak bisa
berjalan mulus. Tak jarang tenaga, pikiran dan dana
habis untuk urusan-urusan non teknis semacam ini.
Beberapa negara di dunia seperti Cina, Rusia
dan beberapa negara di Timur Tengah melakukan
pengembangan dengan mereklamasi sebagian
pantainya. Hasilnya memang cukup baik, kawasan
yang dibangun menjadi lebih mudah menatanya, seperti
akses jalan,informasi, sistem drainasi, listrik, dan
keamanan.
Bahkan untuk aspek lingkungan hidup
kawasan baru ini bisa juga jauh lebih baik kalau ditata
sejak awal. Seperti penghijauan, pengelohan limbah,
pengelolaan air bersih, bahkan sistem penanggulangan
banjir yang dibuatpun ramah lingkungan dengan
membuat rasio badan air yang memadai..Memang untuk memulai program reklamasi
tetap ada saja masalah sosial yang perlu dipersiapakan
solusinya. Penyelesaian secara win-win solution juga
bisa diambil untuk mengakomodasi permintaan
beberapa pihak. Ini menyebabkan efek negatif yang
mungkin terjadi bisa dieleminir.
Kini yang harus diperhatikan justru perlunya
menata wilayah yang lebih memahami perilaku
bencana.
Sebagai kawasan baru, tentu mempunyai
kesempatan untuk menata daerah tersebut menjadi
lebih siap mengahadapi bencana. Merencanakan
semua pembangunan di tempat itu dengan
mempertimbangkan aspek mitigasi dan kesiapsiagaan.
Untuk pantai utara Jakarta ada beberapa
tindakan mitigasi yang perlu diperhatikan. Untuk
bencana alam adalah tsunami, gempa dan banjir. Untuk
menghadapi tsunami disamping perlu ada sistem
peringatan dini, juga diperlukan pembuatan bukit-bukit
yang berguna untuk menyelamatkan diri. Sehingga
sewaktu-waktu ada peringatan bahaya tsunami warga
bisa langsung berlari ke arah bukit tersebut.
Agar sehari-hari bisa digunakan, bukit-bukit itu
bisa dijadaikan taman bermain atau tempat kegiatan
olahraga. Mempermudah warga untuk menyelamatkan
diri perlu pula dibuat rambu-rambu yang menunjukan
daerah rawan tsunami dan rambu ke mana mereka
harus menyelamatkan jika gelombang air itu datang.
Untuk penyelamatan diri dari bahaya gempa,
sejak awal yang perlu diperhatikan adalah persyaratan
rumah tahan gempa yang harus diikutin oleh warga
setempat. Akses jalan untuk menyelamatkan diri juga
perlu menjadi pertimbangan, tentu saja dalam satu
lokasi tertentu harus disediakan lapangan luas untukmenghindari diri dari runtuhnya bangunan.
Sedangkan untuk sistem pengendalian banjir
mengimplementasikan tanggul laut dan rasio badan air
yang memadai. Karena itu kawasan ini harus bisa
menahan serbuan air dari laut dan air hujan yang turun
di lingkungan mereka.
Untuk kerawanan perkotaan, kemungkinan
yang paling kelihatan adalah bahaya kebakaran. Untuk
itu perlu diperhatikan jalur-jalur mobil kebakaran yang
memungkinkan untuk menjangkau lokasi kebakaran
tersebut. Pengalaman menunjukan bahwa seringkali
kebakaran berdampak besar karena akses jalan untuk
melakukan pemadaman sangat minim.
Secara sederhana inilah aspek-aspek mitigasi
yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan
reklamasi. Tentunya, masih perlu analaisa yang lebih
cermat lagi untuk mengetahui apa potensi bencana
yang mungkin terjadi dan bagaimana usaha-usaha
pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan.
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
8/12
ILWI Buletin No 03-2009
Bersama Merawat Tanggul Tua
Bagi warga Jabotabek, musim hujan kali ini nyaris dilalui dengan aman tanpa ada banjir besar, sepertiyang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Tapi, dipengujung musim hujan ini, malapetaka akibat ulah airternyata datang juga. Kali ini, sama sekali diluar dugaan masyarakat awam. Situ yang seharusnya menjadiharapan masyarakat untuk mengurangi bahaya banjir, justru memakan korban.
Situ Gintung yang berusia hampir delapan
puluh tahun itu, tak disangka-sangka jebol. Waduk
yang terletak di Desa Cirendeu, Kecamatan Ciputat,
Tanggerang, ini menyapu harta benda dan manusia.
Setidaknya seratus orang meninggal dunia terbawa arus
deras air yang datang tiba-tiba.
Banyak orang terperanjat dan bertanya
bagaimana dengan tanggul-tanggul lain yang usianya
bahkan ada yang jauh lebih tua dari Situ Gintung.
Menteri PU sendiri mengakui bahwa banyak tanggul
lain yang seusia dan kondisinya kurang lebih sama
dengan Situ Gintung. Ini tentu harus menjadi perhatian.Bagaimana seharusnya kita merawat situ yang
sebagian besar adalah peninggalan Belanda.
Situ sama saja dengan manusia atau kendaraan,
semakin lanjut usianya semakin butuh perawatan.
Pertanyaannya memang apakah kita sudah memberikan
perhatian yang optimal terhadap situ-situ yang berusia
lanjut itu ? Apakah tubuh kolam yang terbuat dari
tanah itu, masih cukup kuat untuk menahan tekanan
air yang jumlahnya makin banyak ?
Pelajaran dari jebolnya Tanggul Situ Gintung
Apalagi kapasitas situ tersebut semakinberkurang akibat sedimentasi yang meningkat.
Akibatnya permukaan air tentu semakin meninggi dan
ini justru menambah masalah . Belum lagi perubahan
struktur yang diakibatkan permukaan tanah cenderung
menurun, karena semakin lama kandung air di tanah
cenderung semakin menurun. Ini semua butuh
perawatan.
Sama dengan bangunan lama lainnya di
Indonesia, karena dibuat dijaman penjajahan maka
kebanyakan Situ di Indonesia mengadopsi gaya (style)
yang sama dengan tanggul di Belanda. Baik dalam segi
bentuk maupun strukturnya. Untuk itu untuk
memahami karakter dari tanggul-tanggul tersebut ada
baiknya kita melihat pengalaman negeri Kincir Anggin
tersebut dalam memperlakukan tanggul yang mereka
miliki.
Tahun 1953,di Belanda pernah mengalami
bencana akibat jebolnya tanggul. Korbannya jauh lebih
besar, ribuan nyawa manusia melayang. Jika SituGintung jebol akibat jumlah hujan yang berlebihan,
maka jebolnya tanggul di Belanda disebabkan oleh
badai Laut Utara.
Bagi Belanda , kejadian ini menjadi
pengalaman berharga. Mulai saat itu pemerintah
setempat berinisiatif untuk melakukan perbaikan pada
keseluruhan sistim pengelolaan air dan pertahanan
lautnya (sea defence). Proyek Delta Werken, demikian
nama yang mereka berikan untuk proyek prestisius itu.
Mulai saat itu pula mereka melakukan pengawasan dan
perawatan yang ketat terhadap tanggul-tanggul milik
mereka.
Menyadari semakin banyaknya situ buatan
Belanda yang berusia tua maka kita perlu melakukanpengawasan dan perawatan tanggul milik kita, agar
tragedi Situ Gintung tak terulang kembali. Secara
teknis situ yang berusia tua harus dilakukan
pengecekan secara visual setiap satu atau dua tahun
sekali. Pengecekan harus dilakukan oleh pengawas
tanggul (dike inspector), yang sudah mendapatkan
pelatihan.
Dalam inspeksi visual semacam ini yang perlu
perhatian khusus adalah tinggi muka air - apakah air
sering melimpas- , kondisi tanggul serta bangunan
yang ada pada tanggul terutama saluran pelimpah (spill
way). Hubungan antara spill way dan tanggul tanah
perlu diperhatikan, karena air sering menyelinepdiantara spill way dan tanggul tanah. Karena hal ini
bisa menjadi pemicu runtuhnya tanggul.
Permukaan tanggul juga harus menjadi
perhatian. Sebaiknya rumput hijau ditanam di
permukaan lereng tanggul untuk mencegah erosi. Akan
tetapi, perlu juga diperhatikan adalah pepohonan yang
berakar dalam harus disingkirkan dari tanggul, karena
risiko tumbang dan tercabutnya akar akan mengurangi
kekompakan tanggul. Disamping itu akar pohon yang
membusuk memberikan ruang untuk dilalui air,
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
9/12
ILWI Buletin No 03-2009
akibatnya jika ruangan itu semakin besar maka akan
lebih banyak air yang bisa melewatinya dan ini sangat
berbahaya.
Situ Pedongkelan dengan tanggul yang cukup curam
Perhatian juga diberikan kepada area di sekitar
tanggul. Di sekitar tanggul tidak boleh ada rumah dan
bangunan, maka ketika dilakukan inspeksi dicatat juga
perubahan penggunaan tanah disekitar tanggul atau
yang menempel di tanggu. Selanjutnya dibuat
rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk
membersihkan wilayah itu. Hasil inspeksi ini, perlu
disosialisasikan kepada masyarakat terutama yang
berada di sekitar tanggul, agar mereka tahu apa yang
harus diperbuat.
Selain pengawasan tahunan seperti yang
disebutkan di atas, perlu juga dilakukan general check
up, setiap lima tahun sekali. Ini dilakukan untukmeneliti ulang secara detail, kekuatan komponen-
komponen tanggul. Berapa besar perubahan faktor luar
terhadap kekuatan tanggul perlu dihitung kembali.
Untuk hal ini tak cukup dilakukan oleh pengawas
tanggul tapi harus dilakukan oleh orang-orang yang
memang ahli dibidang ini. Jika tanggul sudah terlanjur
dalam keadaan kritis, tak ada pilihan lain kecuali
melakukan rehabilitasi atau bahkan rekonstruksi
tanggul.
Bagaimanapun juga situ tak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah. Masyarakat dan pemangku
kepenting lain juga harus memberikan perhatian, untuk
itu mari sama-sama merawat situ. Jangan sampai
kejadian yang menimpa Situ Gintung Terulang kembali.
Sekilas Berita Dalam Gambar
Diskusi mengenai Tata Kelola Air pada pertemuan REI DKI 30 April 2009 yang menghadirkan pembicara
Kepala Dinas PU DKI Budi Widiantoro, Kepala BPLHD, diwakili Rusman serta praktisi Sawarendro dengan
moderator Adrianto P Adhi dari REI/PT Summarecon
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
10/12
ILWI Buletin No 03-2009
Floating Bullozer besar
Floating Bullozer kecil
excavator di
pinggir saluran
excavator di atas jembatan
proses memuatsedimen
kedalam truk
proses menumpahkankan sedimen
dari truk dilokasi pembuangan
Drum separator untuk
memisahkan sedimen
dengan sampah
tempat keluar sedimen
setelah proses penyaringan
Jakarta Pilot Dredging Project
Untuk pertama kali Jakarta mengeruk sungai-sungainya dengan menggunakan Buldozer Terapung.Teknologi ini memudahkan melakukan pengerukan sungai-sungai di Jakarta. Efektif untuk saluran-saluranyang berada di kawasan padat penduduk..
Jakarta Pilot Dredging Project merupakan salah
satu bantuan teknis dari pemerintah Belanda kepada
Pemerintah Indonesia, khususnya untuk PemerintahDaerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam penanganan
masalah banjir di ibu kota. Dalam proyek ini
pemerintah Belanda memberikan bantuan berupa dua
buah floating bulldozerdan 1 buah drum sieve
separator.
Disamping itu juga diberikan pelatihan bagi
operator untuk pengoperasian alat, serta pelatihan
dalam perencanaan dan pengawasan suatu perkerjaan
pengerukan (dredging work). Pelatihan dilakukan
secara langsung di lapangan maupun pelatihan teknis
di kantor.
Proyek yang merupakan proyek percontohan
(Pilot Project) ini, dikerjakan mulai September 2008
sampai dengan Maret 2009. Mengambil lokasi di
Saluran Kali Mati dan Kali Pademangan di Kel.
Pademangan Barat, Kec. Pademangan-Jakarta Utara.
Setelah proyek ini selesai Pemda DKI akan melakukan
pengerukan dengan metoda yang sama di saluran-
saluran lain di Jakarta.
Sistem pengerukan ini merupakan yang
pertama kali dilakukan di Indonesia, walaupun di negeri
asalnya Belanda telah mulai dilakukan sekitar 20 tahun
yang lalu. Sesuai dengan namanya Floating Bulldozer
(FB) yang berarti buldoser terapung, alat ini digunakan
untuk mendorong material sedimen dari dasar saluran
kearah lokasi di saluran yang terjangkau oleh
excavator.FB bergerak maju dan mundur dengan
menggunakan tali baja dan penggulungnya. Dengan
mengendorkan penggulung tali belakang dan
menggulung tali depan maka alat ini bergerak
mendorong lumpur kedepan, dan setelah itu alat ini
akan mundur dengan cara yang sebaliknya. Kedua tali
baja tersebut dihubungkan ke pohon, patok beton atau
alat lain yang cukup kuat di pinggir saluran. Dengan
plat (blade) didepan FB bisa memotong lapisan sedimen
didasar saluran dan mendorongnya dengan jarak efektif
sekitar 250m.
Tali depan berukuran lebih besar karena
berfungsi untuk mendorong lumpur/sedimen,
sedangkan tali belakang lebih kecil karena hanya
berfungsi untuk menarik FB dalam keadaan kosong.
Dibagian belakang dilengkapi dengan pengeruk
berukuran kecil yang berguna sebagai kemudi untuk
mengatur arah pergerakan perahu serta dapat juga
digunakan untuk mengeruk material yang agak keras.
Selain itu alat ini dilengkapi dengan baling-baling
seperti layaknya perahu, yang biasa digunakan untuk
membantu pergerakan seperti memutar balik atau
merapatkan perahu ke pinggir saluran.
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
11/12
ILWI Buletin No 03-2009
Alat ini terbukti bekerja cukup efektif,
terutama untuk saluran di lokasi-lokasi yang padat
penduduk dimana sedimen tidak bisa diambil dengan
alat secara langsung dari pinggir saluran. Dengan
sistem ini pengerukan dapat dilakukan tanpa merusak
tanaman atau pohon yang ada disepanjang saluran,
karena proses bongkar muat sedimen dilakukan disuatu
lokasi kosong atau diatas jembatan yang telah dipilih
dan disurvey sebelumnya. Pengerukan dibawah jembatanpun dapat dilakukan , asal jembatan tersebut
masih mempunyai ruang bebas sekitar 50cm diatas air,
sehingga FB dan operatornya dapat bergerak
dibawahnya.
Proses pengerukan adalah sebagai berikut
seperti yang dapat dilihat pada gambar.
- FB bertugas untuk mendorong lumpur disaluran
sampai ke lokasi excavator. Lokasi dapat
dilakukan diarea kosong dipinggir saluran atau
diatas jembatan yang memungkinkan excavator
dapat bekerja. FB yang besar bekerja efektif
untuk saluran dengan lebar sekitar 8 atau 10m,
sedangkan FB kecil bekerja di saluran dengan
lebar sekitar 2m.
- Excavator mengabil sedimen yang telah
dikumpulkan untuk kemudian dimuat ke dalam
truk
- Truk-truk tersebut akan mengangkut material ke
suatu tempat pembuangan yang telah ditentukan.
Truk-truk ini telah dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga kedap air, sehingga lumpur yang
tercampur dengan air tidak akan menetes atau
tumpah dalam perjalanan.
- Ditempat pembuangan akan dioperasikan satu
excavator untuk menaruh lumpur kedalam drum
separator.
- Dengan drum separator akan dipisahkan antara
sampah dengan material material sedimennya.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam
pekerjaan ini adalah perencanaan dari perencana kerja
(work planner). Work planner harus melakukaninventarisasi terlebih dahulu tentang halangan-halangan
yang mungkin mungkin akan menghambat pekerjaan
dan menyiapkan semua fasilitas untuk menunjang
pekerjaan. Mereka harus terlebih dahulu menyiapkan
dan memilih lokasi untuk bongkar muat, tempat untuk
menambatkan angkor, mengatur lalu lintar yang
mungkin terganggu ataupun koordinasi dengan instansi
lain seperti PLN, Telkom ataupun PDAM yang banyak
mempunyai fasilitas di atas saluran yang akan
mengganggu pekerjaan. Sebelum suatu ruas saluran
selesai dibersihkan, Work Planner harus telah
menyiapkan semua prasarana untuk pengerukan di ruas
berikutnya.
Pelatihan operator Floating Buldozer telah
diikuti oleh sekitar 8 operator dari DKI yang berasal
dari PU propinsi dan wilayah yang dilatih oleh dua
operator dari Belanda. Operaor-operator tersebut
diharapkan dapat mengoperasikan alat ini untuk
pekerjaan pengerukan dilokasi lain setelah proyek ini
selesai.
Dedi Waryono, bekerja di salah satu konsultan asing ,
anggota tim Pilot Dredging
8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009
12/12
ILWI Buletin No 03-2009
Upaya Strategis Mengelola Lingkungan
Untuk mengembangkan Pantai Utara Jakarta, Pemda DKI harus serius memperhatikan dampak lingkunganyang ditimbulkannya. Pengalaman menunjukan masalah lingkungan jarang menjadi pertimbangan utamadalam setiap upaya pengembangan kota.
Jakarta sekarang jauh berubah dibandingkan
tiga puluhan tahun yang lalu, pembangunan fisik dan
pengembangan kota merebak hingga ke sudut-sudut
wilayah. Saat awal menggenjot pembangunan di tahun-
tahun pertama orde baru, pembangunan yang dilakukan
belum terlihat dampaknya terhadap lingkungan.
Belakangan, semakin lama masyarakat semakin
khawatir akan daya dukung alam sebagai akibat proses
pembangunan yang terus dipacu.
Permasalahan semakin banyak, laju urbanisasidan ekonomi yang tinggi ternyata memberi efek
langsung pada lingkungan. Aksi-aksi kelompok dan
perorangan terus dilakukan untuk mengelola setiap
jengkal tanah di ibukota. Meski ada yang mengerti,
tapi tak sedikit pula warga yang sadar bahwa
pengembangan yang mereka lakukan memberi
sumbangan kepada kerusakan lingkungan.
Koridor hukum dan perencanaan kota yang
ada, kalah cepat dengan irama pembangunan yang
dilakukan penduduk. Warga tak mampu menggukur
gerakannya agar selaras dengan kebutuhan lingkungan.
Di Indonesia Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
adalah kota yang paling sulit untuk mengatasikerusakan dampak lingkungan akibat cepatnya
pembangunan.
Selama ini memang ada keharusan melakukan
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
sebelum pelaksanaan proyek yang dianggap
berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tapi
dalam kenyataanyataan pengaruh AMDAL ini hanya
bersifat parsial dan terbatas pada proyek dan
lingkungan disekitarnya saja. Akibat yang ditimbulkan
dalam skala yang lebih luas sering lolos begitu saja,
efeknya akan terakumulasi seiring dengan pertambahan
waktu.Pengembangan Jakarta ke segala penjuru,
memang mengharuskan semua para pemangku
kepentingan untuk memberi perhatian pada dampak
yang diakibatkannya. Termasuk pengambangan yang
akan dilakukan di daerah pantai utara. Pesatnya
pembangunan DKI Jakarta ke arah utara, membuat
Pemda DKI perlu memperhatikan secara khusus
dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya.
Pertengahan April 2009 lalu, bertempat di
Gedung Balaikota, telah diadakan Seminar Awal
Kajian Lingkungan hidup Strategis (KLHS) Pantura
Teluk Jakarta. KLHS merupakan hal baru dan
dilakukan untuk menjawab kebutuhan yang tidak bisadicakup oleh AMDAL. Kajian semacam ini
cakupannya lebih luas hingga mencapai level
kebijakan.