Post on 15-Oct-2021
1
AZAS MANFAAT DAN PERSPEKTIF KEADILAN
DALAM QARDH
Hapil Hanapi
E-mail: hapil_ibnuahmad@yahoo.com
E-mail: unairahkuring@gmail.com
Abstract
The basic value of Islamic economic is aimed at achieving the goal of
decreasing sharia (al maqashid asy-syariah) so that the maslahah.
The concept of maslahah in Islam is transcendent, so it is different
from the materialist western concept. So the concept of benefits in
lending and borrowing (qardh) can only be understood by people
outside of Islam after freeing themselves from the consept of usury or
interest, because the qardh basically charity. Then the concept of
justice in qardh must also be seen from a concept more than help,
because justice in qardh is basically the distribution of wealth from
people who have to the needy, and besides not being able to request
additional loan payments, even ordered to release him when the debtor
clearly was unable to repay the loan.
Keywords: qardh, benefit, justice
A. Pendahuluan
Menurut Jeremy Seabrook, seperti dikutip Hendri Hermawan
Adinugraha1, perkembangan ilmu ekonomi Islam erat kaitannya dengan
tujuan landasan filosofisnya sendiri, maka sandaran filosofis ilmu
ekonomi Islam bersumber dari sumber-sumber hukum Islam yaitu al
Quran, hadits dan ijtihad. Secara epistemologis, Islam tidak
1 Hendri Hermawan Adinugraha, Norma dan Nilai Dalam Ilmu Ekonomi Islam,
httpsmedia.neliti.commediapublications41092-ID-norma-dan-nilai-dalam-ilmu-
ekonomi-
islam.pdf#page=10&zoom=auto,-107,639, (diakses tanggal 24-11-2018, jam 22.04)
2
memisahkan antara ekonomi dengan sistem nilai. Ajaran Islam menjadi
kategori moral imperatif untuk mengendalikan perilaku ekonomi
manusia. Pandangan dunia Islam menyebutkan bahwa asal, cara, dan
tujuan manusia mempunyai konsekuensi eskatologis yaitu bermula dari
dan bermuara pada keimanan pada Allah SWT. 2
Ilmu ekonomi Islam (iqtishodiyah) dengan pendekatan
aksiologis (nilai) dan dari pandangan epistemologis (ilmu
pengetahuan), sebenarnya telah mencapai tahapan idealis. Tahapan
idealis adalah puncak aksiologis berkaitan dengan substansi nilai,
kebenaran sepenuhnya merujuk kepada rasio.3 Atau dengan kata lain
aksiologi melahirkan rasionalisme. Pendekatan aksiologis merumuskan
suatu suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis, dan ketika yang
baik teridentifikasi
akan berbicara moralitas dengan konsep
“seharusnya” atau “sepatutnya”. 4
Nilai dalam ilmu ekonomi Islam telah
memberi landasan etik yang kokoh dengan bersumber pada tauhidullah
(Allah adalah satu) sebagai sumber etik tertinggi. Nilai itu berupa
keyakinan religious dan janji-janji determinsitik dalam agama Islam
yang bersumber dari al Quran. Nilai dapat didefinisikan sebagai
patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan
pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatifnya.5
2 Wahyu, Filsafat Ekonomi Islam : Rasionalitas dan Regligiusitas Ekonomi, Jurnal
Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp., Program Studi
Ekonomi
Islam FAI-UIKA Bogor, 55 3
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, (Bandung : Pustaka
Setia, 2015),
176 4
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, 35-36 5 Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, 169
3
Meskipun demikian, nilai tidak sepenuhnya ada dalam realitas.
Nilai llmu ekonomi Islam tidak bisa dikacaukan dengan ide atau
konsep ekonomi Islam. Nilai dapat ditangkap langsung terutama
melalui emosi atau perasaan, sedangkan ide ekonomi Islam baru dapat
diketahui secara intelektual. Maka, seorang orientalis, sebagai contoh,
dapat menangkap dan merasakan nilai keadilan (al adalah) dari
ekonomi Islam walaupun mungkin secara konseptual tidak dapat
menjelaskan tentang ide keadilan itu, bahkan mungkin tidak
meyakininya. Dalam kasus seperti ini filsafat nilai tidak selalu
bergantung kepada apa yang diyakini seseorang.
Maka dalam kaitan ini filsafat sering diartikan sebagai usaha
manusia yang gigih untuk dapat membuat hidup ini sedapat mungkin
dapat bermakna.6
Filsafat kadang-kadang diidentikan dengan why of
life, weltanchaung, wareld en lebens beschouwing, pandangana hidup,
pandangan dunia, pegangan hidup dan dan petunjuk hidup. Pandangan
hidup yang telah meningkat menjadi tujuan hidup kemudian berubah
menjadi pendirian hidup dan akhirnya menjadi pedoman hidup.7 Dalam
istilah filsafat, di mana realitas ada dua macam, maka qardh adalah
realitas yang disepakati (agreement reality) sekaligus realitas yang
didasarkan pada pengalaman (experimental reality) yang sumber
asalnya dari ajaran al Quran yang dipraktikkan sejak sebelum zaman
Rasulullah saw.
6 Sudarto, Metologi Penelitian Filsafat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
cetakan ketiga, 38. 7 Sudarto, Metologi Penelitian Filsafat, 39
pandang filsafat ekonomi Islam, khususnya dari segi prinsip manfaat dan
perspektif keadilan.
4
Karena itu bagi seorang muslim nilai bersifat normatif, artinya
mengandung harapan, cita-cita dan suatu keharusan sehingga nilai
memiliki sifat ideal (das sollen) dan nilai diwujudkan dalam bentuk
norma sebagai landasan bertindak. Nilai juga berfungsi sebagai daya
dorong atau motivator dan seorang muslim harus menjadi pendukung
nilai. Maka qardh -suatu bentuk pinjam-meminjam uang- yang
sebenarnya secara praktik ekonomi sangat universal dan ada pada
semua ummat manusia tanpa terkait ajaran agama apapun, dari segi
ajaran Islam memiliki nilai filosofis yang tidak didapat pada ajaran-
ajaran atau ideologi lain. Karena itu tulisan ini berupaya menyoroti
tentang qardh dari sudut
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan filsafat-normatif serta deduktif-normatif. Penelitian ini juga
adalah penelitian pustaka (library research) dengan tipe deskriptif-
analisis, yakni berusaha menggambarkah data data yang ditemukan
dalam al-Qur'an, sunnah Nabi Muhammad saw, kitab-kitab fikih dan
sumber-sumber lain, untuk dilanjutkan dengan analisis dan dengan
pendekatan filsafat nilai, yakni berusaha memahami nilai-nilai filsafat
ekonomi Islam dengan mendasarkan pada pemahaman misi pokok
Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad
saw.
Pendekatan deduktif-normatif yang digunakan untuk
menemukan etika-moral atau prinsip-prinsip dasar atau spirit (ruh),
maka hasilnya akan lebih lentur/tidak kaku. Penelitian ini bersifat
deskriptif yaitu bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang
5
tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memerikasa sebab-
sebab dari suatu gejala tertentu 8 dalam hal ini adalah tentang qardh.
Sumber data primer penelitian, yaitu buku-buku, laporan-
laporan hasil penelitian berupa jurnal ilmiah, yang berkaitan dengan
qardh. Sumber data sekunder, terdiri atas referensi-referensi lainnya
yang berkaitan dengan tema pembahasan, yang berasal dari surat,
kabar, majalah atau internet. Metoda pengumpulan data dilakukan
dengan cara dokumentasi.
B. Pembahasan
1. Pengertian qardh
Al-qardh (hutang) adalah harta yang diberikan kreditor
(pemberi hutang) kepada debitor (yang berhutang) untuk
dikembalikan kepadanya sama dengan yang diberikan pada saat
debitor mampu mengembalikannya. Secara bahasa maknanya
adalah al-qath‟u (memutus). Harta yang diambil debitor disebut
hutang (al-qardh), karena kreditor memotong dari harta miliknya.
9Qardh dalam terminologi fikih berarti, “Menyerahkan barang/uang
kepeda seseorang untuk digunakannya kemudian orang trsebut
menyerahan ganti yang sama dengan barang yang telah
digunakannya”
10Dalam teknis perbankan syariah, qardh adalah
8 Husen Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2005), 22 9 Yusuf as-Sabatin, Al-Buyu‟ al-Qadimah wa al- Mua‟ashirah wa al- Burshat al-
Mahiliyyah wa ad-Duwaliyyah, diterjemahkan dengan judul Bisnis Islam dan Kritik
atas Praktik Bisnis ala Kapitalisme oleh Yahya Abdurrahma (Bogor : Al Azhar Press,
2014), 364 10 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer (Bogor, Berkah Mulia
Insani, 2017), 473-474
6
pemberian pinjaman dari bank kepada nasabah yang dipergunakan
untuk kebutuhan mendesak, seperti dana talangan/cerukan (over
draft) dengan kriteria tertentu dan bukan untuk pinjaman yang
bersifat konsumtif.11
Selain itu qardh dilakukan dalam transaksi
talangan haji, talangan cerukan atau overdraft dari rekening wadiah,
transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya12
. Pengembalian dana qardh
sebesar pokok yang dipinjamnya, baik secara sekaligus atau dicicil
dan tidak ada penambahan jumlah pengembalian dari pokok yang
dipinjam.
Kata qardh kemudian diadopsi menjadi credo (Romawi),
credit (Inggris), dan kredit (Indonesia). Objek dari pinjaman qardh
biasanya adalah uang atau alat tukar lainnya, yang merupakan
transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika peminjam
mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan
hanya wajib mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu di
masa yang akan dating.13
Berbeda dengan pengertian qardh, dalam
perkembangannya kata “kredit” merujuk kepada pinjaman yang
berbasis bunga (usury/interest), sebagaimana yang dikenal saat ini
dalam dunia perbankan konvensional. Sementara padanan kata
“kredit” di dalam perbankan syariah adalah “pembiayaan”
(financing)14
.
11 M Ismail Yusanto dan M Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor : Al
Azhar Press, 2011), Cetakan 2, 307. 12 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta : LPFE Usakti, 2011), 359 13 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2008), 45 14 Pembiayaan dalam konsep keuangan Islam memiliki karakteristik sendiri karena
lebih luas dari konsep “kredit”, yang cenderung pihak bank bertindak sepihak.
Menurut pasal 1 butir (25) UU N0.1 Tahun 2008 tentang Perbangkan Syariah
7
Konsep pembiayaan menjadi sangat penting di dalam
keuangan Islam karena menggantikan posisi kredit di dalam
ekonomi konvensioanl yang memandang uang sebagai komoditas
dan menjadikan ekonomi Islam anti riba. Meskipun demikian
hukum Islam memperbolehkan pemberi pinjaman untuk meminta
kepada peminjam untuk membayar biaya-biaya operasi di luar
pinjaman pokok, tetapi agar biaya ini tidak menjadi bunga
terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional
terhadap jumlah pinjaman.
Sebelum Dewan Syariah Nasional (DSN)-Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tahun 2001 menfatwakan qardh, dan
memperbolehkan pemberi pinjaman untuk meminta kepada
peminjam untuk membayar biaya-biaya operasi di luar pinjaman
pokok, Majma‟Al Fiqh Al Islami (divisi fiqih Organisasi Konfrensi
Islam [OKI]) pada tahun 1986 dalam muktamar III telah
menfatwakan bolehnya mengambil imbalan atas jasa fasilitas yang
diberikan oleh kreditur, dangan syarat hanya sebatas biaya
adiministrasi. Din Indonesia konsep qardh sebagai salah satu
landaan transaksi produk pembiayaan perbankan syariah mengacu
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna‟;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 474
8
kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 (tentang Perbankan
Syariah) pasal 1 ayat (25) huruf d, pasal 19 ayat (1) dan (2) uruf e
dan pasal 21 huruf b angka 3.15
Pengertian qardh di dalam UU Perbankan Syariah sejalan
dengan pengertian yang terdapat di dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Ada tujuh PBI yang mendefinisikan qardh yang hampir sema
secara subtansi bahkan redaksional.16
Baik UU Perbankan Syariah
ataupun PBI pada intinya mendefinisikan qardh dalah pinjam-
meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu. Implementasi qardh di perbankan syariah,
secara teknis diatur di dalam pasal 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 dan
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS/2008, bagian
III.8.
Dengan beralihnya pengawasan lembaga keuangan kepada
Otoritas Jasa Keuangan (POJK), POJK di antaranya menerbitkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 31/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah dan Surat
Edaran OJK nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan
Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Kedua
regulasi itu memuat aturan tentang qardh, yang intinya tidak jauh
berbeda dengan PBI.
Fatwa DSN NO. 19/DSN-MUI/IV/2001 yang menfatwakan
tentang qardh yang substansinya tidak jauh berbeda dengan
15 Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung : Refika Aditama, 2011),
267 16 Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, 268
9
pengertian fiqih tentang qardh secara umum, bersinergi baik itu
dengan UU Perbankan Syariah ataupun PBI. Hal ini sejalan UU
Perbankan Syariah yang telah menyatakan bahwa aturan
pelaksanaan operasional akad syariah pada lembaga keuangan
syariah harus didasarkan pada fatwa ulama, dalam hal ini adalah
fatwa DSN-MUI. 17
Tetapi fatwa DSN NO. 19/DSN-MUI/IV/2001
tidak menyinggung tentang qardhul hasan, yang merupakan bagian
qard yang sering kali berakhir dengan akad hibah.
Sebenarnya perbedaan antara qardh dengan qardhul hasan
adalah pada tatacara pengembalian pinjaman. Qardhul hasan
adalah meminjamkan sesuatu kepada orang lain, dimana
pihak yang dipinjami sebenarnya tidak ada kewajiban
mengembalikan. Qardhul hasan sejalan dengan ketentuan al
Quran surat At Taubah ayat 60, tentang sasaran orang-orang yang
berhak atas zakat (mustahik) yang terdiri dari delapan golongan, di
antaranya adalah gharimin, yaitu orang yang berhutang di jalan
Allah. Melalui skema qardhul hasan, gharimin dibantu pelunasan
hutangnya dan dia tidak perlu mengembalikan hutang itu kepada
pihak yang memberi pinjaman kepadanya. Keberadaan akad
qardhul hasan ini merupakan karakteristik dari kegiatan usaha
perbankan syariah yang berdasarkan pada prinsip tolong menolong.
Jika dicermati, konsep qardhul hasan mirip atau setidaknya
menjadi salah satu bentuk konsep tanggung jawab sosial dan
lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang
diwajibkan kepada perusahaan. Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 40
17 lihat UU No. 21 Tahun 2008, pasal 1 butir 12
10
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), tanggung jawab sosial
dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya. Meskipun qardh merupakan perbuatan yang baik, tetapi
secara fiqih bisa dikategorkan sebagai berikut : 18
1. Haram jika seseorang memberikan pinjaman, padahal dia mengetahui bahwa
pinjaman itu akan digunakan untuk perbuatan haram seperti untuk memberli
minuman khamar atau berjudi.
2. Makruh, apabila yang memberi pinjaman mengetahui bahwa peminjama
akan menggunakan hartanya bukan utiuk kemaslahatan, tetapi untuk berfoya-
foya dan menghambur-hamburkannya. Bbegitu juga peminjam mengetahui
bahwa dirinya tidak akan sanggup mengemalikan pinjamannya itu.
3. Wajib, apabila ia mengetahui bahwa peminjam membutuhkan harta untuk
menafkahi diri, keluarga dan kerabatnya sesuai dengan ukuran yang
disyariatkan, sedangkan peminjam itu tidak memiliki cara lain untuk
mendapatkan nafkah selain dengan meminjam.
2. Dasar Hukum qardh
Qardh di dalam ajaran Islam mempunyai landasan teologis
yang sangat kuat. Al Quran memberi informasi yang cukup banyak
tentang qardh. Ajaran Islam tentang qardh adalah salah satu bentuk
interaksi antar manusia yang dikategorikan non profit (tabarru‟),
charity atau derma, sehingga terlarang untuk mengambil untung.
18 Musthafa Dib Al Bugha, Fiqh al Muawadhah, diterjemahkan oleh Fakhri
Ghafur dengan
judul Buku Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta : Mizan Publika, 2010), 52.
11
Secara umum dalam ajaran Islam, qardh dipandang sebagai
sebuah bentuk saling tolong-menolong serta saling bantu-membantu
(ta‟awun) dalam lapangan kebajikan (QS Al-Maidah [5] : 2). Untuk
menghindari sesuatu yang tidak dinginkan, di antaranya wan
prestasi dari debitur, transaki qardh agar dituliskan (QS Al-Baqarah
[2] : 282). Qardh tidak semata-mata “berbisnis” antar sesama
manusia, tetapi qardh adalah “berbisnis” dengan Allah yang
dikatakan sebagai suatu pinjaman yang baik (QS Al-Hadid [57] :
11). Selain itu dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dikatakan bahwa seorang muslim yang mengutangi muslim
lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti sedekah.
3. Azas manfaat qardh
Qardh adalah salah satu konsep di dalam ajaran Islam yang
termasuk ke dalam at-takaful al-ijtima‟i (kebersamaan dalam
menanggung suatu kebaikan). Bentuk at-takaful al-ijtima‟i lainnya
adalah zakat, pemberian pinjaman rumah tangga kepada orang yang
sulit, pemberia cuma-cuma, pinjaman (utang), al-umra (pinjaman
berdasarkan masa umur), ar-ruqba (pinjaman hingga batas
kematian), sedekah sunah, menjamu, zakat fitrah, kurban, aqiqah,
denda harta dll. 19
Dalam perspektif Islam konsep manfaat dalam
transaksi bisnis dilakukan dengan memberikan manfaat berupa
keberkahan, tanpa ada pihak yang dirugikan, pemerataan distribusi
kekayaan, tahan akan krisis ekonomi, pertumbuhan tanpa riba.
19 Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah, (Bandung : Remaja
Rosda
Karya, 2007), 37
12
Mekanisme distribusi harta/kekakayaan menurut Islam ada
yang bersifat ekonomi atau non ekonomi. Qardhul hasan adalah
mekanisme secara ekonomi ditribusi kekayaan, sedangkan zakat,
waris dan sedekah sunah adalah mekanisme secara non ekonomi.
Sebagaimana firman Allah yang memerintahkan agar harta jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya (QS Al Hasyr[57] : 7).
20Dalam transaksi qardh orang yang meminjamkan sesuatu kepada
orang lain dianggap “meminjamkan” kepada Allah (QS At
Taghabun [64] : 17) dan (QS Al Baqarah [2] : 245), maka akan
dilipatgandakan gantinya dan akan mendapatkan pahala dari Allah
swt, karena telah menolong sesama umat manusia dan telah
menjalankan perintah Allah swt (QS Al Maidah [5] : 2).
Menafkahkan sebagian rezeki dengan diam-diam atau terang-
terangan adalah mengharapkan perniagaan yang tidak pernah merugi
(QS Al Fathir [35] : 29).
Dari segi kemaslahatan (manfaat) al-maqashid al-syariah
(tujuan diturunkannya syariat), qardh termasuk ke dalam al-
maqashid al-zharuriyah. Al-maqashid al-zharuriyah adalah tujuan
hukum yang semestinya ada (primer) dalam menegakkan
kemaslahatan dunia dan akhirat, yang terdiri dari lima kebutuhan
pokok (al kulliyah al-khams), yaitu memelihara agama, memelihara
nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
harta. 21
Sebagai contoh manfaat qardh dalam menegakkan salah satu
20 M Ismail Yusanto dan M Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, 168-169
21 Nuruddin bin Mukhtar Al-Khodimi, Ilmu Maqashid Syariah, alih bahasa oleh Asep
Arifin
13
dari lima al-maqashid al-syariah (tujuan diturunkannya syariat),
yaitu memelihara nyawa, dalam kasus menolong orang yang
kelaparan agar tidak mati. Bahkan dalam kasus seperti ini sangat
dianjurkan dengan akad qardhul hasan. Orang yang miskin, yang
karena kemiskinannya rawan untuk pindah keyakinan (agama) atau
murtad, dengan adanya konsep qardh, maka kreditur ikut menjaga
atau memelihara agama debitur, saudaranya sesama muslim. Maka
tangung jawab social (social responsibility) atas harta yang dimiliki
dalam konsep Islam, tidak hanya terbatas atas zakat ketika harta
sudah mencapai batas minimal (nishab),tetapi dilakukan dengan
memberikan infaq/shodaqah dalam keadaan lapang atau sempit,
terang-terangan atau diam-diam dan qardh dengan tanpa
mengharapkan pengembalian lebih. Konsep “tanpa mengharapkan
pengembalian lebih” tidak hanya mengandung makna anti riba,
tetapi juga mengandung arti manfaat atas waktu dari nilai uang yang
digunakan peminjam (yang bisa berakibat menurunnya nilai uang)
adalah manfaat yang dihibahkan kepada orang lain.
Maka konsep maslahah dalam Islam lebih dalam dari pada
konsep manfaat yang kita kenal secara umum. Maslahah merupakan
lawan dari mafsadat (kerusakan). Para fuqaha telah meberikan garis
panduan mengenai maslahah yang diterima oleh syariah Islam yang
disimpulkan dalam beberapa kaidah fiqhiyyah diantaranya : la
dharara wala dhirara22
yaitu dilarang menyebabkan kemudaratan
(Bandung : Prodi AS/HES Program Magister Pasca Sajana UIN Sunan Gunugn
Djati
Bandung, 2001), 39 22 Darar artinya perbuatan yang menimbulkan kerusakan (kerugian) dan mafsadat
kepada
14
dan dilarang membalasa kemudaratan dengan sejenisnya23
. Dari segi
al-maqashid al-zharuriyah, qardh menjadi hal yang zharuri (primer)
karena ada aspek saling tukar menukar manfaat (tabadul manafi)
dan memenuhi kebutuhan.24
Maka qardh termasuk ke dalam maslahah mu‟tabarah karena
sudah dikabarkan di dalam al Quran bahkan menjadi perintah
sebagai bagian dari tolong menolong (QS Al Maidah [5]: 1, Al
Hadid [57] : 11), juga memelihara harta agar tidak memakan harta
secara bathil (QS An Nissa [3] : 29), misal dengan memakan riba
(QS Al Baqatah [2] : 278), karena antara qardh dengan riba sangat
berdekatan. Qardh yang dilakukan dengan benar sesuai syariah dia
menjadi pahala, semenatara qardh yang disertai ziyadah (tambahan
pengembalian) berupa bunga (interest) jatuh menjadi riba yang
diharamkan (QS Al Baqatah [2] : 275).
Jika ditelaah lebih dalam di dalam qardh terkandung prinsip-prinip
sebagai berikut :
1. Prinsip ta‟awun (tolong menolong), yaitu prinsip saling
membantu sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui
mekanisme kerjasama ekonomi dan bisnis (QS Al Maidah
[5] : 2).
orang lain secara umunya atau tindakan yang menyebabkan kerugian kepada orang
lain
dan menguntungkan diri sendiri. Adapun dirar artinya melakukan pembatasan yang
bersifat merugikan (merusakan) terhadap perbuatan orang lain aau menyebabkan
kerugan terhadap orang, sementara dia sendiri tidak mendapatkan keuntungan apa-
apa.
Denga kata lain dirar sifatnya lebih dahsyat. Lihat dalam Juhaya S Praja, Ekonomi
Syariah (Bandung : Pustaka Setia, 2015), 147 23 Juhaya S Praja, Ekonomi Syariah, (Bandung : Pustaka Setia, 2015), 147 24
Nuruddin bin Mukhtar Al-Khodimi, Ilmu Maqashid Syariah, 43
15
2. Prinsip tijarah, yaitu prinsip bisnis, yaitu prinsip mencari laba
dengan cara yang d i ben a r kan o l eh s ya r i ah (QS An
Nissa‟ [3] : 29). Dalam hal ini “berbisnis” dengan Allah
untuk mencari pahala
3. Prinsip menghindari iktinaz, yaitu penimbunan uang, yaitu
menahan uang supaya tidak berputar, dipegang olah orang yang
berpunya, atau pada satu kelompok manusia, sehingga tidak
memberikan manfaat kepada masyarakat umum, hal ini jelas
terlarang, karena dapat menyebabkan terhentinya
perekonomian.
4 . Prinsip pelarangan riba, yak n i m en gh i nda r k an s e t i ap
t r an s ak s i eko nom i d an b i s n i sn ya d a r i u ns u r r i bawi
d en gan men ggan t ik ann ya melalui mekanisme kerja
sama (mudharabah, musyarakah) d an j u a l b e l i (al buyu)
(QS Al Baqarah [2]: 275 dan QS An Nissa‟ [3] : 29).
Asas manfaat qardh dalam konsep Islam yang immaterial,
tentu tidak sejalan dengan konsep barat yang menjadi dasar pinjam-
meminjam dalam kehidupan saat ini, baik yang terjadi pada
masyarakat umum ataupun lembaga keuangan. Jika ditelaah dengan
seksama antara qardh dengan riba sangat berdekatan. Praktek riba,
dalam bentuk membungakan uang pinjaman (usury/interest), dapat
terjadi pada qardh, seperti yang lazim terjadi pada perbankan
konvensional. Pada dasarnya qardh dengan adanya penambahan dari
pokok pinjaman pada saat pengembalian, dia berubah menjadi kredit
dan menjadi riba yang dilarang di dalam Islam. Untuk melegalkan
riba, para ekonom barat membuat teori-teori pendukungnya. Teori-
teori itu adalah :
16
1. Teori Agio, yaitu uang yang ada saat ini lebih bernilai dari pada
uang yang ada di masa mendatang; 25
2. Teori Heek, yaitu waktu memiliki nilai sebagaimana dimiliki
sebuah barang, maka bunga yang diberikan oleh debitur adalah
sebagai imbalan nilai waktu dari uang yang dipinjamkan; 26
3. Teori Adam Smith, yaitu rasio laba (profit) umumnya lebih tinggi
daripada bunga (interest), maka bunga adalah sebagai ganti rugi
untuk kreditur atas sebagian laba yang tertunda karena uangnya
dipakai debitur, sedangkan sebagian laba lagi untuk debitur.
Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama mendapat
laba;27
4. Teori risiko; yaitu bunga yang diberikan oleh peminjam kepada
pemberi pinjaman merupakan ganti rugi dari berbagi resiko yang
dihadapi oleh pemberi pinjaman, seperti risiko peminjam tidak
dapat melunasi hutangnya; 28
5. Teori Marshall, yaitu bunga sebagai imbalan waktu tunggu dan
tidak mampunya kreditur (pemberi pinjaman) menggunakan
uangnya untuk memenuhi kebutuhan sesaat; 29
Dalam kosa kata Inggris riba biasanya diterjemahkan
sebagai usury, sedangkan bunga dengan interest. Menurut
pandangan Islam teori pembungaan uang hanya merupakan bagian
dari teori riba. Bunga bank termasuk ke dalam riba nasi‟ah.31
Dengan kata lain menurut Islam, tidak ada perbedaan antara interest
25
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 384 26 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 385 27 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 385 28 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 386 29 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer, 385
17
dan usury (bunga dan riba), semua bunga adalah riba, sementara
kemitraan (mudhrabah; musyarakah) dengan berbagai bentuknya
diizinkan, pinjaman dengan bunga terlarang.32
Pinjaman uang dalam ekonomi konvensional yang
melahirkan bunga (interest) berasal dari konsep time value of money.
Islam tidak mengenal konsep time value of money. Islam mengenai
economic value of time. Artinya yang bernilai waktu itu sendiri,
bukan uang, sehingga harga tangguh (jual beli kredit) dibolehkan.
Zaid bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cicit
Rasulullah saw adalah orang pertama yang menjelaskah bolehnya
harga tangguh. Inilah keindahan konsep Islam. Riba diharamkan,
jual beli dengan harga tangguh dihalalkan.33
Harga tangguh sah dan
melahirkan keuntungan karena didasari obyek yang nyata yaitu
jual beli sesuatu barang, tidak seperti riba yang menjadikan
uang itu sendiri sebagai obyek. Dibanding dengan kapitalisme,
Islam memperlakukan uang sebagai sebagai alat tukar dan
penyimpan nilai tetapi bukan sebagai komoditas, karena uang itu
sendiri tidak dapat berfungsi apa-apa. Seseorang perlu menghargai
kebijaksanaan Nabi Muhammad saw yang dibimbing oleh wahyu,
tidak hanya menyatakan bunga pinjaman sebagai tidak sah tetapi
juga melarang pertukaran uang dan beberapa barang berharga
lainnya untuk kualitas yang tidak sama dan atas dasar pembayaran
ditangguhkan jika komoditi atau mata uangnya sama. Dengan
melarang bunga uang, tatanan ekonomi Islam, menangani masalah
18
pengangguran, inflasi, volatilitas valuta asing, siklus bisnis dan
menipisnya sumber daya alam yang berlebihan. 30
4. Perspektif Keadilan dalam Qardh
Sistem ekonomi yang dijalankan pada masyarakat di jazirah
Arab, sebelum Islam datang, adalah sistem ekonomi feodalis dan
kapitalis di mana kekayaan dan modal hanya berada dan berputar di
kalangan elit tertentu, suatu keadaan yang sangat tidak adil secara
ekonomi.
Maka salah satu misi utama/pokok kerasulan Muhammad
saw, adalah untuk menciptakan masyarakatyang berkeadilan (justice
and equalibirium), termasuk di dalamnya sistem ekonomi. Al Quran
melawan segala bentuk ketidakadilan, seperti eksploitasi ekonomi,
penindasan politik, dominasi budaya, dominasi gender (pembedaan
seseorang dengan orang lain berdasar jenis kelamin laki-laki dan
perempuan), dan segala corak disequilibirium dan apartheit.31
Karena itu, tujuan kedatangan Islam di antaranya adalah membawa
konsep sistem ekonomi berkeadilan.
Menurut perspektif Al-Quran keadilan memiliki empat
macam arti, yaitu berarti “sama” (al-musawat) [QS An-Nissa (4):
58]. Adil juga berarti “seimbang” (al-mizan) [QS Al-Hadid (57): 25
dan QS Al-Rahman (55): 9]. Keadilan juga berarti memelihara hak
individu dan memberikannya kepada yang 32
berhak dan terakhir
keadilan yang dinisbatkan kepada Allah swt, artinya memelihara hak
30 Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer,(Depok, Gema
Insani Press, 2001), 73 31 Ahmed A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economics A Short History,
(Leiden, The Netherlands : Koninklijke Brill NV, 2006), 23 32
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, 71
19
berlanjutnya eksistensi.36
Hal yang paling inti dari suatu keadilan
adalah prinsip neminem laedere, yaitu prinsp untuk menghindari
tindakan yang menyebabkan penderitaan, kerugian dan rasa sakit
bagi orang lain.33
Penegakkan keadilan dan penghapusan segala bentuk
ketidakadilan telah ditekankan oleh Al-Quran sebagai misi utama
para Rasul Allah (QS Al Hadid [57] : 25). Tidak kurang dari seratus
ekspresi berbeda dalam Al Quran yang mengandung makna
keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan „adl, qisth, mizan
atau variasi ekspresi tidak langsung. Di samping itu, terdapat lebih
dari dua ratus peringatan dalam Al-Quran yang menentang
ketidakadilan seperti zulm, itsm, dhalal dan lainnya. Bahkan Al-
Quran menempatkan keadilan “paling dekat” kepad takwa (QS Al
Maidah [5] : 8), karena begitu pentingnya ia dalam struktur
keimanan Islam. Komitmen Islam yang begitu intens kepada
persaudaraan dan keadilan menuntut semua sumber-sumber daya di
tangan manusia sebagai titipan Allah dan harus dimanfaatkan untuk
mengaktualisasikan maqasyid asy-syariah 34
(tujuan diturunkannya
syariat).
Keadilan adalah moderasi dan keseimbangan. Dalam al
Quran, al-a‟dl dengan al-mizan berhubungan erat dengan makna
ash-shirat al-mustaqim, jalan lurus sebagaimana dimaksud dalam
surat Al-Fatihah ayat terakhir. Sementara istilah dalam Al-Quran,
yaitu al-mizan dan a-qisth mengandung makna praktis, yaitu
33 Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, 150-151
34 Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, 154
20
keadilan dalam dalam kehidupan nyata. Maka keadilan dalam
pengertian al-qisth adalah persesuaian-persesuaian atau harmoni.
35Dalam pandangan ekonomi Islam keseimbangan harus ada dalam
modal dan aktivitas, produksi dan konsumsi serta sirkulasi
kekayaan. Oleh karena itu, Islam melarang dan mencegah terjadinya
akumulasi dan sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang,
seperti terkandung dalam makna Al Quran surah al-Hasyr [59]: 7,
yang artinya supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orangorang kaya saja. Maka dalam makna distribusi kekayaan
seperti ini qardh menjadi proses penting. Bila terjadi kesenjangan
kepemilikan yang tajam antar individu kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya, maka berarti telah terjadi praktik
kezaliman. 36
Konsep qardh hadir, di antaranya untuk
mendistribusikan kekayaan/harta agar tidak terjadi disparitas yang
tajam dalam pemenuhan kebutuhan, khususnya dalam masalah-
masalah pemenuhan kebutuhan primer.
Dalam konsep keadilan barat adilnya suatu perolehan itu
haruslah dibagi menurut usaha-usaha bebas dari individu-individu
bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk
memperoleh sesuatu. Oleh karena itu, di dalam teori keadilan
liberalis ini, membantu orang yang miskin atau dalam kesulitan
sebagai sesuatu yang sangat tidak etis karena mereka mendapatkan
35 M Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, diterjemahkan oleh Ikhwan
Abidin Basri menjadi Islam dan Tantangan Ekonomi (Depok : Gema Insani Press :
2000), 211-212 36 Juhaya S Praja, Ekonomi Syaria, 29
21
sesuatu tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. 37
Filosofis keadilan
dalam Islam yang tidak semata-mata mendasarkan atas usaha-usaha
individu untuk memenuhi kebutuhannya, menjadi hal yang sangat
khas, karena itu kepedulian kepada orang miskin dan tertindas
menurut ajaran Islam sebagai sebuah praktik keadilan sesuai
perintah agama (QS At Taubah [9]:61) dan mengabaikannya
merupakan kedzaliman (QS Al-Maun [107] : 1-3).
Sebagian bagian dari nilai-nilai instrumental ekonomi
Islam38
,
qardh erat kaitannya dengan pemberantasan praktik
kezaliman dan ketidak adilan (QS Al Baqarah [2] : 278-279). Secara
sempit penghapusan riba berarti penghapusan eksploitasi yang
terjadi dalam utang-piutang maupun jual-beli, tetapi secara luas
penghapusan riba dimaknai sebagai penghapusan segala bentuk
praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan.39
Implikasi prinsip „adl (keadilan) dalam ekonomi Islam ialah:
pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat, sumber
pendapatan yang terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan
secara merata, dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi yang baik.
Hal ini tersirat dalam al Quran (QS Al-An‟am [6]: 152) yang intinya
bahwa Allah memerintah kepada manusia agar dapat berlaku adil
dalam segala hal, terutama kepada mereka yang sedang
37 Anwar Abbas, Sistem Ekonomi Islam : Suatu Pendekatan Filsafat, Nilai-nilai
Dasar dan Instrumental, Jurnal Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012, 119 38 Yang dimaksud dengan nilai instrumental ialah segala sesuatu yang akan menjadi
persyaratan bagi pelaksanaan dan terlaksananya suatua sistem. Dalam sistem ekonomi
Islam nilai-nilai instrumental strategis di antaranya zakat, pelarangan riba, kerjasama
ekonomi (musyarakah) 39 Anwar Abbas, Sistem Ekonomi Islam : Suatu Pendekatan Filsafat, Nilai-nilai
Dasar dan Instrumental, 119
22
diamanahi kekuasaan dan mereka yang senantiasa berhubungan
dengan transaksional bermuamalah atau berniaga. 40
Dalam ekonomi Islam, perlakuan terhadap orang yang
berutang dibedakan antara orang yang tidak mampu bayar dan tidak
mau bayar. Dalam hadits Abu Dawud dan Nasa‟i, Amri bin Said
menceritakan dari bapaknya bahwa Rasulullah saw bersabda, orang-
orang yang telah sanggup untuk membayar kewajibannya, tetapi
dilalaikannya juga, bolehlah orang merampas hartanya dan
menghukumnya. Tetapi di pihak lain, kreditor dianjurkan untuk
memberikan perpanjangan waktu kalau perlu dihapus bukukan (QS
Al Baqarah [2]: 280) Hal ini bertolak belakang dengan sistem
konvensional yang menetapkan bunga tiggi, denda bunga, bunga
atas bunga, dan syarat-syarat lain untuk memastikan pembayaran
kembali uangnya, tanpa memperdulikan bisnis debitornya. Apapun
yang terjadi pada sektor riil yang digeluti debitor, seakan terlepas
dari sektor moneter yang selalu menuntut penggandaaan uang
debitor. 41
Padahal pada zaman Rasulullah saw riba baru dikenakan
pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta
perpanjangan waktu (as-sunanul kubra), sedangka bila peminjam
mampu melunasi pada saat jatuh tempo maka tidak ada riba. Jadi
40 Hendri Hermawan Adinugraha, Norma dan Nilai Dalam Ilmu Ekonomi Islam,
httpsmedia.neliti.commediapublications41092-ID-norma-dan-nilai-dalam-ilmu.
ekonomi-islam.pdf#page=10&zoom=auto,-107,639, diakses tanggal 24-11-2018, 54
41 Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, (Depok : Gema
Insani
Press, 2001), 24
23
riba baru dikenakan bila ada perpanjangan waktu.42
Perpanjangan
waktu inilah yang dikenakan bunga uang. Konsep perpanjangan
waktu setelah debitor tidak mampu membayar pinjaman pada saat
jatuh tempo ini dikenal dengan riba jahiliyah. Tetapi pada saat ini di
bank konvensional riba sudah terjadi sejak akad ditunaikan, pada
saat manfaat uang pinjaman itu belum dirasakan oleh debitor.
Misalkan pinjaman uang itu untuk bisnis dan merugi karena hal di
luar kemampuan debitor, faktanya debitor tetap harus
mengembalikan pinjaman kepada kreditor disertai bunganya. Lebih
kejam mana pinjam-meminjam uang pada zaman sekarang
dibanding zaman jahiliyah? Di manakah letak keadilan atas hal
tersebut?
C. Kesimpulan
Konsep nilai dalam ilmu ekonomi Islam telah memberi
landasan etik yang kokoh dengan bersumber pada tauhidullah sebagai
sumber etik tertinggi. Qardh adalah pemberian pinjaman dengan
pengembalian dana sebesar pokok yang dipinjamnya, baik secara
sekaligus atau dicicil.
Manfaat transaksi qardh bersifat transendental bagi pemberi
pinjaman (kreditor), karena pemberi pinjaman akan merasakan
manfaat, dilipatgandakan gantinya dan akan mendapatkan pahala dari
Allah swt. Sedangkan penerima pinjaman (debitor) merasa mendapat
manfaat telah dibebaskan dari kesulitannya. Bahkan dalam batas-batas
tertentu ketika penerima pinjaman tidak mampu mengembalikan
42
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, 24
24
pinjamannya, akan dibebaskan dari kewajiban melunasi hutangnya
(write off).
Keadilan dalam qardh berarti memelihara hak individu dan
memberikannya kepada yang berhak berkaitan dengan
menyeimbangkan sirkulasi kekayaan, agar tidak terjadi akumulasi dan
sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Dalam konsep Islam
kepedulian kepada orang miskin dan tertindas sebagai sebuah praktik
keadilan dan mengabaikannya merupakan kedzaliman. Penghapusan
riba dalam qardh adalah bukti nyata penghapusan eksploitasi atas
sesama manusia sebagai bentuk keadilan dalam bertransaksi.
Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman, Bank Islam, Analisa Fiqih dan Keuangan (Depok :
Raja Grafindo Persada, 2013)
Izzan, Ahmad dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2007)
El-Ashker, Ahmed A.F. dan Rodney Wilson, Islamic Economics A
Short History, (Leiden, The Netherlands : Koninklijke Brill NV,
2006)
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2008)
Abdul Hakim, Atang, Fiqih Perbankan Syariah, (Banfung : Refika
Aditama, 2011)
Ahmad Saebani, Beni, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, (Bandung :
Pustaka Setia, 2015)
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang : CV
Toha Putra, 1989)
25
Tarmizi, Erwandi, Harta Haram Mumamalat Kontemporer (Bogor,
Berkah Mulia Insani, 2017)
Umar, Husen, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005)
Abidin Basri, Ikhwan, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008)
S Praja, Juhaya, Ekonomi Syariah (Bandung : Pustaka Setia, 2015)
K Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2000), Cet. V, 100
Al Bugha, Musthafa Dib, Fiqh al Muawadhah, diterjemahkan oleh
Fakhri Ghafur dengan judul Buku Pintar Transaksi Syariah,
(Jakarta : Mizan Publika, 2010)
Akram Khan, Muhamad, An Introduction to Islamic Economics,
(Pakistan, Islamabad, The International Institute of Islamic
Thought, 1994)
Chapra, M Umer, Islam and The Economic Challenge, diterjemahkan
oleh Ikhwan Abidin Basri menjadi Islam dan Tantangan Ekonomi
(Depok : Gema Insani Press : 2000),
Yusanto, M Ismail dan M Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam,
(Bogor : Al Azhar Press, 2011), Cetakan 2Bin Mukhtar Al-Khodimi,
Nuruddin, Ilmu Maqashid Syariah, alih bahasa oleh Asep Arifin
(Bandung : Prodi AS/HES Program Magister Pasca Sarjana UIN
Sunan Gunugn Djati Bandung, 2001)
Sudarto, Metologi Penelitian Filsafat, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002), cetakan ketiga
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta : LPFE Usakti, 2011)
26
As-Sabatin, Yusuf, Al-Buyu‟ al-Qadimah wa al- Mua‟ashirah wa al-
Burshat al-Mahiliyyah wa ad-Duwaliyyah, diterjemahkan dengan
judul Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalisme
oleh Yahya Abdurrahma (Bogor : Al Azhar Press, 2014)
Jurnal Ilmiah :
Abbas, Anwar, Sistem Ekonomi Islam : Suatu Pendekatan Filsafat,
Nilai-nilai Dasar dan Instrumental, Jurnal Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1,
Januari 2012
Adinugraha, Hendri Hermawan Norma dan Nilai Dalam Ilmu Ekonomi
Islam, httpsmedia.neliti.commediapublications41092-ID-norma-dan-
nilai-dalam-ilmu-ekonomi-islam.pdf#page=10&zoom=auto,-107,639
Nasution, Khoiruddin, Wilayah Kajian dan Filsafat Ekonomi Islam,
Jurnal Millah Vol. II. No.2, Januari 2002
Wahyu, Filsafat Ekonomi Islam : Rasionalitas dan Religiusitas
Ekonomi, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September
2010 pp., Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
Peraturan Perundang-undangan:
UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan
Syariah
Surat Edaran OJK nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk
dan
Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003 tentang
Kualitas
Aktiva Produktif bagi Bank Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/9/PBI/2003 tentang
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/18/PBI/2004 tentang
Kualitas
Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/19/PBI/2004 tentang
tentang
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank
Perkreditan Rakyat Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/46/PBI/2005 tentang
Akad
Penghimpunan dan Peyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/21/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
28
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/24/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS/2008
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah
Fatwa DSN NO. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh
29
METODE BERAKHIRNYA AKAD MUAMALAH
MALIAH
Enang Hidayat
Dosen STISNU Cianjur
E-mail: enanghidayat75@yahoo.com
Abstract
Every obligation, including muamalah maliah agreement can
cease for something. It is iqalah and fasakh that determin
wheather the obligation stopped or not. The understanding of
iqalah and fasakh is inseparable from the understanding of
luzumul aqd; prevalent and commonplace of the obligation. Thus
iqalah and fasakh is also related to luzumul aqd. Therefore, the
lack of understanding to the iqalah and fasakh is tantamount to
the lack of understanding of the nature and the spirit of the
obligation.
Keywords: Contract, Iqalah, Fasakh, Lazim, Gair Lazim.
A. Pendahuluan
Sebuah akad tidak selalu mulus. Dalam situasi tertentu
adakalanya terpaksa berhenti karena ada peristiwa tertentu.
Apabila hal itu terjadi, maka tidak bisa dipaksakan berjalan
terus. Karena bisa dipandang tidak sah menurut aturan fikih
Islam. Namun dalam praktiknya ada yang perlu
mendapatkan keridaan pihak atau mitra akad dan ada yang
tidak. Jika memerlukannya, maka dikenal dengan istilah
iqalah. Sedangkan jika tidak perlu, maka dikenal dengan
istilah fasakh.
Berbicara mengenai iqalah dan fasakh tidak bisa
dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelaziman akad.
Disebut akal lazim karena berakhirya akad menunggu
30
keridaan pihak lainnya. Sedangkan disebut akad gair lazim
berakhirnya akad tanpa menunggu keridaan pihak lainnya.
Namun penulis tidak akan menyoroti permasalahan
kelazimannya, karena sudah penulis bahas dalam tulisan
sebelumnya berkenaan dengan karakter akad muamalah. Di
sini penulis akan membahas disebut iqalah dan fasakh
dalam kondisi akad seperti apa. Selain itu menurut penulis
istilah iqalah dan fasakh lebih enak disebut bagian dari
berhentinya akad (intiha al-aqd). Dan fasakh tidak disebut
dengan batal, karena jika disebut dengan batal, ada ulama
yang membedakan antara keduanya.
Selain itu pula penulis akan mengenyampingkan
pendapat ulama yang menyebutkan iqalah itu bagian dari
fasakh. Hal ini dilatarbelakangi pernyataan yang
menyebutkan sebab fasakh karena keridaan kedua belah
pihak yang disebut iqalah. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Mustafa Ahmad al-Zarqa ketika menjelaskan
tentang akad lazim tergantung pada keridaan kedua belah
pihak. Dalam kedaan demikian, akad ini dapat berakhir atau
fasakh, tapi istilahnya disebut dengan iqalah.
B. Pembahasan
1. Definisi Iqalah dan Fasakh
Para ulama mendefinisikan iqalah )ئلاح ) menurut
bahasa berarti menghilangkan (اشفغ الإصاح). Oleh karena itu
Al-Fayumi menyebut iqalah dengan menghilangkan akad ( سفغ
31
.(اؼمذ1 Sementara itu Al-Zubaidi dan Al-Jauhari menyebutkan
kata iqalah berarti fasakh.2 Dengan demikian keduanya tidak
membedakan antara keduanya.
Dapat kita pahami iqalah dari segi bahasa ini berarti
pelaku akad menghilangkan keabsahan akad. Sehingga yang
tadinya sah menjadi tidak sah.Oleh karena itu akad terpaksa
harus berhenti. Sedangkan menurut istilah iqalah adalah
mengilangkan akad dan menghapuskan hukum serta
pengaruhnya karena keridaan kedua belah pihak ( سفغ اؼمذ ئغاء
.(زى أثش ترشاػ اطشف١3 Dengan demikian dapat kita
simpulkan iqalah berakhirnya akad itu didasari keridaan
kedua belah. Sehingga hukum yang ditimbulkan dari akad
tersebut menjadi hilang atau terhapus. Ungkapan iqalah
berarti “menghilangkan” dijelaskan dalam hadis Nabi berikut
ini.
ألاي غا ألاي الله ػثشذ ٠ ام١اح )سا أت داد ات اخ ػ
أت ش٠شج(.4
1 Ahmad al-Fayumi, Al-Misbah al-Munir, (Beirut-Libanon: Maktabah
Libnan, 1987 M), hlm. 199. 2 Sayid Murtada al-Zubaidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, (Kuwait:
Wazarah al-A‟lam), Juz XXX, Cet. II, hlm. 306. Ismail bin Ahmad al-Jauhari,
Al-Sihah Taj al-Lugah wa Sihah al-Arabiyah, (Beirut-Libanon: Darul Ilmi li
al-Malayin, 1404 H/ 1984 M), Cet. III, hlm. 1808. 3 Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah, Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz
V, hlm. 324. 4 Syekh Abdul Rahman Syarafuk Haq, Aun al-Ma‟bud Syarh Sunan Abi
Daud, (Beirut-Libanon: Daru Ibn Hazm, 1426 H/ 2005 M), Cet. I, hlm. 1577;
Jalaludin al-Suyuti, dkk, Syuruh Sunan Ibnu Majah, (Yordania: Baitul Afkar
al-Dauliyah, t.th), Cet. I, hlm. 853.
32
Siapa saja yang menghilangan kesulitan orang muslim
(dalam jual beli), maka Allah akan mengampuni kesulitan
atau kesalahannya pada hari kiamat (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah).
Al-Nawawi, dkk menjelaskan makna ألاي adalah أصاي
berarti menghilangkan. Contoh ilustrasi iqalah ini
sebagaimana dijelaskan Syekh Abdul Rahman Syarafuk Haq
adalah jika seseorang membeli sesuatu, kemudian ia menyesal
setelahnya apa yang dibelinya itu. Alasannya apakah karena
setelah ia pikir-pikir barang yang dibeli itu belum waktunya
untuk dibutuhkan, atau karena yang lainnya. Lantas ia
mengembalikan barang yang dibeli itu kepada penjual. Dan
penjual pun menerimanya. Maka, apa yang dilakukan penjual
itu akan dihilangkan kesulitannya atau diampuni
kesalahannya oleh Allah pada hari kiamat. Karena ia telah
berbuat baik pada pembeli. Dari contoh ilustrasi tersebut
dapat dipahami terjadinya kesepakatan antara penjual dan
pembeli untuk membatalkan jual beli.
Sedangkan definisi fasakh )فغخ( menurut bahasa berarti
membatalkan atau memisahkan (امغ أ ارفش٠ك). Adapun
menurut istilah berarti melepaskan ikatan akad (ز ساتطح اؼمذ).
Atau menghilangkan hukum akad dari asalnya. Sehingga
seolah-olah akad itu tidak terjadi ( أ اسذفاع زى اؼمذ الأط وأ
33
Atau masing-masing pihak mengembalikan pengganti .( ٠ى
dari akad tersebut (أ لة و ازذ اؼػ١ ظازث(.5
Dengan demikian dapat kita simpulkan fasakh adalah
berakhirnya akad itu tidak didasari keridaan kedua belah
pihak. Namun tetap hukum yang ditimbulkan dari akad
tersebut menjadi hilang atau terhapus.
Dengan demikian terdapat persamaan antara iqalah dan
fasakh. Persamannya adalah sama-sama menyebabkan
berakhirnya akad. Dan hukum yang ditimbulkan dari akad
tersebut menjadi hilang. Sedangkan perbedaannya adalah
iqalah tidak tergantung pada keridaan kedua belah pihak
pelaku akad. Sedangkan kalau fasakh sebaliknya, yakni
tergantung pada keridaan kedua belah pihak.
Selain itu terdapat pula perbedaan antara fasakh dan
batal yang dikemukakan para ulama. Namun sebelum
membahas ke sana, di sini akan dijelaskan dahulu pengertian
batal. Mustafa Ahmad al-Zarqa menjelaskan pengertian batal
menurut istilah adalah gugurnya sesuatu karena sesuatu itu
rusak (عمؽ اش١ئ فغاد). Sedangkan menurut istilah adalah
keberadaan dan pengaruh akad tersebut tidak diakui syarak
.(ػذ اوغاب ارظشف خد الإػرثاس أثاس ف ظش اشاسع)6
5 Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah, Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz
32, hlm. 131. 6 Mustafa Ahmad al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi al-Jadid,
(Damaskus: Darul Qalam, 1418 H/ 1998 M), Juz II, Cet. I, hlm. 701.
34
Kemudian Mustafa Ahmad al-Zarqa menyebutkan
perbedaan antara fasakh dan batal kepada dua hal.7
Pertama, akad disebut fasakh telah dipandang sah dan
sempurna. Akan tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang datang dan
mengahalangi keabsahannya. Misalnya rusaknya objek yang
diperjualbelikan rusak di tangan pembeli setelah akad, namun
terjadi sebelum serah-terima barang. Dalam keadaan
demikian, akad tidak berlawanan dengan syarak. Dan hal
yang sama kerusakan objek akadnya pun tidak berlawanan.
Akan tetapi karena ada peristiwa yang menyulitkan
terlaksananya akad dengan baik, maka ter-fasakh-lah akad
tersebut. Contoh lainnya hal yang sama seperti dalam akad
ijarah ketika objek barang yang akan disewakan. Atau dalam
akad syirkah seperti rusaknya modal untuk bisnis.
Sedangkan akad disebut batal terjadi karena adanya
sesuatu yang berlawanan dengan aturan syarak dari segi
pokok-pokok akad. Dan keberadaannya akad tersebut
dianggap tidak ada. Misalnya seseorang memperjualbelikan
narkoba, daging babi, dan yang lainnya.
Kedua, akad disebut fasakh karena akad tersebut hilang
dari asalnya. Oleh karena itu keberadaannya bersandar pada
pengaruhnya. Misalnya rusaknya objek yang diperjualbelikan
sebelum terjadi serah-terima. Namun terkadang juga
keberadaan fasakh-nya tidak bersandar pada pengaruhnya.
7 Mustafa Ahmad al-Zarqa, Ibid, hlm. 712.
35
Sehingga hilanglah keterkaitan akad dengan waktu fasakhnya.
Misalnya fasakh-nya akad ijarah dan syirkah karena rusaknya
objek yang disewakan dan rusaknya modal. Sedangkan akad
disebut batal karena keberadaan akad tersebut tidak ada
asalnya selamanya (tidak diakui syarak). Contohnya telah
disebutkan di atas.
Sementara itu Abdul Razaq Ahmad al-Sanhuri
membedakan fasakh dan batal ke dalam dua bagian juga.
Pertama, akad fasakh disebabkan karena ketiadaan salah satu
pihak dalam menjalankan kelaziman akad. Sedangkan akad
batal disebabkan karena jalan umum, yakni karena adanya
kekurangan yang terjadi berkaitan dengan kompetensi pelaku
akad (ahliyah), atau karena tidak adanya keridaan salah satu
pihak. Kedua, dalam fasakh diserahkan kepada pertimbangan
kekuasaan seorang hakim dalam memutuskannya. Sedangkan
dalam batal seorang hakim tidak mempunyai kekuasaan
mempertimbangkannya, selain mengucapkan akad itu batal.8
Dari beberapa perbedaan antara fasakh dan batal di atas
sebagaimana dikemukakan Mustafa Ahmad al-Zarqa dan
Abdul Razaq Ahmad al-Sanhuri dapat disimpulkan perbedaan
inti antara keduanya ke dalam dua tiga hal sebagai berikut.
Pertama, dalam fasakh memang akad tersebut disyariatkan
asalnya. Namun karena ada sesuatu yang menyebabkan
kecacatan pada akad, sehingga akad tersebut jadi berakhir.
8 Abdul Razaq Ahmad al-Sanhuri, Nazariyat al-Aqd, (Beirut-Libanon:
Mansyurah al-Halbi, al-Huquqiyah, 1998 M), Juz II, hlm. 708
36
Sedangkan batal memang dari asalnya akad tersebut tidak
disyariatkan. Kedua, dalam fasakh berkaitan dengan
keteguhan dalam menjalankan kelaziman akad. Sedangkan
batal berkaitan dengan keahlian pelaku akad sebagaimana
termasuk rukun dan syarat akad. Ketiga, hukum asal fasakh
berdasarkan keputusan seorang hakim. Sedangkan dalam
batal tidak demikian.
2. Hukum Iqalah dan Fasakh
Berbicara mengenai istilah dalam akad, tidak terlepas
dari hukum yang mengitarinya. Sebagaimana dijelaskan
dalam akad muawadah, seperti akad bai dan ijarah hukumnya
menurut para ulama diperbolehkan. Sekarang mengenai
iqalah dan fasakh yang di dalamnya berpotensi adanya iqalah
dan fasakh bagaiman hukumnya. Oleh karena itu di bawah ini
akan dibahas mengenai hukum keduanya. Tujuannya agar kita
memahami akad secara utuh, sehingga tidak salah faham juga
dengan keabsahannya.
Para ulama berpendapat hukum iqalah bisa dikatakan
sunat atau wajib. Hal ini tergantung kondisinsya. Dikatakan
sunat jika salah satu pihak merasa menyesal. Tentunya hal
tersebut terinspirasi dari hadis yang berkenaan dengannya
sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis tersebut
menunjukkan hukum asal iqalah adalah sunat.
37
Adapun dikatakan hukumnya menjadi wajib jika akad
tersebut berkaitan dengan akad yang makruh atau rusak
(fasid). Karena dalam keadaan dikategorikan dengan
perbuatan maksiat. Oleh karena itu masing-masing pihak
berkewajiban membatalkan akad. Contohnya jika seorang
penjual menipu pembeli mengenai kualitas barang yang
diperjualbelikannya. Maka, pembeli berkewajiban
mengembalikan barang tersebut kepada penjual. Dan menarik
embali uang yang telah diserahkan kepadanya. Begitu pun
penjual berkewajiban mengembalikan uang tersebut.9
Sedangkan dalam fasakh hukumnya berkaitan dengan
wajib dan boleh (jaiz). Dikatakan wajib, karena memelihara
hak individu dan syarak itu hukumnya wajib. Contohnya
mem-fasakh akad rusak sebagaimana telah disebutkan
berkaitan dengan contoh iqalah di atas. Selain itu karena
dalam rangka memuliakan kaidah-kaidah syarak atau syarat-
syarat yang telah ditentukannya. Selain itu juga karena dalam
rangka memelihara kemaslahatan umum dan khusus, seperti
menghindarkan dari perselisihan di kemudian hari.
Dalil hukum berkenaan wajib ini karena kaidah hukum
asal akad tersebut adalah bersifat lazim. Hal ini bersandar
pada firman-Nya dalam Surah Almaidah: 1 yang
menerangkan tentang kewajiban memenuhi akad.
9 Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah, Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz
V, hlm. 325.
38
Adapun hukumnya dikatakan sunat, karena
menghendaki permintaan pelaku akad. Contohnya memfasakh
akad yang termasuk akad gair lazim. Atau memfasakh akad
berdasarkan keridaan atau kesepakata kedua belah pihak
sebagaimana yang terjadi dalam iqalah. Dalil hukum
berkenaan sunat ini bersandar pada hadis sebagai berikut.
اغ ػ ششؽ ئلا ششؽا زش زلالا أ أز زشاا. )سا
ارشز ػ ػش ت ػف اضا(.10
Kaum muslimin berpegang teguh terhadap
persyaratannya (sehingga mereka tidak diperbolehkan
menarik kembali) persyaratannya, kecuali persyaratan
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram (HR. Tirmizi dari Amr bin Auf al-Muzani).
ط ػ ػائشح(.اغ ػذ ششؽ ا افك اسك. )سا اذاسل11
Kaum muslimin berdasarkan persyaratannya selama
saling memenuhi haknya (HR. Daruqutni dari Aisyah).
Mengadakan persyaratan atau perjanjian sebagaimana
yang dipahami dari hadis di atas hukumnya diperbolehkan.
Asalkan di dalamnya tidak berkaitan dengan mengharamkan
sesuatu yang telah dihalalkan. Atau sebaliknya,
mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan.
10
Abi al-Ala al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwazi Bisyarh Jami al-Tirmizi,
(t.p: Darul Fikr, t.th), Juz IV, hlm. 584. 11
Ali bin Umar al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni, (Beirut-Libanon: Daru
Ibn Hazm, 1432 H/ 2011 M), Cet. I, hlm. 621.
39
Namun jika persyaratan atau perjanjian itu telah
disepakati oleh kedua belah pihak, maka bersifat lazim atau
mengikat. Sehingga menimbulkan keharusan kedua belah
pihak berpegang teguh pada persyaratan (perjanjian) tersebut.
Dan tidak diperbolehkan menarik kembali persyaratan
tersebut kecuali terdapat uzur atau adanya pembatalan akad
berdasarkan keridaan kedua belah pihak.
3. Rukun dan Syarat Iqalah dan Fasakh
Para ulama mengemukakan rukun iqalah adalah adanya
ijab kabul yang menunjukkan keridaan kedua belah pihak
mengadakan iqalah. Ungkapan ijab kabul ini bisa melalui
ucapan, perbuatan, tulisan, isyarah, atau petunjuk. Seperti
ungkapan pembeli kepada penjual: “Saya tidak jadi membeli
barang darimu, karena belum dibutuhkan saat ini.” Penjual
menjawab: “Saya terima” atau ungkapan: “Saya sepakat.”
Sedangkan syaratnya ada lima, yakni sebagai berikut.
Pertama, adanya keridaan kedua belah pihak. Karena
membatalkan akad lazim mesti berdasarkan keridaan kedua
belah pihak. Kedua, bersatunya tempat akad (ittihad al-
majlis). Persyaratan ini sebagaimana persyaratan dalam jual
beli. Ketiga, akad yang dibatalkan termasuk akad yang dapat
di-iqalah dan di-fasakh, seperti akad bai dan ijarah. Keempat,
masih utuh objek akad waktu iqalah. Oleh karena itu jika
40
objeknya sudah rusak, maka iqalah tidak sah. Kelima, saling
serah-terima pengganti barang.12
Adapun mengenai rukun fasakh, para ulama tidak
menjelaskannya. Hal ini mengindikasikan dalam fasakh tidak
perlu adanya ijab kabul. Tapi otomatis dengan sendirinya
menurut hukum akad batal. Sedangkan berkenaan dengan
syaratnya tidak ada bedanya dengan iqalah, kecuali berkenaan
dengan keridaan. Dalam fasakh ini tidak ada syarat keridaan
keridaan kedua belah pihak.
Namun syarat berkenaan dengan bersatunya majlis
(tempat melakukan akad) untuk konteks zaman sekarang
mengalami perkembangan. Bersatunya majlis tidak dimaknai
seperti itu. Karena hal ini berkaitan dengan hadis tentang
kebolehan melakukan khiar selama dalam majelis dan belum
berpisah badan (tafarruq bi al-abdan). Oleh karena itu dapat
kita terima pemahaman ulama Hanafiah dan Malikiah bahwa
maksudnya adalah berpisahnya ucapan (tafarruq bi al-aqwal).
Dengan demikian sekalipun tempatnya berjauhan,
seperti melalui online, asalkan rukun dan syaratnya terpenuhi
ketika melakukan akad, maka tidak merubah makna
bersatunya tempat akad. Maka, meng-iqalah dan mem-fasakh
akad dalam kondisi demikian diperbolehkan.
12
Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah, Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz
V, hlm. 325-326.
41
4. Domain Iqalah dan Fasakh
Sundus Abdullah Rajab al-Siraj menjelaskan bahwa
iqalah tidak terjadi kecuali dalam tiga hal. Pertama, dalam
akad yang memerlukan ijab kabul, seperti jual beli, sewa-
menyewa, dan yang lainnya. Kedua, dalam akad yang telah
dikatakan sah menurut fikih Islam. Hal ini termasuk akad
termasuk yang disyariatkan asalnya, sifatnya, dan tidak
terdapat sesuatu yang menyebabkan cacat rukun maupun
syaratnya. Ketiga, terjadi dalam akad yang lazim bagi kedua
belah pihak. Atau bagi akad yang tidak berpeluang untuk
melakukan khiar, karena telah dipandang sempurna. Oleh
karena itu iqalah tidak berlaku bagi akad yang bersifat gair
lazim atau jaiz bagi kedua belah pihak, seperti akad ariah dan
wakalah. Atau akad yang lazim-nya bagi satu pihak saja,
seperti yang terjadi pada akad rahn (lazim bagi rahin saja,
sedangkan gair lazim bagi murtahin), kafalah (lazim bagi
kafil, sedangkan gair lazim bagi makful lah).13
Sama seperti iqalah, ketiga hal tersebut di atas berlaku
juga bagi fasakh, kecuali domain kedua. Bahkan dalam fasakh
terdapat sebuah kaidah yang dikemukakan Abdul Razaq
Ahmad al-Sanhuri, yakni: “Hukum asal dalam fasakh
bersandarkan pada keadilan kedua belah pihak”. Oleh karena
itu apabila salah satu pihak tidak mampu menjalankan ke-
13
Sundus Abdullah Rajab al-Siraj, Inhilal al-Aqd bi al-Taqayul Dirasatan
Tahliliyatan, (Palestina: Jamiah al-Azhar, 2013), hlm. 29.
42
lazim-an akad, maka pihak lainnya diperbolehkan melepaskan
ke-laziman-nya dengan jalan mem-fasakh akad.14
5. Pengaruh Iqalah dan Fasakh terhadap Akad
Pengaruh iqalah dan fasakh ini dapat mengakhiri akad
yang telah dilakukan kedua belah pihak. Dan akad yang telah
dilakukannya terlepas dari kedua belah pihak. Artinya seolah-
olah akad itu belum terjadi. Namun demikian jika kedua
belah pihak ingin melanjutkan akad, maka hal tersebut
diperbolehkan. Tentunya dengan akad yang baru dan sahih
menurut pandangan syarak.
6. Hikmah Iqalah dan Fasakh dalam Fikih Islam
Penjelasan mengenai iqalah dan fasakh sebagaimana
telah disebutkan di atas secara implisit mengandung
hikmahnya, khusus bagi pelaku akad dan umumnya bagi
masyarakat. Di antara hikmahnya sebagai berikut.
Akad yang telah dilakukan tidak memudaratkan kedua
belah pihak.
Bentuk ketaatan kita kepada pembuat syarak (Allah dan
Rasul-Nya).
Aturan syarak mempermudah kita dalam urusan
muamalah maliah, dan yang lainnya.
14
Abdul Razaq Ahmad al-Sanhuri, Nazariyat al-Aqd,hlm. 681.
43
Aturan syarak mengendaki keadilan bagi kedua belah
pihak.
Aturan syarak mengendaki kemaslahatan bagi kedua
belah pihak.
Semua hikmah tersebut sangat berkaitan dengan
prinsip-prinsip fikih Islam. Hal ini berlaku secara umum.
Tidak hanya berkaitan dengan urusan muamalah maliah,
seperti akad bai dan jual beli, melainkan berkaitan pula
dengan urusan lainnya (dalam arti luas), seperti urusan
pernikahan, waris, dan yang lainnya.
Terlebih lagi sangat berkaitan dengan tujuan Allah
menetapkan hukum bagi kita semua. Hal ini dikenal dengan
istilah maqasidus syariah sebagaiman dikemukakan Abu
Ishaq al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat-nya, yakni memelihara
agama (hifz al-din), melihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara
keturunan (hifz al-nasl), memelihara akal (hifz al-aql),
memelihara harta (hifz al-mal). Selain itu menurut penulis
bisa ditambah dengan memelihara umat (hifz al-ummat).
Maksudnya di sini tidak hanya berkaitan dengan umat
muslimin saja, tapi umat selainnya pun. Karena urusan
muamalah maliah syarak memperbolehkan bermuamalah
dengan sesam agama dan beda agama.
Meskipun akad-akad yang dilakukan khususnya
berkaitan dengan masalah harta, karena disebut muamalah
maliah. Oleh karena itu berkenaan dengan tujuan-tujuan
44
hukum Islam sangat erat kainnya dengan tujuan memelihara
harta (hifz al-mal). Namun yang lainnya pun sangat erat pula
kaitannya.
Bukankah dengan melakukan yang sesuai aturan syarak,
sama saja dengan upaya memelihara agama dengan baik (hifz
al-din). Begitu pun bisa memelihara jiwa dengan memakan
harta yang diperoleh dengan jalan halal. Begitu pun bisa
memelihara keturunan dengan memberi contoh yang baik
pada keturunan buat perkembangannya ke depan. Begitu pun
bisa memelihara akal dengan tidak merugikan kedua belah
pihak karena adanya iqalah dan fasakh. Tak ketinggalan
keadilan bagi kedua belah pihak. Dan bisa memelihara umat
umumnya dengan adanya iqalah dan fasakh, baik secara
langsung berkaitan dengan kedua belah pihak yang
melakukan akad atau pihak lainnya yang secara tidak
langsung melakukannya, namun ada kaitannya apabila dilihat
dari segi kemasalahatan umum. Karena kemaslahatan tidak
hanya untuk individual, tapi untuk kehidupan sosial.
7. Implementasi Iqalah dan Fasakh pada Masa Sekarang
Setiap aturan tentunya tidak hanya sebatas teori saja,
melainkan untuk bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari. Terutama hal ini berkaitan dengan urusan muamalah
maliah yang mengalami perkembangan. Bagaimana
45
implementasi iqalah dan fasakh di masyarakat? Inilah
permasalahan yang harus kita pecahkan.
Jika kita perhatikan ketika masyarakat melaksanakan
akad jual beli, kemudian ada perasaan menyesal setelahnya,
dan untuk membatalkan akad tentunya ada perasaan malu.
Padahal dengan adanya iqalah hal itu bisa menjadi solusi
untuk masalah tersebut. Bahkan ada saja sebagian toko yang
mengumumkan barang yang sudah dibeli tidak bisa
dikembalikan lagi. Hal seperti ini tentunya penghambat jika
iqalah akan dipraktikkan. Kendatipun diperbolehkan adanya
iqalah tersebut, sebaiknya bagi pembeli juga sebelum
melakukan pembelian hendaknya berpikir matang mengenai
kemantapan membeli barang tersebut.
Berbeda dengan urusan fasakh, karena dari asalnya
memang akad tersebut tidak sah. Namun yang berkenaan
dengan fasakh ini pun masyarakat belum sepenuhnya
memahaminya.
Oleh karena itu, perlunya sosialisasi kepada masyarakat
berkenaan dengan istilah iqalah dan fasakh ini. Karena
mayoritas masyarakat belum mengenal kedua istilah tersebut.
Dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga kedua istilah
tersebut dapat membumi di masyarakat.
46
C. Kesimpulan
Pemahaman yang mendalam tentang iqalah dan fasakh
merupakan hal yang urgen dalam akad muamalah maliah.
Karena keduanya merupakan bagian dari pemahaman
mengenai kelazimannya yang merupakan karakter akad.
Mengenai hukum iqalah dan fasakh para ulama pun
menjelaskannya. Iqalah hukumnya bisa sunat atau wajib.
Sementara itu fasakh bisa wajib atau boleh (jaiz).
Rukun iqalah hanya satu yakni ijab kabul. Sedangkan
rukun fasakh, para ulama tidak menyebutkannya secara tegas.
Oleh karena itu dapat dipahami tidak memerlukan ijab kabul.
Sedangkan mengenai syarat keduanya adalah sebagai berikut.
Pertama, adanya keridaan kedua belah pihak (kecuali dalam
fasakh tidak disyaratkan). Kedua, bersatunya tempat
melakukan akad. Ketiga, termasuk akad yang bisa dibatalkan.
Keempat, masih utuh objek akadnya (khusus iqalah). Kelima,
saling serah-terima pengganti barang (khusus iqalah).
Selanjutnya domain iqalah dan fasakh adalah dalam
akad yang memerlukan ijab kabul, akad yang telah dikatakan
sah menurut fikih Islam (kecuali fasakh), terjadi dalam akad
yang lazim bagi kedua belah pihak. Para ulama pun
memahami iqalah dan fasakh berdampak pada berakhirnya
akad.
Hikmah mengetahui iqalah dan fasakh ini dapat
menghantarkan kita memahami prinsip-prinsip dan tujuan
47
hukum Islam itu sendiri yang intinya kemaslahatan.
Sedangkan mengenai bagaimana impelemtasi iqalah dan
fasakh untuk konteks zaman sekarang, keduanya belum
sepenuhnya dipraktikkan di masyarakat.
Daftar Pustaka
Daruqutni, Ali bin Umar, al-. 1432 H/ 2011 M. Sunan al-
Daruqutni, Cet. I. Beirut-Libanon: Daru Ibn Hazm.
Fayumi, Ahmad al-. 1987 M. Al-Misbah al-Munir. Beirut-
Libanon: Maktabah Libnan.
Jauhari, Ismail bin Ahmad, al-.1404 H/ 1984 M. Al-Sihah Taj
al-Lugah wa Sihah al-Arabiyah, Cet. III. Beirut-
Libanon: Darul Ilmi li al-Malayin.
Mubarakfuri, Abi al-Ala, al-. t.th. Tuhfat al-Ahwazi Bisyarh
Jami al-Tirmizi, Juz IV. (t.t: Darul Fikr.
Sanhuri, Abdul Razaq Ahmad, al-. 1998 M. Nazariyat al-Aqd,
Juz II. Beirut-Libanon: Mansyurah al-Halbi al-
Huquqiyah.
Siraj, Sundus Abdullah Rajab, al-. 2013. Inhilal al-Aqd bi al-
Taqayul Dirasatan Tahliliyatan. Palestina: Jamiah al-
Azhar.
Suyuti, Jalaludin, al-, dkk. t.th. Syuruh Sunan Ibnu Majah,
Cet. I. Yordania: Baitul Afkar al-Dauliyah.
Syarafuk Haq, Syekh Abdul Rahman. 1426 H/ 2005 M. Aun
al-Ma‟bud Syarh Sunan Abi Daud, Cet. I. Beirut-
Libanon: Daru Ibn Hazm.
48
Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah. 1404 H/ 1983 M.
Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz 5, 32, Cet. II. Kuwait:
Wazarat al-Auqaf wa Syuun al-Islamiyah.
Zarqa, Mustafa Ahmad, al-. 1418 H/ 1998 M. Al-Fiqh al-
Islam fi Tsaubihi al-Jadid, Juz II, Cet. I. Damaskus:
Darul Qalam.
Zubaidi, Sayid Murtada al-. 1407 H/ 1987 M. Taj al-Arus
min Jawahir al-Qamus, Juz XXXIII, Cet. II. Kuwait:
Wazarah al-A‟lam.
49
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
PEMERINTAH INDONESIA
MENURUT IMAM AL-GHOZALI
Suhaeri1
Abstract
The government's focus on building infrastructure is considered
by some to be a rather pushy policy. due to the Indonesian
government's debt that reached the Rp4,000 trillion mark has
become public attention. Not to mention the decline in subsidies
given by the government. Moreover, infrastructure development
is not everything. There are still many other aspects that must
also be developed in order to improve the competitiveness and
productivity of the nation.
In this article we will discuss al-Gazali's opinion with the theory
of the maslahah towards Indonesia's infrastructure development,
whether the infrastructure development is mashlah and can be
used as proof or not. Why choose al-Gazali because When
compared to other ushuliyyin figures of the Shafi'i school, al-
Gazali's study of maslahah mursalah can be considered the
deepest and most extensive.
Keywords: Infrastructure Development, Indonesian Government,
Imam Al-Ghozali
A. Pendahuluan
Genap sudah memasuki tahun ketiga pemerintahan
Jokowi-JK pada bulan Oktober lalu. Sorotan publik salah
satunya tertuju pada mega proyek pembangunan
infrastruktur yang secara serentak efektif dijalankan di
50
berbagai daerah beberapa bulan lalu. Presiden Jokowi dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla memang menjadikan
pembangunan infrastruktur sebagai fokus utama untuk
mendorong pemerataan dan mempersempit ketimpangan
nasional. Tentu untuk mewujudkan agenda tersebut,
memerlukan dana yang sangat besar.
Sejak awal menjabat, Presiden Jokowi melakukan
gebrakan dengan memangkas subsidi BBM dalam
rancangan anggarannya dan mengalokasikannya pada sektor
produktif, terutama pada pos pembangunan infrastruktur.
Sedikit banyaknya, tindakan pemerintah ini menuai kritikan
yang menganggap bahwa pemerintah terlalu besar
memberikan ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur.
Mereka yang berpendapat demikian, menganggap apabila
tidak segera dilakukan pengetatan likuiditas mampu
membawa ke arah krisis. Benarkah?
Untuk menyelesaikan 245 proyek strategis nasional
dan dua program terkait dengan pembangunan infrastruktur
dibutuhkan total dana sebesar Rp 4.700 Triliun. Dari total
pendanaan tersebut, pemerintah menanggung sekitar 35
persen, swasta sebesar 42 persen dan BUMN menanggung
sebesar 23 persen. Pemerintah menyadari bahwa angka
tersebut melampaui kemampuan negara. Keterbatasan
penerimaan negara dalam membiayai proyek infrastruktur
tersebut yang ditutup dengan pinjaman dapat memicu
51
dalamnya defisit anggaran. Dalam APBN-P 2017,
pemerintah memroyeksikan defisit mencapi hingga 2,9
persen terhadap PDB. Angka ini sudah sangat mendekati
dengan batas wajar defisit anggaran yang ditetapkan oleh
undang-undang (sebesar tiga persen). Pelebaran defisit ini
akan sangat mungkin terjadi jika tidak dilakukan antisipasi
dengan menekan pembangunan infrastruktur yang bukan
merupakan agenda prioritas. Pemerintah perlu berhati-hati
dengan hal tersebut, karena pelebaran defisit hingga
melampaui batas wajar tiga persen mampu memicu
konsekuensi politik yang signifikan.
Secara teoritis, kebijakan fiskal yang terlampau
ekspansif mampu menyebabkan dua hal, yaitu crowding out
effect dan overinvestment. Secara sederhana, crowding out
effect dapat terjadi ketika pemerintah membutuhkan dana
dalam jumlah besar kemudian menarik likuiditas dengan
jumlah besar dengan penerbitan surat utang, tentu dengan
suku bunga yang tidak rendah. Kondisi ini dapat
menyebabkan suku bunga yang tinggi, karena lembaga
keuangan lainnya harus bersaing dengan pemerintah untuk
mendapatkan dana pihak ketiga. Gejala overinvestment
terjadi ketika ekspansi fiskal yang dilakukan justru tidak lagi
berdampak pada peningkatan produktivitas dan output,
seperti yang terjadi di Tiongkok.
52
Pembangunan infrastruktur memang sangat
dibutuhkan oleh Indonesia yang masih tertinggal dengan
negara lain. Namun, hal tersebut perlu dibarengi dengan
manajemen risiko yang baik, seperti intensfikasi penataan
kelembagaan yang tentunya tidak memerlukan dana yang
sangat besar seperti pembangunan infrastruktur. Sebab
masih banyak aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya
untuk diperhatikan untuk mewujudkan pemerataan yang
inklusif2.
Belakangan ini muncul kritikan, kebijakan fiskal
pemerintah sudah terlalu eksesif dalam pembangunan
infrastruktur. Bahkan, ada pendapat yang memandang
kebijakan ekspansif tersebut akan berujung pada krisis.
Benarkah?
Menurut tesis tersebut, pembangunan infrastruktur
telah menimbulkan ekses likuiditas berlebihan akibat
kebijakan big push oleh pemerintah di bidang infrastruktur,
sehingga diperlukan respons cepat berupa pengetatan
likuiditas. Sementara, tesis lainnya menyebutkan
pembangunan infrastruktur akan membebani current
2 https://macroeconomicdashboard.feb.ugm.ac.id/Pro Kontra
Pembangunan Infrastruktur/ Oleh: Dewan Editor, 15 Oktober 2017
53
account deficit(defisit transaksi berjalan) akibat
melonjaknya impor bahan baku3.
Pada artikel ini kami akan membahas tentang pendapat
al-Gazali dengan teori mashlahat-nya terhadap
pembangunan infrastruktur Indonesia, apakah pembangunan
infrastruktur tersebut mashlahat dan dapat dijadikan hujjah
atau tidak. Mengapa memilih al-Gazali karena jika
dibanding dengan tokoh-tokoh ushuliyyin mazhab Syafi‟i
yang lain, kajian al-Gazali tentang maslahah mursalah dapat
dianggap paling dalam dan luas.
B. Pembahasan
Teori Maslahah Al-Ghazali
1. Riwayat Hidup dan Karya Al-Gazali
Al-Gazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang
hidup pada bagian akhir dari zaman keemasan di bawah
khilafah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad. Ia memiliki
nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-
Gazali Al-Thusi. Al-Gazali lahir pada tahun 450 H/1058 M di
Tabaran, salah satu wilayah di Thus, yakni kota terbesar
kedua di Khurasan setelah Naisabur. Kepada nama kota
kelahirannya inilah kemudian nama Al-Gazali dinisbatkan (al-
Thusi). Al-Ghazali sempat berpartisipasi dalam kehidupan
3.https://katadata.co.id/opini/2017/10/19/Dilema
Pembangunan Infrastruktur Oleh. Agustinus Prasetyantoko (Ekonom /
Rektor Unika Atma Jaya).
54
politik keagamaan pada tahun-tahun trakhir pemerintahan
Nizam dan kemudian menjadi sosok sentral. Ia wafat di kota
kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M4.
Dunia Islam memberikan gelar kehormatan kepadanya
dengan sebutan Hujjah al-Islam (pembela Islam) karena
kegigihan dan jasa-jasanya dalam membela Islam dari
gencarnya gempuran arus pemikiran yang dikhawatirkan
dapat mengancam eksistensi Islam, baik dari kalangan filosof,
mutakallimin, batiniyah, dan sufi. Demikian juga atas upaya
dan usahanya menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam
sebagaimana terlihat pada karya besar monumentalnya Ihya
Ulum al-Din5.
4 Saeful Saleh Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi Ontologi
dan Aksiologi, Bandung : Pustaka Setia, 2007, h. 14., lihat juga: Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Gema Insani Persada,
2004. h.155, lihat juga Antony Black dalam Pemikiran Politik Islam: dari
Masa Nabi Hingga Masa Kini (penerjemah Abdullah Ali dan Mariana
Arietyawati), Jakarta : Serambi, 2006. h. 190. 5 Menurut pengakuan al-Gazali sendiri dalam al-Munqiz min al-
Dalal (lihat via Saeful Saleh Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi
Ontologi dan Aksiologi, Bandung : Pustaka Setia, 2007, h. 15). ia menghadapi
masalah banyaknya agama, aliran yang kontroversial, dalam Islam adalah
aliran mutakalimin, filosof, ta‟limiyyah dan kaum sufi, yang masing-masing
mengklaim alirannyalah yang benar. Inilah yang menimbulkan skeptik dalam
dirinya tentang mana kebenaran yang tunggal dan apa standar kreterianya,
serta dorongan yang kuat untuk mencari dan menemukan ilmu kebenaran
tunggal yang pasti dan universal berdasarkan standar ilmiah yang pasti dan
universal pula. Dari sini ia terjun menyelami semua aliran sampai ke
jantungnya yang paling dalam. Latar belakang tersebut membuat al-Ghazali
muncul sebagai seorang sufi filosof yang mutakallim dan faqih besar.
Skeptisisme telah mengantarkannya menjadi filosof yang mendekati segala
sesuatu secara holistik-integral dan radikal esensial, sekaligus sebagai tokoh
konvergensi berbagai aliran. Ternyata oleh banyak banyak kalangan al-
55
Al-Gazali hidup dalam lingkungan keluarga
sederhana, tetapi sangat taat beragama dan mencintai ilmu.
Ayahnya yang bernama Muhammad dikenal sebagai seorang
saleh. Ia rajin berkeliling untuk menimba ilmu kepada para
fuqaha pada zamannya. Kehidupan keluarganya ditopang
dengan berjualan wol hasil pintalan tangannya sendiri.
Pekerjaan ayahnya kemudian dilekatkan pada diri Imam Al-
Gazali. Al-Gazali adalah nisbah dari kata gazzal yang berarti
pemintal wol.
Kecintaan pada ilmu berpengaruh pada anaknya, Al-
Gazali sendiri disebut oleh al-Maraghi sebagai “ensiklopedi”
semua cabang ilmu di masanya, sementara saudara
kandungnya yang bernama Abu al-Futuh Majd al-Din Ahmad
bin Muhammad dikenal sebagai sufi besar, faqih dan mubalig
karismatik yang sangat berpengaruh6.
Al-Gazali menguasai berbagai cabang ilmu. Dari
sekian banyak karyanya menunjukkan bahwa ia adalah ulama
yang handal di bidang ushul al-din (ilmu kalam), ushul fiqh,
Ghazali dinilai telah mampu mengintegrasikan teologi, fiqh dan tasawuf,
bahkan antara agama dan filsafat serta antara nilai dan sains. 6 Ketika fase skeptisisme melanda pemikiran al-Ghazali yang
membuatnya mengalami gangguan fisik dan mental, Al-Gazali berhenti
mengajar di An-Nizamiyah, saudaranya Ahmad bin Muhammad inilah yang
menggantikannya sebagai Dekan di Nizamiyyah. Ahmad wafat di Quzwain
pada tahun 520 H, lima belas tahun kemudian setelah wafat Al-Gazali (505
H).
56
fiqh, jidal, khilaf, mantiq (logika), hikmah, filsafat, dan
tasawuf7.
Al-Gazali memiliki banyak guru, di antaranya ialah
Imam Haramain (Abu al-Ma‟ali al-Juwaini)8 yang dianggap
paling banyak berjasa membina Al-Gazali menjadi ahli fiqh
dan usul fiqh. Di akhir hayat sang guru inilah Al-Gazali mulai
menampakkan eksistensinya sebagai ulama besar yang
7 Di antara karyanya dalam berbagai cabang ilmu itu ialah : Ihya
ulum al-Din; Al-Iqtisad fi al-I‟tiqad; Iljam al-„Awam „an Ilm al-Kalam; Al-
Imla‟ „ala Musykil al-Ihya; Ayyuha al-Walad; Bidayah al-Hidayah; Tahafut
al-Falasifah; Jawab al-Masa‟il al-Arba‟ allati Sa‟alaha al-Batiniyyah;
Jawahir al-Quran; Ad-Durar al-Fakhirah fi Kasyf „Ulum al-Akhirah; Fada‟ih
al-Ba.tiniyyah; Faisal at- Tafriqah bain al-Islam wa al-Zandaqah; Al-Qistas
al-Mustaqim; Mahk al-Nazar fi al-Mantiq; Misykah al-Anwar; Al-Madnun
bih „ala Gairi Ahlih; Al-Maarifal- „Aqliyah; Mi‟yar al-„Ilm fi al-Mantiq;
Maqasid al-Falasifah; Al-Maqsid al-Asna fi Syarh al-Asma‟ al-Husna; Al-
Munqiz min al-Dhalal; Minhaj al- „Abidin; Mizan al-Amal; Al-Wajiz fi al-
Fiqh; sedangkan karya Al-Gazali dalam bentuk manuskrip yang belum
sempat dicetak di antaranya: Al-Basit fi al-Fiqh; Khulasah al-Mukhtasar fi al-
Fiqh; Ghayah al-Ghaur Dirayat ad-Dur; Ghaur ad-Dar fi al-Mas‟alah as-
Suraijiyyah; Al-Wasit fi al-Fiqh (Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat
Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah Mursalah & Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam, h. 97-99) 8 Al-Juwaini adalah ulama kenamaan ahli fiqh dan usul al-fiqh
mazhab Syafi‟i, tokoh mutakallimin mazhab Asy`ari. Lahir di Juwain, salah
satu wilayah dari Naisabur pada tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H.
Kitab al-Burhan dan al- Waraqat adalah kitab usul al-fiqh karya Imam
Haramain. Ulama inilah yang banyak berjasa mengantarkan Al-Gazali
menjadi ahli fiqh dan usul fiqh. Di bawah bimbingannya Al-Gazali belajar
fiqh Syafi‟i di Nisapur selama 5 tahun (1080-1085)
Guru-guru al-Ghazali selain Imam al-Juwaini adalah: Abu al-Qasim al-
Ismaili, Isma‟il bin Mas‟adah bin Isma‟il (407-477 H); Abu „Ali al-Fadal bin
Muhammad bin Ali al-Faramazi (407-477 H); Abu al-Fath Nasr bin Ibrahim
bin Nasr al-Nabilisi al-Muqaddasi, seorang ahli hadis dan fiqh mazhab Syafi‟i
(410 H-490 H); Abu al-Fityan al-Ru‟asi, Umar bin „Abd al-Karim bin
Sa‟dawaih al-Dahsatani, seorang ahli hadis (428 H – 503 H).
57
dikagumi oleh banyak kalangan, dan mulai banyak mengajar
dan mengarang.
Kemampuan Al-Ghazali yang luar biasa menarik
perhatian Nizam al-Mulk (Abu Ali Hasan bin Ali bin Ishaq al-
Tusi, w. 1029 M) yang kemudian memanggilnya ke Bagdad
untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah (1091). Di sini Al-
Gazali banyak bertemu dengan ulama-ulama besar yang juga
menghormati keluasan ilmunya. Sejak itulah Al-Gazali
dinyatakan sebagai Imam al-„Iraq (Penghulu ulama Iraq)
setelah sebelumnya dikenal sebagai “Imam al-Khurrasan”.
Sebagaimana disebutkan di atas, al-Gazali dikenal
sebagai filosof, mantiqi, mutakallim, sufi, faqih dan ushuli. Di
bidang ilmu kalam ia merupakan tokoh mutakallimin
Asy‟ariyah, sementara di bidang hukum Islam (fiqh dan ushul
fiqh), ia merupakan tokoh Syafi‟iyah. Selaku ushuli mazhab
Syafi`i, Al-Gazali meninggalkan beberapa karya ilmiah
khusus di bidang disiplin ilmu ini, yaitu:
1. A1-Mankhul min Ta‟liqat al-Ushul. Ini adalah karya Al-
Gazali yang pertama di bidang ushul fiqh. Kitab ini
telah di-tahqiq (diedit) oleh Muhammad Hasan Haitu
dan diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut.
2. Syifa „ al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa
Masalik al- Ta‟lil. Kitab ini di-tahqiq oleh Hammid al-
Kabisi untuk meraih gelar doktor di bidang Ushul fiqh
dari Fakultas Syari‟ah Al-Azhar.
58
3. Kitab Fi Mas‟alati Taswib al-Mujtahidin. Dalam catatan
para ahli sejarah, kitab ini belum ditemukan.
4. Asas al-Qiyas . Kitab yang berbicara secara khusus
tentang qiyas ini telah di-tahqiq oleh Fahd bin
Muhammad al-Sarhan dan telah diterbitkan oleh
Maktabah al-„Ubaikan di Riyad.
5. Haqiqah al-Qaulain. Kitab ini membahas adanya dua
pendapat dari Imam Syafi‟i tentang suatu masalah.
Manuskripnya tersimpan di museum pusat di Intanbul.
6. 6. Tahzib al-Ushul. Kitab ini disebutkan oleh Al-Gazali
dalam al-Mustasfa. Manuskrip kitab ini juga belum
dapat diketahui. Dari ungkapan Al-Gazali dalam al-
Mustasfa, kitab tersebut lebih besar dari al-Mustasfa.
7. Al-Mustasfa Min „Ilm al-Ushul. Ini adalah kitab ushul
fiqh yang menempatkan Al-Gazali sebagai tokoh
ushuliyyin mazhab Syafi‟i9.
Di antara sejumlah karya Al-Gazali dalam bidang
Ushul Fiqh, al-Mustasfa dipandang sebagai salah satu dari
buku induk yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul al-fiqh
Syafi‟iyyah yang dikarang pada masa- masa berikutnya. Tiga
serangkai buku induk ushul fiqh Syafi‟iyah dimaksud ialah:
Al-Mu‟tamad karya Abu al-Husain al-Basri al-Mu`tazili (463
H), Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya Abu al-Ma‟ali Abd
9 Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-
Ghazali : Mashlahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002 h. 99-100
59
Allah al-Juwayni al-Naisaburi Imam al Haramain (478 H) dan
Al-Mustasfa, karya Al-Gazali (505 H)10
.
Dr. Badran Abu al-`Ainain dan Syekh Muhammad al-
Khudari (w. 1345 H) menilai, di antara ketiga kitab di atas
yang paling bagus adalah al-Mustasfa, baik dilihat dari segi
keindahan dan kejelasan bahasa, sistematika, maupun adanya
tambahan-tambahan yang belum pernah ditemukan pada
kitab-kitab sebelumnya11
.
Perhatian para ulama terhadap al-Mustasfa cukup
besar. Hal ini, antara lain, ditandai dengan adanya upaya para
ulama untuk mensyarahkan (memberi komentar) kitab
tersebut, di samping ada pula yang meringkasnya dalam suatu
buku dan memberikan catatan-catatan penting.
10
Khusus Imam al-Gazali, sebagai murid al-Juwayni, banyak
mengikuti dan mengadopsi pemikiran al-Juwayni yang terlihat dalam
karyanya di bidang ushul fiqh. Akan tetapi, al-Gazali lebih populer dari
gurunya, terutama dalam ushul fiqh. Hal ini disebabkan karya al-Gazali
banyak tersebar dan dibaca oleh para peminat dan pengkaji ushul fiqh,
sehingga sebagian besar pemikiran tentang ushul fiqh yang pada hakikatnya
merupakan pemikiran al-Juwayni, namun karena karyanya tidak tersebar luas
dan dibaca banyak orang, maka pemikiran tersebut dinyatakan oleh mereka
yang datang kemudian sebagai pendapat al-Gazali. Penjelasan yang cukup
tentang hal ini lihat Nawer Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk
Usul Fikih: Konsep Mashlahah Imam al-Haramain al-Juwayni dan Dinamika
Hukum Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2007 h. 7-8. 11 Ahmad Munif Suratmaputra, Ibid. h. 102-103
60
2. Tema-Tema Penting Pemikiran Al-Gazali dalam Ushul
Fiqh
Di antara sekian banyak pemikiran Al-Gazali di bidang ushul
fiqh yang menonjol ialah:
a. Kajian tentang maqasid asy-syari‟ah. Ahmad Munif
Suratmaputera mengungkapkan hasil penelitian yang
dimuat dalam karya Muhammad Sa‟d al-Yubi
berjudul Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyah wa
„Alaqatuha bi al- Adillah al-Syar‟iyyah, yang
menyatakan bahwa Al-Gazali adalah ulama ushul
fiqh kedua setelah Imam Haramain (gurunya) yang
bicara tentang maqasid asy-syari „ah jauh sebelum
al-Syatibi (w. 790 H.) yang terkenal itu12
.Kajian
12 Al-Syatibhi lahir 645 H/1247 M di Granada Spanyol (wilayah
imperium Islam di Barat), yakni setelah 140 tahun wafatnya al-Gazali di
Baghdad (imperium Islam di Timur). Karya al-Syatibi al-Muwafaqat
mengulas lebih luas dan mendalam tentang maqashid al-Syar‟iyyah, sehingga
menjadi rujukan utama dalam tema ini, dan menenggelamkan gagasan al-
Ghazali. Dalam kajian maqasid asy-syari „ah biasanya yang langsung terlihat
adalah sosok asy-Syatibi.
Seperti diulas oleh Ahmad Munif, bahwa ulama yang tercatat pertama sekali
banyak mengaitkan pengembangan hukum Islam dengan maqasid asy-
syari‟ah adalah Al-Gazali. Imam Haramain sebagai gurunya baru menebarkan
benihnya. Yang banyak berjasa mengembangkan adalah Al-Gazali. Setelah itu
muncul ar-Razi (w. 1209 H), al-Amidi (w. 631 H.), `Izz ad-Din bin „Abd as-
Salam dan muridnya, al-Qarafi (w. 684 H.) . Kajian ini kemudian
dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), Ibn al-Qayyim (751 H.), dan
at-Tuff (w. 716 H) di belahan Timur. Bersamaan dengan tiga tokoh ini
muncul asy-Syatibi di belahan Barat dengan kajian yang lebih lugas dan
mendalam. Dalam hal ini al-Syatibi merupakan generasi kelima. Ia
menemukan jalan yang sudah lempang dan tinggal memperluas dan
memperdalamnya.
Pandangan al-Syathibi tentang maslahah secara luas diuraikan: Hamka Haq,
Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
61
ushul fiqh dalam rangka pengembangan hukum Islam
sebelum Al-Gazali banyak ditekankan pada aspek
kebahasaan. Setelah itu, muncul nuansa dan trend
baru kajian ushul fiqh tidak lagi terpaku pada aspek
kebahasaan, tetapi ditempuh lewat pendekatan
maqasid asy-syari „ah.
Salah satu kelebihan pendekatan maqasid asy-
syari‟ah dalam pengembangan hukum Islam
dibandingkan dengan pendekatan kebahasaan ialah
menghasilkan hukum Islam yang bersifat
kontekstual. Sementara dengan pendekatan
kebahasaan harfiyah seringkali hukum Islam
kehilangan jiwa fleksibelitasnya; kaku dan
kehilangan konteks. Di sini Al-Gazali dengan teori
ushul fiqh-nya sudah mulai mengupayakan
bagaimana agar hukum Islam selalu dapat tampil
secara kontekstual.
b. Penolakan Al-Gazali terhadap hadis mursal untuk
dijadikan hujjah. Sebagaimana diketahui bahwa
jumhur ulama, termasuk Imam Malik dan Abu
Hanifah menerima hadis mursal sebagai argumen
hukum, selain Imam Syafi‟i. Tampaknya pandangan
Jakarta: Erlangga, 2007; Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam:
Membongkar Konsep al-Istiqra al-Ma‟nawy Asy-Syatibi, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2008.
62
Al-Gazali dalam hal ini memperkuat Imam Syafi`i
dan al-Baqilani sebagai mazhab yang dianutnya13
.
c. Kritik Al-Gazali terhadap argumentasi ke-hujjah-an
Ijma‟ yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi`i14
. Di
sini nampak sekali meskipun al-Gazali pengikut
mazhab Syafi‟i, tetapi ia adalah pengikut yang sangat
kritis dan karenanya, tidak semua pemikirannya
dalam fiqh dan ushul fiqh sejalan dengan Imam
Syafi‟i. Kapasitasnya sebagai seorang mujtahid dan
pembaharu benar-benar nampak. Menurut Al-Gazali
bahwa Ijma baru bisa menjadi hujjah apabila semua
ahli ushul terlibat dalam konsensus pada masalah
yang diijma`kan itu. Sementara sebagian ulama
menyatakan bahwa ijma sudah dapat hujjah bila
semua faqih terlibat meskipun para ushuli tidak
terlibat.
d. Pandangan Al-Gazali yang menolak ijma sukuti15
,
artinya Al-Gazali memandang ijma sukuti tidak
13 Untuk mendalami masalah ini dapat dilihat dalam karyanya al-
Mustashfa min „Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar,
Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H Juz I . 14
Al-Gazali, Juz II Ibid. . 174-175 15
Ijma Sukuti adalah pendapat pribadi yang disebarkan oleh seorang
mujtahid sedangkan mujtahid lainnya diam saja. Menurut jumhur diamnya
mujtahid lainnya tidak bisa ditafsirkan sebagai tanda persetujuan mereka,
karena diamnya mereka mungkin disebabkan kondisi pribadi dan lingkungan
yang mereka hadapi. Oleh karena itu menurut mereka, posisi ijtihad yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok mujtahid itu tidak lebih dari
ijtihad yang sifatnya zanni (relatif) dan tidak wajib diikuti oleh mujtahid lain;
63
dapat dijadikan hujjah. Pandangan ini berbeda
dengan pandangan ulama Hanafiah yang
membolehkan hujjah dengan ijma sukuti. Mengenai
dasar legitimasi ijma menurut al-Gazali harus ada
memiliki dalil yang menjadi sandaran. Sandaran
utamanya adalah al-Qur‟an atau sunnah. Apabila
sandaran utamanya tidak ada ditemukan al-Gazali
membenarkan untuk bersandar pada dalil tingkat
zanni seperti qiyas. Di sini tampak juga pembelaan
al-Gazali dalam memperkuat pendirian mazhab
Imam Syafi`i yang dianutnya16
.
e. Pandangan Al-Gazali tentang kebolehan ijtihad
secara parsial (kasuistis, tajazzu‟ al-ijtihad), tidak
secara menyeluruh (jami‟ al-ahkam al-syar‟iyyah)
bagi mujtahid selain mujtahid mustaqill17
. Pandangan
ini berbeda dengan jumhur ulama.
karenanya juga tidak dikatakan ijmak. (lihat dalam Abdul Aziz
Dahlan…(et.al).-cet. 1-Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 1996. jilid 1 h. 667-
668. 16
Paradigma fiqh Syafi‟i adalah menyandarkan legitimasi hukum
dengan tata urutan secara hirarki sebagai berikut : al-qur‟an, sunnah, ijma,
qiyas dan istishab (Lihat : Asywadie Syukur, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987) 17 Mujtahid Mustaqil adalah merupakan tingkatan tertinggi dari
seorang mujtahid. Kelompok ini telah memenuhi keseluruhan syarat-syarat
ijtihad, yaitu mengetahui pengetahuan memadai tentang Bahasa Arab, al-
Qur‟an, sunnah, dengan mempergunakan qiyas, berfatwa atas dasar maslahat
yang diamatinya, mempergunakan istihsan, sadd al dzari‟ah dan metode
istinbath lainnya. Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para
fuqaha di kalangan sahabat Rasul dan Tabii‟, Imam Mazhab empat dan lain-
lain.
64
f. Pandangan Al-Gazali tentang teori taswibah
(musawwibah) dan takhti‟ah (mukhatti‟ah) dalam
ijtihad di bidang fiqh (furu). Menu- rutnya, setiap
mujtahid dalam bidang fiqh itu benar. Jika hukum
Allah belum ditemukan maka wujud hukum Allah
dalam hal seperti itu adalah apa yang dihasilkan oleh
mujtahid. Ini berbeda dengan pandangan yang
menyatakan bahwa yang benar dalam ijtihad di
bidang fiqh hanyalah satu sebagaimana pandangan
Imam Syafi‟i dan Hanafiyah. Pandangan Al-Gazali,
dengan demikian, kontra dengan pandangan
imamnya.
g. Kajian Al-Gazali tentang maslahah mursalah. Tema
inilah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini.
3. Konsep Maslahat Al-Gazali dalam Al-Mustashfa
Jika dibanding dengan tokoh-tokoh ushuliyyin mazhab
Syafi‟i yang lain, kajian al-Gazali tentang maslahah mursalah
dapat dianggap paling dalam dan luas. Pembahasan Al-Gazali
tentang maslahah mursalah ini dapat ditemukan dalam empat
kitab ushul fiqh-nya yaitu al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Syifa
al-Galil, dan al-Mustasfa18
. Kitab yang disebut terakhir
18
Ahmad Munif Suratmaputra, op.cit h. 106
65
merupakan yang paling komprehensif sehingga dapat
dianggap merepresentasikan pandangan-pandangannya
tentang konsep maslahah.
Pada masa Al-Gazali, kajian ushul fiqh telah mengalami
kemajuan cukup pesat. Seiring dengan telah melembaga dan
meluasnya kajian fiqh dengan berbagai mazhab yang ada.
Kajian tentang maslahah mursalah yang pada masa-masa
sebelumnya belum banyak diungkap, pada masa itu telah
ramai didiskusikan19
.
Al-Gazali dapat dinilai sebagai tokoh ushuliyyin
mazhab Syafi‟i yang paling banyak berbicara dan menaruh
perhatian terhadap maslahah mursalah. Sebelumnya ushuliyin
Syafi‟iyah pada periode sebelum Al-Gazali tidak banyak
membahasnya. Dengan demikian, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa apa yang dibicarakan Al-Gazali tentang
maslahah mursalah tersebut (khususnya yang terdapat pada
19 Di kalangan para ulama mazhab, maslahah mursalah dan
bagaimana kedudukannya dalam kaitan dengan upaya pengembangan hukum
Islam sering dihubungkan dengan Imam Malik bin Anas. Akan tetapi
penggunaan maslahah pada masa Imam Malik ini masih bersifat umum dan
belum dipergunakan sebagai technical legal term. Penggunaannya sebagai
technical legal term, menurut Paret, belum ada pada masa Malik atau al-
Syafi‟i, tetapi justru berkembang penggunaannya pasca Syafi‟i. Lihat dalam
R. Paret, “Istihsan dan Istihlah“ The Encyclopedia of Islam, New Edition,
eds, E. Van Donzel, B. Lewis and Ch. Pellat (Leiden: E. J. Brill, 1978), vol.
IV, h. 257.
Meskipun demikian tidak menapikkan kemungkinan penggunaan sesuatu
yang menyerupai maslahah sebagai pertimbangan hukum telah dipraktekkan
pada masa sebelum al-Syafi‟i, namun belum diformulasikan dalam bentuk
technical legal term.
66
al-Mustasfa) belum pernah diungkap oleh para pendahulunya.
Al-Gazali memang membicarakan maslahah mursalah dalam
keempat karyanya, yaitu al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Syifa‟ al-
Galil, dan al-Mustasfa. Bagaimana pandangan Al-Gazali
tentang maslahah mursalah ini, dapat kita telaah secara kritis
melalui kitab pamungkasnya Al-Mustashfa.
Al-Gazali mengawali pembahasannya dalam kitab ini
dengan menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari
segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syara‟. la
menyatakan:
ثلاثح ألغا : لغ شذ اششع اظسح تالإػافح ئ شادج اششع
.لاذثاسا, لغ شذ ثطلاا, لغ ٠شذ اششع لا ثطلاا لا لاػرثاسا
أاا شذ اششع لاػرثاسا ف زدح, ٠شخغ زاطا ئ ام١اط,
ثا زىا أ و ا أعىش … الرثاط اسى ؼمي اض الإخاع
لأازشد سفظ اؼم از ,١غا ػ اخشششب أأوي ف١سش, ل
.اؽ ارى١ف.فرسش٠ اششع اخش د١ ػ لا زظح ز اظسح
ا شذ اششع لا ثطلاا. ثا لي تؼغ اؼاء ثؼغ : القسم الثاني
ان اخاغ ف اسسؼا : ئ ػ١ه ط شش٠ رراتؼ١. فا أىش
أش تاػراق سلثح غ اذغاع ا, لاي : أشذ تزاه غ ػ١, ػ١, ز١ث ٠
اعرسمش اػراق سلثح ف خة لؼاء شذ, فىاد اظسح ئ٠داب اظ
.١ضخشت
67
فزا لي تاؽ, خافح ض اىراب, تاظسح. فرر زا اثاب ٠إد
…يتغثة ذغ١ش الأزا ,ئ ذغ١١ش خ١غ زذد اششائغ ظطا
امغ اثاث : ا ٠شذ اششع تاثطلا لا تالاػرثاس ض ؼ١
زا ف س اظش20
.
“Maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya
oleh dalil syara‟ terbagi menjadi tiga macam: maslahat yang
dibenarkan oleh syara‟, maslahat yang dibatalkan oleh
syara‟, dan maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula
dibatalkan oleh syara (tidak ada dalil khusus yang
membenarkan atau membatalkannya).
Adapun maslahat yang dibenarkan oleh syara‟ maka ia
dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada
qiyas, yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nash dan
ijma. Contohnya kita menghukumi bahwa setiap minuman
dan makanan yang memabukkan adalah haram diqiyaskan
kepada khamar, karena khamar itu diharamkan untuk
memelihara akal yang menjadi tempat bergantungnya
(pembebanan) hukum. Hukum haram yang ditetapkan
syara‟ terhadap khamar itu sebagai bukti diperhatikannya
kemaslahatan ini.
Macam yang kedua adalah maslahat yang dibatalkan
oleh syara‟. Contohnya seperti pendapat sebagian ulama
20
Al-Gazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad
Sulaiman al-Asyqar, Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H, h. 414 –
416
68
kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami
istri di siang hari Ramadhan,hendaklah puasa dua bulan
berturut-turut. Ketika pendapat itu disanggah, kenapa ia
tidak memerintahkan raja itu untuk memerdekakan hamba
sahaya, padahal ia kaya, ulama itu berkata, `Kalau raja itu
saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah
baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba
sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Maka
maslahatnya, wajib ia berpuasa dua bulan berturut-turut,
agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan menyalahi
Nash al-Kitab (dan hadis—pen.) dengan maslahat. Membuka
pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum
Islam dan Nash-Nash-nya disebabkan perubahan kondisi dan
situasi. Macam yang ketiga adalah maslahat yang tidak
dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syara (tidak
ditemukan dalil khusus yang membenarkan atau
membatalkannya). Yang ketiga inilah yang perlu didiskusikan
(Inilah yang dikenal dengan maslahah mursalah).”
Dari uraian Al-Gazali di atas dapat disimpulkan bahwa
maslahat itu ada tiga:
1. Maslahat yang dibenarkan/ditunjukan oleh
nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
maslahat mu‟tabarah. Maslahat semacam ini dapat
dibenarkan untuk menjadi pertimbangan penetapan
hukum Islam dan termasuk ke dalam kajian qiyas.
69
Dalam hal ini para pakar hukum Islam telah
konsensus.
2. Maslahat yang dibatalkan/digugurkan oleh
nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
maslahat mulgah. Maslahat semacam ini tidak
dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan
hukum Islam. Dalam hal ini para pakar hukum
Islam juga telah konsensus.
3. Maslahat yang tidak ditemukan adanya dalil
khusus/tertentu yang membenarkan atau
menolak/menggugurkannya. Maslahat inilah yang
dikenal dengan maslahah mursalah. Para pakar
hukum Islam berbeda pendapat apakah maslahah
mursalah itu dapat dijadikan pertimbangan dalam
penetapan hukum Islam ataukah tidak.
Dengan pembagian semacam itu sekaligus dapat diketahui
tentang salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak
adanya dalil tertentu/khusus yang membatalkan atau
membenarkannya.Lewat pembagian itu pula Al-Gazali ingin
membedakan antara maslahah mursalah dengan qiyas di satu
sisi, dan antara maslahah mursalah dengan maslahah mulgah
di sisi lain.
Al-Gazali kemudian membagi maslahat dipandang dari
segi kekuatan substansinya.la menyatakan:
70
ا اظسح تاػرثاسلذا ف راذا ذمغ ئ ا ف سذثح اؼشساخ,
ئ ا ف سذثح اساخاخ, ئ ا ٠رؼك تارسغ١اخ ارض١٠اخ, ذرما ػذ
أ٠ؼا ػ سذثح اساخاخ21
.
“Maslahat dilihat dari segi kekuatan substansinya ada yang
berada pada tingkatan darurat (kebutuhan primer), ada yang
berada pada tingkatan hajat (kebutuhan sekunder), dan ada
pula yang berada pada posisi tahsinat dan tazyinat
(pelengkap-penyempurna), yang tingkatannya berada di
bawah hajat.
Al-Gazali kemudian menjelaskan definisi maslahat:
أااظسح ف ػثاسج ف الأط ػ خة فؼح ا دفغ ؼشج, غا
ؼ ت راه, فا خة افؼح دفغ اؼشج ماطذ اخك, طلاذ اخك ف
.ىاؼ تاظسح اسافظح ػ مظد اششعذسظ١ ماطذ.
مظد اششع اخك خغح, أ ٠سفظ ػ١ د٠ فغ
ػم غ ا. فى ا٠رؼ زفظ ز الأطي اخغح ف ظسح
و ا٠فخ ز الأطي ف فغذج دفؼا ظسح22
.
Adapun maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari
menarik manfaat dan menolak mudarat, tetapi bukan itu yang
kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak mudarat
adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu
akan terwujud dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang
21
Ibid. h. 416 22
Ibid., h. 416-417
71
kami maksud dengan maslahat ialah memelihara tujuan
syara” /hukum Islam, dan tujuan syara‟ dari makhluk itu ada
lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada
yang menyatakan keturunan dan kehormatan, pen.), dan harts
mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima
hal prinsip ini disebut maslahat, dan setup yang
menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan
menolaknya disebut maslahat.”
Dari uraian Al-Gazali di atas dapat diketahui
bahwa yang dimaksud dengan maslahat menurut Al-Gazali
adalah upaya memelihara tujuan hukum Islam, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan
hukum Islam yang lima tersebut disebut maslahat.
Kebalikannya, setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan
hukum Islam yang lima tersebut disebut mafsadat, yang oleh
karena itu upaya menolak dan menghindarkannya disebut
maslahat.
Lebih lanjut Al-Gazali menyatakan:
ز الأط اخغح زفظاالغ ف سذثح اؼشساخ, ف أل
اشاذة ف اظار. ثا لؼاء اششع تمر اىافش اؼ ػمتح
لؼاؤ تا٠داب .اثرذع اذػ ئ تذػر, فا زا ٠فخ ػ اخك د٠
ؼمي ار امظاص, ئر ت زفظ افط. ئ٠داب زذاششب ئر ت زفظ ا
لان ارى١ف, ئ٠داب زذ اضا ئر ت زفظ اغ الأغاب, ئ٠داب
72
صخش اغظاب اغشاق, , ئر ت ٠سظ زفظ الأاي ار ؼاػ اخك
ؼطش ا١ا23
.
“Kelima dasar/prinsip ini memeliharanya berada pada
tingkatan darurat. la merupakan tingkatan maslahat yang
paling kuat/tinggi. Contohnya seperti:
1. Keputusan syara‟ untuk membunuh orang kafir yang
menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat
bid‟ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti
bid‟ahnya, sebab hal ini (bila dibiarkan) akan melenyapkan
agama umat.
2. Keputusan syara‟ mewajibkan qisas (hukuman yang sama
dengan kejahatannya), sebab dengan hukuman ini jiwa
manusia akan terpelihara.
3. Kewajiban hadd karena minum minuman keras, karena
dengan sanksi ini akal akan terpelihara; di mana akal
merupakan dasar pen-taklif-an.
4. Kewajiban hadd karena berzina, sebab dengan sanksi ini
keturunan dan nasab akan terpelihara.”
5. Kewajiban memberi hukuman kepada para penjarah dan
pencuri, sebab dengan sanksi ini harta benda yang menjadi
sumber kehidupan manusia itu akan terpelihara. Kelima hal
ini menjadi kebutuhan pokok mereka.
23
Ibid. h. 417
73
Dalam menjelaskan hajiyat, Al-Gazali menyatakan:
سذثح اساخاخ اظار ااعثاخ ورغ١ؾ اشذثح اثا١ح ا ٠مغ ف
ا ػ ذض٠ح اظغ١شج اظغ١ش, فزه لاػشسج ا١ ى سراج ا١ ف
افراء اظار ذم١١ذ الأوفاء خ١فح افاخ اعرغا ا ظلاذ ارظش ف
ااي 24
“Tingkatan kedua adalah maslahat yang berada pada posisi
hajat, seperti pemberian kekuasaan kepada wali untuk
mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini tidak sampai
pada batas darurat (sangat mendesak), tetapi diperlukan
untuk memperoleh kemaslahatan, untuk mencari kesetaraan
(kafa‟ah) agar dapat dikendalikan, karena khawatir kalau-
kalau kesempatan tersebut terlewatkan, dan untuk
mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada masa datang”
Tentang tahsiniyat dijelaskan Al-Gazali sebagai berikut:
اشذثح اثاثح الا ٠شخغ ا ػشسج لائ زاخح, ى ٠مغ لغ
ارسغ١ ارض١٠ ار١غ١ش ضا٠ا اضائذ سػا٠ح أزغ ااح ف
اؼاداخ اؼالاخ, ثا عة اؼثذ أ١ح اشادج غ لثي فرا
سا٠ر25
“Tingkatan ketiga ialah maslahat yang tidak kembali kepada
darurat dan tidak pula ke hajat, tetapi maslahat itu
menempati posisi tahsin (mempercantik), tazyin
24
Ibid. h. 418 25
Ibid.
74
(memperindah), dan taisir (mempermudah) untuk
mendapatkan beberapa keistimewaan, nilai tambah, dan
memelihara sebaik-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari
dan muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status
ketidaklayakan hamba sahaya sebagai saksi, padahal fatwa
dan periwayatannya bisa diterima.
Apakah semua maslahat dengan ketiga tingkatannya
tersebut (daruriyat, hajiyat dan tahsiniyah) dapat dijadikan
pedoman dalam penetapan hukum Islam? Dalam hal ini Al-
Gazali menjelaskan sebagai berikut :
االغ ف اشذثر١ الأخشذ١ لا ٠دص اسى تدشد ئ ٠ؼرؼغ تشادج
أااالغ ف سذثح اؼشساخ …أط,لأ ٠دش دش ػغ اششع تاشأ
فلاتؼذف أ ٠إد ئ١ اخراد درذ26
“Maslahat yang berada pada dua tingkatan terakhir (hajiyat
dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum semata-mata
dengannya apabila tidak diperkuat dengan dalil tertentu
kecuali hajiyat yang berlaku sebagaimana darurat, maka
tidak jauh bila ijtihad mujtahid sampai kepadanya (hajiyat
yang berlaku sebagaimana darurat dapat dijadikan
pertimbangan penetapan hukum Islam oleh mujtahid).”
Dari ungkapan Al-Gazali di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa maslahat hajiyat dan tahsiniyat tidak dapat
dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam,
kecuali hajiyat yang menempati level daruriyat, hajiyat yang
26
Ibid.
75
seperti itu menurutnya dapat dijadikan hujjah pertimbangan
penetapan hukum Islam.
Al-Gazali kemudian meneruskan penjelasannya :
أا االغ ف اشذثح اؼشساخ فلا تؼذ ف ا ٠إد ا١ اخراد درذ
اعاس ا ٠شذ اط ؼ١. ثا ا اىفاس ارا ذرشعا تداػح
اغ١ ف وففا ػ ظذ ا غثا ػ داس الإعلا لرا وافح اغ١.
س١ا ارشط مرا غا ؼظا ٠زة رثا. زا لاػذت ف اششع.
وففا غطا اىفاس ػ خ١غ اغ١ ف١مر ث ٠مر الأعاس أ٠ؼا,
ا الأع١ش مري تى زاي, فسفظ خ١غ اغ١ ألشب ا ف١دص أ ٠مي لائ ز
مظد اششع. لأا ؼ لطؼا ا مظد اششع ذم١ امر وا ٠مظذ زغ عث١
ػ الإىا. فا مذس ػ اسغ لذسا ػ ارم١. وا زا ئرفاذا ئ
ؼ١, ت تأدح ظسح ػ تاؼشسج وا مظداششع, لاتذ١ ازذ اط
خاسخح ػ اسظش, ى ذسظ١ زا امظد تزا اطش٠ك لر ٠زة
غش٠ة ٠شذ اط ؼ١ فزا ثاي ظسح غ١ش أخرج تطش٠ك ام١اط ػ
.اط ؼ١
امذذ اػرثاسا تاػرثاس ثلاثح اطاف اا ػشساج لطؼ١ح و١ح27
.
“Adapun maslahat yang berada pada tingkatan darurat
maka tidak jauh ijtihad mujtahid untuk melakukannya (dapat
dijadikan dalil/pertimbangan penetapan hukum Islam)
sekalipun tidak ada dalil tertentu yang memperkuatnya
(Itulah maslahah mursalah, pen.). Contohnya orang-orang
kafir yang menjadikan sekelompok tawanan muslimin sebagai
27
Ibid. h.420-421
76
perisai hidup. Bila kita tidak menyerang mereka (untuk
menghindari jatuhnya korban dari tawanan muslim), mereka
akan menyerang kita, akan masuk ke negeri kita, dan akan
membunuh semua kaum muslimin. Kalau kita memanah
tawanan yang menjadi perisai hidup itu (agar bisa menembus
musuh), berarti kita membunuh muslim yang terpelihara
darahnya yang tidak berdosa. Hal ini tidak diketahui dalilnya
dalam syara‟. Bila kita tidak menyerang, kita dan semua
kaum muslimin akan dikuasai orang kafir, kemudian mereka
bunuh semua termasuk para tawanan muslim tersebut. Maka
mujtahid boleh berpendapat, tawanan muslim itu, dalam
keadaan apapun, pasti terbunuh. Dengan demikian,
memelihara semua umat Islam itu lebih mendekati kepada
tujuan syara‟. Karena secara pasti kita mengetahui bahwa
tujuan syara‟ adalah memperkecil angka pembunuhan,
sebagaimana halnya jalan yang mengarah itu sedapat
mungkin harus dibendung. Bila kita tidak mampu
mengusahakan agar jalan itu bisa ditutup, kita harus mampu
memperkecil angka kematian itu. Hal ini dilakukan
berdasarkan pertimbangan maslahat yang diketahui secara
pasti bahwa maslahat itu menjadi tujuan syara‟, bukan
berdasarkan suatu dalil atau dalil tertentu, tetapi
berdasarkan beberapa dalil yang tidak terhitung. Namun
untuk mencapai maksud tersebut dengan cara seperti itu,
yaitu membunuh orang yang tidak berdosa, merupakan
77
sesuatu yang asing yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu.
Inilah contoh maslahat yang tidak diambil lewat metode qiyas
terhadap dalil tertentu. Maslahat ini dapat dibenarkan
dengan mempertimbangkan tiga sifat, yakni maslahat itu
statusnya darurat (bersifat primer), qat‟iyat (bersifat pasti),
dan kulliyat (bersifat umum).”
Dari uraian dan contoh yang diberikan Al-Gazali di atas
dapat diketahui bahwa syarat maslahah mursalah dapat
dijadikan hujjah dalam penetapan hukum Islam, menurut Al-
Gazali, maslahat itu harus menduduki tingkatan darurat, dan
dalam kasus tertentu seperti yang dicontohkan dan yang
sejenis, maslahat itu selain harus daruriyat, juga harus
kulliyat dan qat‟iyat.
Itulah syarat pertama yang dapat difahami dari
penjelasan alGazali dalam al-Mustasfa berkaitan dengan ke-
hujjah-an maslahah mursalah, yaitu maslahat itu harus
menempati level darurat atau hajat yang menempati
kedudukan darurat.
Syarat lain yang harus dipenuhi selain di atas ialah
kemaslahatan itu harus mula‟imah (sejalan dengan tindakan
syara‟/ hukum Islam), dalam al-Mustasfa, Al-Gazali
menyebutkan :
78
فى ظسح لاذشخغ ا زفظ مظد ف اىراب اغح الإخاع
واد اظار اغشت١ح ار لاذلائ ذظشفاخ اششع ف تاؽح طشزح
طاس ئ١ا فمذ ششع, وا أ اعرسغ فمذ ششع28
.
“Setiap maslahat yang tidak kembali untuk memelihara
maksud hukum Islam yang dapat difahami dari al-Kitab,
sunnah, dan ijma‟ dan merupakan maslahat garibah (yang
asing) yang tidak sejalan dengan tindakan syara‟ maka
maslahat itu batal dan harus dibuang. Barang siapa
berpedoman padanya, ia telah menetapkan hukum Islam
berdasarkan hawa nafsunya, sebagaimana orang yang
menetapkan hukum Islam berdasarkan istihsan, ia telah
menetapkan hukum Islam berdasarkan nafsunya.”
Apakah kriteria kulliyah (bersifat umum) merupakan
salah satu persyaratan agar maslahah mursalah dapat
diterima? Al-Gazali dalam al-Mustasfa tidak menyampaikan
secara jelas bahwa kulliyah itu merupakan salah satu kriteria
yang harus dipenuhi bagi diterimanya maslahah mursalah. la
mensyaratkan kriteria kulliyah ini pada kasus tertentu, yaitu
masalah orang-orang kafir yang menjadikan tawanan muslim
sebagai perisai hidup. Maslahat dalam kasus ini tidak bisa
dipandang sebagai mula‟imah (sejalan dengan tindakan
syara‟) kecuali apabila memenuhi tiga syarat, yaitu qat‟iyah,
daruriyah, dan kulliyah. Kenapa demikian? Sebab
28
Ibid. h.430
79
memenangkan yang banyak mengalahkan yang sedikit tidak
terdapat dalilnya bahwa itu dikehendaki syara‟. Ulama telah
sepakat apabila ada dua orang dipaksa untuk membunuh
seseorang maka tidak halal baginya untuk membunuhnya.
Demikian juga, ulama telah sepakat tidak halal bagi
sekelompok umat untuk memakan daging seorang muslim
lantaran kelaparan.
Mengenai kriteria qat‟iyah dalam kasus ini juga
dimaksudkan agar maslahah dalam kasus membunuh tawanan
yang dijadikan perisai hidup itu berstatus mula‟imah. Sebab
kehati-hatian syara‟ dalam masalah darah jauh lebih besar
dari yang lain. Tidak ditemukan dalam syara‟ adanya dalil
yang membenarkan membunuh orang hanya berdasarkan zann
(dugaan yang kuat) .
Mengenai perlunya maslahat dalam kasus membunuh
tawanan yang dijadikan perisai tadi harus daruriyah adalah
karena maslahat yang akan dilenyapkan (nyawa para tawanan
muslim yang menjadi perisai) itu statusnya juga daruriyah.
Dengan demikian, agar sebanding maka maslahat yang
dimaksudkan untuk dipelihara haruslah daruriyah. Sebab
tidak ditemukan dalam syara‟ adanya kebolehan men-
dahulukan maslahat yang statusnya hajiyah atau tahsiniyah
atas daruriyah.
Tegasnya, maslahat yang mendorong untuk membunuh
tawanan muslim yang menjadi perisai itu harus sejalan
80
dengan tindakan syara‟. Oleh karena membunuh tawanan
muslim yang menjadi perisai musuh itu berarti melenyapkan
nyawa muslim yang seharusnya dipelihara (ma`sum) tanpa
salah dan dosa, maka maslahat yang mendorong untuk
menyia-nyiakan maslahat daruriyah tadi haruslah maslahat
daruriyah pula. Apabila maslahat itu harus daruriyah maka
maslahat itu harus kulliyah (bersifat umum), tidak cukup
sekedar galibah (mayoritas). Sebab ijma‟ menyatakan bahwa
memenangkan yang banyak mengalahkan yang sedikit
tidaklah dikehendaki oleh syara‟.
Kemudian, membunuh tawanan muslim yang menjadi
perisai hidup musuh berarti menghilangkan maslahat secara
pasti (qat‟i). Oleh karena itu, maslahat yang mendorong
melakukan itu haruslah bersifat pasti pula, atau setidak-
tidaknya dugaan yang mendekati kepastian (zann qarib min
al-qat‟i). Sebab mengalirkan darah hanya berdasarkan zann
(dugaan) tidak dapat dibenarkan oleh Islam.
Menurut hemat penulis, dari semua uraian Al-Gazali
tentang maslahah mursalah, dapat disimpulkan bahwa
menurut al-Gazali maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah
dengan persyaratanpersyaratan sebagai berikut.
a. Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan
syara‟/ penetapan hukum Islam (yang dimaksudkan untuk
memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan
keturunan/kehormatan). Inilah persyaratan inti bagi
81
diterimanya maslahah mursalah. Maslahat mulgah (yang
bertentangan dengan nash atau ijma‟ harus ditolak.
Demikian juga maslahat garibah (yang sama sekali tidak
ada dalilnya, baik yang membenarkan maupun yang
membatalkan). Bahkan Al-Gazali menyatakan maslahat
semacam itu hakikatnya tidak ada.
b. Maslahat itu harus berupa maslahat daruriyah atau hajiyah
yang menempati kedudukan daruriyah. Maslahat
tahsiniyah tidak dapat dijadikan hujjah/pertimbangan
penetapan hukum Islam, kecuali ada dalil khusus yang
menunjukkannya, yang berarti penetapan hukumnya itu
lewat qiyas, bukan atas nama maslahah mursalah.
Kriteria kulliyah (maslahat itu bersifat umum dan
menyeluruh) dan qat‟iyyah (maslahat itu bersifat pasti) di
samping daruriyah hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu
seperti telah disebutkan di atas, tidak berlaku generalisasi.
4. Pandangan Al-Gazali dalam Analisis
Dari apa yang telah diuraikan pada bagian
terdahulu nampak bahwa al-Gazali memandang
istislah bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Ia
menyatakan:
82
ذث١ أ الإعرظلاذ ١ظ اطلا خاغا تشأع ت اعرظر فمذ ششع 29
“Nampak jelas bahwa istishlah bukanlah dalil kelima
yang berdiri sendiri. Bahkan barang siapa menjadikan
istislah sebagai dalil (yang berdiri sendiri), berarti ia telah
membuat-buat hukum Islam berdasarkan nafsunya.
Sebagian ahli ushul fiqh karena pernyataan al-Gazali di
atas menganggap bahwa al-Gazali menolak maslahah
mursalah sebagai metode istinbath. Sebagian yang lain
menganggap bahwa al-Gazali menerima metode istinbath
apabila daruriyah, qat‟iyah dan kulliyah30
.
Terhadap kontroversi yang demikian perlu
dikembalikan pada alur pemikiran yang dijelaskan oleh al-
Gazali sendiri. Menurut penulis pernyataan al-Gazali pada
cacatan kaki 25 tidak boleh difahami bahwa Al-Gazali tidak
menerima istislah. Sebab kalau difahami demikian, akan
kontra dengan pernyataan Al-Gazali yang lain. Misalnya, ia
menyatakan31
:
“Setiap maslahat yang berdampak untuk memelihara
tujuan syara yang dapat diketahui dari al-Qur‟an,
29
Al-Gazali, ibid. 311 30
Ahmad Munif Suratmaputra mengutip pernyataan Al-Subki dalam
Jam‟ al-Jawami, menyatakan bahwa Al-Ghazali menolak istishlah sebagai
metode ijtihad. Selain al-Subki dikatakannya bahwa Abdul Wahhab Khalaf
juga berpendapat demikian. Apa yang dicontohkan oleh Al-Ghazali, menurut
keduanya bukan termasuk contoh mashlahah mursalah, tetapi irtikab akhaffi
al-dararain. 31
Lihat catatan kaki 19
83
sunnah/hadis, atau ijma‟, maslahat itu tidak keluar dari dalil-
dalil tersebut. Itulah namanya maslahah mursalah. Dan
apabila maslahat itu diartikan dengan hal-hal yang
dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara‟, wajib diikuti
dan secara pasti dapat dijadikan hujjah.
Pernyataan ini, menurut hemat penulis, secara tegas
menyatakan bahwa Al-Gazali dapat menerima istislah sebagai
metode istinbat hukum selama maslahatnya berdampak bagi
upaya memelihara tujuan syara‟. Inilah menurut hemat
penulis yang dalam bagian lain sering disebut dengan
muldimah (sejalan dengan tindakan syara‟).
Dalam pandangan al-Gazali tidak ada maslahat kontra
dengan nash dan kemudian harus dimenangkan. Setiap
maslahat yang kontra dengan nash, menurut pandangannya,
gugur dengan sendirinya dan harus dibuang jauh-jauh.
Berdasarkan pertimbangan itu semua, dapat dipahami
bahwa Al-Gazali dapat menerima istislah sebagai metode
istinbat hukum Islam dengan ketentuan:
a. Maslahatnya sejalan dengan tindakan syara (muldimah)
b. Maslahatnya menempati level daruriyah atau hajiyah
yang menduduki tempat daruriyah.
c. Maslahatnya bersifat qat `iyah atau zann yang
mendekatinya.
d. Maslahatnya tidak berlawanan dengan al-Qur‟an,
sunnah/hadis atau ijma‟.
84
Mengenai syarat qat‟iyah, daruriyah, dan kulliyah
hanya berlaku pada kasus tawanan perang muslim yang
dijadikan perisai musuh dan kasus lain yang sejenis.
Pembangunan Infrastruktur Indonesia Menurut al-
Gazali
Pilihan yang ditempuh pemerintah saat ini adalah
pembangunan fisik (infrastruktur) tidak mengintensifkan
penataan kelembagaan guna memastikan terjadinya
peningkatan produktivitas perekonomian. Karena penataan
kelembagaan relatif tak membutuhkan anggaran besar,
namun lebih rumit karena menyangkut aparat birokrasi yang
begitu kompleks. Pilihan yang ditempuh pemerintah tersebut
sesuai kaidah ا لا٠ذسن و لا٠رشن و („Jika tidak didapati
seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya (yang mampu
dikerjakan)).
Maslahat menurut Al-Gazali adalah upaya memelihara
tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta benda. Setiap hal yang dimaksudkan
untuk memelihara tujuan hukum Islam yang lima tersebut
disebut maslahat. Kebalikannya, setiap hal yang merusak
atau menafikan tujuan hukum Islam yang lima tersebut
disebut mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak dan
menghindarkannya disebut maslahat. Dari pengertian ini
maka dapat dipahami bahwa pembangunan infrastruktur
85
merupakan suatu kemashlahatan karena pembangunan
infrastruktur yang dilakukan bertujuan untuk pemerataan
dalam bidang perekonomian, yang itu berarti memelihara
salah satu tujuan hukum Islam yaitu memelihara jiwa.
Namun kemashlahatn yang ingin dicapai tersebut apakah
merupakan kemashlahatan yang dianggap dapat menjadi
hujjah (pertimbangan di dalam menetapkan hokum) atau
tidak. Kalau diteliti dalil naqli baik al-Qur‟an maupun hadits
tidak ada perintah maupun larangan membangun
infrastruktur. Itu berarti pembangunan inftastruktur
termasuk mashlahat mursalah.
Namun kriteria yang mesti dipenuhi maslahah mursalah
untuk menjadi hujjah Al-Gazali menyatakan maslahah
mursalah itu harus: Sejalan dengan tindakan/jenis tindakan
syara‟, tidak berlawanan dengan al-Qur‟an, sunnah, atau
ijma‟, maslahat itu berstatus qath‟i atau zann yang
mendekatinya, Maslahat itu menempati level daruriyat atau
hajiyat yang kedudukannya sama dengan daruriyat, dalam
kasus tertentu harus qath‟iyah, daruriyah dan kulliyah
Pembangunan infrastruktur dilakukan untuk mendorong
pemerataan dan mempersempit ketimpangan nasional tentu
adalah maslahat/kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan
syara‟, tetapi tidak ada dalil khusus yang mendukung atau
membatalkannya. Inilah maslahah mursalah. Maslahat ini
bersifat qat‟iyah, karena sudah dipastikan pemerataan terjadi
86
jika infrastruktur memadai. Namun ia berstatus hajiyyah,
karena mempermudah di dalam memelihara jiwa dan nyawa
yang harus diselamatkan. Kemaslahatan itu juga kulliyah,
karena menyangkut kepentingan dan keselamatan seluruh
bangsa Indonesia. Kemaslahatan itu juga tidak berlawanan
dengan al-Qur‟an, sunnah/ hadis atau ijma‟, karena tidak ada
dalil tertentu yang menolaknya. Untuk menemukan
kemaslahatan yang seperti itu kriterianya dalam kasus ini
ditempuh melalui metode istislah. Berdasarkan metode
inilah kemudian ditetapkan bolehnya pemerintah melakukan
pembangunan infrastruktur dalam rangka menjaga
keselamatan jiwa seluruh bangsa Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan analisis menggunakan metode
istishlahnya al-Gazali, pembangunan infrastruktur
pemerintah merupakan suatu kemashalatan yang tentunya
boleh untuk dilakukan. perlu dibarengi dengan manajemen
risiko yang baik. Meningkatkan profil risiko baik pada level
korporasi pelaksana proyek maupun makro ekonomi terkait
anggaran jangan sampai niat baik yang kurang terkelola,
justru akan menimbulkan efek negatif,. Ambisi pemerintah
mau tidak mau harus bisa dikelola.
Di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi
beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan
87
baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka
panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka
pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka
panjangnya tetap terjaga.
Daftar Pustaka
Al-Gazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr.
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Beirut/Lebanon: Al-
Resalah, 1997 M/1418 H
Al-Raysuni dan Barut, Muhammad Jamal, Ijtihad :Antara
teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Jakarta:
Erlangga, 2000
Anwar, Saeful Saleh, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi
Ontologi dan Aksiologi, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Arfan, Abbas, Geneologi Pluralitas Mazhabdalam Hukum
Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Black, Antony dalam Pemikiran Politik Islam: dari Masa
Nabi Hingga Masa Kini (penerjemah Abdullah Ali dan
Mariana Arietyawati), Jakarta : Serambi, 2006.
Dahlan, Abdul Aziz…(et.al)., Ensiklopedi Hukum Islam jilid
1 -cet.1-, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 1996.
Hallaq, Wael B., Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam
Sejarah Filsafat Hukum Islam (Terjemah Abdul Basith
Junaidy), Surabaya: Srikandi, 2005
Haq, Hamka, Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah
dalam Kitab al-Muwafaqat, Jakarta: Erlangga, 2007.
Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam:
Membongkar Konsep al-Istiqra al-Ma‟nawy Asy-
Syatibi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Mujahidin, Akhmad, Aktualisasi Hukum Islam: Tekstual dan
Kontekstual, Riau: UIN Riau, 2007
R. Paret, “Istihsan dan Istihlah“ The Encyclopedia of Islam,
New Edition, eds, E. Van Donzel, B. Lewis and Ch.
Pellat (Leiden: E. J. Brill, 1978), vol. IV
88
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Hukum Islam Progresif:
Reformulasi Ihtihsan Ibn Taimiyah, Jakarta: Gema
Persada Press, 2007
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-
Ghazali : Mashlahah Mursalah & Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002
Wahyudi, Yudian, Maqashid Syari‟ah dalam Pergumulan
Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan
Kalijaga, Yogyakarta: Nawesea Press, 2007
Yasid, Abu, Nalar dan Wahyu : Interrelasi dalam Proses
Pembentukkan Syari‟at, Jakarta: Erlangga, 2007
Yuslem, Nawir, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul
Fikih: Konsep Mashlahah Imam al-Haramain al-
Juwayni dan Dinamika Hukum Islam, Bandung: Cita
Pustaka Media, 2007.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta: Gema Insani Persada, 2004.
https://macroeconomicdashboard.feb.ugm.ac.id/Pro Kontra
Pembangunan Infrastruktur/ Oleh: Dewan Editor, 15
Oktober 2017
https://katadata.co.id/opini/2017/10/19/Dilema Pembangunan
Infrastruktur Oleh. Agustinus Prasetyantoko (Ekonom /
Rektor Unika Atma Jaya)
89
QISOS DAN HUMAN RIGHT
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN INDONESIA
Syafi’i
Abstract
Qisos is a teaching adopted by the Islamic religion in
order to eliminate crime in society. Therefore in qisos itself there
is a belief that by applying qisos in court it will have an impact
on human life in the world. They argue that qisos is an absolute
teaching that must be realized in social life.
Human rights are teachings with the aim of defending
human rights. Karen, if there are human rights violated and
tainted, there is a violation of human rights. Westerners uphold
the human rights ideas and ideas, one of which is the idea of
human freedom. In the framework of this freedom, they set rules
regarding the defense of the right to human life, if this right is not
obeyed it means violating the human right. Punishment that can
eliminate a person's life or qisos is a form of violation of the right
to human life which means it has violated the human right.
Qisos has violated the human right. This is a statement
that needs to be reviewed and there must be universal discussion.
Key word Qisos, Humen right, Hudud, Ta'zir
A. Pendahuluan
Islam memiliki seperangkap peraturan untuk
kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan duniawi
maupun ukhrowi dan keduanya akan saling berkaitan, dalam
artian kehidupan dunia akan berdampak kepada kehidupan
akhirat, jika di dunianya sering melakukan hal yang baik
maka di akhiratnya akan mendapatkan kebaikan pula dan
90
sebaliknya. Disamping peraturan tersebut terdapat peraturan
khusus tentang kehidupan di dunia, dalam artia jika
pelanggaran dilakukan maka akan terkena sanksinya secara
langsung di dunia, bukan menunggu alam akhirat. Hal
semacam ini terjadi dalam kasus pembunuhan.
Dalam kasus pembunuhan, Islam telah menetapkan
seperangkap aturan dan sanksi, diantaranya dengan
penerapan qisos. Jika seseorang telah membunuh orang lain
maka hukuman yang diberikan kepadanya adalah dengan
membunuhnya lagi. Karenanya majlis hakim tidak dapat
menetapkan hukuman penjara atau denda lainnya sekalipun
terdapat pembelaan.
Dalam mempertahankan hak asasi manusia maka
mereka sering mendeklarasikannya diberbagai pertemuan
tarap internasional bahkan Indoneisapun termasuk
didalamnya. Secara inplisit bahwa kegiatan tersebut adalah
benar apa adanya namun secara eksplisit terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Seperti penyimpangan
tentang perdamaian Palistina dan Israil. Ekspansi Amarika
Serikat terhadap gejolak di Timur Tengah dan seterusnya.
Mereka menilai bahwa hukuman dengan sistim qisos
adalah sadis tidak memiliki rasa prikemanusiaan. Mereka
menilai qisos adalah sistim yang dapat merugikan pihak
korban, karena bisa jadi ada kekeliruan, dan ini tidak dapat
diulang kembali, karena pihak korban sudah tidak bernyawa
91
lagi. Sistim qisos adalah sisitim yang kejam, tidak memberi
peluang kepada pihak korban untuk memperbaiki prilaku
jahatnya. Barbagai macam penolakan yang dilakukan oleh
mereka terhadap sistim qisos, padahal secara realistis mereka
membutuhkan hukuman dengan cara menghilangkan nyawa
seseorang.
B. Pembahasan
1. Human Right
Human Rigths adalah hak-hak dasar manusia yang
dimiliki sejak lahir sebagai pemberian Allah swt. Menurut
Jan Materson bahwa Human Right could be generally
defined as those rights which are inherent in our nature
and without which can not live as human being . Hak
Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil
dapat hidup sebagai Teaching human Rights.
Human Raight berawal untuk membela kaum
lemah yang mendapat diskriminasi penguasa. Melalui
organisasi dunia yaitu Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB)
maka pada tanggal 10 Desember 1948 mengungkapkan
apa yang disebut dengan Deklaration of Human Rights
tentang prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia (HAM) yang
harus dihormati dan ditaati oleh seluruh negara anggota
PBB. Dalam deklarasi tersebut dikemukakan empat
92
kebebasan dasar manusia (the four freedom of Roosevert),
yaitu:
1. freedom of speech yaitu Kebebasan untuk berbicara
2. freedom of religion yaitu Kebebasan beragama.
3. freedom from want yaitu Kebebasan dari kemiskinan
dan kemelaratan
4. freedom from fear yaitu Kebebasan dari ketakutan.
Karenanya maka setiap tanggal 10 Desember
dinyatakan hari Hak Azasi Manusia sedunia. Indonesia
adalah negara yang melindungi hak-hak asasi manusia, ini
tercermin dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998 mengenai
HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti dengan
perubahan kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal--
pasal yang secara rinci dan tegas mengatur tentang
pemajuan dan perlindungan HAM, disamping tap MPR
dan UUD juga terdapat pada peraturan pemerintah dan
undang-undang. Dengan demikian maka Indonesia adalah
suatu negara yang menjamin sekaligus melindungi hak
asasi manusia yang telah diatur dan termaktub dalam
beberapa peraturan antara lain:
1. Dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 45
2. Dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat
atau TAP MPR
3. Dalam Peraturan Pemerintahan atau Kepres
93
4. Dalam Perundang-undangan atau Undang-Undang.
Dengan demikian Indonesia telah memiliki
pandangan tersendiri berkaitan dengan hak asasi manusia
sebagaimana terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan
pada ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 dan juga
terdapat pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.
Semua landasan ini berdasarkan atas azas nila-nilai
Pancasila sebagai filsafat Negara. Adapun secara terinci
terdapat pada batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen
pada Bab X A pasal 27, 28 a – j dan pada pasal 29.
Adapun secara universal bahwa hak asasi manusia (HAM)
dapat di klasifikasikan menjadi empat hal utama antara lain:
1. Hak individual yaitu hak-hak yang dimiliki setiap
orang. Hak individual disini menyangkut pertama-tama
adalah hak yang dimiliki individu-individu terhadap
Negara dan Negara tidak boleh menghindari atau
mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak
yang ia milki. Seperti hak beragama, hak mengikuti
hati nurani, hak mengemukakan pendapat dan
seterusnya.
2. Hak kolektif yaitu hak yang dimiliki oleh masyarakat.
Hak masyarakat disini bukan hanya hak kepentingan
terhadap Negara saja, akan tetapi sebagai anggota
masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain.
Inilah yang disebut dengan hak sosial. Seperti hak akan
94
perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan
lingkungan hidup yang bersih.
3. Hak sipil dan politik, antara lain memuat hak-hak yang
telah ada dalam perundang-undangan Indonesia.
Seperti hak atas penentuan nasib sendiri, hak
memperoleh ganti rugi bagi mereka yang
kebebasannya dilanggar, hak atas kebebasan berfikir
dan hak atas kebebasan berekspresi.
4. Hak ekonomi, sosial dan budaya antara lain memuat
jaminan hak-hak warga. Seperti hak atas pekerjaan, hak
mendapatkan program pelatihan, hak mendapatkan
kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, hak
membentuk serikat buruh, hak menikmati jaminan
sosial, termasuk asuransi social, hak atas standar hidup
yang layak, hak terbebas dari kelaparan, hak menikmati
standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi, hak atas
pendidikan.
Pada prinsipnya universalitas hak asasi manusia
(HAM) dalam konteks ini adalah setiap orang berhak
memiliki hak-hak tersebut tanpa harus ada syarat tertentu
karena kedudukannya sebagai manusia, jadi setiap
manusia tanpa ada pembedaan harus diperlakukan sesuai
dengan hak-hak tersebut dan merupakan sarana etis dan
hukum untuk melindungngi individu, kelompok dan
95
golongan yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat modern.
Islam telah mengajarkan kepada ummatnya untuk
melindungi hak-hak asasi manusia secara universal. Hal
ini tersirat dalam ajaran utama Islam yaitu ajaran tawhid.
Dalam tawhid terdapat ajaran persamaan yaitu bahwa
kaum muslimin harus meyakini tentang pencipta yaitu
Allah swt yang telah menciptakan alam semesta termasuk
didalamnya manusia. Persamaan pencipta ini
mengidentifikasikan bahwa Islam telah mengajarkan
persamaan, dan ini memuat ajaran kebebasan yaitu
manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
kehendaknya, bebas berbuat, bebas berkata dan
berpendapat serta memiliki kebebasan hidup. Kebebasan
ini adalah konsekwensi logis dari ajaran tentang
persamaan
Memang al-Qur'an tidak membahas secara spesifik
tentang hak asasi manusia (HAM). Al-Qur'an
mengungkapkan hak asasi manusia pada tataran prinsip
yang universal seperti keadilan, musyawarah, saling
menolong, menolak diskriminasi, menghormati kaum
wanita, kejujuran, dan lain sebagainya. Rincian atas
konsep-konsep itu dilakukan dalam Hadis dan para imam
mujtahid. Karena itu, nilai-nilai HAM adalah kelanjutan
dari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.
96
Rusulullah Muhammad saw telah mengajarkan
ummatnya untuk senantiasa melindungi hak-hak manusia
baik secara tekstual maupun kontekstual. Hal ini terdapat
pada praktek Rosulullah saw ketika menetap di Madinah
al-Munawwaroh. Dengan kondisi masyarakat yang sangat
majemuk namun Rosulullah saw dapat menstabilkan dan
memberi kenyamanan masyarakat Madinah. Beliau dapat
menanamkan rasa persamaan di kalangan masyarakat,
tidak mendiskriminasikan satu sama lain. Kaum ansor
harus dapat membantu kaum muhajirin karena ada
persamaan agama yaitu Islam, kaum suku khorroj harus
dapat bekerja sama dengan suku Aus karena ada
kesamaan misi yaitu sama-sama mendambakan seorang
pigur pemimipin seperti Rosulullah saw. Kaum Yahudi
dan Nasroni serta etnis lain harus mendukung dan
bekerjasama dengan kaum muslimin karena memiliki
kesamaan yaitu sama-sama menjaga dan mempertahankan
daerah Madinah dari berbagai ancaman dan musuh dari
luar.
Muhammad saw sebagai pigur pemimpin yang
dapat mempersatukan ummat yang majemuk dan
homogen tersebut, lantaran ajaran yang dibawanya
memiliki ajaran persamaan sekaligus menanamkan kepada
ummat akan kebebesan. Hal ini termaktub dalam piagam
Madinah yang terdiri dari 46 pasal. Dari pasal-pasal
97
tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Madinah
harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip seperti di bawah
ini:
1. Prinsip persamaan.
2. Prinsip persaudaraan.
3. Prinsip persatuan.
4. Prinsip kebebasan.
5. Prinsip Toleransi.
6. Prinsip perdamain.
7. Prinsip tolong mrnolong
8. Prinsip membela yang teraniaya
9. Prinsip mempertahankan daerah Madinah
Jika dicermati dengan saksama maka prinsip-prinsip
tersebut adalah merupakan prinsip dari hak asasi manusia
atau human right. Ajaran Islam yang lainnya dalam
membicarakan hak asasi manusia adalah terdapat dalam
surat al-Baqoroh ayat 25:
يـــن ........ ل إكـراه في الد
Artinya: „Tidak ada paksaan dan Agama…‟.
Ayat di atas mnjelaskan bahwa Allah swt secara eksplisit
mengajarkan untuk menjaga hak asasi manusia, karena
ayat diatas Allah swt telah menginstrusikan kepada
hambanya agar berlaku tidak diskiminasi satu kepada
98
lainnya, dan ini adalah prinsip hak asasi manusia. Dalam
surat al-Hujurot pada ayat 13. Allah swt berfirman:
ارفىا إن يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعىبا وقبائل لتع
عليم خبير أتقاكم إن الل أكرمكم عند الل
Artinya: „Wahai manusia sekalian sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari kaum laki-laki dan kaum
wanita dan Kami menjadikan kamu berbangsa dan
bersuku-suku dengan tujuan agar kamu dapat saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah swt adalah mereka yang bertaqwa.
Sesungguhnya Allah swt maha mengetahui‟.
Ayat ini menjelaskan bahwa Islam mengajarkan akan
prinsip persamaan yaitu sama-sama diciptalkan oleh Allah
swt. Dan persamaan ini merupakan embrio dari hak asasi
manusia.
Dalam hadis diungkapkan bahwa Rosul telah
mengintruksikan kepada para sahabatnya untuk
menjunjung tinggi dan menjaga nilai nilai hak asasi
manusia dalam bersosialisasi. Dalam satu riwayat
disebutkan: “Barang siapa yang menzalimi seseorang
mu‟ahid (seorang yang telah dilindungi oleh perjanjian
damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di
luar batas kesanggupannya atau mengambil sesuatu dari
padanya dengan tidak rela hatinya, maka Aku (Rosulullah
saw) lawannya di hari kiamat.” Dari riwayat ini dapat
99
dikatakan bahwa betapa Islam menjaga dan menjunjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Pada dasarnya ajaran Islam yang berkaitan dengan
hak asasi manusia terpusat kepada lima prinsip utama
yaitu:
1. ٠ـــ yaitu menjaga agama. Menjaga agama زغظ اذ
merupakan keharusan bagi muslim dan ini merupakan
hak manusia untuk mendapat kebebasan dalam
beragama.
yaitu menjaga jiwa. Menjaga jiwa merupakan زفظ افظ .2
keharusan dan tidak boleh ada yang melanggarnya, dan
ini merupakan hak manusia yang patut dijaga.
Karenanya jika ada yang berani menghilangkan nyawa
seseorang maka mereka telah melanggar hak asasi
manusia.
اي . .3 yaitu menjaga harta. Menjaga harta زفظ ا
merupakan keharusan dan jika ada yang merampasnya
berarti ia telah melanggar hak manusia karena sudah
menghilangkan kebebasan seseorang untuk memiliki
harta.
زفظ ذاغــة .4 .yaitu menjaga kehormatan. Menjaga
kehormatan adalah hal penting dalam hidup
bermasysarakat, dengan merenggut kehormatan wanita
berarti ia telah melanggar hak seseorang, dan ini
100
melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan
kebebasan bergaul bersama masyarakat.
5. زفظ اؼم yaitu menjaga akal. Menjaga akal termasuk
hal yang sangat esensial sekali dalam hidup. Karenanya
Islam mengajarkan untuk menjaga akal dengan
sebaiknya, jika ada yang mengganggu atau berusaha
untuk menghilangkan akal berarti ia telah melanggar
hak seseorang dan ini termasuk melanggar hak asasi
manusia untuk memberikan kebebasan dalam berpikir
dan mengeluarkan pendapat. pikirannya
2. Qisos
Qisos menurut ethomologi adalah mengikuti, menelusuri
jejak, 88
seperti dalam firman Allah swt surat al-Kahfi pada ayat
64:
ا لظظا ا وا ثغ فاسذذا ػ آثاس ه لاي ر
Artinya : Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula”. Sedangkan menurut terminology qisos
adalah suatu sanksi atau hukuman yang sesuai
dengan apa yang diperbuat. Dalam syariat Islam
bahwa tindakan yang terkena hukuman sanksi
berupa qisos adalah tindakan kejahatan pembunuhan
dan pelukaan anggota badan.
88
. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Penerbit Putaka Prgressy, Yogyakarta, Cetakan ke empat belas,Tahun 1997H. 1126
101
Dalam leteratur fiqh bahwa tindak kejahatan
pembunuhan terbagi kepada tiga katagori: 89
yaitu pembunuhan sengaja. Pembunuhan امرــ اؼــذ .1
yang dilakukan dengan kesengajaan dan direncakan
sejak semula. Pelaku kejahatan dengan sengaja
membuat strategi pembunuhan dan membawa alat-
alat yang dapat membunuh korban seperti senjata
tajam.
شث اؼــذامرــ .2 yaitu pembunhan menyerupai
sengaja. Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak
direncanakan. Pelaku kejahatan sengaja melakukan
sesuatu bukan untuk membunuh tapi perbuatannya
itu dapat menyebabkan kematian orang lain, seperti
berkendaraan yang dengan sengaja melaju dengan
kecepatan tinggi sehingga dapat mencelakakan dan
menghilanggkan nyawa.
.yaitu pembunuhan kesalahan امرــ اخطــأ .3
Pembuhuhan yang dilakukan karena kesalahan alias
tidak ada niat untuk membunuh, seperti pemburuh
binatang yang hendak membidik seekor kancil
namun terkena orang yang sedang lewat.
Dari ketiga macam kejahatan pembunuhan
tersebut, maka yang terkena hukuman qisos adalah
89
. Syafi’i, Muqorinah al-Mazahib al-‘Arba’ah wa al-Mazhabu al-Ja’fari fi al-Hudud wa al-Qisos wa tathbiqu Ahkamuha fi Indonesia, Penerbit: Qismu Sunni, Aligarh-India, Tahun. 2002, h. 92
102
pembunuhan yang disengaja dan direncanakan. Hukuman
berupa qisos ini telah termaktub dalam al-Qur‟an yang
terdapat dalam surat al-Baqoroh pada ayat 178:
ؼثذ ؼثذ تا ا سش سش تا مر ا مظاص ف ا ا ا ورة ػ١ى آ ا از٠ ٠ا أ٠
أداء ئ١ ؼشف ء فاذثاع تا ش أخ١ ػف ث ف ث تالأ الأ
ه ذخف ر تازغا ١ ه ف ػزاب أ اػرذ تؼذ ر ح ف سز ستى ١ف
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt
telah menginstruksikan kepada hambaNya untuk
menegakan sanksi khusus terhadap pelaku kejahatan
pembunuhan berupa qisos. Dalah hadis riwayat Imam
Muslim disebutkan: 90
سسـاسج. ٠شع سأعـ تا ي الله أ سعــ ش ت فأ
90
. Muhammad Nashiruddi al-Albani, Ringkasan Shohih Muslim, Penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, Tahun 2007. H. 723
103
Artinya: ….Rosulullah memerintahkan untuk
memecahkan kepala orang Yahudi tersebut dengan batu”.
Hadis ini mejelaskan tentang sanksi hukum harus sesuai
dengan apa yang dilakukannya, inilah yang disebut
dengan sistim qisos.
Para ulama telah menetapkan bahwa tindak kejahatan
yang dapat dikenakan sanksi qisos terdapat tiga tindak kriminal:
1. Pembunuhan yaitu tindak kejahatan dengan cara
menghilangkan nyawa seseorang.
2. Pelukaan berat yaitu tindak kejahatan dengan cara
menghilangkan sebagian anggota badan.
3. Pelukaan ringan yaitu tindak kejahatan pelukaan
anggota badan dapat menyebabkan luka dibagian tubuh
sampai terlihat tulang putih.
Disamping pembagian tindak kejahatan yang
terkena sanksi qisos para ulamapun menetapkan kriteria-
kriteria pelaksanaan qisos antara lain:
1. Balig yaitu pelaku pembunuhan sudah cakap untuk
bertindak, dengan demikian anak kecil tidak terkena
sanksi qisos.
2. Akal yaitu pelaku pembunuhan memiliki kemampuan
untuk membedakan mana yang baik atau buruk,
dengan demikian orang gila tidak terkena sanksi qisos.
3. Kehendak sendiri yaitu pelaku pembunuhan menyadari
akan perbuatannya sendiri, dengan demikian orang
104
yang dipaksa untuk melakukankan pembunuhan
terbebas dari sanksi qisos.
4. Mukhotob yaitu pelaku kejahatan telah mengetahui
bahwa perbuatannya telah dilarang oleh peraturan.
Setelah mengetahui definisi qisos, dalil, macam-
macam pembunuhan serta kriteria pelaksaan qisos maka akan
dapat diketahui dengan gamblang bahwa qisos adalah suatu
system yang perlu diperhitungkan dan harus diadopsi
menjadi sebuah prinsip hukum dalam pengadilan modern.
Kenapa demikian, lantaran masih banyak Negara-negara
yang menggunakan berbagai system hukum tapi tindak
kejahatan tetap ada, mereka menggunakan system hukuman
kurangan dan hukuman penjara tetap saja tindak kejahatan
meraja lela dimana-mana, bahakan kadang mereka
menggunakan system pemaksaan terhadap korban dan
bahkan hukuman pancung namun tetap kejatan tidak
berhenti.
Banyak negara-negara maju merubah system hukum
dengan system yang lebuh lunak dan bijak seperti
menggunakan system hak asasi manusia, namun tetap
hasilnya nihil bahkan mereka dikambing hitamkan dengan
system baru tersebut. Para hakim tidak berani menetapkan
sanksi yang berat seperti pembunuhan lantaran akan
bertentangan dengan hak asasi manusia. Para hakim ingin
menetapkan sanksi terhadap pelaku kejahtan dengan sanksi
105
yang akan membuatnya jera, namu mereka para hakim takut
bahwa keputasannya akan bertentangan dengan hak asasi
manusia. Demikianlah seterunsnya, sehingga eksistensi
pengadilan dan hukum tidaklah berarti, tidak menjadikan
masyarakat tenang apalagi kenyamanan.
Sebagai contoh konkrit Amarika serikat yang terkenal
memiliki pasilitas yang super modern, namun tetap saja
mereka merasa takut dan tidak ada kenyamanan, lantaran
banyak disana terdapat kejahatan-kejahatan, bahkan
kejahatan tingkat internasional. Terjadi peledagan bom di
hotel kembar WTC You York Amarika Serikat, interpensi
permasalahan di negara-negara timur, hal ini dilakukan
lantaran merasa takut akan terjadi teroris dan sebagai
sasarannya adalah meporakporandakan negara timur tengah.
Khawatir, takut dan tidak ada kenyamanan di negara-
negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia
adalah merupakan konsekwensi logis dari system hukum
yang dimiliki. Sistem hukum yang diberikan kepada pelaku
kejahatan tidak membuat pelaku menjadi jera, bahkan
cendrung bertambah brutal. Para nara pidana setelah keluar
dari lembaga pemasyarakatan mereka akan berbuat tindak
kriminal lagi, para koruptor pun setelah keluar dari penjara
mereka beraksi lagi, karena ada kesempatan untuk melalukan
yang kedua kalinya dengan diangkat sebagai pejabat Negara.
106
Kasus-kasus di atas memberi keterangan bahwa
sistim hukum dan sanksinya tidak secara maksimal membuat
jera kepada pelaku kejahatan. Selama system yang digunakan
para elit penguasa yang mengacu kepada system barat dan
tidak ada keinginan untuk merubahnya dengan sistim yang
baru, maka selama itu pulalah ketakutan dan
ketidaknyamanan terus menghantuinya. Padahal Islam telah
menawarkan sistim hukum yang handal, namun tetap mereka
tidak menginginkannya apalagi untuk mengadosinya dengan
alasan sistim tersebut bertentangan dengan hak asasi
manusia.
Para sarjana hukum Indonesia mengetahui dengan
jelas akan keunggulan sistim qisos, namun mereka enggan
menerapkannya dipengadilan, hal ini lebih disebabkan
karena para penguasa negeri ini tidak memberi kesempatan
kepada para ahli hukum untuk merubah hukum yang ada
kepada hukum qisos, hal ini dilakukan karena para penguasa
negeri ini adalah notabenya bagian dari terancamnya dengan
aturan qisos tersebut. Mereka khawatir bahkan takut sekali,
seandainya memberikan pasilitas dengan baik kepada para
hakim, maka hakim akan menerapkan hukuman qisos yang
mengancam dirinya sendiri.
Sebetulnya jika ditelaah dengan bijak apa yang
mereka asumsikan terhadap sitem qisos tidaklah demikian
adanya bahkan qisos memberikan keamanan dan
107
kenyamanan bahkan keadilan. Hal ini dapat terlihat tatkala
pihak dan keluarga korban merasa dirugikan dengan matinya
salah seorang dari mereka, maka secara naruni insan mereka
akan merasakan kesal, marah dan bahkan dendam kepada
pelaku kejahatan dan keluarganya, mereka akan melakukan
pembunuhan juga sebagai bentuk dendam kepadanya,
sehingga terjadilah pertentangan yang berkelanjutan dan
berkepanjangan sampai-sampai tidak ada perdamaian
diantara dua kelompok tersebut. Beda halnya jika sistim
qisos diaplikasikan, maka satu sama lain tidak akan berani
melakukan pembunuhan, karena jika diantara mereka
melakukan pembunuhan maka akan terancam dengan
hukuman bunuh juga.
Ibnu Kasir menjelaskan dengan sangat rinci tentang
kasus pembunuhan. Seandainya ada seseorang menginginkan
pembunuhan kepada orang lain, maka ia berpikir beribu kali,
karena untuk membunuh sasarannya harus meliwati beberapa
orang, dari mulai harus berhadapan dengan penjaga di depan
gerbang, lalu penjaga yang berada di dalam istina, kemudian
harus baerhadapan pula dengan orang yang menjaga kamar
pribadinya, lalu bisa dapat berhadapan dengan sasaran
utamanya. Padahal ia mampu membunuh semua penjaganya
demi dendam kepada seseorang, tapi ia lebih memilih untuk
tidak memnuhnya, karena hukuman bagi pembunuh adalah
harus dibunuh lagi. Sehingga selamatlah dari pembunuhan
108
bagi orang yang hendak dibunuh dan orang-orang yang
melindunginya pun selamat bahkan pelaku pembunuhanpun
selamat dari hukuman bunuh. Inilah yang disebut dengan
firman Allah swt ـمـظاص ز١ـاج qisos itu menghidupkan ا
yaitu bahwa dengan diterapkannya sistim qisos di pengadilan
berarti melindungi hak hidup manusia sebagai bagian dari
hak asasi manusia yang paling tinggi.
Dalam Tafsir Ayat Ahkam 91
dijelaskan tentang kata
„al-qisos‟ dengan isim ma‟rifat dan kata „hayatun‟ dengan
isim nakiroh adalah mengandung pengertian bahwa dengan
hukum qisos akan terjamin kehidupan orang banyak lantaran
jika ada seseorang berniat untuk membunuh orang lain ia
akan menjadi menggigil ketakutan sehingga akan terjamin
keberlangsungan hidup pada seseorang.
Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri telah
mengomentari tentang ayat ini 92
bahwa dengan qisos
terdapat kelangsungan hidup bagi manusia, karena apabila
ada orang yang berniat membunuh mengetahui bahwa ia
akan dibunuh, pasti ia akan menahan diri sehingga ia
91
. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam, Penerbit Pt. Bina Ilmu, Surabaya, Jilid I, Tahun 2011, h.109. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’a, al-“zhim, Dar al-Fikr, Tahun: 1992, Jilid I h. 262. Al-Qurthubi, Al-Jami’ liAhkami al-Qur’an, Penerbit: Dar al-kutub al ‘Ilmiyah, Bairut-Libanon, Tahun: 2000, Jilid I, h,172. 92
. Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Jalalain dan komentarnya,
Penerbit PT elba Fitrah Mandiri Sejahtra, Surabaya, Cetakan ke dua , Tahun
2011, , Jilid 2. h. 130
109
menjaga kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup
orang yang hendak dia bunuh.
Secara sepintas qisos adalah sistim hukuman yang
kejam dan sadis, namun jika ditelaah dan dikaji dengan
saksam tanpa ada sipat ego terhadap ajaran Islam maka
penilainnya akan berbeda, mereka pasti mengatakan qisos
adalah suatu sistim hukum yang baik dan perlu diaplikasikan
pada saat sekarang. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme dan
proses yang diterapkan oleh sistim qisos. Dalam sistim qisos
bahwa pelaku pembunuhan tidak langsung dikenakan sanksi
pembunuhan, melainkan hakim harus mengadakan introgasi
terlebih dahulu terhadap tersangka pembunuhan, hal ini
sesuai dengan pengadilan pada umumnya. Disampng itu
dalam qisos terdapat sistim pemaapan dari pihak korban, ini
yang tidak terdapat pada sistim hukum pada umumnya. Jika
pihak korban pembunuhan, dalam hal ini kelurga korban
telah memberikan maap kepada pelaku, maka secara
otomatis hakim pengadilan menetapkan untuk membebaskan
kepada pelaku kejahatan. Disinilah letak kasih sayang yang
sangat tinggi yang harus dimiliki oleh setiap manusia, sikap
sperti ini sesuai dengan firman Allah swt :
ه ر تازغا أداء ئ١ ؼشف ء فاذثاع تا ش أخ١ ػف ف
ح سز ستى ذخف١ف
Artinya: ….Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
110
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat….
Dari penggalan ayat di atas sangat jelas sekali bahwa
qisos adalah sistim yang memberikan kasih sayang terhadap
sesama, bukan sebaliknya. Qisos adalah sistim yang
mengedepankan kehidupan, mengangkat hak asasi manusia
yaitu hak untuk hidup. Dengan demikian berarti qisos telah
mengaplikasikan hak hak asasi manusia secara universal
seperti hak hidup, hak keamanan, hak persamaan, hak
keadilan.
C. Kesimpulan
Islam memiliki ajaran yang komperehensip memuat
semua ajaran termasuk didalamnya hak asasi manusia. Hak
asasi manusia dalam Islam sangat menjaga lima azas yaitu
menjaga agama, jiwa, harta, akal, keturunan Dengan
demikian maka hak asasi manusia dalam Islam terjadi
perbedaan dengan hak asasi manusia menurut pengertian
yang umum dikenal pada saat ini. Dalam Islam seluruh hak
asasi manusia merupakan kewajiban bagi individu atau
kelompok termasuk kewajiban negara. Karenanya negara
memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi hak-hak
warganya.
111
Menurut ajaran Islam, qisos merupakan salah satu
bentuk pemeliharaan dan penjagaan hak asasi manusia,
dengan adanya qisos maka kehidupan sosial akan terlindungi
dan terjamin eksistensinya.
Oleh karena itu menurut hemat penulis, bahwa kaum
muslimin terutama mereka yang mendapatkan kesempatan
untuk menentukan kebijakan alangkah bijaknya jika
mengkaji ulang tentang tatanan hak asasi manusia di
Indonesia. Tidak salahnya jika penguasa mencoba untuk
mengadopsi prinsip hak asasi manussia yang ditawarkan oleh
Islam.
Islam itu ajaran untuk semua ummat. Islam itu ajaran
yang universal dan pleksibel, selalu up to date, karena
berasal dari yang Maha Mengetahui.
Daftar Pustaka
- Al-Qur‟an al-Karim.
- Abul Yazid Abu Zaid al-„Ajami, Penerjemah: H.Faisal Saleh,
Akidah Islam menurut Empat Mazhab, , Penerbit: Pustaka al-
Kautsar, Jakarta, Tahun 1985.
- Al-Qurthubi, Al-Jami‟ liAhkami al-Qur‟an, Penerbit: Dar al-
kutub al „Ilmiyah, Bairut-Libanon, Tahun: 2000, Jilid I,
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟a, al-“zhim, Penerbit:Dar al-Fikr,
Tahun: 1992, Jilid I.
112
- Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam,
Penerbit Pt. Bina Ilmu, Surabaya, Tahun 2011. Jilid I.
- Muhammad Nashiruddi al-Albani, Ringkasan Shohih Muslim,
Penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, Tahun 2007.
- Syafi‟i, Muqorinah al-Mazahib al-„Arba‟ah wa al-Mazhabu al-
Ja‟fari fi al-Hudud wa al-Qisos wa tathbiqu Ahkamuha fi
Indonesia, Penerbit: Qismu Sunni, Aligarh-India, Tahun. 2002.
- Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Jalalain dan
komentarnya, Penerbit PT elba Fitrah Mandiri Sejahtra,
Surabaya, Cetakan ke dua , Tahun 2011, , Jilid 2.
- Van Apeldoors, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit: Pt Pradya
Paramita, Jakarta, cetakan ke duapuluh tiga, Tahun 1986.
113
HUKUM ISLAM VERSUS HUKUM ADAT MASA
PENJAJAHAN DI INDONESIA
Dendi Riswandi
Abstract
Turmoil or clash between customary law and Islamic law
which was deliberately raised by the VOC and the Dutch East
Indies Government was called the politics of sheep fighting in
religious life. Continued with the Japanese occupation period.
But in the historical record the strength of the Islamic movement
is very strong to oppose colonialism. This is evidenced by the
birth of resistance from Muslims and the establishment of
community movement organizations.
This writing is analytical - descriptive with a historical
approach to describe past phenomena. This paper is an attempt
to explain the conditions of Islamic law in the Dutch colonial
phase and the Japanese colonial phase.
Keywords: Islamic law, customary law, the Dutch East Indies
Government and the Japanese government.
A. Pendahuluan
Sebelum datang masa pemerintahan Kolonial Belanda,
masyarakat pribumi telah memiliki ciri khas adat tersendiri.
Persinggungan peradaban terjadi dengan peradaban luar,
salah satunya adalah ajaran Islam. Akibatnya, hukum Islam
telah menyatu dengan budaya atau adat (tradisi) setempat.
Sehingga kedua budaya ini (Islam dan adat) mampu berjalan
bersama sama menjadi aturan yang diyakini oleh masyarakat
pribumi.
114
Proses akulturasi budaya ini dapat dikatakan
“berhasil”, disebabkan karena ajaran Islam senantiasa
menghormati adat setempat saat hadir di manapun berada.
Ajaran Islam tidak bersikap keras yang serta merta
meniadakan budaya lain secara frontal. Demikian juga
akulturasi budaya dan ajaran Islam terjadi di Indonesia,
sebagai contoh di Minangkabau misalnya, ada ungkapan adat
basandi syarak, dan syarak basandi adat.
Keharmonisan budaya adat dan Islam ini mengalami
gangguan dengan adanya politik adu domba pemerintah
Hindia Belanda terhadap keduanya. Sejak VOC hingga
Pemerintah Belanda sengaja membenturkan budaya adat
dengan ajaran Islam. Dalam kebijakan Belanda bahwasannya
hukum adat berbeda dengan hukum Islam. Faktanya,
pemerintahan Hindia Belanda lebih mendukung
pemberlakuan hukum adat daripada hukum Islam. Dukungan
tersebut bukan berarti membela hukum adat demi kebaikan
penduduk pribumi, melainkan digunakan sebagai alat politik
agar melanggengkan kekuasaannya di Indonesia.
Berlanjut ketika Jepang masuk ke Indonesia Pecahnya
perang Pasifik menyebabkan Belanda meninggalkan
Indonesia pada tahun 1942 dan diganti oleh Jepang. Jepang
berusaha merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja
sama dengan mengklaim dirinya sebagai saudara tua rakyat
Indonesia. Upaya itu dilakukan untuk memobilisasi seluruh
115
penduduk dalam rangka mencapai tujuan-tujuan perang
dengan cepat. Kebijakan politiknya itu ditindaklanjuti
dengan mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang
sebelumnya telah dibekukan.
Pertanyaannya adalah bagaimana pergolakan atau
benturan antara hukum adat dengan hukum Islam yang
sengaja dimunculkan oleh VOC dan Pemerintah Hindia
Belanda ini? Dan bagaimana keadaan hukum Islam pada
masa penjajahan Jepang?. Penulisan ini bersifat analisis -
diskriptif dengan pendekatan sejarah untuk menguraikan
fenomena masa lalu. Maka, penulisan ini menjadi sangat
menarik untuk mengungkap apa yang terjadi antara hukum
Islam dan hukum adat pada masa penjajahan.
B. Pembahasan
1. Saat Hukum Islam di antara VOC dan Pemerintah
Hindia Belanda.
Ada dua pendekatan terhadap pemberlakuan
hukum Islam fase penjajahan, yaitu masa VOC dan masa
pemerintahan Hindia Belanda. Pada zaman VOC (1602-
1880), tanggal 25 Mei 1670 hukum Islam terutama
perdata Islam telah mendapatkan legalitas
pemberlakuannya secara positif,93
yaitu adanya resolusi
pemberlakuan kumpulan hukum berisi hukum perkawinan
93
Supomo-Jokosutomo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848 (Jakarta:
1955), hlm 8.
116
dan hukum kewarisan yang dikenal dengan Compendium
Freijer.94
Resolusi ini merupakan peraturan yang pertama
kali terbit yang berisi kompilasi hukum Islam.
Selain Compendium Freijer, tersebar juga
kumpulan-kumpulan hukum yang lain di berbagai daerah,
seperti Cirebon dengan Cirbonsche Rechtboek, Semarang
dengan Koleksi Hukum Jawa Primer Kitab Mukharrar,
dan Makasar dengan Koleksi Hukum Hindia Belanda dari
Hoven van Bone di Goa.95
Toleransi pemberlakuan
hukum Islam pada waktu itu, dikarenakan VOC sedang
disibukan oleh tugas-tugas ekspedisi pengambilan
komoditi pertanian dari negeri jajahan.96
Permulaan abad ke-19 berakhirnya kontrol VOC
(mengalami kebangkrutan) dan kemudian dikuasai oleh
pemerintahan yang langsung oleh pemerintah Kerajaan
Belanda. Dalam proses berikutnya, hukum Islam secara
perlahan dikebiri oleh otoritas pemerintahan. Ini dapat
dilihat pada kebijakan Gubernur Jenderal Daendeles
(1808-1811) yang mengeluarkan suatu ordonansi
(peraturan tentang organisasi pengadilan dan administrasi
peradilan) pada tahun 1808 untuk daerah pantai pesisir
94
Arso Sastroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 11-12. 95
Sajuti Thalib, Reception A Contrario: Hubungan Hukum Adat dan Hukum
Islam. (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 6. 96
C.P.F. Luhulima, Motif-motif Ekspansi Nederland Dalam Abad
Keenambelas (Jakarta: Lembaga Research Kebudayaaan Nasional, 1971), hlm.
32.
117
pantai utara Jawa. Ia menentukan bahwa kepala masjid
(penghulu) harus bertindak hanya sebagai penasehat
dalam suatu pengadilan umum ketika para pihak yang
berperkara adalah orang-orang Islam.
Ketetapan ini dilestarikan dan diberlakukan bukan
hanya di pesisir utara Jawa, tetapi juga kepada seluruh
penduduk pribumi, kecuali Batavia, Semarang, dan
Surabaya. Akibat dari ketetapan ini, penghulu hanya
berfungsi sebagai penasehat saja, tidak bisa sebagai
penentu kebijakan atau pemutus hukum.97
Pasca tahun Napoleonis (konsep Glory, Gold,
Gospel), Pemerintah Hindia Belanda bersikap lebih liberal
terhadap agama-agama non Kristen dari orang pribumi,
namun mereka tetap lebih memihak kepada hukum adat.
Hal ini terefleksikan dalam sikap ketidakpastian Belanda
dalam memperlakukan hukum Islam. Kecenderungan ini
tetap bertahan dalam pikiran mereka hingga akhir abad
ke-19.
2. Saat Hukum Adat di antara VOC dan Pemerintah
Hindia Belanda.
Salah satu kesamaan prinsip penjajahan yang
dipegang oleh VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda
97
Hal ini bisa dilihat dalam pasal 7 dari ordonansi yang menyatakan
bahwa”Pada setiap Pengadilan Umum dari berbagai daerah, penghulu atau
pendeta tinggi harus ada, walaupun ia hanya akan bertindak dalam
kapasitasnya sebagai penasehat dan tidak mempunyai hak memutuskan
perkara.
118
adalah memberikan toleransi terhadap masyarakat dan
institusi pribumi dan berusaha menyatukan mereka demi
agenda penjajahan. Kebijakan inilah yang mendasari
dipertahankannya hukum adat oleh pemerintah Belanda.
Pada masa VOC sebenarnya telah dimulai kajian
hukum adat, tetapi istilah “hukum adat” (adatrecht) baru
pertama kali digunakan pada tahun 1900 oleh Hurgronje,
yang digunakan untuk menunjuk bentuk-bentuk adat yang
mempunyai konsekwensi hukum.98
Perkembangan studi hukum adat selama periode
penjajahan Belanda, dapat dibagi ke dalam tiga periode99
,
Pertama, periode tahun 1602 hingga tahun 1800. Secara
relatif kajian-kajian tentang hukum adat yang dilakukan
pada masa VOC (1602-1800) masih sedikit, kecuali
beberapa karya dari beberapa orang seperti Marooned
(1754-1836), seorang pegawai Kolonial yang banyak
mengumpulkan bahan-bahan tentang adat di Sumatera,
98
Mengenai arti hukum adat, terdapat beberapa definisi yang menunjukan
pemahaman dari para ahli tentang subyek ini. Namun mereka semua tetap
merefleksikan satu ide bahwa hukum adat merupakan hukum yang muncul
sebagai hasil dari pemikiran dan keinginan hukum dalam masyarakat. Karena
hukum adat merupakan suatu sistem hukum, maka ia juga dilengkapi dengan
sanksi untuk mendorong keefektifan hukumnya. Lihat. Hilman Hadikusuma,
Sejarah Hukum Adat Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hlm. 106-
10. Lihat juga. Suwondo Atmodjahnawi, Hukum Adat dan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Surakarta: Universitas Negeri
Sebelas maret, 1981), hlm. 19-25. 99
Muhammad Roy Purwanto, Atmathurida dan Gianto, Hukum Islam Dan
Hukum Adat Masa Kolonial: Sejarah Pergolakan Antara Hukum Islam Dan
Hukum Adat Masa Kolonial Belanda, An-Nur:Jurnal Studi Islam . Vol . 1, No.
2, Februari 2005, Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur‟an.
119
Raffles (1781-1826) Gubernur Jawa Tengah selama masa
kekuasaan Inggris sejak tahun 1811 hingga 1816,
Crawford (1783-1868) yaitu anak buah Raffles, dan
Muntinghe (1773-1827) seorang Belanda yang menjadi
pegawai di Jawa.
Kedua, periode tahun 1800 hingga tahun 1865. Pada
masa ini disebut oleh van Vollenhoven sebagai masa
“eksplorasi Barat” (Wertern reconnoitering). Pada masa
ini tidak dihasilkan banyak karya hukum adat.
Ketiga, periode pasca tahun 1865 hingga masa
kemerdekaan. Pada masa ini, berbagai macam keadaan
mendorong Belanda untuk semakin peduli terhadap
hukum adat. Masalah-masalah hukum agraria, mendorong
pemerintah untuk menginvestigasi hukum ini. Tiga figur
utama penemu hukum adat pada waktu itu adalah G.A
Wilken, Liefrinck, dan Cristian Snouck Hurgronje. Ketiga
orang inilah yang membangun fondasi tentang hukum
adat di Indonesia.
Pada masa sebelum perang kemerdekaan, riset-
riset yang dilakukan oleh Belanda tentang hukum adat
Indonesia didominasi oleh ide-ide yang dikemukakan oleh
C. van Vollenhoven (1874-1933), yang pada waktu itu
menjadi professor di fakultas hukum Universitas Leiden.
Dalam banyak karya ilmiahnya, ia berhasil
membangun fondasi untuk studi hukum adat sebagai suatu
120
madzhab pemikiran hukum yang mandiri. Van
Vollenhoven membagi wilayah kepulauan nusantara
menjadi 19 wilayah hukum adat yang berbeda-beda
berdasarkan pada budaya, bahasa, adat, dan
kebiasaannya.100
Ia mengajukan suatu hipotesis bahwa
batas-batas linguistik dapat disamakan dengan batas-batas
hukum. Dengan argumentasi inilah, ia membagi hukum
adat sebagai kelompok suku hukum ke dalam sembilan
belas area yang masing-masing terdiri dari wilayah-
wilayah hukum yang berlainan dengan dialek hukum yang
berbeda pula.
Beberapa daerah yang hukum adatnya sarat
dengan nilai-nilai Islam antara lain, Aceh, Sumatera Barat,
Minangkabau, Bengkulu, Lampung, Riau, Jambi dan
Palembang. Sehingga akulturasi hukum ini menjadi
ikatan yang sangat kuat di kalangan masyarakatnya.
3. Pembenturan antara Hukum Islam dan Hukum Adat
Masa Penjajahan Belanda.
Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi
Nusantara tergolong hukum yang hidup (living law) dalam
100
Sembilan belas wilayah hukum adat tersebut adalah; Aceh, Gayo dan tanah
Batah serta Nias, Minagkabau dengan kepulauan Mentawai, Sumatera Selatan
dan Engano, Malaya, Bangka dan Belitung, Borneo dan kepulauan Philipina,
Minahasa dengan kepulauan Sangai dan Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi
Selatan, Kepulauan Ternate, Maluku Ambon dan kepulauan NTB, Irian, pulau
Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur srta Madura, dan
Betawi serta Jawa Barat. Lihat. Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum
Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 40.
121
masyarakat. Bukan saja karena hukum Islam merupakan
entitas agama yang dianut, akan tetapi dalam dimensi
amaliahnya di beberapa daerah ia telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari tradisi atau adat masyarakat
yang dianggap sakral.
Dialektika hukum Islam terjadi secara dinamis dan
pasang surut sesuai dengan visi politik hukum penguasa.
Visi politik hukum VOC terhadap hukum Islam tentu
berbeda dengan politik hukum penguasa Hindia Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, hukum Islam
dilawankan dengan hukum adat sebagai “teman dialog
yang kadang dibuat mesra dan kontradiktif”, sedangkan
pada masa pasca kemerdekaan hukum Islam disandingkan
dengan hukum positif. Perbedaan ini tercermin dalam
kebijakan pemberlakuan hukum Islam oleh masing-
masing rezim politik. Teori-teori pemberlakuan hukum
Islam yang telah dicetuskan dan dirumuskan oleh
beberapa pakar pada zamannya bisa memberikan
gambaran mengenai realitas sejarah tersebut secara
mudah.101
Pendapat yang berkembang selama ini mengenai
hukum Islam vis a vis hukum adat pada masa penjajahan
Belanda dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
101
Tentang hukum Islam dan pergolakannya dengan tradisi, bisa dibaca
disalah satu bab buku Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Lihat. Muhammad
Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria, 2004).
122
Pertama, Kelompok yang digawangi oleh B.W Andaya,
A. J. Johns, dan Lodewijk Willem Cristian van den Berg,
yang mengemukakan Teori Receptio in Complexu. Teori
ini berarti bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum
Islam, karena dia telah memeluk agama Islam, sehingga
berhak untuk menjalankan hukum agamanya, walaupun
dalam praktek di lapangan masih terdapat penyimpangan-
penyimpangan dari ajaran yang sebenarnya. Doktrin Islam
telah memainkan peran yang sangat penting dalam
kehidupan kerajaan, seperti Aceh dan Malaka.
Ajaran mistik Islam telah membawa etos Islam ke
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga
melahirkan simbol-simbol dan rasional untuk
terbentuknya sebuah kerajaan yang bersatu dan teratur.
Mereka yang mengikuti pandangan ini berpendapat bahwa
walaupun kekuatan adat lokal telah termanifestasikan
dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga
efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan
beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang hukum
keluarga dan nilai-nilai sosial. Kelompok ini, dengan
demikian menyadari kepentingan yang laten dan pengaruh
yang luas dari kehadiran Islam pada tahun-tahun
dimulainya penjajahan, bahkan menurut mereka hukum
Islam sesungguhnya mempunyai pendukung yang kuat di
beberapa sektor masyarakat Asia Tenggara dan sering kali
123
berhasil menggoyahkan otoritas adat lokal, terutama
dalam hal perkawinan, kewarisan, dan alokasi tanah.102
Para ilmuan Indonesia modern pun mengajukan suatu
klaim bahwa hukum Islam mempunyai pengaruh yang
mendalam dan mengikat dalam kehidupan orang Islam
dan merupakan faktor independen dalam membentuk
norma dan aturan sosial.103
Tampaknya ajaran Van de Berg ini merupakan
kesimpulan dari penelitian-penelitiannya mengenai hukum
Islam di Indonesia. Terbukti, pada tahun 1884 dia telah
mampu menerbitkan bukunya mengenai asas-asas hukum
Islam menurut ajaran Hanafi dan Syafi‟i. Kemudian pada
tahun 1892 ia meluncurkan buku tentang hukum keluarga
dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura dengan
beberapa penyimpangannya dalam praktek. Selain itu, ia
juga sempat menerjemahkan kitab Fath al-Qarib dan
Minhaj al-Talibin ke dalam bahasa Prancis.104
Misi teori
102
Pendapat ini pertama kali dilontarkan oleh Lodewijk Willem Cristian van
den Berg, oleh karenanya ia dijuluki “orang yang pertama kali menemukan
dan menunjukkan berlakunya hukum Islam di Indonesia”. Lihat. Sajuti
Thaalib, Receptio a Contrario, hlm. 5-7. 103
Lihat. Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1982), hlm. 7-10. Juga lihat. Sajuti Thalib, “Receptio in Complexu:
Theori Recepti dan Recepti A contrario”, dalam Panitia Penerbitan Buku
Untuk Memperingati Prof. Dr. Hazairin, Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia in Memorian Prof. Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: University of
Indonesia Press, 1976), hlm. 44-54. 104
Sajuti Thalib, Reception A Contrario: Hubungan Hukum Adat dan Hukum
Islam. (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 4-6.
124
ini kemudian dilegislasikan ke dalam Reglemen op het
beleid der Regering van Indie-Nederlandsch (RR) yang
dimuat dalam Stbl. Belanda 1854: 129 atau Stbl. Hindia
Belanda 1855 Nomor 2.
Kedua, kelompok yang dipelopori oleh G. A.
Wilken dan C. van Vollenhoven, mengatakan bahwa
aturan-aturan adat memunyai akar yang kuat di desa-desa,
semenjak sebelum kehadiran agama-agama impor seperti
Islam, Hindu dan Budha. Menurutnya, ketundukan kepada
agama-agama dari luar ini tidak mampu mengguncang
loyalitas mereka terhadap adat. Sejalan dengan pandangan
ini, mereka juga berpendapat bahwa hukum Islam tidak
pernah diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia dimana
kekuatan hukum adat masih bertahan. Lebih jauh mereka
berpendapat bahwa masuknya Islam sejak periode awal,
antara abad ke-12 hingga abad ke-16, hanya memberikan
pengaruh yang terbatas terhadap peran hukum adat dalam
administrasi peradilan Indonesia. Bagi pengikut kelompok
ini, hukum Islam hanya dipertimbangkan sejauh ia bisa
diterima oleh salah satu sistem yang utama dari adat.
Teori ini lazim disebut teori Receptie.105
105
Teori receptie ini pada akhirnya mempengaruhi dasar pemahaman hukum
umum yang dikembangkan dalam masa periode Republik di Indonesia, yaitu
tahun 1945 dan seterusnya. Lihat. B. ter Haar, Adat Law in Indonesia, terj. E.
Adamson Hoebel dan A. Arthur Schiller (New York: Institut of Pacific
Relations, 1948), hlm. 10-14. Lihat juga. Ratno Lukito, Pergumulan, hlm. 43.
125
Cornelis van Vollenhoven memperjuangkan misi
teorinya agar memperoleh legitimasi yuridis dengan cara
melakukan perubahan pasal 25 dan 109 RR Stbl. 1855
Nomor 2, suatu pasal yang menjadi kekuatan hukum teori
Receptio in Complexu. Dari perjuangannya akhirnya teori
Receptie dikukuhkan dengan pasal 134 ayat 2 IS tahun
1929 (Indische Staatsregeeling).106
106
Kemudian, setelah Indonesia merdeka dan Pancasila serta UUD 1945
ditetapkan sebagai sumber hukum, maka dalam konteks pemberlakuan hukum
Islam muncul berbagai counter theory atas teori-teori masa kolonial. Paling
tidak ada tiga teori yang bisa dicatat, yaitu teori Receptie Exit, teori Receptio a
Contrario dan teori Eksistensi. Ketiga teori tersebut intinya membantah
argumentasi-argumentasi teori terdahulu. Bersamaan dengan itu, teori-teori itu
mengaku dan mempertegas keberadaaan hukum Islam dalam Pancasila dan
UUD 1945. Teori Receptie Exit dikemukakan oleh Hazairin dalam bukunya
Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Ia menyatakan bahwa teori Reseptie harus
exit dari teori dari hukum nasional Indonesia, karena bertentangan dengan
UUD 1945, Al-Quran dan Sunnah Rosul. Lihat. Hazairin, Tujuh Serangkai
tentang Hukum Islam, (Jakarta:Tintamas, 1974),hlm.116.
Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib dengan nama
Receptio a Contrario. Sesuai dengan semangat namanya, ia merupakan
kebalikan dari teori Receptie, yang isinya menyatakan bahwa hukum yang
berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya, artinya hukum adat hanya
berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama. Lihat. Sajuti Thalib,
Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta:
Bina Aksara, 1985), hlm. 58-63.
Ichtijanto SA, mempertegas dan mengeksplisitkan makna Receptio a
Contrario dalam hubungannya dengan hukum nasional. Ia mengartikulasikan
hubungan itu dengan sebuah teori hukum yang disebutnya teori eksistensi.
Teori eksistensi mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam hukum
nasional. Dalam teori eksistensi ini, dinyatakan bahwa Pertama, hukum Islam
ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional. Kedua, hukum
Islam ada dalam arti dengan kemandiriannya dan kekuatan wibawanya, diakui
oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional. Ketiga,
hukum Islam ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional. Keempat, hukum Islam ada dalam arti sebagai
bahan utama dan sumber utama hukum nasional.. Lihat. Ichtijanto,. Op. cit.
hlm. 86-87.
126
Sesungguhnya kolonial Belanda lewat
adatrechtpolitiek; mereka menampilkan suatu ketentuan
untuk menempatkan hukum Islam di bawah sistem hukum
adat. Bukti perbedaan antara kedua sistem hukum begitu
jelas pada waktu itu, sehingga meyakinkan Belanda akan
kemustahilan adanya solusi yang harmonis dalam
hubungan antara keduanya. Dan pada saat muncul konflik
antara kedua sistem hukum ini, kebijakan Belanda secara
sistematis pasti akan memihak kepada hukum adat.107
Dengan latar belakang pemikiran semacam inilah, rezim
Belanda memutuskan untuk menciptakan garis pemisah
antara kedua sistem hukum adat dan hukum Islam.
Asumsi dasar yang dipegangi Belanda adalah bahwa
hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan
diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam
hanya sebuah sistem yang teoritis sifatnya, walaupun
sebagian besar masyarakat secara nominal beragama
Islam.
Faktanya ada beberapa segi terdapat perbedaan
pandangan antara kedua sistem hukum ini, suatu situasi di
107
Hal ini dapat dilihat dalam kasus peperangan antara Kaum Muda (young
generation) dan Kaum Tua ( old generations) dalam perang Paderi selama
paro pertama abad kesembilan belas di Minangkabau. Dalam kasus ini,
Belanda lebih memihak kaum Tua daripada Kaum Muda, yang
memperjuangkan kepentingan Islam. (Muhamad Radjab, Perang Paderi di
Sumatera Barat: 1803-1838 (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian PP
dan K, 1954), hlm. 22-25.
127
mana dalam proses pembuatan keputusan hukum
kemungkinan munculnya konflik merupakan hal yang
wajar. Namun dalam masyarakat Indonesia, hukum adat
dan hukum Islam secara tipikal berjalan berdampingan
dengan lancar sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing,
walaupun kadang-kadang keduanya saling beroposisi.
Beberapa area hukum adat dipandang sebagai bagian dari
hukum Islam, demikian pula dalam proses administrasi
peradilan dalam masyarakat, kompromi yang didasari atas
elemen-elemen dari dua sistem merupakan bentuk solusi
yang paling umum.
Dalam masyarakat di mana hubungan antara
hukum adat dan hukum Islam biasa digambarkan sebagai
bentuk hubungan konflik, senantiasa akan ada usaha untuk
mendemonstrasikan yang sebaliknya melalui dua cara;
pertama, bahwa dalam kehidupan realitas individu
kemungkinan munculnya konflik yang teoritis sifatnya
antara kedua institusi hukum, pada kenyataannya tidak
pernah ada. Kedua, Kedua sistem tidak hanya saling
melengkapi, tetapi pada kenyataannya juga merupakan
bagian dari sistem yang sama, keduanya sama-sama
menemukan akar yang sama, yaitu dari Tuhan dan
Islam.108
108
Di Minangkabau ungkapan yang menggambarkan hubungan yang harmonis
antara hukum adat dan hukum Islam adalah adat basandi syarak, syarak
basandi adat. Ini artinya bahwa adat berdasar pada hukum agama, dan hukum
128
Kecenderungan untuk senantiasa mencapai jalan
rekonsiliasi yang aman antara hukum adat dan hukum
Islam mendorong kepada situasi dalam masyarakat
Indonesia di mana suatu sistem hukum saling
memengaruhi satu sama lain. Pada akhirnya, para
penghulu yang diangkat oleh Belanda dapat melakukan
“terobosan” dengan cara mengakomodasikan kedua
sistem hukum ini. Beberapa bentuk dan ilustrasi adanya
akomodasi dari kedua hukum ini, diantaranya adalah:
taklik talak (ta‟liq al-talaq) dipraktekkan pada setiap
perkawinan, berlakunya khulu‟ bagi seorang istri, dan
berlakunya pencatatan nikah bagi kaum muslim di
Sumatera. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa kedua
hukum ini bisa berjalan bersama menjadi aturan hukum di
masyarakat.
Berdasarkan pada konteks sejarah pergumulan
antara hukum Islam dan hukum adat, maka memunculkan
asumsi bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari konteks
sosial politik, di mana hukum itu diciptakan. Atau dengan
kata lain, munculnya suatu hukum tidak dengan serta
merta tanpa dilatarbelakangi apa-apa, tetapi selalu
agama berdasar pada al-Qur‟an. Kemudian di Aceh ada ungkapan hukm ngon
adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut, yang berarti bahwa hukum Islam dan
adat tidak dapat dipisahkan, seperti halnya zat dan sifat suatu benda. Lihat.
Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera
in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt, ed.,
Culture and Politics in Indonesia (Ithaca and London: Cornell University
Press, 1972), hlm. 190-191.
129
dipengaruhi kondisi sosial politik pada saat itu. Moh.
Mahfud MD dalam bukunya menyatakan bahwa karakter
suatu produk hukum senantiasa dipengaruhi atau
ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Artinya konfigurasi politik tertentu dari suatu kelompok
dominan (penguasa) selalu melahirkan karakter produk
hukum tertentu sesuai dengan visi politiknya.109
Teori ini tampaknya didasarkan pada asumsi
bahwa hukum merupakan produk politik, atau
diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter
hukum akan sangat bergantung pada kekuatan politik
yang melahirkannya. Dependensi hukum atas politik ini
berlaku secara mutlak terhadap semua hukum manusia di
dunia.
Hal ini juga terjadi pada pemberlakuan hukum
Islam vis a vis hukum adat pada masa kolonial. Pada masa
itu, hukum Islam seakan-akan diperlawankan dengan
hukum adat oleh pemerintah Belanda, sehingga muncullah
teori receptie. Lebih dari itu, kebijakan secara umum
selama periode penjajahan nampak bahwa pemerintah
Kolonial Belanda mengekang dan mendistorsi
pemberlakuan hukum Islam. Hukum Islam tidak diberi
tempat pemberlakuan di tengah masyarakat dan
109
Moh. Mahfud MD, “Perkembangan Politik Hukum: Studi Tentang
Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia”,
Disertasi dalam Ilmu Hukum pada UGM, (Yogyakarta: tp, 1993), hlm. 675.
130
dimarginalkan di belakang hukum adat. Belanda lebih
mendukung diberlakukannya hukum adat (pribumi) bagi
warga pribumi (Indonesia) daripada hukum Islam.
Pemarginalan hukum Islam oleh Belanda ini, memang
masuk akal karena adanya semangat orang-orang Islam
untuk mengobarkan peperangan dan perlawanan kepada
pemerintah Belanda. Resistensi kelompok muslim ini,
mendorong semakin bertambahnya ketakutan dalam diri
penjajah sehingga melahirkan konsekwensi lanjutan
kepada pemihakan mereka akan segala bentuk kekuatan
yang merepresentasikan adat lokal di wilayah jajahan.
Pemihakan ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena
para pejabat adat, sebagian besar adalah orang-orang yang
fanatis keislamannya kurang tebal.
Selama masa penjajahan, Belanda seakan-akan
memang membela dan mengunggulkan hukum adat di
atas hukum Islam. Namun apakah pembelaan atas hukum
adat itu murni karena keperluan pembentukan hukum dan
demi kemanfaatan hukum warga pribumi? Ternyata,
pembelaan dan upaya kodifikasi hukum adat oleh
Belanda, bukan semata-mata demi kepentingan
pembentukan hukum, melainkan lebih pada permasalahan
kelanggengan politik dan ekonomi daerah jajahan. Lebih
jauh menurut Daniel S Lev, kebijakan Belanda tentang
hukum adat (adatrechtpolitiek) dikarakteristikan oleh
131
usaha untuk mengisolasikan isu-isu tentang adat dari
kebijakan penjajahan lainnya: seolah-olah adat merupakan
persoalan yang terpisah dari lingkungan penjajahan.
Dalam suasana seperti inilah, hukum adat dengan mudah
dipisahkan dari akar-akar politik dan ekonominya.
Dengan tegas Daniel S Lev mengatakan:
“Secara umum merupakan hukum dari sekitar 90 persen
masyarakat, hukum adat Indonesia, sebagaimana yang
telah dikenal hampir satu abad lamanya, secara
fundamental merupakan kreasi Belanda. Ini bukan berarti
aturan substantif adat seperti waris atau perdagangan
bukan berasal dari Indonesia, tetapi bahwa pemahaman
tentang adat, mitos adat, sebagaimana yang dipahami saat
itu dan hubungan antara adat dan otoritas negara adalah
hasil karya orang Belanda”.110
Tujuan politis yang khusus dari adatrechtpolitiek
Belanda secara jelas terilustrasikan dalam
percampurannya dengan hukum Islam. Pada waktu itu,
van Vollenhoven sendiri mengakui fakta ini, dengan
mengatakan bahwa “penghancuran hukum adat tidak akan
melicinkan jalan bagi kodifikasi hukum kita, akan tetapi
bagi kekisruhan sosial dan Islam”. Dikarenakan
keengganan mengakui pengaruh asing dalam adat dan
karena takut ekspansi Islam, para ahli hukum adat
Belanda telah menghabiskan banyak energi intelektual
untuk membuktikan bahwa Islam hanya mempunyai
110
Lihat. Daniel S Lev, “Colonial law and The Genesis of The Indonesian
State,” hlm. 64.
132
pengaruh yang sedikit terhadap adat. Sementara itu,
institusi-institusi Islam ditekan dan disubordinatkan oleh
teori receptie yang menempatkan kevalidan hukum Islam
hanya sejauh yang telah diterima ke dalam hukum adat.
4. Kebijakan Jepang Terhadap Hukum Islam
Pecahnya perang Pasifik menyebabkan Belanda
meninggalkan Indonesia pada tahun 1942 dan diganti oleh
Jepang. Bangsa Indonesia menyambut kedatangan Jepang
dengan senang hati karena telah mengusir Belanda yang
telah ratusan tahun menguasai Indonesia.111
Jepang
berusaha merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja
sama dengan mengklaim dirinya sebagai saudara tua
rakyat Indonesia. Upaya itu dilakukan untuk memobilisasi
seluruh penduduk dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
perang dengan cepat. Kebijakan politiknya itu
ditindaklanjuti dengan mengakui kembali organisasi-
organisasi Islam yang sebelumnya telah dibekukan.
Bahkan kalangan Islam didorong untuk mendirikan
organisasi-organisasi Islam baru. Alasannya karena:
(1)organisasi para ulama dibutuhkan untuk menarik
dukungan dan bantuan dari penduduk di pedesaan; (2)
formalisasi pengesahan organisasi-organisasi Islam akan
111
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan
Sosial Politik Di Indonesia, ctk. I, (Malang: Banyumedia Publishing, 2005),
hlm. 82
133
lebih memudahkan pengawasan; (3) kegagalan Jepang
mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Indonesia
dengan pengakuannya terhadap fungsi putra dan Jawa
Hokokai; (4) penebusan dosa atas kesalahan Jepang
terhadap kalangan Islam.112
Jepang mula-mula membentuk Shumubu (Kantor
Departemen Agama) di Ibukota Jakarta, Hizbullah,
(semacam unit militer bagi pemuda Islam) dan organisasi
federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).
Terbentuknya organisasi-organisasi ini menghilangkan
kecurigaan Jepang kepada para pemimpin Islam sehingga
para ulama bebas menyebarluaskan hukum Islam ke
berbagai lapisan masyarakat. Kebijakan Jepang terhadap
peradilan agama pun tetap meneruskan kebijakan masa
kolonial Belanda yang diatur dalam peraturan peralihan
Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang (Osamu
Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. Jepang hanya
mengubah nama pengadilan agama pada tingkat pertama
dengan “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi
dengan“kaikyoo kootoohoin”.113
Dengan kebijakan Jepang tersebut di atas,
masyarakat Islam tampak mendapatkan keuntungan.
Namun dibalik itu, sesungguhnya kebijakan Jepang 112
Noer, Deliar. Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, 1987, dalam Ibid;
hlm.83 113
Zaeni A. Noeh dan A. Basit Adnan. 1983. Sejarah Singkat Pengadilan
Agama di Indonesia. Ibid; hlm.86
134
tersebut hanyalah untuk mencari simpati dan dukungan
rakyat Indonesia semata. Hal ini dibuktikan oleh tidak
adanya kebijakan Jepang terhadap peradilan agama selain
kebijakan perubahan nama peradilan agama sedangkan
isinya sama dengan kebijakan sewaktu pemerintahan
Hindia Belanda. Karena itu, kebijakan Jepang tidak
banyak memberikan pengaruh bagi kondisi perkembangan
hukum Islam karena singkatnya waktu Jepang menguasai
Indonesia menyusul kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Meskipun demikian, Jepang tercatat
dalam sejarah modern Indonesia sebagai pemerintah
pertama yang memberi tempat penting kepada golongan
Islam.
C. Kesimpulan
Muncul dan berkembangnya suatu hukum, itu
ditentukan pula oleh penguasa pada saat itu. Ini juga berlaku
pada pemberlakuan hukum adat dan hukum Islam pada masa
Kolonial. Belanda pada saat itu sengaja membenturkan kedua
sistem hukum ini (adatrecht vis a vis Islamrecht) demi
kepentingan politiknya, yaitu kelanggengan di daerah
jajahan.
Upaya pembenturan dua sistem hukum oleh
pemerintah Belanda ini, meski menimbulkan gejolak di
masyarakat, namun pada hakekatnya tetap tidak bisa
memisahkan antara ajaran Islam dengan budaya adat, karena
135
ajaran Islam begitu akomodatif terhadap budaya lain, selagi
tidak bertentangan dengan ajaran substansialnya.
Masa penjajahan Jepang keberpihakan terhadap hukum
Islam hanyalah untuk mencari simpati dan dukungan rakyat
Indonesia semata. Meskipun demikian, Jepang tercatat dalam
sejarah modern Indonesia sebagai pemerintah pertama yang
memberi tempat penting kepada golongan Islam.
Wallahua‟lam bisshawwab.
Daftar Pustaka
Arso Sastroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan
di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
B. ter Haar, Adat Law in Indonesia, terj. E. Adamson Hoebel
dan A. Arthur Schiller (New York: Institut of Pacific
Relations, 1948).
C.P.F. Luhulima, Motif-motif Ekspansi Nederland Dalam Abad
Keenambelas (Jakarta: Lembaga Research Kebudayaaan
Nasional, 1971).
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1982).
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum Islam,
(Jakarta:Tintamas, 1974)
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia (Bandung:
Penerbit Alumni, 1978).
Moh. Mahfud MD, “Perkembangan Politik Hukum: Studi
Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk
Hukum di Indonesia”, Disertasi dalam Ilmu Hukum pada
UGM, (Yogyakarta: tp, 1993)
Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat: 1803-
1838 (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan
K, 1954)
136
Muhammad Roy Purwanto, “Nalar Qur‟ani al-Syâfi‟i dalam
Pembentukan Metodologi Hukum: Telaah Terhadap
konsep Qiyas”, dalam An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 1,
No.1, September 2004.
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan
Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta:
Safiria, 2004).
Noer, Deliar. Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, 1987,
dalam Ibid; hlm.83
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998).
Sajuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia in
Memorian Prof. Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: University of
Indonesia Press, 1976)
Sajuti Thalib, Reception A Contrario: Hubungan Hukum Adat
dan Hukum Islam. (Jakarta: Bina Aksara, 1985).
Supomo-Jokosutomo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848
(Jakarta: 1955).
Suwondo Atmodjahnawi, Hukum Adat dan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Surakarta:
Universitas Negeri Sebelas maret, 1981).
Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World:
West Sumatera in the Early Decades of the Twentieth
Century”, dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in
Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press,
1972).
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah
Kehidupan Sosial Politik Di Indonesia, ctk. I, (Malang:
Banyumedia Publishing, 2005), hlm. 82
Zaeni A. Noeh dan A. Basit Adnan. 1983. Sejarah Singkat Peng
adilan Agama di Indonesia. Ibid; hlm.86
137
MEMBACA ALAM PIKIRAN MASYARAKAT
KAMPUNG DUKUH MELALUI NADOMAN
Ari Sugianto
kuda_jengke@yahoo.co.id
Abstrack
This research aims to uncover the local wisdom of the dukuh
villagers that are well maintained amidst the swift currents of
modernization but have managed to preserve nature and the
harmony of society in simplicity. The dark side of modernization
impacts the destruction of nature due to massive exploitation,
economic inequality constructs individualism and technological
advances turn into disasters for nature and modern humans.
Analytical descriptive research method with data collection
through interviews, and study of documents in the form of
nadoman manuscripts. Using a multidisciplinary approach such
as character education, music theory and Foucault's discourse
theory as a findings analysis tool to get a comprehensive
understanding.
The results of the study show that the hamlet community builds its
culture using religious values, mutual cooperation, and love for
the environment. These values are internalized, socialized and
encultured through various media, one of which is music / song /
nadoman so as to produce a simple, harmonious and compact
lifestyle, and respect and obey ancestral rules against some
restrictions that govern human relations with ancestors, parents
and nature around.
keyword : local wisdom, culture
138
A. Pendahuluan
Pada dasarnya budaya-budaya daerah yang hidup di
Indonesia dibangun oleh tiga dasar yang dominan yaitu, nilai
religius, nilai solidaritas dan nilai estetika (Abdullah, 2006).
Selain tiga hal tersebut, setiap masyarakat juga memiliki rumusan
adat istiadat yang isinya disusun berdasarkan hasil interaksi dan
interpretasi masyarakat setempat sehingga memiliki ciri khas
yang spesifik, maka adat istiadat tersebut sering disebut sebagai
suatu kearifan lokal (Koentjaraningrat, 2002).
Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup
masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif. Kearifan lokal dapat menjadi alat
yang mampu menyikapi masalah keanekaragaman budaya yang
terdapat di suatu kawasan. Nilai-nilai budaya yang mereka
dukung dijadikan pedoman untuk bergaul dengan lingkungan
masyarakat yang beragam. Dengan kearifan lokal, masyarakat di
suatu daerah dapat menjaga lingkungan hidup mereka agar
kelestarian dan kekayaan alam ini tetap terjaga (Akhmar dan
Syarifudin, 2007).
Kampung Dukuh di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet
Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan kampung adat yang
masih mempertahankan nilai nilai budaya dasar yang dimiliki dan
diyakini oleh masyarakat Kampung Dukuh ditengah-tengah
kemajuan peradaban disekitarnya. Pada kehidupan sehari-harinya
139
masyarakat Kampung Dukuh menerapkan pola hidup seperti
yang diwariskan oleh leluhurnya dari generasi ke generasi
sederhana yaitu kesederhanaan jauh dari kemewahan.
Walaupun masyarakat adat Kampung Dukuh sangat
kental memegang tradisi nenek moyangnya, tetapi mereka juga
sangat taat menjalankan syariat agamanya, dalam hal ini ajaran
Islam. Tradisi keislaman mereka sangat kental, fenomena tersebut
tampak ketika datang panggilan salat lima waktu, seperti: Zuhur,
Asar, Magrib, Isya, dan Subuh, para orang tua dan anak-anak
ramai mengikuti salat berjamaah. Setelah salat berjamaah zuhur,
Magrib, dan Subuh, anak-anak langsung mengikuti pengajian
yang dibimbing oleh ustaz dan ustazah setempat. Kemudian
dilaksanakan pengajian rutin kaum ibu setiap hari Selasa dan hari
Jumat sore, sementara pengajian bapak-bapak dilaksanakan
menjelang shalat jum‟at.
Bagi masyarakat kampung Dukuh kondisi tersebut
bukanlah merupakan permasalahan, akan tetapi ini menjadi
masalah tatkala menggunakan sudut pandang masyarakat modern
saat ini. Masyarakt modern Menurut Soerjono Soekanto, Secara
garis besar masyarakat modern memiliki ciri khas antara lain;
bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan
penemuan-penemuan baru. Hal ini sangat kental dengan nuansa
pengetahuan ilmu dan tekonologi, dimana masyarakat modern
memiliki keyakinan tinggi akan manfaat IPTEK terhadap kualitas
140
keberlangsungan kehidupan manusia hari ini dan masa yang akan
datang. Ilmu dan Teknologi menjadi alat dan cara menghadapi
berbagai permasalahn, tantangan dan keterbatasan hidup.
Mansour Fakih berpendapat bahwa masyarakat modern adalah
masyarakat yang sangat perhatian dan menekankan pada sikap
dan nilai-nilai individu serta kemampuan produktifitas sumber
daya manusia (SDM). Oleh karena itu, keterbelakangan
masyarakat (dianggap) bersumber pada faktor-faktor intern
Negara atau masyarakat itu sendiri, terutama dalam bidang
pendidikan. Sedangkan menurut Francis Abraham menjelaskan
bahwa masyarakat modern merupakan hasil evolusi dari
masyarakat tradisional yang mengalami proses perubahan dalam
segala bidang, baik budaya, politik, ekonomi dan sosial, gaya
hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat
berubah. Masyarakat modern juga merupakan suatu tatanan sosial
yang lebih mengedepankan rasionalitas, universalisme,
equalitarianisme, spesialisasi fungsional, dan tidak ketinggalan
juga tingkat pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan
zaman
Melalui pandangan masyarakat modern terhadap realitas
kampung Dukuh bahwa kodisi tersebut bisa dianggap sebagai
sebuah fenomena keterbelakangan. Pelestarian budaya dan
ketaatan terhadap nilai-nilai budaya warisan leluhur akan menjadi
identitas kebodohan bahkan bisa dikatakan implementasi
pembodohan menggunakan dogma. Sistem perekonomian yang
141
terjadi di kampung dukuh tanpa system jual beli dan
menggunakan barter akan dianggap sebagai pemiskinan
masyarakt kampung dukuh dan mematikan kreatifitas.
Kesimpulannya bahwa berdasarkan kacamata modern,
masyarakat adat kampung dukuh akan dipandang sebagai
masyarakat dengan pemikiran terbelakang, miskin, tidak rasional,
mistis dan primitive.
Akan tetapi, kondisi masyarakat modern sekarang telah
mengalami banyak kegagalan. Indikasi yang bisa kita lihat
diantaranya kerusakan alam karena eksploitasi berdalih
kebutuhan dan kesejahteraan. Ketimpangan ekonomi antara yang
kaya dan yang miskin semakin tajam, bahkan mengkontruksi
masyarakat yang condong kearah individualistis. Teknologi
kemudian menjadi bencana, seperti teknologi kendaraan roda
empat yang hari ini menjadi masalah serius seolah menjadi
malapetaka bagi masyarakat modern seperti kelangkaan energy,
kemacetan menjadi pemicu stress, arogansme dan individualisme,
pemicu utama kecelakaan dan predator manusia dijalan raya.
Berdasarkan uraian tersebut, menjadi penting untuk
diteliti mengenai kesuksesan masyarakat adat kampung dukuh
dalam menjaga keseimbangan alam, memelihara hubungan sosial
yang harmonis, serta menjalani kehidupan dengan kesederhanaan
penuh dengan nilai-nilai religious. Tujuan dari penelitian ini tentu
142
saja untuk menggali hal-hal yang penting untuk dijadikan
pembelajaran bagi masayarakat modern.
B. Pembahasan
Begitu luasnya pembahasan mengenai kampung adat
dukuh ini penulis akan focus pada salah satu kenunikan
masyarakat kampung dukuh mengenai nadoman. Nadoman
dikategorikan sastra lisan yang hidup di tengah masyarakat tanpa
diketahui siapa dan kapan ditulis. Ia bersifat anonim. Dalam
sastra lisan ini tidak hanya sastra tapi juga mengandung unsur
seni musik. Pada masyarakat sekarang, nadoman ini kemudian
lebih dikenal sebagai pupujian. Sejumlah nadoman dari masa lalu
masih hidup hingga hari ini, termasuk masyarakat kampung
dukuh yang masih menggunakan nadoman sebagai kontruksi nilai
terhadap masayarakatnya. Mereka masih mempraktikkan pola-
pola tradisi nadoman melalui beragam kegiatan. Diantaranya
adalah kegiatan seperti gotongroyong, tawasul (berdoa), memulai
pengajian anak maupun orang tua (nasihat pembuka serta
penutup), menunggu waktu shalat, serta shalawat khas ala
masyarakat kampung Dukuh. cara membawakan atau lagu yang
digunakan sudah mengadaptasi selera lokal, termasuk
menggunakan lagu-lagu yang tengah populer.
Peneliti akan menggunakan pendekatan pendidikan
karakter yang terletak pada tiga bangunan utama pendidikan
karakter pertama nilai, kedua kontruksi nilai, ketiga perilaku
143
karakter. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan melalui tiga
pertanyaan besar tersebut. Melalui kajian naskah nadoman yang
penulis peroleh dari kampung dukuh, serta melihat nadoman
sebagai bentuk karya sastra dan mengandung musik maka penulis
akan menganalisis menggunakan beberapa pendekatan disiplin
ilmu diantaranya teori mengenai musik. Musik sebagai cerminan
pikiran dan cara hidup orang (Hardjana, 2003:37). Beliau
menjelaskan bahwa alam, bakat pribadi, kesadaran tentang
keindahan, dan pengaruh bentukan lingkungan serta budaya,
ternyata berpengaruh terhadap sikap dan tanggapan orang
terhadap musik. Musik tidak hanya berkaitan dengan rasa
keindahan dan bakat alam saja, tetapi saling berhubungan dengan
kompleksitas budayanya. Hardjana mencontohkan dengan musik
Bali, karena predominasi lingkungan dan budaya yang sangat
kuat, music Bali menunjukkan watak setempatnya yang kuat. Hal
ini menunjukkan bahwa musik lahir bukan hanya karena alasan-
alasan pribadi, tetapi sejarah, alam, dan lingkungan budaya serta
pengalaman pribadi yang mempengaruhi terbentuknya suatu
wacana musik pada seseorang atau masyarakat tertentu.
Selain itu, teori wacana dari Facout akan menjadi
guidelilne pembahasan penelitian ini. Menurut Facout, wacana
adalah segala sesuatu yang dikomunikasikan melaui media
bahasa atau sistem tanda dan mengandung muatan nilai. Setiap
wacana mengandung perihal subjek, dari rumusan wacana dan
operasinya dalam kehidupan masyarakat, maka kemudian
144
muncullah konstruksi identitas. Teori wacana Foucault dalam
artikel ini diperlakukan sebagai cara pandang dalam melihat
wacana yang terkandung didalam teks lirik nadoman. Tidak
hanya terhadap teks nadoman, penulis juga mencari data
pendukung melalui pernyataan hasil wawancara yang penulis
yakini mengandung wacana terkait masalah di atas.
Adapun rumusan masalah pada makalah ini sebagai
berikut;
1. Nilai karakter apa yang terkandung dalam naskah
nadoman kampung dukuh?
2. Bagaimana kontruksi nilai tersebut dibangun?
3. Bagaimana perilaku berkarakter masyarakat kampung
dukuh?
Diskusi dan Pembahasan
Berikut salah satu bait dan lirik nadoman yang sering
dikumandangkan atau dinyanyikan oleh masyarakat kampung
dukuh;
Lirik asli Terjemahan
Hirup di dunia ukur ngumbara
Harta jeung anak fitnah nu nyata
Kuatkeun iman tingkatkeun takwa
Pasti salamet di ahir mangsa
Hidup didunia hanya Petualangan sebentar
Harta dan Anak Fitnah nyata dunia
Kuatkan iman dan tingkatkan taqwa
Pasti selamat di hari kiamat
145
Berdasarkan pada naskah lirik nadoman di atas mengandung
beberapa pernyataan-pernyataan yang kemudian membentuk
sebuah wacana dan mengkontruksi subjek. Salah satu lirik
nadoman berisi tentang :
a. Pernyataan cara hidup dan panganan keduniaan
Pernyatan mengenai kehidupan dunia dianggap sebagai
“ngumbara”, dalam bahasa Indonesia sama dengan kata
mengembara. Menurut kamus bahasa Indonesia artinya adalah
pergi ke mana-mana tanpa tempat tinggal tertentu, kemudia
dicontohkan penggunaan kata tersebut melalui sebuah kalimat
“setelah beberapa lama mengembara di dunia Barat, kini ia
kembali ke Indonesia. Hal tersbut menjelaskan bahwa
mengembara adalah kegiatan bepergian dari tempat asal ke
tempat tertentu bukan untuk bermukim dan tinggal akan tetapi
kelak akan kembali ketempat asal. Dalam bahasa Arab
mengembara diistilahkan dengan siyahah. Menurut tinjauan
bahasa siyahah bermakna mengadakan perjalanan di muka bumi
(at Tahrir wat Tanwir karya Ibnu Asyur 6/106). Di kitab Lisan al
Arab disebutkan bahwa makna siyahah adalah “meninggalkan
tempat kediaman untuk bepergian di muka bumi”. Sementara
menurut Ibnu katsir dalam tafsir surat Attaubah ayat 112
146
menjelaskan makna siyahah adalah orang yang berpuasa dan
meninggalkan kelezatan.
Keyakinan masyarakat kampong dukuh mengenai cara
hidup “ngumbara” di dunia, penulis temukan kembali pada lirik
nadoman yang lain sebagai berkut;
Lirik asli Terjemahan
Didunya urang ngumbara
Hirup moal saheubeulna
Akherat mah salawasna
Teu aya etanganna
Didunia kita mengembara
Hidup tidak akan selamanya
(abadi)
Akhiratlah yang selamnya
Tiada hitungannya
Lirik tersebut memiliki pernyataan yang sama mengenai
kehidupan dunia sebagai sebuah pengembaraan. Kelak suatu hari
akan kembali ke tempat asal yang direpresentasikan melalui
pernyataan lirik “akherat mah salawasna”. Pernyataan tersebut
menggambarkan perbandingan atau pertentangan dengan
pernyataan sebelumnya, bahwa lebih baik menuju atau mencari
kehidupan akhirat yang kekal selama-lamanya.
Pandangan masyarakat kampong dukuh mengenai hidup
didunia bukanlah kehidupan yang sesungguhnya (ngumbara),
selama hidup akan dicoba atau diuji tertuang dalam pernyataan
147
dan wacana mengenai status atau kedudukan anak dan harta.
Lirik nadoman tersebut memposisikan anak dan harta serta
keluarga sebagai fitnah nyata. Beberapa makna fitnah menurut
Sa'id Abu Ukkasyah diataranya; cobaan dan ujian, memalingkan
dari jalan kebenaran dan menolaknya, syirik dan kekufuran,
terjatuh di dalam kemaksiatan dan kemunafikan, samarnya antara
kebenaran dengan kebatilan, penyesatan.
Uraian tersebut menurut peneliti menggambarkan alam
pikiran masayarakt kampung dukuh sekaligus menjadi jawaban
mengapa mereka begitu sederhana. Warga Kampung Adat Dukuh
di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa
Barat, berpandangan hidup mirip pola sufisme. Sehingga landasan
budaya tersebut, tidak hanya berpengaruh pada bentukan fisik
pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya akan tepapi pada
orientasi hidup yaitu jauh dari gemerlap kemewahan (Zuhud),
dan modernisasi. Mereka menolak kehadiran teknologi modern,
karena khawatir selain akan merusak tatanan adat istiadat
masyarakat Kampung Dukuh juga bertentangan dengan cara
pendang mereka terhadap kehidupan dunia, memupuk
kesombongan, mendekatkan pada riya. Wacana tersebut
dikuatkan sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua adat
sebagai berikut ;
“Bila barang-barang modern itu masuk ke
Kampung Dukuh kemudian warga Dukuh memiliki
148
barang-barang tersebut, maka masyarakat akan
terkesan merasa mewah. Dengan perasaan mewah
itu mereka akan menjadi sombong, sedangkan
sombong dan pamer dilarang oleh para leluhur.
Kalau itu terjadi maka tinggal menunggu waktu
malapetaka akan menimpa masyarakat Dukuh,
seperti yang pernah terjadi kebakaran di kampung
ini gara-gara ada warga yang membawa barang-
barang tadi”(wawancara dengan Ketua Adat).
Selain Zuhud, penekanan orientasi hidup yang dimiliki
oleh masyarakat kampung dukuh adalah tentang persiapan
menghadapi kematian. Banyak sekali wacana mengenai hal-hal
tersebut ditemukan pada lirik nadoman yang ada pada masyarakat
kampong dukuh. Beberapa lirik tersebut sebagai berikut :
Lirik asli Terjemahan
Lobakeun pisan mieling pati
Sabab ieu the datangna pasti
Nyawa dipundut robbul ijati
Mangkade hirup sing ati-ati
Datangna ajal diri sumerah
Nyawa jeung jasad tuluy papisah
Anak kulawarga karumpul kabeh
Tuluy badan dibungkus ku boeh
Perbanyak mengingat mati
Sebab ini datangnnya pasti
Nyawa di cabut oleh Allah
Maka hiduplah dengan hati-hati
Datangnya ajal diri hanya pasrah
Nyawa terpisa dari jasad
Anak kerbat kemudian berkumpul
Kemudian jenazah dibungkus kafan
149
Nu nganteur janasah tilu perkara
Amal jeung harta, anak kulawarga
Harta anak bakal baralik deui
Amal mimilu nu jadi saksi
Yang mengantar jenzah hanya tiga hal
Amal dengan harta, anak keluarga
Harta dan anak keluarga kembali ke rumah
Amal yang ikut ke kubur menjadi saksi
Eling-eling dulur kabeh
Ibadah ulah taboleh
Beurang peuting ulah weleh
Sateuacan urang paeh
Sabab urang bakal pati
Nyawa dipundut kugusti
Mangka kudu ati-ati
Kana ibadah sing ngarti
Kaduhung kaliwat langkung
Henteu nyembah ka hyang agung
Sakarat nyeri kalangkung
Urang teu meunang embung
Eligkeun sadaya dulur
Ieu the kadar pitutur
Ibadah ulah diundur
Sateuacan balik ka kubur
Sadarlah wahai saudara
Ibadah janga lengah
Siang malam upayakan
Sebelum kita mati
Sebab kita pasti mati
Nyawa dicabut Tuhan
Makanya berhati-hatilah
Beribadahlah dengan faham
Terlambat untuk menyesal
Tidak ibadah pada tuhan
Sekarat itu menyakitkan
Tidak bisa kita tawar
Sadarkan semua saudara
Ini adalah pesan penuntun
Ibadah jangan diundur
Sebelum kembali ke kubur
150
b. Adab dengan orang tua dan leluhur
Masyarakat kampong dukuh mempunyai beberapa
penekanan sikap seorang anak berinteraksi kepada kedua orang
tua. Ada dua belas etika yang diajarkan berdasarkan nadoman
berikut:
Lirik asli Terjemahan
Ari sopan santun kaibu ramana
Duabelas rupi akhlak sadayana
Hiji ngupingkeun kana cariosanna
Ulah pisan baha kaibu ramana
Kadua kedah nurut parentahna
Ulah pisan liwar henteu ngupingkeunna
Katiluna kedah pisan banget hormat
Sangkan urang bagja dunia akherat
Opat ulah mapah dipayuneunna
Karna hante hormat kaduaanna
Lima ulah narikeun sora tibatan
Kana sora ibu rama ngaliwatan
Genep kedah ngawaleran panyelukna
Kalawan jawaban anu pangsaena
Tujuh ulah ngabangkit ngarungsingan
Pedah ka ibu rama tos nyenang-nyenang
Tentang sopan dan santun kepada
Dua belas macam akhlak kesemuanya
Pertama mendengarkan terhadap perkataan
Jangan sampai melawan kepada ayah ibu
Kedua taat perintahnya
Jangan membangkan dan mengabaikan
Ketiga mesti hormat
Supaya hidup bahagia dunia akhirat
Keempat jangan berjalan didepan mereka
Karena menunjukkan kurang hormat
Kelima jangan mengeraskan suara
Melebihi suara kedua oran tua
Keenam harus menjawab panggilannya
Menggunakan kata kata terbaik
Ketujuh jangan memancing amarahnya
Mentang-mentang sudah berbuat baik
151
Balik sakumaha kumawulaoge
Kedah ngaraoskeun lalawora bae
Kadalapan keudah kacida hoyongna
Kana kengeng karidhoan duanana
Margi ridho Aloha nu maha agung
Karna riho ibu ramana tergantung
Najan sakumaha thoat kapangeran
Nanging ka ibu rama teu ngahargaan
Maka gusti allah teu ridho ka anjeuna
Ditutur dina hadisna kaunggelkeun
Kasalapan kedah ngarendahkeun diri
Ulah luhur sumawona nganyeyeri
Kasapuluh ulah wanton molototan
Rujap-rijep maen mata ngaheureuyan
Kasabelas kedah pisan bear budi
Dipayuneun ibu rama pribadi
Najan ibu rama kurawed haseum
Anakmah keudah bae bageur sing kalem
Duabelas ulah wanton nyanyabaan
Anging pamit heula nyuhunkeun widian
Mengupayakan pulang untuk melayani mereka
Harus merasa khawatir terhadap mereka
Kedelapan harus menginginkan
Terhadap keridoan kedua orang tua
Karena ridho Alloh yang maha agung
Tergantung keridhoan kedua orang tua
Betapapun kalian taat kepada Allah
Akan tetapi tidak taat kepada keduanya
Maka allah tidak akan pernah ridho
Berdasarkan hadis yang disampaikan nabi
Kesembilan harus merendah
Jangan tinggi hati bahkan menyakiti mereka
Kesepuluh jangan menatap dengan melotot
Kedap-kedip mata bersahabat bercandalah
Kesebelas harus banyak pemakluman
Dihadapan ibu dan ayah sendiri
Meskipun mereka murung
Seorang anak harus baik dan tenang
Kedua belas jangan pernah bepergian
Tanpa pamit kepada keduanya mendapat izin
Pernyataan-pernyataan pada nadoman di atas megajarkan
mengenai akhlak terbaik anak terhadap kedua orang tua. Lirik
tersebut memiliki wacana mengenai;
152
1) Etika ketika berhadapan dengan orang tua baik
sebagai pendengar atau orang yang berbicara meliputi
sikap ketika mendengar, mimik muka ketika
menyampaikan pendapat, serta intonasi nada yang
tidak boleh lebih tinggi dari kedua orang tua
2) Perasaan hormat terhadap orang tua harus ditunjukkan
melalui pemakmluman terhadap orang tua ketika
mereka sedang marah, sedih. Meminta izin dan ridho
sebelum seorang anak berbuat sesuatu, bahkan ketika
sudah berpisah rumah seorang anak harus memerlukan
mengurusi kedua orang tua betapa sibuk atau jauh,
tidak boleh seorang anak tidak memberikan kabar
kepada kedua orang tua.
Etika dan bentuk penghormatan seperti itu ternyata tidak
hanya kepada orang tua yang masih hidup, akan tetapi diterapkan
pula kepada orang tua atau leluhur yang sudah meninggal. Hal
tersebut nampak pada sikap dan tatacara ketika duduk dan tidur,
menjadi terlarang bagi masyrakat atau pengunjung duduk
berselonjor kaki ke arah makam leluhur mereka termasuk posisi
saat tidur sekalipun tidak boleh kaki mengarah ke utara atau arah
makam sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang
sudah meninggal.
153
c. Pendekatan nilai karakter
1.) Nilai inti
Menurut Suyanto, pendidikan karakter adalah sebagai
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, maupun negara. Sementara menurut
Lickona adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu
seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai-nilai etika yang inti. Berdasarkan kedua
pengertian tersebut penulis menyimpulkan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya menyadarkan manusia untuk berperilaku
dalam keseharian dimanapun dia berada sesuai dengan ukuran
ukuran kebaikan atau hal positif yang universal (nilai inti).
Berdasarkan analisis terhadap lirik nadoman, penulis
menyimpulkan bahwa warga kampung dukuh memiliki nilai inti
yang dikembangkan dan diimplementasikan untuk membentuk
karakter masyarakatnya yaitu memiliki karakter pertama adalah
nilai religius yang diturunkan menjadi dua point; kesederhanaan
hidup (Zuhud), dan orientasi pada persiapan menghadapi
kehidupan setelah mati. Kedua nilai tanggung jawab yang
diturunkan menjadi tanggung jawab anak terhadap orang tua.
Penulis berpendapat bahwa sumber yang menjadi chore ethical
value berasal dari ajaran Islam yang diajarkan oleh pendiri
kampung Dukuh bernama Syekh Abdul Jalil, salah satu ajaran
154
Islam yang dimaksud misalnya sebuah hadist Dari Ibnu Umar
radhiallahuanhuma berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam memegang kedua pundak saya seraya bersabda:
“Hiduplah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau
pengembara“, Ibnu Umar berkata: “Jika kamu berada di sore hari
jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan
tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat)
sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu.” (Riwayat
Bukhari).
Imam Abul Hasan Ali bin Khalaf dalam syarah Bukhari
berkata bahwa Abu Zinad berkata : “Hadits ini bermakna
menganjurkan agar sedikit bergaul dan sedikit berkumpul dengan
banyak orang serta bersikap zuhud kepada dunia”. Abul Hasan
berkata : “Maksud dari Hadits ini ialah orang asing biasanya
sedikit berkumpul dengan orang lain sehingga dia terasing dari
mereka, karena hampir-hampir dia hanya berkumpul dan bergaul
dengan orang ini saja. Ia menjadi orang yang merasa lemah dan
takut. Begitu pula seorang pengembara, ia hanya mau melakukan
perjalanan sebatas kekuatannya. Dia hanya membawa beban yang
ringan agar dia tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya.
Dia hanya membawa bekal dan kendaraan sebatas untuk
mencapai tujuannya.” Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud
terhadap dunia dimaksudkan untuk dapat sampai kepada tujuan
dan mencegah kegagalan, seperti halnya seorang pengembara
yang hanya membawa bekal sekadarnya agar sampai ke tempat
155
yang dituju. Demikian halnya masyarakat kampung Dukuh,
dengan segala bentuk kebudayaannya mengnadung nilai-nilai
tersebut.
2.) konstruksi nilai karakter
Kontruksi pendidikan karakter berarti berkenaan dengan
berbagai upaya menanamkan nilai inti. Menurut Aan Hasanah
kontruksi pendidikan karakter dilakukan melalui proses
sosialisasi, internalisasi dan enkulturisasi. Nadoman beserta
liriknya menjadi media sosialisasi, internalisai dan enkulturisasi
nilai-nilai karakter yang hendak dibangun oleh masyarakat
kampung Dukuh. Nadoman sebagaimana dibahas pada bagian
sebelumnya memiliki dimensi musik karena memiliki irama dan
lirik yang harmonis. Nadoman menjadi aktifitas keseharian
masyarakat kampung dukuh dan mewarnai berbagai macam
aktifitas sehari-hari.
Musik dapat mempengaruhi alam pikiran, sikap, dan
perilaku, sebaliknya alam pikiran mampu terpresentasikan dalam
musik. Mekanisme yang dibangun oleh musik merupakan simbol
serta bahasa gambar yang memiliki suatu teknik penyampaian
informasi melalui ekspresi penggambaran peran, karakterisasi
tokoh hingga pembentukan pesan-pesan tertentu dibalik dari
sebuah bentuk visualisasi yang digambarkan dari suatu
kenyataan. Hingga akhirnya mampu memberikan perubahan
kepada khalayak pendengar atau pelantun baik bersifat positif
156
maupun negative. Kemudian symbol dan pesat tersebut tertanam
menjadi bagian dari pengalaman hidup mereka, sehingga
memiliki kecenderungan mendorong khalayak untuk
mempresentasikan, dan mempertahankan makna musik tersebut.
Sebagaimana pendapat Hodges menyatakan bahwa tidak
dipungkiri lagi, musik memegang peranan penting pada
perkembangan manusia khususnya remaja. Musik bukan sekedar
pengisi waktu luang, tetapi sebagai kekuatan sosial yang
mempengaruhi cara mereka berbicara, berpakaian, bertingkah
laku serta berpikir.
3.) Perilaku berkarakter
Bentuk nyata dari perilaku berkarakter masyarakat
kampung dukuh diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Bentuk rumah yang sederhana dengan model yang hamper
seragam diyakini dapat menghindarkan masyarkat Kampung
Dukuh Dalam dari sifat iri, dengki, dan riya‟. Kesederhanaan
memunculkan rasa sekelas, tidak ada persaingan dalam hal
duniawi, dan strata sosial. Implikasi nyata yang dirasakan oleh
warga Kampung Dukuh Dalam dengan memiliki rumah
sederhana adalah rasa damai dan tenang karena terbebas dari
keinginan duniawi. Karena prinsip ini pula, seluruh warga
Kampung Dukuh Dalam tidak menggunakan listrik. Penolakan
terhadap listrik ini bukan didasarkan alasan keterbatasan ekonomi
warga, namun untuk tujuan menghindari efek dari akses terhadap
157
listrik yang dapat mengganggu kualitas ibadah warga. Nafsu
terhadap barang-barang mewah bisa jadi sulit dibendung ketika
akses listrik mudah diperoleh, seperti keinginan memiliki barang
elektronik kulkas, microwive, mesin cuci, televisi, radio atau tape
sehingga mendengarkan atau menonton sajian yang tidak penting.
Gotong royong dan saling menolong terjalin dangat kuat
diatara para warga dalam berbagai kegiatan terlihat masyarakat
kampung dukuh begitu guyub. Bahkan memperlakukan tamu atau
pengunjung yang hadir, mereka bergotong royong melakukan
ritual budaya “nagahaturan tuang” adalah kegiatan memberikan
sebagian bahan makanan mentah dengan maksud dan tujuan
tertentu dan diberi doa serta memohon berkah dari Syekh Abdul
Jalil. Hal ini dilakukan oleh kuncen sendiri, setelah diberi doa
makanan tersebut dimasak dirumah kuncen oleh istri kuncen serta
para warga yang berada di rumah kuncen dengan catatan tidak
boleh dalam keadaan haid harus bersih dari hadast besar dan kecil
serta tidak boleh melangkahinya. Selanjutnya makanan yang telah
dimasak dan di doakan tersebut dibawa ke bumi alit dan setelah
itu diperuntukan untuk para tamu dan sebagian dibagikan kepada
warga Dukuh secara keseluruhan.
Perilaku beribada khususnya kaum laki-laki Dalam set iap
pelaksanaan shalat wajib berjama‟ah yang dilakukan di mesjid
terutama masjid yang berada di Dukuh dalam, kuncen selalu
bertindak sebagai imam maupun khotib. Masyarakat dukuh selalu
158
berusaha melaksanakan ibadah sholat wajib secara berjama‟ah.
Mereka percaya bahwa ibadah yang dilakukan secara bersama-
sama mempunyai manfaat yang sangat banyak. Selain mendapat
pahala yang berlipat ganda juga dapat saling bertukar informasi
di mesjid tentang hal apapun yang terjadi sehingga dapat
mempererat tali silaturahmi antara satu dengan yang lainnya.
Masjid selalu ramai diwaktu shalat karena semua pekerjaan
warga ditinggalkan sesaat untuk melaksanakan kewajiban
tersebut. Untuk kaum perempuannya, mereka melaksanakan
ibadah sholat wajib di rumah masing- masing. Bersebelahan
dengan sebuah madrasah tempat dimana setiap pagi, sore dan
malam selalu dipenuhi oleh anak- anak dari masyarakat Kampung
Adat Dukuh yang belajar ilmu agama, orang disana menyebutnya
dengan ngaos.
Beberapa aktivitas di atas berjalan secara kontinyu.
Konidisi tresebut dipilih dan dijalani masyarakat kampung dukuh
dengan sukarela, tanpa paksaan dari siapapun, sebaliknya mereka
akan menolak ketika diajak atau dianjurkan untuk merubah
pilihan sikap mereka. Aktivitas sehari-hari mereka menjadi
identitas moral warga kampung dukuh yang sejauh ini dianggap
efektif menjaga perilaku masyarakatnya untuk tetap menjadi
pribadi yang religious, kompak, dan berhasil menjaga
kelestarikan alam.
159
C. Kesimpulan
Warga Kampung Adat Dukuh di Desa Cijambe
Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa Barat, berpandangan
hidup mirip pola sufisme. Sehingga landasan budaya tersebut,
tidak hanya berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat
istiadat masyarakatnya akan tepapi pada orientasi hidup yaitu
jauh dari gemerlap kemewahan (Zuhud), dan modernisasi.
Mereka menolak kehadiran teknologi modern, karena khawatir
selain akan merusak tatanan adat istiadat masyarakat Kampung
Dukuh juga bertentangan dengan cara pendang mereka terhadap
kehidupan dunia, memupuk kesombongan, mendekatkan pada
riya.
Nadoman menjadi media sosialisasi, internalisai dan
enkulturisasi nilai-nilai karakter yang hendak dibangun oleh
masyarakat kampung Dukuh. Nadoman menjadi aktifitas
keseharian masyarakat kampung dukuh dan mewarnai berbagai
macam aktifitas sehari-hari untuk memulai, mengisi, dan
mengakhiri aktivitas ritual adat maupun ritual ibadah.
160
Daftar Pustaka
Adimihardja.dkk. 1987. Laporan Penelitian Tahap II Pandangan
Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi
Lisan Dan Sastra Sunda. Depdikbud. Bandung.
Ardianto, E. (2006, 11). Filsafat Kearifan Lokal Etnik Sunda dan
Barat. Fikom Upad, p. 7.
D.F, I. M. (2013). Realitas Pemenuhan Hak-hak Sipil Masyarakat
Adat Kampung Dukuh. Peneliti Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementrian Agama RI (pp. 179-192). Jakarta:
Litbang Kemenag RI.
Gunara, S. (2009, 02 19). Wordpress.com. Retrieved 05 1, 2016,
from http://dikmusik.wordpress.com/manfaat-musik-
untuk-pendidikan-anak
Hamzah, A. (2010). Hubungan Antara Preferensi Musik dengan
Risk Taking Behavior Remaja. Jakarta: UIN SYARIF
HIDAYATULLAH.
Heryana, D. (2015). Upacara Hajat Sasih Masyarakat Adat.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hidayatullah, P. (2016). Mengkaji Lagu Ta' Andi' Rokok (Cia-
Cia). Kajian Seni UGM, 178-194.
Kahmad, H. 2008. Agama Islam Dalam Perkembangan Rakyat
Sunda.
161
(http://www.w3.org/Agama_Islam_Dalam_Perkembangan
_Budaya_Sunda.htm) Diakses tanggal 19 April 2017.
Kurniawan, Idham. 2001. Pelaksanaan Adat Istiadat pada
Masyarakat Kampung Dukuh. Skripsi. Jatinangor :
Jurusan Antropologi FISIP Unpad. Tidak Dipublikasikan.
Wignjosubroto, S. 1999. Komunitas Lokal Versus Negara
Bangsa: Perbedaan Persepsi dan Konsepsi tentang
Makna Lingkungan. Background Paper dalam diskusi
RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jakarta
:FKKM.
Yulia Estmirar Tanjov. (2011). Kampung Dukuh dan Adat
Istiadatnya Sebagai Daya Tarik Wisata. Sumedang:
UNPAD.
162
PERKAWINAN BEDA AGAMA
MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN
DI INDONESIA
Siti Ropiah
Abstract
In general, the marriage of religious differences has the
potential to create legal problems for both married couples
themselves and outsiders / thirds including inheritance rights of
children born from different religious marriages. Issues that can
arise if a religious marriage is held, among others; Marital
validity, marriage recording and child status.
Keyword : Mixed Marriage, Marriage Different Religion,
Marriage Ban
A. Pendahuluan
Perkawinan berbeda agama merupakan masalah yang
sangat sulit untuk dipecahkan tanpa penyelesaian dan
penjelasan yang tuntas di negara kita tercinta. Banyak pencari
keadilan yang kandas dalam menuntut hak mereka supaya
dilegalkan. Seperti baru-baru ini Mahasiswa UI meminta uji
materi terkait legalisasi perkawinan berbeda agama ke
Mahkamah Konstitusi. Dia berpendapat bahwa ada potensi
hak konstitusionalnya dirugikan.
163
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian dan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan
ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan
perkawinan termasuk perkawinan antar agama.114
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini
diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agama dan kepercayaan.
B. Pembahasan
Peraturan peraturan yang terkait perkawinan beda
agama di Indonesia sebagai berikut :
a. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
b. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
114
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-
undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-
1, 16.
164
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 24
Tahun 2013 (“UU Adminduk”)
Perkawinan beda agama di Indonesia, sebelum
lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan sebutan
“Perkawinan Campur”, sebagaimana diatur pertama kali
dalam Regeling op de gemengde Huwelijken, Staatblad
1898 No. 158, yang merupakan Peraturan Perkawinan
Campur/PPC). Dalam PPC tersebut terdapat beberapa
ketentuan tentang perkawinan campur (perkawinan beda
agama); Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-
orang yang di Hindia Belanda tunduk kepada hukum yang
berbeda, disebut Perkawinan Campur. Pasal 6 ayat (1):
Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin
yang selalu disyaratkan. Pasal 7 ayat (2): perbedaan agama,
golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan
halangan pelangsungan perkawinan.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka
semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku
lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.
165
Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur
dalam UU No. 1/1974. Undang undang nomor 1 tahun 1974
pasal 57 menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada
perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga
negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga
negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang
berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak
termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran
menurut undang-undang ini. Kawin beda agama
(perkawinan campuran) adalah perkawinan antara dua
orang, pria dan wanita, yang tunduk pada hukum yang
berlainan karena beda agama.115
Perkawinan beda agama
terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita yang
berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing
115
Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam dan Peradilan
Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 55
166
misalnya seorang pria beragama Islam dan seorang wanita
beragama Kristen atau sebaliknya.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan
oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU
No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada
pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan
baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya. Sudhar Indopa menyatakan bahwa
sesungguhnya bukan negara yang melarang adanya
perkawinan beda agama, namun hukum agama. "Negara
bukannya tidak mau mengakomodir perkawinan beda
agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara
melainkan dari hukum agama. Sepanjang tidak ada
pengesahan agama, adalah tidak mungkin Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat sebuah
perkawinan."116
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 ditegaskan bahwa dengan perumusan Pasal 2 ayat 1,
maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
116 Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan
Pemecahannya, (Jakarta: FH UI, 2006), 5.
167
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal
tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan
menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang
oleh agama berarti dilarang juga oleh Undang-Undang
perkawinan. Selaras dengan itu, Hazairin menafsirkan
Pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang
Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka
yang beragama Kristen, Hindu, Budha.117
Ketegasan
larangan ini jelas menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan suatu perikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adanya ketentuan dalam pasal 2 (1), Bahwa sahnya
perkawinan apabila dilakukan oleh masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu dan dalam Penjelasan
atas pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya,
jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan bukan
perkawinan.118
117 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, (Jakarta: Tintamas, Jakarta), 1986, 2 118
EOH, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. ke-1, 117
168
Jarwo Yunu 119
mengatakan bahwa ada dua cara
dalam menyikapi perkawinan beda agama yaitu :
1) Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama,
namun ini dapat berarti penyelndupan hukum, karena
sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati
secara hukum ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah
perkawinan berlangsung, masing-masing pihak
kembali memeluk agamnya masing-masing. Cara ini
sangat tidak disarankan.
2) Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1400.K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil diperkenankan
untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus
ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan
oleh Ani Vonny Gani P (Perempuan Islam) dengan
Petrus Hendrik Nelwan (Laki-laki Kristen). Dalam
putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa
dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor
Catatan Sipil, maka Vonny telah tidak menghiraukan
peraturan agam Islam tentang perkawinan dan
karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan
agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut
agama Islam. Dengan demikian mereka berstatus tidak
119
Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV. Insani, 2005), 11.
169
beragama Islam, maka Kantor Catatan Sipil harus
melangsungkan perkawinan tersebut.
Dengan demikian, perkawinan tersebut tidak
dilaksanakan secara Islam dengan lembaga
perkawinannya adalah Kantor Catatan Sipil. Sebagai
dasar hukumnya adalah yurisprudensi putusan Mahkamah
Agung Reg No 1400 K/Pdt/1986 yang mengabulkan
permohonan antara kedua mempelai yang berbeda agama
Islam dan Kristen.
Isi keputusan Mahkamah Agung itu antara lain
memerintahkan pegawai pada Kantor Catatan Sipil DKI
Jakarta supaya melangsungkan perkawinan setelah
dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-
Undang. Sebagai pertimbangan, dalam putusan tersebut
antara lain disebutkan, bahwa dengan diajukan
permohoan melangsungkan perkawinan kepada Kepala
Kantor Catatan Sipil, harus ditafsirkan bahwa pemohon
ingin melangsungkan perkawinan tidak secara Islam.
Dengan demikian harus ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan itu pemohon sudah tidak lagi
menghiraukan status agamanya. Dalam keadaan demikian
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang melangsungkan perkawinan bagi kedua calon
suami-istri non-Muslim, wajib menerima pemohon.
170
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar
agama dapat dilakukan dengan cara melakukan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut
di luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan di
luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda
agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun
surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun secara tegas Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan hanya mengatur pencatatan
perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara
bukan materi hukum. Perkawinan yang dilangsungkan di
luar negeri oleh pasangan Warga Negara Indonesia beda
agama tetap merupakan perbuatan penyelundupan hukum,
karena kedua pasangan berusaha menghindar dari hukum
nasional. Perkawinan tersebut memang sah menurut
hukum negara tempat dilangsungkannya perkawinan
tersebut, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
berlaku di Indonesia.
171
Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara
yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan
menikah:120
1. Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas
dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan
pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak
bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12
Tahun 1983.
2. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-
masing agama. Perkawinan terlebih dahulu
dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai
(biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut
hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya
perkawinan mana yang dianggap sah. Jika perkawinan
menurut hukum yang kedua (terakhir) menjadi
persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.
3. Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu
pandangan menyatakan tunduk pada hukum
pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan
'berpindah agama' sebagai bentuk penundukan hukum.
4. Yang sering dipakai belakangan, adalah
melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa
120
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan
Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003), 102.
172
artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati
susahnya kawin beda agama di Indonesia.
Secara umum Perkawinan beda agama sangat
berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan hukum
tersendiri, baik kepada pasangan suami isteri itu sendiri
maupun kepada pihak luar/ketiga termasuk hak waris
anak yang lahir dari perkawinan beda agama.
Permasalahan yang dapat timbul apabila
dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara
lain:
1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan
kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1)
UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan
keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama
masing-masing. Namun, permasalahannya apakah
agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran
islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki
yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221].
Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan
beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda
agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama
173
Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan
mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor
Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh
karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk
agama Islam dan di luar agama Islam berbeda.
Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama
akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan
dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
perkawinan beda agama yang dilangsungkan
tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP
tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila
pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan
pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
Namun apabila mereka telah mendapat ijin dari
pengadilan, maka Kantor Catatan Sipil yang
berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan
mereka.
3. Status anak. Apabila pencatatan
perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak,
maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum
terhadap status anak yang terlahir dalam
perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
174
sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena
tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka
menurut hukum anak tersebut bukan anak yang sah
dan hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo.
pasal 43 ayat (1) UUP]. Namun ketika perkawinan
mereka telah tercatat, maka anak memiliki hubungan
dengan kedua orang tuanya.
4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar
negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama
tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun
waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke
wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti
perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2)
UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti
halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun
tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi
Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran
perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam
konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan
sekedar pelaporan administratif
175
Istilah perbedaan agama atau ikhtilaf al-
din dijumpai pada pasal 61 KHI.121
Di samping itu
didapati pula yang memiliki padanan kata dengan kata
lain yaitu dengan kata orang yang tidak beragama
Islam (non muslim). Ini terdapat dalam pasal 40, 44,
dan 116.122
Dengan demikian terlihat bahwa
pengertian perkawinan beda agama di sini adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim baik
pria maupun wanitanya dengan penganut agama lain
(non muslim) secara keseluruhan, tanpa terkecuali pria
dan wanitanya berasal dari agama yang mana.
Misalnya perkawinan yang dilakukan oleh seorang
muslim dengan penganut agama Kristen Protestan,
atau seorang muslim dengan seorang penganut agama
Budha, dan yang lainnya. Sedangkan perkawinan
antara non muslim dengan non muslim lainnya tidak
ada disinggung oleh Kompilasi Hukum Islam. Hal ini
terjadi, karena Kompilasi Hukum Islam hanya
mengatur tentang ketentuan yang berlaku bagi orang
Islam saja.
Menurut KHI diyatakan dengan jelas bahwa
perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan
121
Pagar, Perkawinan Berbeda Agama Wacana dan Pemikiran Hukum
Islam Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), 93-95 122
Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Peradilan
Agama di Indonesia, (Medan: IAIN Medan, 1995), 500
176
selain kedua calon suami isteri beragama Islam.
Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang
memeluk agama Islam untuk melaksanakan
perkawinan antar agama.
Perkawinan antar pemeluk agama dalam
Kompilasi Hukum Islam masuk dalam bab larangan
perkawinan. Pasal pasal dalam KHI sebagai berikut :
pasal 40 KHI menyatakan: Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.”
Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.
177
Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua
tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima)
tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai
suami atau istri.
e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
f. Suami melanggar taklik talak.
g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam
batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-
pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab tertentu. Pasal
40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab
178
larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab
pencegahan perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI
berada pada bab putusnya perkawinan.
Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian
dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan
pendapat Hazairin yang menafsirkan pasal 2 ayat 1
beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum
agamanya.
Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk
agama Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi
Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi
pria Islam menurut Pasal 40 Huruf (c) KHI dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
tidak beragama Islam.
Larangan ini karena perkawinan menurut agama
Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama
Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana
maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan
179
menurut Hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan
merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. 123
Pasal 61: “ Tidak sekufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”
Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat dipahami
bahwa Kompilasi Hukum Islam menutup sama sekali
kemungkinan terjadinya perkawinan antaragama antara
orang Islam dan orang yang bukan Islam.
Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal
tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan
dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan
dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan
perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka
hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum
Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini
disebabkan peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena
123
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol.10 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), hlm. 477.
180
dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Adapun pengaturan yang terdapat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana kali terakhir
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
No.24 Tahun 2013 (“UU Adminduk”) sebagaimana
terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa
perkawinan yang sah wajib dicatatkan. Sebaliknya, ketika
perkawinan dilangsungkan tanpa mengikuti hukum agama
dan kepercayaan sehingga perkawinannya dianggap tidak
sah, maka perkawinan bahkan menjadi tidak bisa
dicatatkan karena perkawinannya bahkan dianggap tidak
pernah terjadi. Akibat dari tidak adanya pencatatan adalah
tidak ada perlindungan yang diberikan kepada pasangan
yang melangsungkan perkawinan beda agama dan
kepercayaan.
C. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai
berikut ; terdapat tiga pendapat tentang perkawinan beda agama,
yaitu : Pertama, perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan
merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang perkawinan
berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) yang
181
dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan
beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum. Hal ini
sesuai dengan yang terdapat dalam KHI pasal 40 dan 44.
Kedua, perkawinan beda agama adalah diperbolehkan
dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab
perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran.
Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan
campuran terletak pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja
mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki
kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini
pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata
cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
Ketiga, Undang-Undang perkawinan tidak mengatur
tentang masalah perkawinan beda agama. Oleh karena itu
dengan merujuk Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, maka
peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang Perkawinan
belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka
masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada
peraturan perkawinan campuran.
182
DAFTAR PUSTAKA
EOH, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan
Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996)
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan
No 1/1974, (Jakarta: Tintamas, 1986)
Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia, (Jakarta: CV. Insani, 2005)
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hari, 2002)
Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam dan Peradilan
Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)
Pagar, Perkawinan Berbeda Agama Wacana dan Pemikiran
Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006)
Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Peradilan Agama di Indonesia, (Medan: IAIN Medan, 1995)
Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan
Pemecahannya, (Jakarta: FH UI, 2006)
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan
Peraturan Pelaksanaannya, (CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003)