Post on 27-Feb-2020
TINGKAT KELAHIRAN DAN MORTALITAS ANAK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG DI IMPOR PADA UMUR KEBUNTINGAN BERBEDA
YANG DIPELIHARA DI BILA RIVER RANCH
SKRIPSI
A. FAUZIAH. DJAFARI 111 07 019
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAKJURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2012
TINGKAT KELAHIRAN DAN MORTALITAS ANAK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG DI IMPOR PADA UMUR KEBUNTINGAN BERBEDA
YANG DIPELIHARA DI BILA RIVER RANCH
SKRIPSI
Oleh :
A. FAUZIAH. DJAFARI 111 07 019
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAKJURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2012
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : A. Fauziah Djafar
NIM : I 111 07 019
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa ;
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyatan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, Januari 2012
Ttd
A. FAUZIAH DJAFAR
Judul Penelitian : Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Anak Sapi Brahman Cross (Bx) yang Di Impor pada Umur Kebuntingan Berbeda yang Dipelihara Di Bila River Ranch.
Nama : A. Fauziah Djafar
No. Pokok : I 111 07 019
Program Studi : Produksi Ternak
Jurusan : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc Prof.Dr.Ir.H. Basit Wello, M.ScPembimbing Utama Pembimbing Anggota
Mengetahui :
Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan, M.Sc Prof. Dr.Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc, Dekan Fakultas Peternakan Ketua Jurusan Produksi Ternak
Tanggal Lulus : 17 November 2011
ABSTRAK
A. Fauziah. Djafar (I 111 07 019). Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Anak Sapi Brahman Cross (Bx) yang Di Impor pada Umur Kebuntingan Berbeda yang Dipelihara Di Bila River Ranch. Di Bawah Bimbingan Prof.Dr.Ir.H. Sudirman Baco, M.Sc Sebagai Pembimbing Utama dan Prof.Dr.Ir.H. Basit Wello, M.Sc Sebagai Pembimbing Anggota.
Pada tahun 2010 pemerintah Indonesia melakukan impor sapi Brahman Cross (Bx), namun sapi impor tersebut memiliki umur kebuntingan yang berbeda pada saat masuk ke Indonesia. Bagaimana tingkat adaptasi ternak impor tersebut terhadap tingkat kelahiran dan kematian. Oleh karena itu pengkajian tingkat kelahiran dan kematian anak perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kelahiran dan kematian anak sapi Brahman Cross (Bx) pada umur kebuntingan berbeda. Materi yang digunakan dalam penelitian berupa sapi Brahman Cross (Bx) dengan umur kebuntingan berbeda yang di impor pada tahun 2010 yang dipelihara di Bila River Ranch. Data tersebut berasal dari data primer dan sekunder. Dari data tersebut kemudian diamati umur kebuntingan pada saat di impor, tingkat kelahiran dan kematian. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: umur kebuntingan dikelompokkan menjadi 1) kebuntingan muda (3-4) bulan, 2) kebuntingan sedang (5-7) bulan dan 3) kebuntingan tua (8-9) bulan, maka tingkat kematian anak pada umur kebuntingan muda lebih rendah dibanding umur kebuntingan tua. Secara statistik umur kebuntingan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kematian anak. Umur kebuntingan 3 bulan berbeda sangat nyata lebih rendah (P<0,01) persentasi kematiannya dibanding umur 4, 5, 6 dan 7. Dapat disimpulkan pula bahwa tingkat kelahiran pada umur kebuntingan muda relatif lebih tinggi dibandingkan dengan umur kebuntingan tua
Kata Kunci : Sapi Brahman Cross (Bx), Kelahiran, Kematian, Umur Kebuntingan Bila River Ranch.
ABSTRACT
A. Fauziah. Djafar (I 111 07 019). Calving and Mortality Rate of Calf Brahman Cross (Bx) Which in Imported in Different of Gestation Age in Maintained on The Bila River Ranch. Under Guidance Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc as the Main Supervisor and Prof. Dr. Ir. H. Basit Wello, M.Sc as Supervising Member.
In 2010 the Indonesian government to import cattle Brahman Cross (Bx), but these imported cattle have different pregnancy age at time of entry into Indonesia. What level of imports of livestock adaptation to the birth rate and death. Therefore, assessment of the birth mortality calf needs to be done. The study was conducted to determine the level of births and deaths calf Brahman Cross (Bx) at the age of pregnancy is different. The material used in the study of Brahman Cross cattle (Bx) with different age pregnancy in imports in 2010 are maintained in When River Ranch. The data are derived from primary and secondary data. From these data it was observed at the age of pregnancy at the time of importation, the birth rate and death. The results obtained are as follows: age pregnancy are grouped into 1) Pregnancy young (3-4) months, 2) Pregnancy is (5-7) months and 3) Old daughter pregnancy (8-9) months, the mortality rate children at a young age pregnancy is lower than the age old pregnancy. Statistically age pregnancy has very significant (P <0.01) on child mortality and the age of 3 months of pregnancy are very real distinct lower (P <0.01) percentage of death than age 4, 5, 6 and 7. It can be concluded also that the birth rate in younger age pregnancy is relatively higher compared to the age old pregnancy.
Keywords: Cattle Brahman Cross (Bx), Calving, Mortality, Different pregnancy age, Bila River Ranch.
.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-
Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Skripsi Dengan Judul : Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Anak Sapi Brahman Cross
(Bx) yang di Impor Pada Umur Kebuntingan Berbeda yang Dipelihara Di Bila River
Ranch. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan
dengan penuh rasa hormat kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc, Selaku pembimbing utama dan
Bapak Prof.Dr.Ir.H. Basit Wello, M.Sc, Selaku pembimbing anggota, atas segala
bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran-
saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini. Pada
kesempatan ini pula penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala
kekeliruan yang telah penulis lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja
2. Dr.Ir.Rr. Sri Rachma A.B, M.Sc sebagai Penasehat Akademik penulis dari tahun
2007 hingga selesai, yang senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang
sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan semua perkuliahan sampai
selesai.
3. Kedua Orang Tua dan sanak saudaraku yang yang terus mendidik dan mendukung
baik materil maupun moril serta atas segala limpahan doa, kasih sayang,
kesabaran, pengorbanan, dan segala bentuk motivasi yang telah diberikan tanpa
henti kepada Penulis.
4. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, dan Bapak Dekan I, II, III, yang telah menyediakan
fasilitas kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
5. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc selaku Ketua Jurusan Produksi Ternak
beserta seluruh dosen dan staf Jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Semua Dosen-Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah
memberi ilmunya kepada penulis.
7. Temanku Saudara Endy Sucipto, S.Pt, Abdullah Bin Hatta, Taufik Hidayat, Farid
010 terima kasih telah meluangkan waktunya untuk membantu Penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
8. Kakandaku Mursyidin LB, S.Pt, Mawardi A Asja, S.Pt, Cecep, S.Pt, M.
Hasbullah, S.Pt, Faizah Azis, SE yang telah memberi motivasi dan bersedia
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas waktu dan bantuannya.
9. Teman Se-Angkatan “Rumput 07“, Senior, maupun junior yang tidak sempat saya
sebutkan namanya yang selalu memberi bantuan kepada penulis.
10. Teman penelitian Herawati Suardi yang telah membangun kerja sama yang baik
selama penelitian.
11. Kepada Pimpinan PT. Berdikari United Livestock Sidrap beserta para karyawan
dan peternaknya yang telah memberi kesempatan kepada Penulis untuk
mengadakan penelitian di PT. BULI.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan tapi
semuanya telah penulis lakukan dengan sebaik-baiknya demi kesempurnaan skripsi
ini. Penulis membuka diri terhadap kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini
dan demi kemajuan ilmu pengetahuan nantinya.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
diri penulis sendiri. Amin.
Makassar, Januari 2012
Penulis
A. Fauziah. Djafar
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii
LEMBAR KEASLIAN..................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. iv
ABSTRAK........................................................................................................ v
ABSTRACT..................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiv
PENDAHULUAN............................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 3
Gambaran Umum Sapi Brahman....................................................... 5
Breed Ternak..................................................................................... 9
Sejarah Perkembangan Sapi Impor Brahman (Bx)............................ 6
Pengaruh Iklim Terhadap Ternak...................................................... 7
Sistem Pemeliharaan Pada Ternak ................................................... 10
Pengaruh Pemberian Pakan............................................................... 11
Kelahiran Ternak............................................................................... 14
Kematian Ternak............................................................................... 15
Tingkat Kebuntingan......................................................................... 16
METODE PENELITIAN................................................................................. 17
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................ 17
Materi Penelitian................................................................................ 17
Sumber Data...................................................................................... 17
Parameter Yang Diamati.................................................................... 17
Analisis Data...................................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 25
Keadaan Lokasi ................................................................................ 20
Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Berdasarkan Umr Kebuntingan
Yang Berbeda ................................................................................... 24
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 31
Kesimpulan ....................................................................................... 31
Saran ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 32
LAMPIRAN..................................................................................................... 35
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Berdasarkan Umur Kebuntingan yang Berbeda .................................................................. 24
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Peta Wilayah Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan............................... 21
2. Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Sapi Brahman (Bx) Impor.............. 28
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
1. Analisis Data Menggunakan Chi-square.............................................. 35
PENDAHULUAN
Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan
nasional, dimana sektor ini memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan
pangan hewani. Kebutuhan pangan tersebut yang terus meningkat atas
bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dan peningkatan rata-rata pendapatan
taraf hidup masyarakat (Putu dkk., 1997).
Dewasa ini usaha peternakan di Indonesia hampir selalu menghadapi
kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala
tersebut adalah masih banyak gangguan reproduksi menuju kepada adanya
kemajiran ternak betina. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran pada
ternak tersebut (Hardjoprajonto, 1995).
Angka kelahiran dan pertambahan populasi ternak adalah masalah
reproduksi atau perkembangbiakan ternak. Penurunan angka kelahiran dan
meningkatnya tingkat kematian menyebabkan penurunan populasi ternak (Toelihere,
1981).
Sapi Brahman Cross merupakan primadona dalam upaya pencapaian
swasembada daging 2013 melalui program aksi perbibitan. Penjaringan betina
bunting Brahman Cross ex. Impor dari Australia telah dilakukan pada tahun 2006
dan 2007 dan telah didistribusikan di beberapa provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini
menyebabkan terjadinya penambahan populasi secara signifikan baik dari sisi
pengadaan induk maupun jumlah anak yang lahir. Dalam konsep peningkatan
populasi dan produktivitas ternak sapi secara berkelanjutan, program ini harus
didukung oleh kesiapan manajemen dan terlebih penting bagi sumber daya manusia
di daerah.
Sapi Brahman Cross di negara asalnya (Australia) dipelihara dengan
manajemen peternakan lepas (grazing) pada padang pengembalaan yang sangat luas
dengan kawanan berjumlah besar dengan sistem perkawinan silang secara alami,
dan dukungan pakan hijauan maupun penguat, yang secara kuantitatif maupun
kualitatif mencukupi. Setelah mengalami proses adaptasi minimal selama tiga bulan
di feed loter, sapi tersebut dibagikan pada masyarakat dalam keadaan bunting dan
masih dalam temperamen yang agak liar
Pada tahun 2010 pemerintah Indonesia melakukan impor sapi betina
Brahman Cross (BX) dari Australia dengan tujuan untuk peningkatan populasi ternak
potong dan pemenuhan kebutuhan daging masyarakat. Memelihara sapi jenis
Brahman mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan sapi jenis silangan.
Di antaranya ketahanan tubuhnya yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sapi-sapi
hasil perkawinan silang. Karakteristiknya yang tahan terhadap ektoparasit, membuat
sapi Brahman sangat baik untuk indukan. Berdasarkan hal tersebut di atas
pemerintah telah menempatkan sapi impor Brahman Cross (BX) yang di pelihara di
PT. Berdikari United Livestock (Buli) Kabupaten Sidrap dan kemudian disebar ke
masyarakat.
Sapi impor tersebut memiliki tingkat kebuntingan yang berbeda pada saat
masuk ke Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana tingkat adaptasi ternak
impor tersebut dan bagaimana tingkat kelahiran dan kematian anak yang dilahirkan
setelah di Indonesia. Oleh karena itu pengkajian tingkat kelahiran dan kematian anak
dan kematian induk perlu dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelahiran dan
mortalitas anak Sapi Brahman Cross (BX) berdasarkan umur kebuntingan yang
berbeda pada saat di impor, yang dipelihara di Bila River Ranch Kabupaten Sidrap
Sulawesi Selatan. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi
peternak untuk meningkatkan kelahiran anak sapi dan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil kebijakan pemerintah dalam mengimpor sapi bunting.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Sapi Brahman
Sapi Brahman pada awalnya merupakan bangsa sapi Brahman Amerika yang
diimpor Australia pada tahun 1933. Mulai dikembangkan di stasiun CSIRO’s
Tropical Cattle Research Centre Rockhampton Australia, dengan materi dasar sapi
Brahman, Hereford dan Shorthorn dengan proporsi darah berturut-turut 50% ; 25%
dan 25%, sehingga secara fisik bentuk fenotip dan keistimewaan sapi Brahman cross
cenderung lebih mirip sapi Brahman Amerika karena proporsi darahnya lebih
dominan. Ciri-ciri sapi Brahman mempunyai punuk besar, tanduk, telinga besar dan
gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi Brahman selama
berabad-abad menerima kondisi kekurangan pakan, serangan serangga, parasit,
penyakit dan iklim yang ekstrim. (Turner, 1981).
Karakteristik Sapi Brahman berukuran sedang dengan berat jantan dewasa
antara 800 s/d 1100 kg, sedang betina 500-700 kg. Berat pedet yang baru lahir antara
30-35 kg, dan dapat tumbuh cepat dengan berat sapih kompetitif dengan jenis sapi
lainnya. Persentase karkas 48,6 s/d 54,2%, dan pertambahan berat harian 0,83 - 1,5 kg
(Turner,1981).
Sapi Brahman mempunyai sifat pemalu dan cerdas serta dapat beradaptasi
dengan lingkungannya yang bervariasi. Sapi ini suka menerima perlakuan halus dan
dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Konsekuensinya penanganan sapi
ini harus hati-hati. Tetapi secara keseluruhan sapi Brahman mudah dikendalikan.
Sapi Brahman warnanya bervariasi, dari abu-abu muda, merah sampai hitam.
Kebanyakan berwarna abu muda dan abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari
betina dan memeliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah.
Sapi Brahman dapat beradaptasi dengan baik terhadap panas, mereka dapat bertahan
dari suhu 8 - 105 F, tanpa ganguan selera makan dan produksi susu. Sapi Brahman
banyak dikawinkan dengan sapi Eropa dan dikenal dengan Brahman Cross (BX)
(Gunawan dkk, 2008).
Breed Ternak
Sapi Brahman Cross merupakan silangan sapi Brahman dengan sapi Eropa
(Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman diimpor ke
Australia pada tahun 1933 (Minish dan Fox,1979). Tujuan utama dari persilangan ini
utamanya adalah menciptakan bangsa sapi potong tropis/subtropis yang mempunyai
produktivitas tinggi, namun mempunyai daya tahan terhadap suhu tinggi, caplak,
kutu, serta adaptif terhadap lingkungan tropis yang relatif kering. Di negeri asalnya,
Australia, sapi ini umumnya dilepas di padangan dan digunakan kawin alami dengan
pejantan sebagai program pengawinannya. Dengan manajemen peternakan lepas
(grazing) pada padang penggembalaan yang sangat luas, mempunyai kesempatan
exercise yang tanpa batas, tanpa tali hidung, dalam kumpulan, dengan pengawinan
alami menggunakan pejantan, serta dengan ketersediaan pakan hijauan maupun pakan
penguat secara kuantitatif maupun kualitatif mencukupi (Turner, 1981).
Sejarah Perkembangan Sapi Impor Brahman (BX)
Sapi Brahman Cross mulai diimpor Indonesia (Sulawesi) dari Australia pada
tahun 1973. Hasil pengamatan di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase beranak
40,91%, Calf crops 42,54%, mortalitas pedet 5,93, mortalitas induk 2,92%, bobot
sapih (8-9 bulan) 141,5 Kg (jantan) dan 138,3 Kg betina, pertambahan bobot badan
sebelum disapih sebesar 0,38 Kg/ hari (Hardjosubroto, 1984)
Pada tahun 1975, sapi Brahman cross didatangkan ke pulau Sumba dengan
tujuan utama untuk memperbaiki mutu genetik sapi Ongole di pulau Sumba.
Importasi Brahman cross dari Australia untuk UPT perbibitan (BPTU Sembawa)
dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 dalam rangka revitalisasi UPT. Penyebaran di
Indonesia dilakukan secara besar-besaran mulai tahun 2006 dalam rangka mendukung
program percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2010.
Pada umumnya pemeliharaan di rakyat memakai tali hidung, dikandangkan
sendiri atau dalam kelompok kecil dalam tempat sempit, belum sepenuhnya adaptasi,
ditambah lagi dengan pemberian pakan yang kurang memadai, terjadilah gangguan-
gangguan reproduksi yang sering disebut sebagai slow breeder.
Terjadilah proses adaptasi yang memakan waktu cukup lama, hingga
berbulan-bulan. Dengan adanya perubahan lingkungan, pakan, ditambah adanya heat
stress terjadilah keadaan yang disebut depresi reproduksi (reproductive depression),
sapi tidak pernah menunjukkan gejala birahi pada sapi yang belum bunting maupun
setelah beranak pertama (bunting bawaan)
Rendahnya fertilitas pada sapi Brahman disebabkan oleh pengamatan birahi
yang kurang akurat dengan Lama masa estrus 6,7±0,8 jam, nutrisi dan lamanya induk
menyusui yang dapat menyebabkan terjadinya anestrus post partum pada sapi
Brahman, lamanya waktu yang diperlukan untk pengeluaran plasenta setelah beranak,
dan adanya infeksi pada uterus yang dapat mempengaruhi jarak beranak. Masalah
besar yang sering timbul pada peternakan sapi Brahman di daerah tropis dan sub
tropis adalah panjangnya masa anestrus post partus, hal ini disebabkan oleh makanan
yang diberikan kurang berkualitas, temperatur lingkungan yang terlalu panas, infeksi
parasit, penyakit reproduksi, kondisi tubuh yang kurus, dan stress akibat menyusui
(Vandeplassshe, 1982)
Pengaruh Iklim Terhadap Ternak
Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung pada kehidupan ternak adalah
iklim. Iklim merupakan faktor yang menentukan ciri khas dari seekor ternak. Ternak
yang hidup di daerah yang beriklim tropis berbeda dengan ternak yang hidup di
daerah subtropis. Namun hal tersebut dapat diatasi misalnya di beberapa negara
tropis, Air Condition (AC) digunakan dalam beternak untuk mengendalikan atau
menyesuaikan suhu di lingkungan sekitar ternak yang berasal dari daerah subtropis,
sehingga ternak tersebut dapat berproduksi dengan normal.(Yousef, 1984).
Iklim
Merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap
ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor
lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti
pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia.
Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus “menyesuaikan“
dengan iklim setempat (Yousef, 1984).
Iklim yang cocok untuk daerah peternakan adalah pada klimat semi-arid.
Daerah dengan klimat ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah
hujan rendah secara relatif dan musim kering yang panjang. Fluktuasi temperatur
diavual dan musim sangat besar, sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan
terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit
yang cerah. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm,
hujan dapat turun lebih lebat meskipun kejadian itu sangat jarang (Chantalakhana dan
Skunmun, 2002).
Temperatur Lingkungan
Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar
dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius. Secara umum, temperatur
udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan fisik ternak.
Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal,
dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan
temperatur nyaman 13–18 oC (Chantalakhana dan Skunmun, 2002) atau Temperature
Humidity Index (THI) < 72.
Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai
yang disebut Comfort Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi
kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10° - 27°C (50° - 80°F) (Davidson dkk,
2000).
Kelembaban Lingkungan
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan.
Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity =
RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara
terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama.
Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas
terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak
(Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
Iklim di Indonesia adalah Super Humid atau panas basah yaitu klimat yang
ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus.
Temperatur udara berkisar antara 21,11 – 37,77°C dengan kelembaban relatif 55-
100%. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak
sehingga suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan
menurun, akibatnya menyebabkan produktivitas ternak rendah. Selain itu berbeda
dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, maka iklim tidak
dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia (Yousef, 1984).
Sistem Pemeliharaan Pada Ternak
Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi 3, yaitu sistem
pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua
aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem semi intensif
adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan
disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara
sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh
peternak (Susilorini, 2008).
Sistem Pemeliharaan Pada Sapi Bunting
Induk sapi bunting perlu diberikan kesempatan berolahraga dengan cara
dilepas di lapangan penggembalaan secara teratur selama 1 - 2 jam setiap hari.
Dengan demikian, induk tersebut dapat bergerak secara leluasa, mendapatkan sinar
matahari dan udara segar serta urat syaraf menjadi terlatih sehingga peredaran darah
berjalan lancar yang kesemuanya ini akan menunjang kelancaran proses kelahiran
pedet.
Pemberian pakan tidak baik selama induk bunting akan mempengaruhi
kesehatan dan produksi susu, oleh karena itu induk sapi yang sedang bunting harus di
upayakan agar selalu dalam keadaan kenyang, lebih-lebih bagi induk yang di pelihara
dalam kandang secara terus menerus. Dua sampai tiga hari sebelum induk melahirkan
perlu di berikan pakan khusus yang memenuhi standart kualitas dan kuantitasnya
supaya memudahkan kelahiran pedetnya, pakan yang kandungan proteinnya terlalu
rendah sebaiknya jangan di berikan karena akan menggangu kelahiran pedet.
Disarankan peternak memberi pakan yang kandungan energinya tinggi dan
ditambahkan molase untuk membantu kelancaran pada saat melahirkan pedetnya.
Untuk mempersiapkan yang baik, peternak harus mengetahui lamanya
kebuntingan pada umumnya kebuntingan rata - rata 285 hari akan tetapi dapat
bervariasi pad setiap induk sapi, Hal ini di sebabkan oleh faktor :
1. iklim
2. perawatan
3. pakan dan bangsa sapi
Pengaruh Pemberian Pakan
Pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh hewan.
Bahan pakan ternak terdiri dari tanaman, hasil tanaman, dan kadang-kadang berasal
dari ternak serta hewan yang hidup di laut (Tillman et al., 1991).
Menurut Blakely dan Bade (1998) bahan pakan dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu konsentrat dan bahan berserat. Konsentrat berupa bijian dan butiran
serta bahan berserat yaitu jerami dan rumput yang merupakan komponen penyusun
ransum. Pakan adalah bahan yang dimakan dan dicerna oleh seekor hewan yang
mampu menyajikan hara atau nutrien yang penting untuk perawatan tubuh,
pertumbuhan, penggemukan, dan reproduksi.
Darmono (1999) menjelaskan bahwa bahan pakan yang baik adalah bahan
pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta tidak
mengandung racun yang dapat membahayakan ternak yang mengkonsumsinya.
Pakan Hijauan
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun
tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga
(Sugeng, 1998).
Menurut Lubis (1992) pemberian pakan pada ternak sebaiknya diberikan
dalam keadaan segar. Pemberian pakan yang baik diberikan dengan perbandingan
60 : 40 (dalam bahan kering ransum), apabila hijauan yang diberikan berkualitas
rendah perbandingan itu dapat menjadi 55 : 45 dan hijauan yang diberikan berkualitas
sedang sampai tinggi perbandingan itu dapat menjadi 64 : 36 (Siregar 2008).
Jerami adalah sisa-sisa hijau-hijauan dari tanam-tanaman sebangsa padi dan
leguminosa, setelah biji-bijinya dipetik untuk dimanfaatkan oleh manusia. Jerami
mengandung protein, pati dan lemak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hijauan,
sedangkan kadar serat kasarnya jauh lebih tinggi. Jerami yang biasa digunakan untuk
bahan pakan adalah jerami padi, jerami jagung, gandum (Lubis, 1992). Menurut
Siregar (1994), jerami padi mengandung 21% bahan kering (BK), 9,2% protein kasar
(PK) , 27,4% serat kasar (SK) dan 41% total digestible nutrients (TDN)
Konsentrat
Pakan penguat (konsentrat) adalah pakan yang mengandung serat kasar relatif
rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan pakan yang
berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan
berbagai umbi. Fungsi pakan penguat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai
gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah (Sugeng, 1998).
Menurut Darmono (1999) konsentrat adalah bahan pakan yang mengandung
serat kasar kurang dari 18%, berasal dari biji- bijian, hasil produk ikutan pertanian
atau dari pabrik dan umbi- umbian. Bekatul dalam susunannya mendekati analisis
dedak halus, akan tetapi lebih sedikit mengandung selaput putih dan bahan kulit, di
dalam bekatul juga tercampur pecahan halus.
Kandungan nutrien dari bekatul adalah 15% air, 14,5% PK, 48,7% bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN), 7,4% SK, 7,4% LK dan 7,0 % abu, kadar protein
dapat dicerna 10,8% dan Martabat pati (MP) = 70 (Lubis, 1992).
Menurut Santosa (1995) bekatul mengandung 85% BK, 14% PK, 87,6%
TDN, 0,1% kalsium (Ca) dan 0,8% phospor (P). Ampas tahu adalah ampas yang
diperoleh dari pembuatan tahu yang diberikan kepada ternak besar dan kecil. Ampas
tahu dalam keadaan segar mengandung lebih dari 80% air. Kandungan nutrien dari
ampas tahu adalah 84% air, 5% PK, 5,8% (bahan ekstrak tanpa nitrogen) BETN, 3,2
% SK, 1,2% LK, dan 0,8% abu. Ampas tahu yang sudah dikeringkan masih
mengandung kira-kira 16% air, dengan kadar protein dapat dicerna (Prdd) 22,3% dan
nilai MP=62 (Lubis, 1992).
Menurut Siregar (1994) ampas tahu mengandung 23% BK, 23,7% PK, 23,6%
SK dan 79% TDN. Ketela pohon (Manihot utilissima) mempunyai umbi dengan
kadar tepung yang sangat tinggi. Umbi ketela pohon yang masih segar tidak
dianjurkan diberikan pada ternak secara rutin, karena mengandung racun sianida yang
sangat berbahaya (Lubis, 1992). Menurut Siregar (2008), kandungan nutrisi ketela
pohon adalah 32,3% BK, 3,3% PK, 4,2% SK, 81,8% TDN.
Kelahiran Ternak
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelahiran antara lain ketersediaan
pakan yang menentukan kecukupan energi individu untuk bereproduksi, umur efektif
bereproduksi, interval kelahiran dan rata-rata jumlah anak tiap kelahiran (Anonimª,
2008).
Penurunan angka kelahiran atau penurunan populasi terutama dipengaruhi
oleh efisiensi produksi atau kesuburan yang rendah atau jumlah kematian prenatal.
Kira-kira 80% dari variasi kesuburan normal pada kelompok ternak akan tergantung
pada faktor lingkungan sedangkan 20% dipengaruhi oleh faktor genetik. Rendahnya
kesuburan yang disebabkan oleh penyakit (18,3%), abnormalitas alat kelamin betina
(56,1%), tatalaksana yang tidak sempurna (13,3%) dan pengaruh ketuaan (5,9%),
(Toelihere,1981).
Angka kebuntingan dalam mengelola populasi sapi potong tergantung
fertilitas pada sapi potong jantan dan betina dan kualitas manajemen perkawinan
karena biasanya seekor sapi potong jantan dengan beberapa sapi betina. Fertilitas
sapi jantan adalah faktor penting dalam suksesnya program perkawinan. Waktu
perkawinan yang tepat bagi hewan betina merupakan faktor penting, karena dapat
menghasilkan keuntungan yang besar bagi peternak bila terjadi kebuntingan pada
waktu yang tepat. Sebaliknya, waktu perkawinan yang salah cenderung menyebabkan
gangguan reproduksi karena dapat menunda kebuntingan. Faktor lain yang sangat
menunjang keberhasilan sapi potong adalah keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi
yang tepat melalui pakan. Nutrisi tersebut akan menjamin kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan kesehatan (Jakob, 1994).
Kematian Ternak
Kematian merupakan jumlah ternak yang mati tiap periode waktu dibagi
dengan jumlah ternak yang hidup diawal periode waktu tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kematian antara lain penyakit, predator, paceklik, bencana alam dan
iklim (Anonim, 2008).
Kematian sapi potong lebih banyak dikarenakan penyakit. Diduga, terkena
penyakit yang disebabkan oleh virus. Kematian sapi potong di Kabupaten Sidrap
sebagian besar karena mati dalam kandungan atau lahir prematur.
Tingkat Kebuntingan
Tingkat kebuntingan ternak sapi potong adalah jumlah ternak yang bunting
dalam satu tahun. Tingkat kebuntingan ternak sangat dipengaruhi oleh manajemen
perkawinan peternakan itu sendiri. Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat
dilakukan dengan menggunakan intensifikasi kawin alam (IKA) dengan pejantan
terpilih, teknik inseminasi buatan (IB).
Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat kebuntingan sapi potong adalah
manajemen perkawinan yang kurang tepat, yakni : (1) pola perkawinan yang kurang
benar, (2) pengamatan birahi dan waktu kawin yang tidak tepat, (3) rendahnya
kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam dan (4) kurang
terampilnya beberapa petugas serta (5) rendahnya pengetahuan peternak tentang
kawin suntik/IB (Jakob, 1994).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2011 di PT. Buli di
Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.
Materi Penelitian
Sapi Brahman Cross (BX) dengan umur kebuntingan berbeda pada saat di
impor pada tahun 2010 yang dipelihara di Bila River Ranch.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data yakni data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil survey atau pengamatan langsung.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan atau recording yang berkaitan dari
parameter yang diamati yang sudah resmi disimpan atau dibukukan oleh PT. Buli.
Parameter Yang Diamati
Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Umur Kebuntingan pada saat di Impor
Umur kebuntingan pada saat impor pada umur kebuntingan berbeda dikurangi
waktu jumlah hari selama di Indonesia sampai terjadi kelahiran, umur kebuntingan
dinyatakan dalam bulan (Puslitbangnak, 2007).
Rumus :
U.K (bulan) = U K. Normal - ∑ Hari 30 Hari
Keterangan :
UK (bulan) = Umur kebuntingan
Uk normal = umur kebuntingan normal (285 hari)
∑ Hari = waktu selama di Indonesia setelah dilakukan impor
2. Tingkat Kelahiran
Tingkat kelahiran di ukur berdasarkan jumlah induk melahirkan dibagi dengan
induk yang di impor.
Rumus :
T K (%) = ∑ I M x 100% ∑ I I
Keterangan :
T K (%) = Tingkat kelahiran
∑ I M = Jumlah induk yang melahirkan
∑ I I = Jumlah induk yang di Impor
3. Tingkat Kematian
Tingkat kematian anak adalah perbandingan jumlah anak yang mati dengan
jumlah anak yang lahir. Tingkat kematian induk impor adalah jumlah induk yang
mati dibagi dengan jumlah induk yang di impor.
Rumus :
Mortalitas (%) = ∑ Anak mati x 100% ∑ Anak lahir
Keterangan :
Mortalitas (%) = Tingkat kematian
∑ Anak mati = Jumlah anak yang mati
∑ Anak lahir = Jumlah anak yang lahir
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan deskriptif dan Chi-Square (X²-Kuadrat)
(Sumedi,2000).
Rumus Chi Square :
X² = Σ (fo – fh)²
fh
Di mana : X² = Chi Square ;
fo = frekuensi yang diobservasi
fh = frekuensi yang diharapkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Lokasi
Kabupaten Sidrap merupakan wilayah yang berlokasi di Provinsi Sulawesi
Selatan, sekitar 185 km ke arah utara Makassar. Secara geografis, Kabupaten ini
terletak di sebelah Utara Kota Makassar, tepatnya diantara titik koordinat : 3043 –
4009 Lintang Selatan, dan 119041 – 120010 Bujur Timur.
Luas wilayahnya 2.506,19 km2 atau sekitar 3% dari total luas wilayah
Sulawesi Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
A. Sebelah Utara ada Kabupaten Pinrang dan Enrenkang,
B. Sebelah Timur terletak Kabupaten Luwu dan Wajo.
C. Sebelah Selatan ada Kabupaten Barru dan Soppeng
D. Sebelah Barat terletak Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare.
Kabupaten ini terdiri dari 11 kecamatan, 38 kelurahan, dan 65 desa.
Peruntukan lahan di Sidrap didominasi oleh 37.212 ha sawah irigasi, 19.162 ha
padang rumput, dan 15.326 ha perkebunan kelapa.
Untuk melihat lebih jelas batas wilayah Kabupaten Paser dapat dilihat pada
peta Kabupaten Sidrap pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.
Salah satu contoh Kecamatan Pitu Riase. yang rata-rata mata pencariannya
bercocok tanam, Berternak dan bekerja sebagai pencari Rotan hutan dengan
penghasilannya Rp.1.000 / Btng dengan membutuhkan waktu berminggu-minggu
untuk sampai kepedagang. Hal inilah yang memicu tindakan-tindakan kriminal
kepada profesi tersebut untuk menebang kayu di hutan lindung sebagai pekerjaan
tambahan. Tanpa memikirkan akibat dan kerugian pada Negara. Pitu Riase sebuah
kecamatan yang luas dan kaya akan lingkungannya (BPS Sidrap 2004).
PT. Berdikari United Livestock berdiri pada tahun 1970 tepatnya di Bila
kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidrap dan merupakan badan usaha milik negara
Lokasi Penelitian
(bumn) sebagai salah satu anak dari perusahaan PT. Berdikari Persero yang bergerak
di bidang peternakan khususnya ternak sapi potong dan sapi bibit.
PT. Berdikari United Livestock pada awal berdirinya, ternak sapi yang
dipelihara sebanyak 175 ekor yang di datangkan dari Australia dengan jenis sapi
Limosin, Brahman Cross sebagian besar adalah sapi potong penggemukan.
PT. Berdikari United Livestock sekitar 6441,00 ha. Sekarang ini populasi
ternak yang dimiliki oleh PT. Buli sekitar 5000 ekor yang terdiri dari 2100 ekor induk
sedang sisanyamerupakan sapi pedet, dara dan pejantan. PT. Buli memiliki paddock
sebanyak 32 buah kandang yang dilengkapi sungai atau cek daun sebagai tempat
minum sapi,maksud dan tujuan dibangun paddock adalah tempat mengatur
perkawinan dan tempat pengelompokan sapi, baik itu sapi bunting maupun yang
melahirkan serta tempat pemeriksaan kesehatan sapi.
Sistem pemeliharaan yang dilakukan PT. Buli pada sapi Brahman Cross (BX)
impr adalah dengan cara sistem intensif yaitu dikandangkan, dimana semua sapi
dipelihara dengan cara dikandangkan sehingga kebutuhan pakan dan kontrol penyakit
dapat diawasi.
Sekitar tahun 2010 PT.BULI yang berada di Kabupaten Sidrap tepatnya di
kecamatan Pitu Riase mengimpor sapi Brahman cross (BX) dari Australia sebanyak
1105 ekor. Sebelum kapal merapat di pelabuhan, petugas karantina Parepare
melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan kesehatan terhadap sapi-sapi bibit
Brahman Cross asal Australia tersebut. Setelah pemeriksaan oleh petugas karantina,
kapal Norvantes merapat di dermaga Cappa Ujung, sebelum sapi-sapi diturunkan dari
kapal dilakukan penyemprotan desinfektan oleh petugas karantina terhadap kapal
dan kendaraan pengangkut (truk) untuk mencegah penyakit yang dimungkinkan
terbawa dari daerah asal. Setelah penyemprotan selesai, segera sapi tersebut
diturunkan dan diangkut ke Instalasi karantina Hewan Sementara (IKHS) di Desa
Billa, Kec. Pitu Riase, Kab. Sidrap dengan angkutan truk.
Imbas positif dari impor sapi Brahman cross ini, terutama untuk jangka
pendek (saat ini) populasi sapi lokal terjaga karena pemotongan berkurang dengan
sendirinya akibat jagal lebih suka potong sapi import sehingga secara tidak langsung
bahkan mampu mendukung program pemerintah untuk menambah populasi sapi lokal
dan mempertahankannya agar tidak habis.
Imbas negatifnya, petani/peternak teriak karena harga sapi lokal "jatuh"
sehingga tidak imbang antara biaya produksi dengan harga jualnya. Efek jangka
panjangnya gairah petani/peternak untuk memelihara sapi lokal akan semakin
menurun dan tentunya ini menjadi sinyal negatif untuk pemerintah yang sudah
gembar-gembor untuk swasembada daging di tahun 2014.
Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Berdasarkan Umur Kebuntingan yang
Berbeda
Umur kebuntingan yang berbeda terhadap tingkat kelahiran dan mortalitas
pada sapi Brahman Cross (Bx) Impor yang dipelihara di Bila River Ranch dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Berdasarkan Umur Kebuntingan yang Berbeda
Parameter Umur Kebuntingan Pada Saat Diimpor (bln) 3 4 5 6 7 8 9 Total
N (Induk) 288 467 138 110 65 29 8 1105
(%) 26,06 42,26 12,49 9,95 5,882,62 0,72 100
Kelahiran :Jantan 126 206 65 58 32 9 5 501Betina 158 261 70 48 33 20 2 592
Jumlah Kelahiran Anak 284 467 135 106 65 29 7 1093
(%) 98,61 100 97,83 96,36 100 100 87,598,9
1Kematian :
Induk 4 0 3 4 0 0 1 12(%) Induk 1,39 0 2,17 3,64 0 0 12,5 1,09
Anak :Jantan 3 20 19 `12 6 1 1 62Betina 1 15 14 12 4 1 0 47
Jumlah Kematian Anak 4 35 33 24 10 2 1 109
(%) 1,41 7,49 24,44 22,64 15,386,89 14,28 9,97
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah ternak yang diimpor ke Bila Ranch
yaitu sebanyak 1105 ekor pada tahun 2010 dimana umur kebuntingan yang paling
banyak adalah pada umur kebuntingan 4 dan 3 bulan yaitu masing-masing sebanyak
467 ekor (42,26%) dan 288 ekor (26,06%). Hal ini berkaitan dengan penentuan umur
kebuntingan melalui pemenuhan kebutuhan (PKB) tidak sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan impor sapi dimana umur kebuntingan yang ingin diimpor adalah umur
kebuntingan 6-7 bulan, namun hasil yang diperoleh dari data penelitian ditemukan
hanya 175 ekor atau sekitar 15,83% saja dari total ternak yang diimpor. Deteksi
kebuntingan dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal setelah 60 hari sejak
dikawinkan untuk meyakinkan bahwa ternak benar-benar bunting. Pemeriksaan
palpasi rektal dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB) yang ditunjuk
oleh pemerintah setempat (Anonim, 2011).
Pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa tingkat kelahiran anak dari induk sapi
Brahman Cross (Bx) yang di impor pada umur kebuntingan berbeda menunjukkan
hasil yang relatif tinggi yaitu 87,5 – 100%. Namun umur kebuntingan tua pada saat
di impor 7-9 bulan lebih rendah dibawah (85,8%), umur muda 3-6 bulan (98,2%), hal
ini menyebabkan ada indikasi bahwa umur kebuntingan tua mengalami stress tinggi
pada saat terjadinya kelahiran sehingga resiko terjadinya kematian induk sangat
tinggi sekitar (12%). Di negeri asalnya, Australia, sapi ini umumnya dilakukan
dengan manajemen peternakan lepas (grazing) pada padang penggembalaan yang
sangat luas, mempunyai kesempatan exercise yang tanpa batas, tanpa tali hidung,
dalam kumpulan, dengan pengawinan alami menggunakan pejantan, serta dengan
ketersediaan pakan hijauan maupun pakan penguat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Smith & French (1997) yang menyatakan bahwa apabila ternak dipindahkan ke
lingkungan yang tidak dikenal, ternak tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan
atau kedinginan. Semua kondisi tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang
disebabkan oleh berbagai faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi
seperti itu, sering dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres).
Dari Tabel 1 juga diperoleh data bahwa induk yang di impor 100% bunting
dan sisanya yang tidak melahirkan sekitar 1,09%, hal ini disebabkan karena tingkat
adaptasi ternak induk kurang sehingga mengalami keguguran. Hal ini sesuai dengan
pendapat bahwa pemeliharaan betina bunting merupakan salah satu upaya penting
yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Pemeliharaan
ternak bunting perlu lebih diintensifkan karena betina bunting tersebut merupakan
penentu kualitas anakan yang akan dihasilkan, terutama dalam hal pemberian pakan
dan perawatan (hindari dari terjatuh dan benturan atau kondisi kandang yang kurang
baik), (Toelihera, 1981).
Beberapa cara untuk memelihara ternak bunting adalah dengan perbaikan
pakan, pakan menjadi salah satu faktor penting dalam pemeliharaan betina bunting
karena dengan memberikan pakan yang baik akan memenuhi kebutuhan zat gizi
untuk mendukung pertumbuhan anakan ataupun kesehatan indukan. Indukan juga
membutuhkan pakan yang baik terutama untuk mempertahankan kesehatan utamanya
kesehatan tulang sekaligus digunakan untuk memproduksi air susu. Beberapa bahan
pakan utama yang dibutuhkan oleh betina bunting antara lain adalah kandungan
kalsium, asam amino essensial tertentu seperti lysin dan karbohidrat sebagai sumber
energi. Sebagaimana diketahui pemberian pakan yang dilakukan di Bila Ranch yaitu
berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan terdiri dari rumput gajah dan alang-alang
sebanyak 24 kg/ekor sedangkan konsetrat sekitar 3 kg/ekor. Proses pemeliharaan
kebuntingan ini sangat penting karena embrio ternak cukup labil utamanya pada umur
kebuntingan muda Hunter (1995).
Pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa pada umur kebuntingan di
kelompokkan menjadi : 1). Kebuntingan muda (3-4) bulan, 2). Kebuntingan sedang
(5-7) bulan dan 3). Kebuntingan tua (8-9) bulan, maka tingkat kematian anak pada
umur kebuntingan muda adalah lebih rendah 4,45% di bawah dari umur kebuntingan
sedang 9,41% dan umur kebuntingan tua 9,7%. yang disebabkan oleh induk mati
karena induk tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga lama
kelamaan kondisi tubuh akan menurun lalu mati. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hafez (1993), kematian embrio dini meningkat pada hewan induk dimana suhu
tubuhnya meningkat.
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa jumlah kematian ternak sapi Brahman yaitu
sebanyak 109 ekor yang terdiri dari ternak jantan yaitu sebanyak 62 ekor dan diikuti
ternak betina 47 ekor dengan persentasi kematian pada anak sebesar 9,97%. Pada
umur kebuntingan muda 3-4 bulan kematian pada sapi Brahman yang diimpor
sebagian besar karena lahir premature, hal ini disebabkan perbedaan suhu di Bila
Ranch sekitar 25-27ºC dan dari daerah asalnya sekitar 15ºC. Menurut pendapat
Hardjopranjoto (1995), Suhu yang panas dapat menyebabkan penurunan kadar
hormone reproduksi seperti FSH dan LH dan menyebabkan penurunan volume darah
yang mengalir ke alat reproduksi, sehingga menyebabkan perubahan lingkungan
uterus yang lebih panas dan menambah kemungkinan kematian fetus.
Gambar 2. Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Sapi Brahman (Bx) Impor pada Umur Kebuntingan Berbeda.
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan (Chi-Square) maka umur
kebuntingan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kematian ternak, hal ini
disebabkan karena lamanya pemeliharaan yang berbeda-beda terhadap ternak induk
bunting yang mengakibatkan terjadinya stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Fowler
(1999) bahwa stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama
berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin
dalam tubuh.
Hasil uji lanjut menggunakan Chi-Square untuk umur kebuntingan 3 bulan
berbeda sangat nyata lebih rendah (P<0,01) persentasi kematiannya dibanding umur
kebuntingan 4,5,6 dan 7 bulan, hal ini dikarenakan pada umur kebuntingan ini
pemeliharaannya jauh lebih lama dibanding dengan yang lain sehingga ternak sudah
dapat menyesuaikan diri dengan kondisi suhu, kandang dan pakan yang berbeda dari
daerah asalnya dan sudah dapat mengembalikan kondisi tubuhnya kembali normal
sehingga persentasi kematian anak hanya 1,41%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abidin (2006), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam pemilihan lokasi pemeliharaan sapi potong antara lain: suhu lingkungan Sapi
termasuk hewan yang peka terhadap perubahan suhu lingkungan, terutama perubahan
yang drastis. Suhu tinggi bisa menyebabkan konsumsi pakan menurun dan berakibat
pada menurunnya laju pertumbuhan dan kemampuan reproduksi
Pada umur kebuntingan 5 bulan tidak memberikan perbedaan nyata dalam hal
persentasi kematian dibandingkan dengan umur kebuntingan 6 dan 7 bulan, hal ini
disebabkan karena pada umur 5-7 bulan belum dapat menyesuaikan diri dengan suhu
dari daerah asal ke daerah yang di impor, selain itu ternak juga mengalami stress
kandang dan pakan sehingga ternak tersebut tidak mau makan dan lama kelamaan
kondisi tubuh menurun dan akhir masa kebuntingan induk tidak dapat memproduksi
susu yang berpengaruh terhadap kondisi anak yang dilahirkan. Menurut Kartadisastra
(1997), kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan, dicerminkan oleh kebutuhannya
terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada jenis
ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting atau menyusui), kondisi tubuh
(sehat, sakit), dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur dan kelembaban nisbi
udara).
Demikian halnya pada umur kebuntingan 5, 6, dan 7 bulan berbeda sangat
nyata lebih tinggi (P<0,01) persentasi kematian dibandingkan dengan umur 8 dan 9
bulan, dikarenakan pada umur 8-9 bulan kondisi tubuh dari ternak masih bagus dan
tidak melewati penyesuaian lingkungan yang begitu lama karena setiba di daerah
yang di impor induk sudah langsung melahirkan sehingga anak yang dihasilkan juga
sehat., selain itu system pemeliharaan dari daerah asal juga sangat mendukung yaitu
dengan system pemeliharaan secara ekstensif Menurut Susilorini (2008), sistem
ekstensif yaitu semua aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan yang sama
sehingga ternak tidak mengalami stress.
Secara umum yang menjadi sumber utama pakan ternak pada musim hujan
(Desember-Mei) adalah rumput alam, dan sebagai alternatif pakannya adalah limbah
pertanian seperti jerami padi, jerami kedele. Sedangkan pada musim kemarau Juni-
Nopember) saat rumput sudah berkurang ketersediaannya di lahan-lahan umum atau
di sekitar lahan pertanian, sebagai pakan utamanya adalah jerami padi, jerami kedele
dan jenis legum seperti turi, lamtoro dan gamal.
Musim melahirkan perkawinan diharapkan hanya terjadi pada bulan Juni-
Desember pada saat pejantan tersedia. Namun hasilnya diperoleh anak-anak sapi
lahir pada bulan Maret – Desember. Seharusnya anak-anak sapi lahir hanya sampai
bulan Agustus. Hal ini dapat terjadi karena adanya induk pada saat tertentu
digembalakan atau diikat berpindah-pindah pada suatu area di luar kandang. Sehingga
tidak menutup kemungkinan terjadi perkawinan pada saat digembalakan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka
dapat diperoleh kesimpulan yaitu :
1. Tingkat kelahiran Sapi Brahman impor pada umur kebuntingan muda relatif lebih
tinggi dibandingkan umur kebuntingan tua.
2. Tingkat kematian Sapi Brahman impor pada umur kebuntingan sedang dan tua
relatif lebih tinggi dibandingkan umur kebuntingan muda.
Saran
Sebaiknya pada saat ingin mengimpor sapi perlu diperhatikan secara teliti
tentang pemeriksaan kebuntingan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengetahui
umur kebuntingan tersebut dan dalam mengimpor sapi bunting sebaiknya diimpor
umur kebuntingan yang muda.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Anonimª, 2004. Kabupaten Sidrap Dalam Angka . BPS Kab.Sidrap,Sulawesi Selatan
AnonimƄ, 2011. Kabupaten Sidenreng Rappang. Wikipedia. Diakses 11 September 2011
Anonimc, 2011. Mengenai Peternakan dan Pemerintahan. Wikipedia. Diakses 17 September 2011.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Chantalakhana, Ch. And P. Skunmun, 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.
Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.
Davidson, T., M. McGowan, D. Mayer, B. Young, N. Jonsson, A. Hall, A. Matschoss, P. Goodwin, J. Goughan and M. Lake, 2000. Managing Hot Cows in Australia.The Dairy research and Development Corporation, Queensland.
Fowler ME. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine4thed. Philadelphia :W.B.SaundersCompany. Hlm. 34-35
Gunawan; Abubakar; Tri Pambudi, G; Karim, K; Nista, D; Purwadi, A.dan Putro, P. P. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal. 5 Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.
Hardjopranjoto, H.S, 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press, Hal: 103-114, 139-146
Hunter, R. H. F. 1985. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB Bandung. Bandung. (Diterjemahkan oleh DK Harya Putra)
Jacob, T.N. 1994. Budidaya Ternak Potong. Kanisius, Yogyakarta
Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Cetakan kesatu. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Lubis, Mochtar, etall. 1992. Visi Wartawan 45. Jakarta : PT. Media Sejahtera
Minish, G. L. and D. G. Fox, 1979. Beef Production and Management. Reston Publishing Co., Inc. A Prentice-Hall Co., Reston, Virginia.
Peters, A.R. and P.J.H. Ball. 1987. Reproduction in cattle. Butterworths, London
Puslitbangnak. 2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Badan Litbang Pertanian, Bogor
Putu, I.G., Dewyanto, P. Sitepu, T.D. Soedjana, 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 7-8 Januari 1997 hal. 50-63.
Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Cetakan I. PenebarSwadaya. Jakarta
Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Smith TE, French JA. 1997. Psychosocial stress and urinary cortisol excretionIn Marmoset Monkeys (Callthrix kuhli),Physiol Behav. 62 (2): 225-232
Sorensen, A.M. 1979. Reproduction Laboratory A Laboratory Manual for Animal Reproduction. 4th Ed. American Press. Massachusets.
Sugeng, Y.B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sumedi. Sudarsono, 2000, Metodologi Penelitian. Bidang Kedokteran, UI Press, Jakarta
Susilorini, E. T. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tillman, A. D.,S, Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 1981. Ilmu Kemajiran Ternak Edisi Pertama. IPB, Bogor, Hal: 52-57, 76-85
Turner, H.N. 1981. Animal genetic resources. Int. Goat and Sheep Res. 1(4):243.
Yousef, M.K. 1984. Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
LAMPIRAN
Crosstabs
Case Processing Summary
1093 98.9% 12 1.1% 1105 100.0%Kebuntinga * KematianN Percent N Percent N Percent
Valid Missing TotalCases
Kebuntingan*Kematian Crosstabulation
Kematian
TotalLahir MatiKebuntingan 3 bulan Count 280 4 284
Expected Count 255.7 28.3 284% of Total 98.6% 1.40% 100.00%
4 bulan Count 432 35 467Expected Count 420.4 46.6 467% of Total 92.5% 7.50% 100.00%
5 bulan Count 102 33 135Expected Count 121.5 13.5 135% of Total 75.6% 24.40% 100.00%
6 bulan Count 82 24 106Expected Count 95.4 10.6 106% of Total 77.4% 22.60% 100.00%
7 bulan Count 55 10 65Expected Count 58.5 6.5 65% of Total 84.6% 15.40% 100.00%
8 bulan Count 27 2 29Expected Count 26.1 2.9 29% of Total 93.1% 6.90% 100.00%
9 bulan Count 6 1 7Expected Count 6.3 7 7
% of Total 85.7% 14.30% 100.00%Total Count 984 109 1093
Expected Count 984 109 1093% of Total 90.0% 10.00% 100.00%
Chi-Square Tests
79.408a 6 .00078.920 6 .000
36.482 1 .000
1093
Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
2 cells (14.3%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is .70.
a.
Custom Tables
Table 1
280 4432 35712 39
3 bulan4 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
13.2871
.000*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
280 4102 33382 37
3 bulan5 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
60.3141
.000*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
280 482 24
362 28
3 bulan6 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
52.2211
.000*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
280 455 10
335 14
3 bulan7 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
26.8321
.000*,a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
More than 20% of cells in this subtable have expectedcell counts less than 5. Chi-square results may beinvalid.
a.
280 427 2
307 6
3 bulan8 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
4.2151
.040*,a,b
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
More than 20% of cells in this subtable have expectedcell counts less than 5. Chi-square results may beinvalid.
a.
The minimum expected cell count in this subtable isless than one. Chi-square results may be invalid.
b.
280 46 1
286 5
3 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
6.7081
.010*,a,b
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
More than 20% of cells in this subtable have expectedcell counts less than 5. Chi-square results may beinvalid.
a.
The minimum expected cell count in this subtable isless than one. Chi-square results may be invalid.
b.
432 35102 33534 68
4 bulan5 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
30.0281
.000*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
432 3582 24
514 59
4 bulan6 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
21.4591
.000*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
432 3555 10
487 45
4 bulan7 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
4.5871
.032*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
432 3527 2
459 37
4 bulan8 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.0141
.905a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
More than 20% of cells in this subtablehave expected cell counts less than 5.Chi-square results may be invalid.
a.
432 356 1
438 36
4 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.4531
.501a,b
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
More than 20% of cells in this subtable haveexpected cell counts less than 5. Chi-square resultsmay be invalid.
a.
The minimum expected cell count in this subtable isless than one. Chi-square results may be invalid.
b.
102 3382 24
184 57
5 bulan6 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.1071
.744
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
102 3355 10
157 43
5 bulan7 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
2.1341
.144
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
102 3327 2
129 35
5 bulan8 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
4.3791
.036*
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
The Chi-square statistic is significant at the 0.05 level.*.
102 336 1
108 34
5 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.3771
.539a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
More than 20% of cells in this subtablehave expected cell counts less than 5.Chi-square results may be invalid.
a.
82 2455 10
137 34
6 bulan7 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
1.3321
.248
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
82 2427 2
109 26
6 bulan8 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
3.6301
.057
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
82 246 1
88 25
6 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.2661
.606a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
More than 20% of cells in this subtablehave expected cell counts less than 5.Chi-square results may be invalid.
a.
55 1027 282 12
7 bulan8 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
1.2971
.255a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
More than 20% of cells in this subtablehave expected cell counts less than 5.Chi-square results may be invalid.
a.
55 106 1
61 11
7 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.0061
.939a
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows andcolumns in each innermost subtable.
More than 20% of cells in this subtablehave expected cell counts less than 5.Chi-square results may be invalid.
a.
27 26 1
33 3
8 bulan9 bulanTotal
KebuntingaCountHidup
CountMati
Kematian
Pearson Chi-Square Tests
.4031
.526a,b
Chi-squaredfSig.
KebuntingaKematian
Results are based on nonempty rows and columns in eachinnermost subtable.
More than 20% of cells in this subtable haveexpected cell counts less than 5. Chi-square resultsmay be invalid.
a.
The minimum expected cell count in this subtable isless than one. Chi-square results may be invalid.
b.
RIWAYAT HIDUP
A. Fauziah. Djafar (I11107019), lahir pada tanggal 24
November 1987 di Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis yang
biasa disapa “Chia”adalah anak ketiga dari tiga bersaudara,
anak dari pasangan suami istri Drs. M. Djafar Bali dan Hj. A.
Fatmawati. Penulis mengawali pendidikan di TK AT-Taubah
Pada Tahun 1994 sampai 1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di
SD Negeri InpresTamamaung I sampai tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Makassar, Lulus pada tahun 2003. Pada
tahun 2003 melanjutkan pendidikan di SMA Kartika Wirabuana-I Makassar, Penulis
lulus SMA pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke
Universitas Hasanuddin Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak Program Studi
Produksi Ternak.