Post on 17-Jan-2016
ii
PENGETAHUAN KONTEKSTUAL, KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM MENGAKTIFKAN KOMPETENSI
MATEMATIKA (PISA)
Di Adaptasi Dari Jurnal
The Role Of Contextual, Conceptual and Procedural Knowledge In
Activating Mathematical Competencies (PISA)
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengajaran
Matematika
Dosen Pembina: Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd
Oleh :
Siti Rohmawati
(147785003)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014
ii
Daftar Isi
Halaman Judul .............................................................................................. i
Daftar Isi ....................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 6
C. Definisi Istilah ...................................................................................... 6
BAB II Kajian Pustaka ................................................................................ 8
A. PISA ...................................................................................................... 8
1. Literasi Matematika dan Tujuannya ................................................... 9
2. Kemampuan Matematis dalam PISA .................................................. 13
3. Konteks dalam PISA .......................................................................... 15
4. Konten PISA ...................................................................................... 17
5. Level dalam PISA .............................................................................. 19
B. Pengetahuan........................................................................................... 22
1. Pengertian Pengetahuan ..................................................................... 22
2. Tingkat Pengetahuan .......................................................................... 23
3. Pengukuran Pengetahuan ................................................................... 24
4. Cara Memperoleh Pengetahuan .......................................................... 24
C. Pengetahuan Kontekstual dalam Matematika ......................................... 25
D. Pengetahuan Konseptual dalam Matematika .......................................... 29
E. Pengetahuan Prosedural dalam Matematika ............................................ 35
F. Kompetensi ............................................................................................ 39
G. Hubungan Pengetahuan Kontekstual, Konseptual dan Prosedural dalam
Mengaktifkan Kompetensi Matematika .................................................. 43
BAB III Penutup .......................................................................................... 45
A. Kesimpulan .......................................................................................... 45
Daftar Pustaka .............................................................................................. 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa terlepas dari masalah yang
selalu datang dan pergi setiap saat. Dibutuhkan suatu pemikiran untuk dapat
menyelesaikan setiap masalah yang ada. Perbedaan pengetahuan setiap individu
menjadi dasar bagaimana individu tersebut dapat menyelesaikan suatu masalah.
Perbedaan pengetahuan setiap individu tersebut menghasilkan suatu
pemahaman yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi.
Perbedaan pemahaman setiap individu tentu berdampak pada kemampuan
penyelesaian masalah. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman tinggi akan
memiliki kemampuan penyelesaian yang tinggi pula. Siswa yang memiliki
kemampuan pemahaman rendah akan memiliki kemampuan penyelesaian yang
rendah pula. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan pemahaman sedang
akan sulit didefinisikan. Hal ini karena siswa yang memiliki kemampuan
pemahaman sedang mempunyai kecenderungan apakah siswa tersebut memiliki
kemampuan pemahaman yang tinggi atau memiliki tingkat pemahaman yang
rendah.
PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi
internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa
sekolah berusia 15 tahun. PISA merupakan salah satu program untuk mengukur
pengetahuan, keterampilan, serta sikap siswa yang terakumulasi melalui proses
2
pendidikan hampir mencapai 10 tahun sehingga dapat diketahui sejauh mana
mereka siap menghadapi tantangan di masa depan.
Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang berpartisipasi dalam
program PISA. Manfaat yang diperoleh siswa sebagai partisipan adalah untuk
mengaplikasikan konsep dari materi yang telah diterima di sekolah ke dalam
masalah kehidupan sehari-hari melalui soal-soal yang dirilis oleh PISA.
Berdasarkan survey Internasional PISA, posisi Indonesia dibandingkan negara-
negara lain sebagai berikut:
Tabel 1.1 Survey Internasional PISA
Tahun Studi
Mata Pelajaran Skor Rata-rata Indonesia
Skor Rata-rata Internasional
Peringkat Indonesia
Jumlah Negara Peserta Studi
2000 Matematika 367 500 39 41 2003 Matematika 360 500 38 40 2006 Matematika 391 500 50 57 2009 Matematika 371 500 61 65 2012 Matematika 375 494 64 65
(Sumber : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terbit pada 15 Agustus 2011 dan PISA 2012 Result in Focus)
Berdasarkan data di muka, dapat diketahui bahwa Indonesia selalu berada
pada urutan tujuh terbawah dibandingkan negara-negara lainnya. Hasil studi PISA
merupakan salah satu ukuran untuk melihat kemampuan pemecahan masalah
matematika. Sehingga dapat diketahui bahwa siswa di Indonesia masih lemah
dalam kemampuan pemecahan masalah matematika PISA. Wardhani (2011)
mengatakan bahwa penyebab dari lemahnya kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah PISA adalah siswa kurang terbiasa melakukan proses
3
pemecahan masalah dengan benar, yaitu dengan tahapan memahami masalah,
merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan
mengecek hasil pemecahan masalah. Selain itu siswa kurang terbiasa
menyelesaikan soal yang melatih munculnya kreativitas dalam rangka membuat
kesimpulan.
Sugiman (2009), mengatakan bahwa apabila soal yang dihadapi siswa
merupakan tipe soal yang sering ditemuinya sehingga ia hanya menggunakan
prosedur yang sering digunakan maka soal tersebut merupakan soal rutin dan
bukan merupakan masalah baginya. Namun, jika seorang siswa menghadapi tipe
soal yang belum pernah ia temui sebelumnya dan belum diketahui bagaimana
prosedur menyelesaikannya maka soal tersebut akan menjadi suatu masalah bagi
siswa.
Creemers dan Kyriakides (2006) secara kritis menganalisis kelemahan
penelitian dalam efektivitas pendidikan. Misalnya, mereka mengutip penelitian
Scriven (1994) yang melihat subjek pengetahuan guru sebagai faktor yang
mempengaruhi efektifitas guru. Mereka juga mengutip penelitian Darling-
Hammond (2000) yang menemukan pengetahuan ini jarang berkorelasi secara
signifikan dengan kinerja murid.
Creemers dan Kyriakides (2006) mengusulkan suatu model multilevel
dinamis dari efektivitas (sistem pendidikan, sekolah, ruang kelas). Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa hubungan beberapa faktor efektivitas dengan
kinerja siswa tidak harus linier (mungkin lengkung) dan bahwa setiap faktor
diukur dalam kaitannya dengan lima dimensi (umum untuk semua faktor). Pada
4
tingkat kelas, model dinamis mendefinisikan delapan faktor efektivitas yang
menggambarkan peran instruksional guru dan secara konsisten terkait dengan
kinerja murid. Beberapa dari mereka (misalnya orientasi dan pemodelan
mengajar) menitikberatkan pengajaran melalui pemahaman dan mempromosikan
pencapaian tujuan pendidikan baru seperti pengembangan keterampilan berpikir
dari suatu tatanan lebih tinggi, dan khususnya kemampuan memecahkan masalah,
di luar pengajaran berdasarkan transmisi pengetahuan.
Ponte dan Chapman (2006) mendiskusikan studi yang berfokus pada
pengetahuan guru matematika dan praktek dalam hal masalah, hasil dan
perspektif. Leikin dan Levav-Waynberg (2007) mengungkapkan hubungan yang
kompleks antara berbagai jenis pengetahuan guru untuk menjelaskan kesenjangan
antara teori berbasis rekomendasi dan praktek sekolah. Penelitian Efektivitas guru
telah menunjukkan bahwa guru yang efektif diharapkan untuk membantu siswa
untuk menggunakan strategi dan mengembangkan strategi mereka sendiri yang
dapat membantu mereka memecahkan berbagai jenis masalah (Kyriakides, 2002).
Menurut Sobel dan Maletsky dalam bukunya Mengajar Matematika
(2001:1-2) “banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran
dengan kegiatan membahas tugas-tugas, lalu memberi pelajaran baru, memberi
tugas kepada siswa”. Pembelajaran seperti di atas yang rutin dilakukan hampir
tiap hari dapat dikategorikan sebagai 3M, yaitu membosankan, membahayakan
dan merusak seluruh minat siswa. Apabila pembelajaran seperti ini terus
dilaksanakan maka kompetensi dasar dan indikator pembelajaran tidak akan dapat
tercapai secara maksimal. Walaupun pembelajaran tersebut dapat meningkatkan
5
hasil belajar matematika siswa, namun konsep matematika yang diajarkan tersebut
terkadang tidak bertahan lama dalam memori siswa. Hal ini dapat diketahui baik
selama proses pembelajaran lanjutan materi tersebut maupun ketika dilaksanakan
evaluasi materi tersebut, para siswa juga tidak mampu menggunakan konsep
matematika yang telah dipelajarinya untuk menyelesaikan permasalahan sehari-
hari.
Rico (2006) menjelaskan bahwa PISA tidak terkait dengan kurikulum
tradisional dari program studi, tetapi merupakan bagian dari struktur kurikulum
yang tepat dan koheren. Dia mendefinisikan model pembelajaran matematika
fungsional berdasarkan tiga elemen:
1. Tugas dikontekstualisasikan: Ini menciptakan situasi di mana masalah
berada. Mereka mewakili pendekatan model PISA terhadap fenomenologi
didactical struktur matematika (Freudenthal, 1983).
2. Alat-alat Konseptual: Ini adalah konten matematika yang diperlukan untuk
memecahkan masalah, diatur sesuai dengan struktur konseptual dan
prosedur.
3. Sebuah subjek kognitif: subjek harus mengaktifkan kompetensi kognitif
tertentu atau proses untuk menghubungkan dunia nyata di mana masalah
yang dihasilkan dengan matematika dibutuhkan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut.
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan hidup yang semakin berat,
para siswa juga tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Hal ini terkait
dengan kebiasaan siswa yang tidak terbina untuk berpikir pada tingkat yang lebih
6
tinggi, kritis, kreatif dan pemecahan masalah, serta tidak mampu melakukan
pengaitan penerapan konsep dan prosedural yang dipelajari dengan permasalahan
di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari atau kontekstual yang menggunakan
matematika sebagai alat pemecahan masalah.
Menurut Rittle-Johnson dan Koedinger (2005), pengetahuan terstruktur benar
membutuhkan orang untuk mengintegrasikan kontekstual mereka, pengetahuan
konseptual dan prosedural dalam sebuah domain. Dalam hal ini, penulis
mengusulkan bahwa informasi pada tiga jenis pengetahuan akan menawarkan
kunci untuk memahami proses mengaktifkan kompetensi mata pelajaran
matematika.
Berdasarkan uraian di atas, maka pada kesempatan ini penulis tertarik menulis
makalah dengan judul “Pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural
dalam mengaktifkan kompetensi matematika (PISA)”
B. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui
peran pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural dalam kompetensi
matematika.
C. Definisi Istilah
1. Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi
internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains
siswa sekolah berusia 15 tahun.
2. Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
7
3. Pengetahuan kontekstual merupakan pengetahuan matematika yang
dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari.
4. Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan yang memiliki banyak
keterhubungan antara obyek-obyek matematika (seperti fakta, skill, konsep
atau prinsip) yang dapat dipandang sebagai suatu jaringan pengetahuan
yang memuat keterkaitan antara satu dengan lainnya.
5. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang urutan kaidah-
kaidah, prosedur-prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal
matematika.
6. Kompetensi adalah proses kognitif yang harus diaktifkan untuk
menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika
dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.
7. Mengaktifkan kompetensi diartikan sebagai menjadikan siswa mampu
menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika
dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PISA
Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi
internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa
sekolah berusia 15 tahun. PISA sendiri merupakan proyek dari Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) yang pertama kali
diselenggarakan pada tahun 2000. Ide utama dari PISA adalah hasil dari sistem
pendidikan harus diukur dengan kompetensi yang dimiliki oleh siswa dan konsep
utamanya adalah literasi (Neubrand, 2005).
PISA dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003,
2006, 2009, dan seterusnya. Sejak tahun 2000 Indonesia mulai sepenuhnya
berpartisipasi pada PISA. Pada tahun 2000 sebanyak 41 negara berpartisipasi
sebagai peserta sedangkan pada tahun 2003 menurun menjadi 40 negara dan pada
tahun 2006 melonjak menjadi 57 negara. Jumlah negara yang berpartisipasi pada
studi ini meningkat pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 negara. PISA terakhir
diadakan pada tahun 2012, dan jumlah negara yang berpartisipasi pada studi ini
sama pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 negara.
Dalam melakukan studi ini, setiap negara harus mengikuti prosedur operasi
standar yang telah ditetapkan, seperti pelaksanaan uji coba dan survei,
penggunaan tes dan angket, penentuan populasi dan sampel, pengelolaan dan
analisis data, dan pengendalian mutu. Desain dan implementasi studi berada
dalam tanggung jawab konsorsium internasional yang beranggotakan the
8
9
Australian Council for Educational Research (ACER), the Netherlands National
Institute for Educational Measurement (Citogroep), the National Institute for
Educational Policy Research in Japan (NIER), dan WESTAT United States.
1. Literasi Matematika dan Tujuannya
Salah satu tujuan dari PISA adalah untuk menilai pengetahuan matematika
siswa dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah
mengapa digunakan istilah literasi metematika karena dalam PISA matematika
tidak hanya dipandang sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, akan tetapi
bagaimana siswa dapat mengplikasikan suatu pengetahuan dalam masalah dunia
nyata (real world) atau kehidupan sehari-hari. Sehingga pengetahuan tersebut
dapat dirasa lebih kebermanfaatan secara langsung oleh siswa. Pada PISA
matematika, dengan memiliki kemampuan literasi matematika maka akan dapat
menyiapkan siswa dalam pergaulan di masyarakat modern (OECD, 2010).
Meningkatnya permasalahan yang akan dihadapi oleh siswa dikehidupannya
membutuhkan kepahaman akan matematika, penalaran matematika, peralatan
matematika, dll sebelum mereka benar-benar menjalankan dan melewati
permasalahan nyata itu.
Dari definisi matematika literasi di atas dapat dikatakan bahwa literasi
matematika merupakan kapasitas masing-masing individu untuk
memformulasikan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika di banyak
situasi konteks. Kepahaman individu meliputi membuat penalaran matematika dan
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat untuk mendeskrepsikan,
menjelaskan dan memprediksi sebuah kejadian. Hal itu membantu individu untuk
10
memahami aturan yang menjadikan matematika sebagai acuan pada kenyataan
dan untuk membuat pertimbangan serta keputusan yang dibutuhkan dengan
mengkonstruksi, menggunakan dan merefleksikan diri sebagai warganegara.
Seseorang dikatakan memiliki tingkat literasi matematika baik apabila ia
mampu menganalisis, bernalar, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan
keterampilan matematikanya secara efektif, serta mampu memecahkan dan
menginterpretasikan penyelesaian matematika. Dengan demikian, pengetahuan
dan pemahaman tentang literasi matematika sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari siswa.
Kemampuan literasi matematika dapat dilakukan penilaian. PISA menyajikan
teknik penilaian literasi matematika yang didasarkan pada konten, konteks dan
kelompok kompetensi. PISA menilai level dan tipe matematika yang sesuai
dengan anak usia 15 tahun dalam mengikuti alur (trajectory) untuk menjadi warga
yang konstruktif, reflektif dan dapat memberikan keputusan dan pendapat yang
baik (OECD, 2010).
Matematika literasi yang dimiliki siswa dilihat bagaimana cara siswa dalam
menggunakan kemampuan dan keahlian matematika untuk menyelesaikan
permasalahan. Permasalahan mungkin terjadi di berbagai macam situasi atau
konteks yang berhubungan dengan tiap individu. Untuk menyelesaikan
permasalahan maka dibutuhkan mathematical content yang diorganisasikan oleh
overaching ideas. Mathematical competencies harus diaktifkan untuk
menyambungkan ke realita kehidupan dimana permasalahan muncul dengan
matematika dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
11
Setiap proses literasi matematika memiliki aktivitas-aktivitas yang bisa
diketahui seperti tabel berikut:
Tabel 2.1 : Proses literasi dan aktivitas siswa
Proses literasi Aktivitas
Memformulasikan
situasi secara
matematika
Mengidentifikasi aspek-aspek matematika dalam
permasalahan yang terdapat pada situasi konteks nyata
serta mengidentifikasi variabel yang penting.
Memahami struktur matematika dalam permasalahan
atau situasi.
Menyederhanakan situasi atau masalah untuk
menjadikannya mudah diterima dengan analisis
matematika.
Mengidentifikasi hambatan dan asumsi dibalik model
matematika dan menyederhanakannya.
Merepresentasikan situasi secara matematika dengan
menggunakan variabel, simbol diagram dan model
dasar yang sesuai.
Merepresentasikan permasalahan dengan cara yang
berbeda
Memahami dan menjelaskan hubungan antara bahasa,
simbol dan konteks sehingga dapat disajikan secara
matematika
Mengubah permasalahan menjadi bahasa matematika
12
atau model matematika
Memahami aspek-aspek permasalahan yang
berhubungan dengan masalah yang telah diketahui,
konsep matematika, fakta atau prosedur
Menggunakan teknologi untuk menggambarkan
hubungan matematika sebagai bagian dari masalah
konteks.
Menerapkan konsep,
fakta, prosedur dan
penalaran matematika
Merancang dan mengimplementasikan strategi untuk
menemukan solusi matematika
Menggunakan alat dan teknologi matematika untuk
membatu mendapatkan solusi yang tepat
Menerapkan fakta, aturan, algoritma dan struktur
matematika ketika mencari solusi
Memanipulasi bilangan, grafik, data statistik, bentuk
aljabar, informasi, persamaan, dan bentuk geometri.
Membuat diagram matematika, grafik, dan
mengkonstruksi serta mengekstraksi informasi
matematika.
Menggunakan dan menggantika berbagai macam
situasi dalam proses menemukan solusi
Membuat generalisasi berdasarkan pada prosedur dan
hasil matematika untuk mencari solusi
Merefleksikan pendapat matematika dan menjelaskan
13
serta memberikan penguatan hasil matematika
Mengiterpretasikan, menggunakan dan mengevaluasi
hasil matematika.
Menginterpretasikan kembali hasil matematika ke
dalam masalah nyata.
Mengevaluasi alasan-alasan yang reasonable dari
solusi matematika ke dalam masalah nyata
Memahami bagaimana realita memberikan dampak
terhadap hasil dan perhitungan dari prosedur atau
model matematika dan bagaimana penerapan dari
solusi yang didapatkan apakah sesuai dengan
konteks perrmasalahan
Menjelaskan mengapa hasil matematika dapat atau
tidak dapat sesuai dengan permasalahan konteks yang
diberikan
Memahami perluasan dan batasan dari konsep dan
solusi matematika
Mengkritik dan mengidentifikasi batasan dari
model yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
(OECD, 2010)
2. Kemampuan Matematis dalam PISA
Adapun kemampuan matematis yang digunakan dalam penilaian proses
matematika dalam PISA adalah (OECD, 2010):
14
a. Komunikasi (Communication)
Siswa merasakan adanya beberapa tantangan dan dirangsang untuk
mengenali dan memahami masalah. Membaca, mengkode dan
menginterpretasikan pernyataan, pertanyaan, tugas atau benda yang
memungkinkan siswa untuk membentuk mental dari model situasi yang
merupakan langkah penting dalam memahami, menjelaskan, dan merumuskan
masalah. Selama proses penyelesaian masalah, perlu diringkas dan disajikan.
Kemudian setelah solusi ditemukan, maka pemecah masalah perlu untuk
mempresentasikan solusi yang didapatkan, dan melakukan justifikasi terhadap
solusinya.
b. Matematisasi (Mathematizing)
Istilah matematisasi digunakan untuk menggambarkan kegiatan
matematika dasar yang terlibat dalam bentuk mentransformasi masalah yang
didefinisikan dalam kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk matematis (yang
mencakup struktur, konsep, membuat asumsi, dan atau merumuskan model),
atau menafsirkan, mengevaluasi hasil matematika atau model matematika
dalam hubungannya dengan masalah kontekstual.
c. Representasi (Representation)
Pada kemampuan representasi ini, siswa merepresentasikan hasilnya baik
dalam bentuk grafik, tabel, diagram, gambar, persamaan, rumus, deskripsi
tekstual, dan materi yang konkrit.
15
d. Penalaran dan Argumen (Reasoning and Argument)
Kemampuan ini melibatkan kemampuan siswa untuk bernalar secara logis
untuk mengeksplorasi dan menghubungkan masalah sehingga mereka
membuat kesimpulan mereka sendiri, memberikan pembenaran terhadap
solusi mereka.
e. Merumuskan strategi untuk memecahkan masalah (Devising Strategies for
Solving Problems)
Kemampuan ini melibatkan siswa untuk mengenali, merumuskan, dan
memecahkan masalah. Hal ini ditandai dengan kemampuan dalam
merencanakan strategi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah
secara matematis.
f. Menggunakan bahasa simbolik, formal, dan teknik, serta operasi (Using
symbolic, formal, and technical language, and operations)
Hal ini melibatkan kemampuan siswa untuk memahami,
menginterpretasikan, memanipulasi, dan menggunakan simbol-simbol
matematika dalam pemecahan masalah.
g. Menggunakan alat-alat matematika (Using Mathematical Tools)
Hal ini melibatkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat
matematika seperti alat ukur, kalkulator, komputer, dan lain sebagainya.
3. Konteks dalam PISA
Salah satu aspek penting dari kemampuan literasi matematika adalah
keterlibatan matematika dalam pemecahan masalah di berbagai konteks. Konteks
yang dimaksud adalah situasi yang padanya dapat dilekatkan suatu permasalahan
16
dan pada situasi tersebut terdapat informasi-informasi yang dapat dijadikan solusi
terhadap permasalahan tersebut (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Konteks yang
digunakan adalah konteks yang dekat dan diketahui dalam kehidupan sehari-hari
siswa.
Adapun konteks matematika dalam PISA dapat dikategorikan menjadi empat
konteks (OECD, 2010) yaitu:
a. Konteks pribadi (Personal)
Konteks pribadi yang berhubungan langsung dengan kegiatan pribadi
siswa sehari-hari, baik kegiatan diri sendiri, kegiatan dengan keluarga, maupun
kegiatan dengan teman sebayanya. Jenis konteks pribadi tidak terbatas pada
persiapan makanan, belanja, bermain, kesehatan pribadi, transportasi pribadi,
olahraga, traveling, jadwal pribadi, dan keuangan pribadi. Matematika
diharapkan dapat berperan dan menginterpretasikan permasalahan dan
kemudian memecahkannya.
b. Konteks pekerjaan (Occupational)
Konteks pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di sekolah dan
atau tempat lingkungan siswa bekerja. Konteks pekerjaan tidak terbatas pada
hal-hal seperti mengukur, biaya dan pemesanan bahan bangunan, menghitung
gaji, pengendalian mutu, penjadwalan, arsitektur, dan pekerjaan yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan. Konteks pekerjaan berhubungan
dengan setiap tingkat tenaga kerja, dari tingkatan terendah sampai tingkatan
yang tertinggi yang dikenal oleh siswa. Matematika diharapkan dapat
17
membantu untuk merumuskan, melakukan klasifikasi masalah, dan
memecahkan masalah tersebut.
c. Konteks umum (Societal)
Konteks umum berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika
dalam kehidupan bermasyarakat baik lokal, nasional, maupun global dalam
kehidupan sehari-hari. Konteks umum dapat berupa masalah sistem voting,
angkutan umum, pemerintah, kebijakan publik, demografi, iklan, statistik
nasional, masalah ekonomi, dan lain sebagainya. Siswa diharapkan dapat
menyumbangkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan konsep
matematikanya untuk mengevaluasi berbagai keadaan yang relevan dalam
kehidupan di masyarakat.
d. Konteks keilmuan (scientific)
Kegiatan keilmuan yang secara khusus berkaitan dengan kegiatan ilmiah
yang lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman dan penguasaan teori
dalam melakukan pemecahan matematika. Konteks keilmuan juga berkaitan
dengan penerapan matematika di alam, isu-isu dan topik-topik yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti cuaca atau iklim, ekologi,
kedokteran, ilmu ruang, genetika, pengukuran, dan dunia matematika itu
sendiri.
4. Konten PISA
Konten matematika dalam PISA ditentukan berdasarkan hasil studi yang
mendalam serta berdasarkan konsensus di antara negara-negara OECD agar
pencapaian siswa itu dapat dibandingkan secara internasional dengan
18
memperhatikan keragaman masing-masing negara peserta (Hayat dan Yusuf,
2010). Disamping itu, OECD (2010) juga menyebutkan bahwa konten matematika
dalam PISA diusulkan berdasarkan fenomena matematika yang mendasari dari
beberapa masalah dan yang telah memotivasi dalam pengembangan konsep
matematika dan prosedur tertentu. Adapun konten matematika dalam PISA dibagi
menjadi empat konten (OECD, 2010), yaitu:
a. Change and Relationships (Perubahan dan Hubungan)
Perubahan dan hubungan berkaitan dengan pokok pelajaran aljabar.
Hubungan matematika sering dinyatakan dengan persamaan atau hubungan
yang bersifat umum, seperti penambahan, pengurangan, dan pembagian.
Hubungan ini juga dinyatakan dalam berbagai simbol aljabar, grafik, bentuk
geometris, dan tabel. Oleh karena setiap representasi simbol itu memiliki
tujuan dan sifatnya masing-masing, proses penerjemahannya sering menjadi
sangat penting dan menentukan sesuai dengan situasi dan tugas yang harus
dikerjakan.
b. Space and Shape (Ruang dan Bentuk)
Ruang dan bentuk berkaitan dengan pelajaran geometri. Soal tentang
ruang dan bentuk ini menguji kemampuan siswa mengenali bentuk, mencari
persamaan dan perbedaan dalam berbagai dimensi dan representasi bentuk,
serta mengenali ciri-ciri suatu benda dalam hubungannya dengan posisi benda
tersebut. Wijaya (2012) menyebutkan bahwa, untuk memahami konsep space
and shape dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi persamaan dan
19
perbedaan objek berbeda, menganalisis komponen-komponen dari suatu objek,
dan mengenali suatu bentuk dalam dimensi dan representasi yang berbeda.
c. Quantity (Bilangan)
Bilangan berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan, antara
lain kemampuan untuk memahami ukuran, pola bilangan, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan bilangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
menghitung dan mengukur benda tertentu. Termasuk dalam konten bilangan ini
adalah kemampuan bernalar secara kuantitatif, merepresentasikan sesuatu
dalam angka, memahami langkah-langkah matematika, berhitung di luar
kepala, dan melakukan penaksiran.
d. Uncertainty and Data (Probabilitas/Ketidakpastian dan Data)
Probabilitas/ketidakpastian dan data berhubungan dengan statistik dan
peluang yang sering digunakan dalam masyarakat informasi. Penyajian dan
interpretasi data adalah konsep kunci dalam konten ini.
5. Level dalam PISA
Aktivitas yang dilakukan siswa
a. Siswa dapat melakukan konseptualisasi, generalisasi dan menggunakan
informasi berdasarkan pada investegasi dan modeling pada situasi
permasalahan yang kompleks.
b. Siswa dapat menghubungkan sumber informasi berbeda dengan fleksibel
dan menerjemahkannya.
c. Siswa mampu berpikir dan bernalar secara matematika.
20
d. Siswa dapat menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai
dengan penguasaan teknis operasi matematika, mengembangkan strategi
dan pendekatan baru dalam menghadapi situasi yang baru.
e. Siswa dapat merumuskan dan mengkomunikasikan dengan tepat
tindakannya dan merefleksikan dengan mempertimbangkan temuannya,
interpretasinya, pendapatnya, dan ketepatan pada situasi yang nyata.
Level 6( ≥ 669,3)
a. Siswa dapat mengembangkan dan bekerja dengan model pada situasi yang
komplek, mengidentifikasi kendala dan menjelaskan dengan tepat
dugaan-dugaan.
b. Siswa memilih, membandingkan dan mengevaluasi strategi penyelesaian
masalah yang sesuai ketika berhadapan dengan situasi yang rumit yang
berhubungan dengan model tersebut.
c. Siswa bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas,
serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan ketrampilan
matematikanya dengan situasi yang dihadapi.
d. Siswa dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan dan
mengkomunikasikan interpretasi dan penelarannya.
Level 5 ( ≥ 607,0)
a. Siswa dapat bekerja secara efektif dengan model yang tersirat dalam
situasi yang konkret tetapi komplek yang terdapat hambatan-hambatan
atau membuat asumsi-asumsi.
21
b. Siswa dapat memilih dan mengabungkan representasi yang berbeda
termasuk menyimbolkannya dan menghubungkannya dengan situasi
nyata.
c. Siswa dapat menggunakan perkembangan ketrampilan yang baik dan
mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan
konteks.
d. Siswa dapat membangun dan mengkomunikasikan penjelasan dan
pendapatnya berdasarkan pada interpretasi, hasil dan tindakan.
Level 4( ≥ 544,7)
a. Siswa dapat melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur
yang memerlukan keputusan secara berurutan.
b. Siswa dapat memilih dan menerapkan strategi memecahkan masalah
yang sederhana.
c. Siswa dapat menginterpretasikan dan menggunakan representasi
berdasarkan pada sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan
alasannya secara langsung dari yang didapat.
d. Siswa dapat mengembangkan komunikasi sederhana melalui hasil,
interpretasi dan penalaran mereka.
Level 3( ≥ 482,7)
a. Siswa dapat menginterpretasikan dan mengenali situasi dalam konteks
yang memerlukan penarikan kesimpulan secara langsung.
b. Siswa dapat memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal dan
menggunakan penarikan kesimpulan yang tunggal.
22
c. Siswa dapat menerapkan algoritma dasar, memformulasikan,
menggunakan, melaksanakan prosedur atau ketentuanketentuan yang
dasar.
d. Siswa dapat memberikan alasan secara langsung dan melakukan
penafsiran secara harfiah dari hasil.
Level 2 ( ≥ 420,1)
a. Siswa dapat menjawab pertanyaan yang konteknya umum dimana
informasi yang relevan telah tersedia dan pertanyaan telah diberikan
dengan jelas.
b. Siswa dapat mengidentifikasikan informasi dan menyelesaikan prosedur
rutin menurut instruksi langsung pada situasi yang eksplisit.
c. Siswa dapat melakukan tindakan secara mudah sesuai dengan stimulus
yang diberikan.
Level 1 ( ≥ 357,8)
(OECD, 2010)
B. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yaitu : indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Soekidjo, Notoadmodjo 2003).
23
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Tim penyusun Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2002).
2. Tingkat Pengetahuan
Benjamin Bloom (1956), seorang ahli pendidikan, membuat klasifikasi
(taxonomy) pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses
berfikir pada manusia. Menurut Bloom kecakapan berfikir pada manusia dapat
dibagi dalam 6 kategori yaitu :
a. Pengetahuan (knowledge)
Mencakup ketrampilan mengingat kembali faktor-faktor yang pernah
dipelajari.
b. Pemahaman (comprehension)
Meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada.
c. Penerapan (application)
Mencakup ketrampilan menerapkan informasi atau pengetahuan yang telah
dipelajari ke dalam situasi yang baru.
d. Analisis (analysis)
Meliputi pemilahan informasi menjadi bagian-bagian atau meneliti dan
mencoba memahami struktur informasi.
e. Sintesis (synthesis)
Mencakup menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk
menggabungkan elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada
sebelumnya.
24
f. Evaluasi (evaluation)
Meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan kriteria-
kriteria yang ada biasanya pertanyaan memakai kata: pertimbangkanlah,
bagaimana kesimpulannya.
3. Pengukuran Pengetahuan
Menurut Soekidjo (2003) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subyek penelitian atau responden.
4. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Soekidjo (2005) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu : Cara
Tradisional atau Non Ilmiah
a. Cara coba salah (Trial and error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin
sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi
persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba
saja. Bahkan sampai sekarang pun metode ini masih sering dipergunakan,
terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Cara kekuasaan atau otoritas
Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun
ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di
dalam penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima
pendapat yang dikemukakan oleh orang mempunyai otoritas, tanpa terlebih
25
dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta
empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena
orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang
ditemukannya adalah sudah benar.
c. Berdasarkan pengalaman pribadi
Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang
lalu.
d. Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara pikir manusia
pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mempu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan
pikirannya
C. Pengetahuan Kontekstual dalam Matematika
Konteks adalah situasi yang padanya dapat dilekatkan suatu permasalahan
dan pada situasi tersebut terdapat informasi-informasi yang dapat dijadikan solusi
terhadap permasalahan tersebut (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Konteks yang
digunakan dalam makalah ini adalah konteks yang dekat dan diketahui dalam
kehidupan sehari-hari siswa.
Berdasarkan definisi konteks maka pengetahuan kontekstual yang digunakan
dalam makalah ini berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari di dunia
nyata. Dalam situasi sekolah pengetahuan kontekstual didapat melalui presentasi
26
dari masalah dalam konteks dengan cerita tersendiri. Pengetahuan kontekstual
tidak muncul ketika masalah disajikan hanya menggunakan simbol matematika
dengan nomor, operator dan variabel. Rittle-Johnson dan Koedinger (2005)
menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan dalam komunitas ilmiah, apakah
menyajikan masalah aritmatika dalam konteks cerita akan membuat mereka lebih
mudah atau lebih sulit untuk memecahkan masalah yang ada.
Pengetahuan kontekstual akan mempermudah siswa dalam memahami
materi matematika yang diberikan guru, sehingga sebelum diberikan materi yang
akan dilambangkan dengan simbol atau variabel sebaiknya materi tersebut
dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sri
Wardhani (2004:11) ciri pertama dari pembelajaran matematika yang kontekstual
adalah adanya permasalahan kontekstual pada awal pembelajaran yang harus di
selesaikan oleh siswa.
Matematika merupakan ilmu dasar (sehingga bukan merupakan ilmu
terapan) maka tidak banyak dan cukup sulit dari mencari contoh-contoh
permasalahan kontekstual yang bersifat aktual atau kasat mata untuk dikaitkan
dengan topik-topik matematika yang akan dipelajari siswa. Padahal, permasalahan
kontekstual adalah permasalahan yang isinya atau materinya terkait dengan
kehidupan siswa sehari-hari, baik yang aktual maupun yang tidak aktual, namun
dapat dibayangkan oleh siswa karena pernah dialami olehnya.
Heuvel-panhuinze (dalam Nur M:2000) mengemukakan bahwa dalam
pembelajaran matematika yang kontekstual, proses pengembangan konsep-konsep
dan gagasan-gagasan matematika bermula dari dunia nyata. Dunia nyata tidak
27
hanya berarti konkret secara fisik atau kasat mata, namun juga termasuk hal-hal
yang dapat dibayangkan oleh alam pikiran siswa sesuai dengan pengalamannya.
Ini berarti masalah-masalah yang digunakan pada awal pembelajaran matematika
kontekstual dapat berupa masalah-masalah yang actual bagi siswa dalam arti
secara fisik sungguh-sungguh ada dalam kenyataan kehidupan siswa atau
masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah nyata oleh siswa
karena terkait dengan pengalaman lalunya.
Ciri-ciri pembelajaran matematika yang kontekstual mengacu pada tujuh
komponen utama dari pembelajaran kontekstual dan karakteristik. Tujuh
komponen tersebut adalah kontruktivisme, menemukan, bertanya, komunitas
belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik. Adapun uraian dari ketujuh
komponen tersebut adalah:
1. Kontruktivisme
Kontruktivisme yaitu suatu kegiatan dimana siswa membangun pengetahuan
sedikit demi sedikit dari pengetahuan yang dimiliki siswa, diharapkan siswa
belajar bukan hanya menghafal tetapi melalui mengalami sehingga akan
bermakna. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Sanjaya).
2. Bertanya
Bertanya yaitu kegiatan bertanya dalam pembelajaran, bisa guru dengan siswa,
siswa dengan guru, siswa dengan siswa bahkan siswa dengan orang lain (nara
sumber) sebagai upaya guru dalam membimbing siswa, menggali informasi
dan menilai sejauh mana kemampuan yang telah diperoleh siswa.
28
3. Menemukan
Menemukan yaitu suatu kegiatan dimana siswa berusaha menemukan sendiri
pengetahuan bukan hasil mengingat-ingat fakta-fakta.
4. Masyarakat Belajar
Masyarakat belajar yaitu suatu kegiatan dimana siswa memperoleh hasil
belajar dari hasil belajar bekerja sama atau tukar pendapat dengan orang lain.
5. Pemodelan
Pemodelan bisa diartikan suatu contoh nyata yang ditunjukkan guru atau
orang lain bisa asli atau tiruan dan bisa berbentuk demonstrasi, pemberian
contoh tentang konsep-konsep,
6. Refleksi
Refleksi yaitu berpikir kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang akan
diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran.
7. Penilaian Otentik
Penilaian yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dari berbagai sumber yang
bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian otentik
adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan
pencapaian pembelajran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik
yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat
bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar
dikuasai dan dicapai. Majid, Abdul (2007)
Ketujuh komponen tersebut bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran
sesuai dengan materi yang dibahas. Selain ketujuh komponen tersebut, agar siswa
29
lebih mudah dalam memahami matematika berdasarkan pengertahuan kontekstual
perlu diperhatikan prinsip penerapan pembelajaran kontekstual.
Prinsip penerapan pembelajaran kontekstual yang perlu dipegang guru
adalah sebagai berikut:
1. merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran mental sosial,
2. membentuk kelompok yang saling bergantung,
3. menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang mandiri,
4. mempertimbangkan keragaman siswa,
5. mempertimbangkan multi intelegensi siswa,
6. menggunakan teknik-teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran
siswa, perkembangan masalah, dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi,
7. menerapkan penilaian autentik.
Nurhadi, dkk, (2006).
Prinsip penerapan pembelajaran kontekstual yang berbasis kontekstual
agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal dan bermakna bagi siswa perlu
memperhatikan mulai dari merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, mempertimbangkan karakteristik dan perbedaan masing-masing
peserta didik sampai melakukan sesuatu penilaian.
D. Pengetahuan Konseptual dalam Matematika
Kata konseptual berasal dari kata concept (konsep) yang berarti gambaran
mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2003:588). Konsep adalah seperangkat objek tertentu, simbol, atau
30
peristiwa yang dikelompokkan bersama-sama atas dasar karakteristik-karakteristik
bersama dan yang dapat disesuaikan oleh sebuah nama atau simbol tertentu.
(Merrill & Tennyson, 1977:3). Menurut Zaenal Arifin (2009:21) konsep adalah
suatu objek dasar, baik dapat di definisikan atau tidak, dinyatakan dalam ide
abstrak yang memungkinkan kita dapat membedakan sesuatu termasuk dalam
contoh objek tersebut atau bukan. Konsep adalah suatu rencana atau pola yang
digunakan untuk mendesain materi pembelajaran dengan langkah-langkah
kegiatan mengajar belajar seperti yang dikemukakan oleh Bruce Joyce dan
Marsha Weil.
Konsep merupakan dasar bagi proses-proses untuk memecahkan suatu
masalah. Konsep dalam matematika biasanya dijelaskan melalui definisi atau
contoh-contoh. Definisi yang menjelaskan suatu konsep dalam matematika
merupakan rumusan kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan konsep
tersebut. Rumusan kata-kata itu dapat berbeda-beda bergantung pada cara dan
pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan konsep itu. Ada suatu konsep
yang dinyatakan dengan simbol-simbol atau istilah-istilah matematika, ada pula
yang dinyatakan dalam kalimat atau kata-kata sehari-hari yang maksudnya sudah
jelas dan ada pula penjelasan suatu konsep yang dinyatakan dengan gabungan dari
kedua cara tersebut.
Tidak selamanya seseorang (siswa) dapat belajar konsep langsung dari
yang ada pada definisi, misalnya bagi mereka yang masih berada di bawah taraf
berpikir formal. Oleh karena itu, kita memerlukan contoh-contoh dalam rangka
memahami suatu konsep yang ada pada definisi. Menurut Skemp (1977), konsep-
31
konsep yang berorde lebih tinggi dari konsep yang dimiliki seseorang tidak selalu
dapat dikomunikasikan dengan baik kepada orang tersebut melalui suatu definisi,
tetapi perlu terlebih dahulu memberikan kepadanya sekumpulan contoh-contoh
konsep tersebut.
Ausubel (dalam Dahar, 1988) mengemukakan, bahwa konsep dapat
diperoleh dengan dua cara, yaitu pembentukan konsep dan asimilasi konsep.
Pembentukan konsep dapat dipandang sebagai belajar konsep-konsep konkret
menurut Gagne (dalam Dahar, 1988; dalam Hudojo, 1990), sedangkan asimilasi
konsep relevan dengan belajar konsep-konsep abstrak.
Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Dalam proses ini
seseorang mengabstraksikan atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai
stimulus yang diberikan. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa pemberian
contoh-contoh dari sesuatu yang dikonsepkan. Sedangkan asimilasi konsep
bersifat deduktif. Dalam proses ini seseorang belajar konsep berpangkal pada
pengenalan istilah atau nama dari konsep tersebut beserta atribut-atributnya.
Menurut Hudojo (1990), seorang yang belajar konsep secara deduktif telah berada
pada tahap simbolisasi atau tahap formalisasi. Pada tahap simbolisasi seseorang
sudah dapat merumuskan representasi setiap konsep yang dipelajarinya dengan
menggunakan simbol matematika atau perumusan verbal yang sesuai. Sedangkan
pada tahap formalisasi, seseorang bukan hanya dapat merumuskan konsep
tersebut, tetapi juga dapat menentukan berbagai sifat yang diperoleh dari konsep-
konsep yang telah dipelajarinya, kemudian merumuskan sifat-sifat baru yang
berbentuk teorema.
32
Pengetahuan konseptual dalam matematika merupakan pengetahuan dasar
yang menghubungkan antara potongan-potongan informasi yang berupa fakta,
skill (keterampilan), konsep, atau prinsip (Hiebert dan Wearne, 1986). Owen dan
Super (1993) menambahkan, bahwa suatu potongan informasi menjadi
pengetahuan konseptual hanya jika pengetahuan itu terintegrasi ke dalam jaringan
pengetahuan yang lebih luas dalam pikiran seseorang. Jadi pengetahuan
konseptual merupakan pengetahuan yang memiliki banyak keterhubungan antara
obyek-obyek matematika (seperti fakta, skill, konsep atau prinsip) yang dapat
dipandang sebagai suatu jaringan pengetahuan yang memuat keterkaitan antara
satu dengan lainnya.
Pengetahuan konseptual menuntut siswa untuk aktif berpikir
mengenai hubungan-hubungan dan membuat koneksi serta membuat
pembenaran untuk mengakomodasi pengetahuan baru menempati struktur
mental yang lebih lengkap.
Hiebert & Carpenter (1992) mengemukakan bahwa memahami konsep
(pengetahuan konseptual) harus datang lebih dulu sebelum penguasaan
keterampilan (pengetahuan prosedural).
Definisi pengetahuan konseptual dan prosedural banyak diperbincangkan
dalam kajian-kajian lepas (Rittle-Johnson & Siegler 1998; Rittle-Johnson &
Alibali 1999; Star 2000; Rittle-Johnson, Siegler & Alibali 2001; Rittle-Johnson &
Star 2007, 2009; Matthews & Rittle-Johnson 2008; Rittle-Johnson, Star & durkin
2009) dengan menggunakan definisi yang diberikan oleh Hiebert dan Lefevre
33
(1986) sebagai asas utama. Mereka mendefinisikan pengetahuan konseptual
sebagai
Knowledge that is rich in relationships. It can be thought of as a connected web of knowledge, a network in which the linking realtionships are as prominent as the discrete pieces of information. Relationships pervade the individual facts and propositions so that all pieces of information are linked to some network. (Hiebert dan Lefevre, 1986, 3-4)
Dari petikan itu dapat disimpulkan, pengetahuan konseptual adalah satu
pengetahuan yang mempunyai rangkaian berkaitan atau berhubungan dengan
berbagai informasi. Perhubungan antara fakta dan beberapa informasi itu juga
telah membentuk satu jaringan. Selari dengan apa yang dinyatakan oleh Effandi,
Norazah dan Sabri (2007), pengetahuan konseptual menjadi dasar struktur sesuatu
perkara yang dikaitkan dengan rangkaian ide pengetahuan yang mampu
menerangkan dan memberi makna kepada prosedur yang digunakan. Seterusnya
merujuk kepada pengetahuan yang menjadi dasar struktur matematik yang mana
bertindak sebagai pengetahuan asas serta dapat menghubungkan ide-ide
matematik.
Dalam matematika sering disajikan pengertian suatu objek matematika ,
seperti segitiga, bilangan, persegi kubus dan sejenisnya. Obyek-obyek tersebut
dalam pembelajaran matematika, umumnya disampaikan terlebih dahulu
dibandingkan dengan obyek-obyek lain. Apabila siswa benar-benar telah
memahami pengetahuan tentang obyek tersebut, maka ia mampu membedakan
obyek-obyek mana yang merupakan contoh dan obyek-obyek mana yang bukan
contoh dari yang dimaksudkan. Siswa telah memahami pengertian dari segitiga,
maka ia akan mampu membedakan mana yang segitiga dan mana yang bukan
34
Fenomena
konsep
Sifat-sifat khusus Implikasi konsep
Perampatan
Abtraksi
segitiga. Demikian pula akan berlaku untuk obyek bilangan, persegi, kubus dan
yang sejenisnya. Obyek-obyek kajian tersebut dikelompokkan dalam kategori
konsep.
Setiap konsep kita dapat mencari atau mendapatkan implikasi-
implikasinya yang bisa menimbulkan suatu fenomena baru lagi. Dari fenomena
yang baru ini, kita dapat melakukan proses pengkajian yang serupa dengan di
uraikan di atas. Secara skema, proses pengembangan konsep dapat di ilustrasikan
seperti gambar berikut:
Gambar 1
Gambar di atas menunjukkan bahwa fenomena diamati, dicermati, dan
diperoleh sifat-sifat khusus melalui proses abstraksi. Sifat-sifat khusus yang
diamati dengan penalaran yang matematis menghasilkan suatu konsep baru
melalui proses perampatan. Tentu, konsep yang ditemukan perlu di uji secara
formal untuk diterima sebagai konsep yang baru. Selanjutnya, konsep baru
tersebut memberikan implikasi yang menjadi fenomena baru yang perlu diamati
dan dicermati lagi.
Berdasarkan kajian teori di atas, pengetahuan konseptual sangat berperan
dalam mengembangkan materi pelajaran matematika. Siswa akan mengalami
kesulitan pada pemahaman konsep B jika konsep A belum dipahami. Misalnya
35
pada materi pecahan, siswa akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
operasi pecahan jika siswa belum bisa memahami operasi perkalian dan
menentukan KPK.
E. Pengetahuan Prosedural dalam Matematika
Pengetahuan prosedural adalah jenis pengetahuan yang berarti langkah demi
langkah tindakan dan belajar simultan dari semua komponen atau langkah-
langkah dari apa yang mungkin menjadi prosedur kompleks. Prosedur sering di
defenisikan secara tegas semua langkah-langkah yang dilibatkan dan setiap
langkah jelas. Istilah lain prosedural adalah algoritma. Banyak prosedur yang
berupa algoritma, misalnya operasi-operasi matematika adalah algoritma.
Prosedur untuk mengurangkan dengan “meminjam” adalah sebuah algoritma:
langkah-langkah dalam prosedur biasanya tidak berfariasi.
Hiebert dan Lefevre (dalam White dan Mitchelmore, 1996)
menggambarkan pengetahuan prosedural sebagai pengetahuan tentang prosedur
baku yang dapat diaplikasikan jika beberapa isyarat tertentu disajikan. Suatu kata
kunci untuk prosedur-prosedur yang seperti itu adalah kata "sesudah" dalam
pengertian "sesudah langkah ini diikuti dengan langkah berikutnya".
Pengetahuan prosedural lebih cenderung pada penguasaan komputasional
dan pengetahuan tentang langkah-langkah untuk mengidentifikasi obyek-obyek
matematika, algoritma, dan definisi. Langkah-langkah tersebut mencakup
bagaimana mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah. Secara khusus
pengetahuan prosedural terdiri dari dua bagian yaitu, pengetahuan mengenai
36
format dan kalimat dari satu sistem representasi simbol, dan pengetahuan tentang
aturan-aturan algoritma yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Hiebert dan Wearne (1986), membedakan dua jenis pengetahuan prosedural, yaitu
(1) pengetahuan mengenai simbol tanpa mengikutkan apa makna simbol tersebut,
dan (2) sekumpulan aturan-aturan atau langkah-langkah yang membentuk suatu
algoritma atau prosedur.
Pengetahuan prosedural juga didefinisikan oleh Hiebert dan Lefevre sebagai:
One kind of procedural knowledge is a familiarity with the individual symbols of the system and with the syntactic convention for acceptable configurations of symbols. The second kind of procedural knowledge consists of rules or procedures for solving mathematical problems. Many of the procedures that studens possess probably are chains of prescriptions for manipulating symbols. (Hiebert dan Lefevre, 1986, 7-8)
Penyataan mengenai pengetahuan prosedural ini juga mendefinisikan
prosedural sebagai satu pengetahuan yang banyak melibatkan penggunaan simbol
dan ia juga satu pengetahuan yang melibatkan peraturan dan langkah-langkah
penyelesaian masalah matematik. Pengetahuan prosedural ini banyak melibatkan
manipulasi simbol. Seperti yang didefinisikan juga oleh Rittle-Johnson. (2001)
yang menyatakan pengetahuan prosedural ini adalah upaya melakukan turutan
kerja penyusunan objek, pengiraan aritmetik serta susunan langkah-langkah demi
langkah dalam mencapai sesuatu penyelesaian.
Dalam pengetahuan prosedural, siswa harus belajar untuk mengenali
situasi yang memerlukan prosedur tertentu, lengkap dengan langkah-langkah,
mengingat kembali langkah-langkah dalam prosedur, dan menentukan apakah
prosedur telah diterapkan dengan benar. Selain itu, jika prosedur rumit, pelajar
harus belajar untuk membuat keputusan dalam prosedur oleh mengklasifikasi
37
situasi dan untuk membuat keputusan dalam prosedur oleh mengklasifikasikan
situasi dan memilih cabang-cabang itu tergantung pada keputusan yang dibuat.
Meskipun urutan instruksional terjadi dalam urutan sebagai berikut,
1. Pembelajaran untuk menjelaskan jika prosedur telah dipersyaratkan.
Informasi pertama yang harus diperoleh adalah konteks atau situasi di mana
prosedur dapat diterapkan. Ini adalah prasyarat “pengenalan pola” atau konsep
pembelajaran yang harus dipelajari dan dipraktekkan dalam pelajaran pertama.
Sebuah strategi untuk mengajarkan konsep-konsep akan layak untuk fase ini,
pelajar harus melihat contoh dari berbagai situasi yang membuat mareka cocok
untuk penerapan prosedur.
2. Pembelajaran untuk melengkapkan langkah-langkah dalam prosedur.
Fase ini menyajikan informasi dan pengolahan berbeda, tergantung pada
apakah prosedur adalah prosedur sederhana atau prosedur komplek. Prosedur
sederhana mungkin bisa dipelajari dalam setiap langkah individu dapat diajarkan
dalam sebuah instruksi, di mana pelajar bergerak melalui peristiwa berkali-kali
dengan semakin lengkap pengalaman.
3. Pembelajaran untuk mendaftar langkah-langkah dalam prosedur.
Setelah siswa melihat langkah-langkah yang ditunjukkan dan dipraktekkan,
mareka harus belajar untuk menggabungkan langkah-langkah keseluruhannya.
Misalnya prosedur, sebuah ingatan tentang urutan langkah-langkah dan setiap
langkah yang memerlukan mungkin mudah. Prosedur komplek akan sulit untuk
mengingat karena jumlah langkah dan kemungkinan bercabang.
38
4. Pembelajaran untuk memeriksa ketepatan prosedur yang sudah selesai
Bagian dari prosedur belajar adalah belajar untuk menentukan apakah telah
diterapkan dengan benar. Keterampilan ini tergantung pada pembelajaran, apakah
bisa meninjau prosedural mental dan memastikan bahwa setiap langkah dan
keputusan telah tepat.
Dalam pembelajaran matematika sering dijumpai cara pengajaran,
langkah-langkah, algoritma, atau prosedur penyelesaian permasalahan. Langkah-
langkah pengajaran termasuk dalam kategori operasi, skill atau prosedur.
Perhatikan contoh soal dan langkah-langkah penyelesaian, berikut ini.
Tentukan nilai x, jika 2x2+7 = 25 !, maka penyelesaiannya.
Langkah ke-1 2x2+7 = 25
Langkah ke-2 2x2 = 25 -7
Langkah ke-3 2x2 = 18
Langkah ke-4 x2 =
Langkah ke-5 x2 = 9
Langkah ke-6 x =√9
Langkah ke-7 x = ± 3
Kesimpulan: jadi nilai x adalah 3 atau -3
Langkah tersebut termasuk dalam kategori prosedur, operasi, skill. Langkah-
langkah tersebut merupakan pengetahuan matematika yang juga harus diajarkan
kepada siswa. Dalam praktek pembelajaran, pada umumnya siswa tidak
menyadari bahwa sebenarnya dia sedang diajarkan menerapkan skill atau
prosedur. Demikan pula, guru sering tidak menyadari bahwa dalam mengajarkan
39
matematika ia telah mengajarkan suatu pengetahuan yang disebut pengetahuan
prosedural.
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan prosedural
merupakan pengetahuan tentang urutan kaidah-kaidah, prosedur-prosedur yang
digunakan untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Prosedur ini dilakukan
secara bertahap dari pernyataan yang ada pada soal menuju pada tahap
selesaiannya. Salah satu ciri pengetahuan prosedural adalah adanya urutan
langkah yang akan ditempuh "sesudah suatu langkah akan diikuti langkah
berikutnya".
F. Mengaktifkan Kompetensi
Kompetensi adalah proses kognitif yang harus diaktifkan untuk
menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika dan
untuk memecahkan masalah yang diajukan. Kompetensi mewakili dimensi ketiga
dari model PISA fungsional. Untuk menilai tingkat kompetensi secara keseluruhan
dari siswa pada PISA didasarkan pada tujuh kompetensi tertentu, yang dijelaskan
di bawah ini bersama-sama dengan beberapa indikator (OECD 2003):
1. Berpikir dan penalaran.
Hal ini melibatkan mengajukan pertanyaan karakteristik matematika ("Berapa
banyak… yang ada?" "Bagaimana kita menemukan ...?"), mengetahui jenis-
jenis jawaban yang matematika tawarkan untuk beberapa pertanyaan,
membedakan antara berbagai jenis pernyataan (definisi, teorema, dugaan ,
hipotesis, contoh, pernyataan dikondisikan), pemahaman, penanganan luas dan
batas-batas konsep-konsep matematis yang diberikan.
40
2. Argumentasi.
Hal ini melibatkan mengetahui apa bukti-bukti matematika dan bagaimana
mereka berbeda dari jenis lain dari penalaran matematika, mengikuti dan
menilai rantai argumen matematis dari jenis yang berbeda, mengembangkan
proses intuitif dan menciptakan dan mengekspresikan argumen matematika.
3. Komunikasi.
Hal ini melibatkan mengekspresikan diri, dalam berbagai cara, tentang hal-hal
dengan kandungan matematika, secara lisan maupun dalam bentuk tertulis,
dan pemahaman tulisan orang lain atau keterangan lisan tentang hal-hal seperti
itu.
4. Pemodelan.
Hal ini melibatkan penataan situasi untuk dimodelkan; menerjemahkan
"realitas" ke dalam struktur matematika, bekerja dengan model matematika;
memvalidasi model; mencerminkan, menganalisis dan menawarkan kritik
terhadap model dan hasil-hasilnya; berkomunikasi secara efektif tentang
model dan hasil nya ( termasuk keterbatasan hasil tersebut) dan pemantauan
dan pengendalian proses pemodelan.
5. Berpose dan pemecahan masalah.
Ini melibatkan berpose, merumuskan dan mendefinisikan berbagai jenis
masalah matematika dan memecahkan berbagai jenis masalah dalam berbagai
cara.
41
6. Representasi.
Ini melibatkan decoding dan encoding, menerjemahkan, menafsirkan dan
membedakan antara berbagai bentuk representasi objek matematika dan
situasi dan keterkaitan antara berbagai representasi; memilih dan beralih di
antara berbagai bentuk representasi, sesuai dengan situasi dan tujuan.
7. Menggunakan simbolis, bahasa formal dan teknis dan operasi.
Ini melibatkan decoding dan menafsirkan bahasa simbolik dan formal dan
pemahaman hubungannya dengan bahasa alami; menerjemahkan dari bahasa
alami ke bahasa simbolis / formal; laporan penanganan dan ekspresi yang
mengandung simbol-simbol dan rumus, menggunakan variabel, memecahkan
persamaan dan perhitungan usaha.
Dijelaskan dalam cara ini, kompetensi bukanlah variable tugas tetapi variabel
subjek, dan untuk alasan ini, bukanlah apriori yang tidak mungkin untuk
menetapkan proses yang akan mengaktifkan siswa untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan. Secara umum, akan mungkin untuk menghubungkan tugas dengan
berbagai proses kognitif mengingat bahwa subyek yang menyelesaikan tugas-
tugas tersebut dapat melakukannya dengan cara yang berbeda. Untuk alasan ini,
strategi diikutkan dalam desain tugas PISA melibatkan variabel tugas baru yang
mengukur kompleksitas tugas. Variabel ini mempertimbangkan tiga tingkat
kompleksitas tugas berkenaan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk
menyelesaikannya. OECD (2003) menggambarkan tiga tingkat dengan indikator
masing-masing sebagai berikut:
42
1. Reproduksi: Familiar konteks, pengetahuan yang telah digunakan, penerapan
algoritma standar, melakukan operasi sederhana, menggunakan rumus unsur.
2. Koneksi: konteks kurang akrab, menafsirkan dan menjelaskan, penanganan
dan sistem yang berbeda yang berkaitan representasi, memilih dan
menggunakan strategi untuk memecahkan masalah non-standar.
3. Refleksi: Tugas yang memerlukan pemahaman, refleksi, kreativitas,
pengetahuan yang berkaitan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks,
generalisasi dan justifikasi hasil yang diperoleh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata aktif memiliki banyak
definisi yaitu giat (bekerja, berusaha), lebih banyak penerimaan daripada
pengeluaran, dinamis atau bertenaga (sebagai lawan statis atau lembam, mampu
beraksi dan bereaksi, mempunyai kecenderungan menyebar atau berkembang biak
(tentang penyakit, sel, dsb). Dalam konten pendidikan makna yang sesuai dengan
yang diharapkan adalah giat berusaha. Sedangkan dalam KBBI mengaktifkan
memiliki arti menjadikan aktif atau menggiatkan. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan tentang arti mengaktifkan kaitannya dengan dunia pendidikan adalah
menjadikan siswa giat. Giat dalam hal ini bisa diartikan giat berusaha memahami
pelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Dalam makalah ini, mengaktifkan adalah menjadikan siswa giat berusaha
dalam sebuah proses tertentu.
Berdasarkan definisi yang terpapar mengaktifkan kompetensi diartikan
sebagai menjadikan siswa mampu menghubungkan dunia nyata di mana masalah
muncul dengan matematika dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.
43
G. Hubungan Pengetahuan Kontektual, Konseptual dan Prosedural dalam
Mengaktifkan Kompetensi Matematika
Berdasarkan uraian di atas, bahwa pengetahuan kontekstual merupakan
pengetahuan matematika yang dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Seorang siswa akan lebih mudah menerima suatu konsep matematika jika guru
dalam menjelaskan materinya itu dapat mengaitkan dalam kehidupan nyata,
dengan demikian siswa dapat menemukan konsep sendiri. Ausobel membedakan
belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima, siswa
hanya menerima begitu saja pengetahuan dari gurunya, selanjutnya tinggal
menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan, konsep-konsep ditemukan oleh
siswa (Russefendi:1991). Jadi siswa tidak menerima langsung suatu konsep yang
dipelajarinya.
Ada perbedaan penting antara belajar bermakna dengan belajar hafalan.
Pada belajar hafalan, siswa menghafal materi yang telah dipelajarinya, tanpa
mengaitkan dengan pengetahuan relevan yang di miliki sebelumnya. Sedangkan
belajar bermaka, pengetahuan yang di miliki siswa selalu dikaitkan dengan
pengetahuan relevan yang sudah dimilikinya, sehingga materi tersebut lebih
bermakna bagi siswa.
Setelah siswa benar-benar mengetahui tentang suatu konsep pada
matematika, masalah-masalah yang diberikan oleh guru akan mudah untuk di
selesaikan dengan adanya pengetahuan prosedural. Pengetahuan prosedural
merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu. Seperti pengetahuan
keterampilan, algoritma, teknik-teknik, dan metode-metode yang secara
44
keseluruhan dikenal sebagai prosedur. Ataupun dapat digambarkan sebagai
rangkaian langkah-langkah. Pengetahuan prosedural/ algoritma digunakan pada
latihan matematika. Prosedur perkalian dalam aritmetika, ketika diterapkan, hasil
umumnya adalah jawaban yang sulit ketika adanya kesalahan dalam
penghitungan. Walaupun hal ini dikerjakan dalam pengetahuan prosedural, hasil
dari pengetahuan prosedural ini seringkali menjadi pengetahuan faktual atau
konseptual. Algoritma untuk penjumlahan seluruh bilangan yang sering kita
gunakan untuk menambahkan 2 dan 2 adalah pengetahuan prosedural,
jawabannya 4 semudah pengetahuan faktual. Sekali lagi, penekanan disini adalah
berdasarkan pada pemahaman siswa dalam memahami dan menyelesaikannya
sendiri.
Seseorang yang memiliki pengetahuan prosedural mungkin didukung atau
mungkin juga tidak didukung oleh pengetahuan konseptual. Seseorang yang
memiliki pengetahuan prosedural yang tidak didukung oleh pengetahuan
konseptual digambarkan oleh Skemp (dalam White dan Mitchelmore, 1996)
sebagai mengetahui aturan-aturannya tanpa mengetahui mengapa aturan-aturan itu
bisa bekerja.
Pengetahuan kontekstual sangat berperan dalam pembentukan suatu
konsep matematika, hal ini berpengaruh pada pengetahuan konseptual yang
membawa siswa mudah menyelasaikan masalah matematika. Dengan demikian
ketiga pengetahuan tersebut (pengetahuan kontekstual, pengetahuan konseptual
dan pengetahuan procedural) saling berhubungan dalam mengaktifkan kompetensi
matematika.
45
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penilaian kompetensi matematika (dalam hal PISA) meliputi penilaian
terhadap sejauh mana mereka memiliki pengetahuan matematika sekolah
(kontekstual, konseptual dan prosedural) yang secara produktif dapat diterapkan
dalam situasi masalah apapun (pribadi, bekerja, umum, ilmiah, dll).
Pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural sangat berperan dalam
mengaktifkan kompetensi matematika. Melalui pengetahuan kontekstual, siswa
akan lebih mudah dalam menemukan suatu konsep dalam matematika.
Pengetahuan konsep dalam matematika memiliki peran penting dalam
menyelesaikan suatu pemecahan masalah yang penyelesaiannya berdasarkan
pengetahuan prosedural atau algoritma. Kesalahan konsep dalam pembelajaran
matematika mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari
materi-materi yang berkelanjutan. Dalam hal ini peran pengetahuan konsep dalam
mengaktifkan kompetensi matematika sangat dibutuhkan. Dalam menanamkan
pengetahuan konsep kepada seseorang bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama,
kita langsung menyampaikan pengetahuan tersebut ke pada orang bersangkutan,
kedua, kita kondisikan orang itu dapat menemukan konsep dengan cara sendiri
melalui bantuan kita.
Setelah siswa dapat mengenal konsep dengan baik, maka siswa akan
mudah memahami pengetahuan prosedural melalui konsep tersebut, dengan kata
lain hubungan pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural sangat erat.
45
46
Namun, pada kenyataannya siswa sering mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan permasalahan dalam matematika, jika kita kaitkan permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan siswa belum benar-benar
memahami suatu konsep dalam matematika, selain siswanya, guru juga sangat
berperan dalam membentuk pemahaman terhadap suatu konsep dalam matematika
yang nantinya akan berpengaruh pada materi selanjutnya.
47
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Rahmawati N dan Siswono, Tatag Y.E. (2014). “Analisis Pemahaman Siswa
SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Aljabar Pada PISA”. MATHEdunesa
Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika. Volume 3 No 2 Tahun 2014. pp.
158-164.
Creemers, B. P. M., & Kyriakides, L. (2006). “A critical analysis of the current
approaches to modeling educational effectiveness: the importance of
establishing a dynamic model”. School Effectiveness and School
Improvement, 17(3), 347–366. doi:10.1080/09243450600697242.
Dahar, R. W.. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.
Darling-Hammond, L. (2000). “Teacher quality and student achievement: a
review of state policy evidence”. Education Policy Analysis Archives,
8(1).
Dhany, Ahmad. (2013). “PISA (Programme Internationale for Student
Assesment)”. (online)(http://dhanymatika.wordpress.com/2013/09/02/pisa-
programme-internationale-for-student-assesment/. diakses 8 oktober 2014)
Effandi, Zakaria. Norazah, Mohd Nordin dan Sabri, Ahmad. (2007). Trend
pengajaran dan pembelajaran matematik. Kuala Lumpur : Utusan
Publications & Distributors SDN BHD.
Freudenthal, H.(1983). Didactical phenomenology of mathematical structures.
Dordrecht: Reidel.
47
48
Hiebert, J. (1986). Conceptual and Procedural : The case of mathematics.
Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates.
Hudojo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Survei Internasional PISA.
(online) (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-
pisa. diakses 23 September 2013).
Kyriakides, L., Campbell, R. J., & Christofidou, E. (2002). “Generating criteria
for measuring teacher effectiveness through a self-evaluation approach: a
complementary way of measuring teacher effectiveness”. School
Effectiveness and School Improvement, 11, 501–529. doi:10.1076/
sesi.11.4.501.3560.
Leikin, R., & Levav-Waynberg, A. (2007). “Exploring mathematics teacher
knowledge to explain the gap between theory-based recommendations and
school practice in the use of connecting task”. Educational Studies in
Mathematics, 66, 349–371. doi:10.1007/s10649-006-9071-z.
Matthews, P. & Rittle-Johnson, B. (2008). “In pursuit of knowledge: Comparing
self-explanations, concepts and procedures as pedagogical tools”. Journal
of Experimental Child Psychology.
Noralhuda ,Nik. Mohamed, Nik. Hasnida, Ghazali, Nor Che Md. (2014).
“Pengetahuan Konseptual dan Prosedural Dalam Pendidikan Matematik
49
(Conceptual and Procedural Knowledge In Mathematics Education)”.
Fakulti Pendidikan: Universiti Kebangsaan Malaysia.
OECD (2010). Pathways to Success: How knowledge and skills at age 15 shape
future lives in Canada. Paris: OECD Publications.
OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus. Paris: OECD Publications.
Ponte, J. P., & Chapman, O. (2006). ”Mathematics teachers’ knowledge and
practices. In A. Gutierrez & P. Boero (Eds.)”, Handbook of research on
the psychology of mathematics education. past, present and future (pp.
461–494). Rotterdam: Sense.
Rico, L. (2006). “Marco teórico de evaluación en PISA sobre matemáticas y
resolución de problemas”. Revista de Educación, extraordinario 2006, pp.
275–294.
Rittle-Johnson, B. & Alibali. (1999). “Conceptual and procedural knowledge of
mathematics: Does one lead to the other”. Journal of Educational
Psychology 91(1), 175-189.
Rittle-Johnson, B., Siegler, R.S. & Alibali. (2001). “Developing conceptual
understanding and procedural skill in mathematics: An iterative process”.
Journal of Educational Psychology 93(2), 346-362.
Rittle-Johnson, B., & Koedinger, K. R. (2005). “Designing knowledge scaffolds
to support mathematical problem solving”. Cognition and Instruction,
23(3), 313–349. doi:10.1207/s1532690xci2303_1.
50
Rittle-Johnson, B., & Star, J. R. (2007). “Does comparing solution methods
facilitate conceptual and procedural knowledge? An experimental study on
learning to solve equations”. Journal of Educational Psychology 99(3),
561–574.
Rittle-Johnson, B., & Star, J. R. (2009). “Compared to what? The effects of
different comparisons on conceptual knowledge and procedural flexibility
for equation solving”. Journal of Educational Psychology 101(3), 529–
544.
Rittle-Johnson, B., Star, J. R. & Durkin K. (2009). “ The important of prior
knowledge when comparing examples : Influences on conceptual and
procedural knowledge of equation solving”. Journal of Educational
Psychology 101(4), 836–852.
Sáenz, César . (2009). “The role of contextual, conceptual and procedural
knowledge in activating mathematical competencies (PISA)”. Educ Stud
Math 71:123–143 DOI 10.1007/s10649-008-9167-8.
Scriven, M. (1994). “Duties of the teacher”. Journal of Personnel Evaluation in
Education, 8, 151–184. doi:10.1007/BF00972261.
Skemp, R. (1977). The Psychologi of Learning Mathematics. Great Britain:
Penguin Books.
Star, J. R. (2000). “On the relationship between knowing and doing in procedural
learning. In B.Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.)”. Proceedings of
51
the Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 80-86).
Mahwah, NJ:Lawrence Erlbaum.
Sugiman, Kusumah, Y.S & Sabandar, J. (2009). “Mathematica Problem
Solving in Mathematics Realistic”. Jurnal Pendidikan Matematika
PARADIKMA, 2009 (1): 179-190.
Wardhani, Sri dan Rumiyati. (2004). “Permasalahan Kontekstual Mengenalkan
Bentuk Aljabar di SMP”. Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK).
Wardhani, Sri dan Rumiyati. (2011). “Instrumen Penilaian Hasil Belajar
Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS”. Yogyakarta :
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Matematika..